B. 3. Konsekuensi Interrole Conflict C. Wanita Bekerja

19 3. Behavior-based conflict Yaitu konflik yang terjadi karena perilaku spesifik dari satu peran tidak sesuai dengan perilaku yang harus ditunjukkan pada peran kedua. Ketidaksesuaian terjadi karena perbedaan norma dan harapan antara kedua peran tersebut.

II. B. 3. Konsekuensi Interrole Conflict

Menurut O’Driscoll dkk 1997, ada beberapa konsekuensi pekerja yang mengalami interrole conflict, di antaranya yaitu: 1. Ketidakhadiran Interrole conflict berhubungan positif dengan ketidakhadiran dan intensitas turnover. Hal ini disebabkan karena kesulitan membagi waktu untuk memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda. 2. Kepuasan Penelitian menunjukkan bahwa interrole conflict akan menurunkan kepuasan, baik kepuasan pekerjaan maupun kepuasan pernikahan. 3. Keadaan psikologis Hubungan antara interrole conflict dan stres psikologis telah menyebar secara luas dan diketahui bahwa peningkatan konflik berkaitan dengan peningkatan stres psikologis. 4. Kesehatan fisik Penelitian terbaru menemukan adanya asosiasi negatif antara interrole conflict dengan kesehatan fisik. Dilaporkan bahwa orang dengan interrole conflict mengalami penurunan berat badan, insomnia, sakit kepala, sakit jantung, serta hilangnya energi. 20 5. Konsekuensi lainnya Konsekuensi lain yang mungkin akan timbul dari interrole conflict adalah akan meningkatnya kosumsi alkohol di antara orang yang mengalaminya.

II. C. Wanita Bekerja

Menurut Beneria, wanita yang bekerja adalah wanita yang menjalankan peran produktifnya dalam Rini, 2002. Wanita memiliki dua kategori peran, yaitu peranan reproduktif dan peranan produktif. Peranan reproduktif mencakup peranan reproduksi biologis pelahiran, sedangkan peranan produktif adalah peranan dalam bekerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis economically actives. Menurut Sayogyo dan Hubeis dalam Wasito, 2004 Dari perkembangan dalam organisasi ekonomi yang tradisional, terdapat dua tipe peranan perempuan yaitu : 1. Peranan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup semua anggota keluarga dan rumah tangganya peran tradisi. Peran-peran tersebut antara lain sebagai: - Pendamping suami - Pengasuh bagi anak-anaknya. - Memperhatikan kebutuhan anak perhatian atensi, kasih sayang, penerimaan acceptance, perawatancare, dan lain-lain - Melaksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan bergaul, serta menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan ketaatan pada aturan keluarga. Mencurahkan kasih sayang 21 namun tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun bukan tidak percaya atau mengekang anggota keluarga. - Berperan sebagai kawan terhadap anak-anaknya, sehingga dapat membantu mencari jalan keluar dari kesulitan yang dialami anak-anaknya. - Memotivasi anak dan mendorong untuk meraih prestasi yang setinggi tingginya. - Mengatur kelancaran rumah tangga. - Mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman. - Menjadi sumber informasi bagi anak: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan. 2. Perempuan mempunyai dua peranan peran transisi, yaitu dalam pekerjaan rumah tangga dan perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan sumberdaya pembangunan. Wanita dituntut untuk dapat berpartisipasi dan berperan di masyarakat. Ketika berada di tempat bekerja wanita dituntut untuk berupaya mengembangkan diri seluas-luasnya untuk mencapai hasil maksimal dalam pekerjaannya. II.C.1. Faktor-faktor Yang Melandasi Wanita Bekerja Menurut Jacinta F. Rini 2002, faktor-faktor yang mendasari kebutuhan wanita untuk bekerja di luar rumah adalah: 1. Kebutuhan finansial Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari- 22 hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun “hati” nya tidak ingin bekerja. 2. Kebutuhan sosial-relasional Ada pula wanita-wanita yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi, dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang wanita untuk tetap mempertahankan pekerjaannya. 3. Kebutuhan aktualisasi diri Abraham Maslow 1960 mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi – adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualiasai diri melalui profesi atau pun karir, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini – terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang tinggi. Bagi 23 wanita yang sejak sebelum menikah sudah bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi, maka ia akan cenderung kembali bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bekerja dan pekerjaan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, menyokong sense of self dan kebanggaan diri – selain mendapatkan kemandirian secara finansial. 4. Lain-lain Pada beberapa kasus, ada pula wanita bekerja yang memang jauh lebih menyukai dunia kerja ketimbang hidup dalam keluarga. Mereka merasa lebih rileks dan nyaman jika sedang bekerja dari pada di rumah sendiri. Dan pada kenyataannya, mereka bekerja agar dapat pergi dan menghindar dari keluarga. Kasus ini memang dilandasi oleh persoalan psikologis yang lebih mendalam, baik terjadi di dalam diri orang yang bersangkutan maupun dalam hubungan antara anggota keluarga.

II. D. Dinamika Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi