Analisis Kinerja Topologi Jaringan Ring pada Synchronous Digital Hierarchy (SDH) dan Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) di PT. TELKOM MEDAN (Aplikasi Ring 1 (NEC) dan Ring 2 (SIEMENS) JASUKA)

(1)

ANALISIS KINERJA TOPOLOGI JARINGAN RING PADA

SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE

WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM) DI

PT.TELKOM MEDAN

(Aplikasi Ring 1 dan Ring 2 JASUKA)

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana ( S-1 ) pada Departemen Teknik Elektro

Oleh:

TINSONA SARAGIH NIM : 080422027

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KINERJA TOPOLOGI JARINGAN RING PADA

SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE

WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM) DI

PT.TELKOM MEDAN

(Aplikasi Ring 1 dan Ring 2 JASUKA)

Oleh:

TINSONA SARAGIH NIM : 080422027

Tugas Akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknik Elektro

Disetujui oleh: Dosen Pembimbing,

Ir. Arman Sani, MT NIP: 196311281991031003

Diketahui oleh:

Pelaksana Harian Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU,

Prof. DR. Ir. Usman Baafai NIP: 194610221973021001

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ANALISIS KINERJA TOPOLOGI JARINGAN RING PADA

SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE

WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM) DI

PT.TELKOM MEDAN

(Aplikasi Ring 1 dan Ring 2 JASUKA)

Oleh:

TINSONA SARAGIH NIM : 080422027

Tugas Akhir ini diajukan untuk memperlengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Sidang pada Tanggal 28 Bulan Desember Tahun 2010 di depan penguji: 1. Ketua Penguji : Maksum Pinem ST, MT 2. Anggota Penguji : Ali Hanafiah Rambe ST, MT 3. Anggota Penguji : Ir. M. Zulvin MT

Diketahui oleh: Disetujui Oleh:

Pelaksana Harian

Ketua Departemen Teknik Elektro, Pembimbing Tugas Akhir

Prof. Dr. Ir.Usman Baafai Ir. Arman Sani, MT NIP: 194610221973021001 NIP: 196311281991031003


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Adapun Tugas Akhir ini dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Judul dari Tugas Akhir ini adalah ”Analisis Kinerja Topologi Jaringan Ring pada Synchronous Digital Hierarchy (SDH) dan Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) di PT. TELKOM MEDAN (Aplikasi Ring 1 (NEC) dan Ring 2 (SIEMENS) JASUKA)”.

Tugas Akhir ini penulis persembahkan teristimewa kepada ayahanda K.Saragih, ibunda M. Gultom, kakak penulis Dr. Juliana K. R. Saragih, abang penulis Echolima Saragih, ST dan Windi Jeanni Saragih, serta Delanining Saragih selaku adik-adik penulis yang merupakan bagian hidup dari penulis dan juga teman-teman yang semuanya senantiasa mendoakan, mendukung dan memberi semangat kepada penulis. Dalam proses pembuatan Tugas Akhir ini penulis banyak menemukan masalah dan kesulitan. Namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, Tugas Akhir ini akhirnya dapat selesai. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir.Usman Baafai selaku Ketua Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Rahmad Fauzi ST, MT selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Arman Sani ST, MT selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir. 4. Bapak Maksum Pinem ST, MT selaku Ketua Sidang.

5. Bapak Ali Hanafiah ST, MT selaku Dosen Penguji. 6. Bapak Ir. M. Zulvin, MT selaku Dosen Penguji.

7. Bapak Firman Nasution selaku Officer Tiga SKSO Arnet Sumbagut Medan yang berkenan membimbing penulis selama melakukan Penelitian Tugas Akhir di PT.TELKOM.

8. Bapak Samidan Gultom selaku Pimpinan STO Kabanjahe yang berkenan membimbing penulis selama melakukan Penelitian Tugas Akhir.


(5)

9. Bapak Juanda Siadari selaku Mitra Kerja TELKOM dari PT.HUAWEI yang berkenan membimbing penulis selama melakukan Tugas Akhir. 10. Seluruh Staf dan Karyawan yang bekerja di ARNET SUMBAGUT PT.

Telkom Medan.

11. Seluruh Bapak/Ibu Dosen yang telah mengajar dan mendidik penulis selama ini.

12. Seluruh Staf dan Karyawan Departemen Teknik Elektro USU.

13. Teman-teman seperjuangan: Eka Dumaita Manik, Yesi Florenta Ginting, Andi Purba Siboro, Farel, Bobby, Mia Danyati Tarigan dan seluruh teman-teman sekelas yang memberikan masukan dan semangat kepada penulis. 14. Buat semangat dan dukungan abang dan kakak, Bang Marasil Sagala,

Bang Dongan, Lijanri Sitanggang, Mulia Raja Harahap, Royani Pane, Kak Ertina Barus, Kak Susanti.

15. Seluruh warga Kerajaan Peliga, Jenni Sidabutar, para sepupu, Rose, Rina, Frince, Mericurie, Melisa dkk.

Penulis tetap menyadari bahwa Tugas Akhir ini belum begitu sempurna baik dari segi materi, pengolahan maupun penyajian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Kiranya Tuhan selalu memberikan karuniaNya kepada kita semua. Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi yang memerlukannya.

Medan, 29 Desember 2010 Hormat Saya,

080422027


(6)

ABSTRAK

Aspek kehandalan dan reliablitas menjadi hal penting dalam jaringan optic transport karena melibatkan trafik yang besar dan potensi kurangnya pendapatan yang tidak sedikit. Guna memenuhi kebutuhan itu diperlukan suatu jaringan yang handal, dengan kapasitas menampung bandwidth yang besar dengan kemudahan penambahan kapasitas, performansi yang lebih baik, tingkat ketersediaan yang tinggi, dan fleksibilitas yang baik. Jaringan Fiber Optic adalah jaringan yang dipercaya mampu menangani masalah tersebut. Dalam penulisan Tugas Akhir ini, akan membahas transmisi yang sedang dipakai saat ini adalah Synchronous Digital Hierarchy (SDH) dan yang sedang berkembang teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) yaitu dengan judul Analisis Kinerja Topologi Jaringan Ring pada SDH dan DWDM yang diaplikasikan pada Ring 1 dan Ring 2 PT. Telkom.

Dalam Topologi jaringan SDH dan DWDM ini akan dianalisis aplikasi topologi ring 1 (NEC) sea portion dan ring 2 (SIEMENS) land portion diterapkan pada wilayah JASUKA (Jawa, Sumatera dan Kalimantan). Backbone JASUKA merupakan sistem jaringan transport gabungan antara SKSO (Sistem Komunikasi Serat Optik) dan SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) yang menghubungkan sebagian besar kota-kota di Sumatra, Jawa (Jakarta) dan Kalimantan (Pontianak). Metodologi yang dipakai yaitu studi pustaka, penelitian dan analisa mengenai kehandalan dan gangguan pada implementasinya.

Dengan mengkalkulasikan probabilitas ring pada working path dan protection path maka kualitas kehandalan (reliability) yang dicapai adalah 99,99% dan probabilitas kegagalan (failure) dalam kurun waktu mencapai kurang dari 2 menit per tahun terjadi delay kegagalan. Hal ini sesuai target managemen yang ditetapkan oleh standar perusahaaan dengan minimnya bit error.


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Kata Pengantar ABSTRAK

Daftar Isi ...i

Daftar Gambar ...iv

Daftar Tabel ...vi

Daftar Lampiran...vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penulisan ...2

1.4 Batasan Masalah ...2

1.5 Manfaat Penulisan ...2

1.6 Metodologi Penulisan ...3

1.7 Sistematika Penulisan ...3

BAB II SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM) 2.1 Umum ...5

2.2 Synchronous Digital Hierarchy (SDH) ...5

2.2.1 Topologi Jaringan Transmisi SDH ...8

2.2.2 Sistem Proteksi 2- Fiber MS-SP Ring ...11

2.3 Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM)...12

2.3.1 Topologi Jaringan DWDM ...13

2.3.2 Routing Wavelength Passive ...19

2.3.3 Shifting Wavelength Active ...21

2.4 Sistem Proteksi ...23

2.5 Sistem Amplifikasi ...25


(8)

2.5.2 Raman Amplification ...27

2.6 Dispersion Compensating Fiber ...28

2.7 Regenerator/Optical Amplifier ...29

2.8 Optical Cross-connect ...29

BAB III TOPOLOGI JARINGAN RING PADA JASUKA BACKBONE 3.1 Umum ...32

3.2 Dearah Jasuka Backbone ...33

3.3 Segment Kabel Laut (Submarine) ...35

3.4 Segmant Kabel Darat (Terrestrial) ...38

3.5 Optical Amplifier ...37

3.6 Laser Safety ...39

3.6.1 Mekanisme pengaman Optikal ...39

3.6.2 Prosedure Otomatic Shutdown ...40

3.7 Sistem TNMS Jasuka Backbone ...42

3.8 Alarm Display pada TNMS CT ...45

3.9 NE dan Subsystem ...47

3.10 Konfigurasi Eksisting Ring 1 dan Ring 2 ...49

3.11 Proteksi SurpasshiT 7500 dan 7070 ...50

3.12 Bit Error Rate (BER) ...52

3.13 Probabilitas Availability ...53

BAB IV ANALISA KINERJA TOPOLOGI JARINGAN RING TERHADAP SDH DAN DWDM (JASUKA BACKBONE) 4.1 Umum ...55

4.2 Pengukuran Level Transmit Medan ...55

4.3 Pengukuran Level Recieve Medan ...57

4.4 SNR Power Budget dan Network Performance ...59

4.4.1 Submarine Segment ...59

4.4.2 Terrestrial Segment ...62

4.5 Reliability ...62


(9)

4.5.2 Reliability Ring 1 ...64 4.5.3 Reliability Ring 2 ...66 4.6 Perbaikan Kapal Kabel Laut (Ship Repair) ...67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...68 5.2 Saran ...68


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II 2.1 Multiplexing SDH ... 6

Gambar II 2.2 Topologi Jaringan SDH ... 8

Gambar II 2.3 Topologi Point to point tanpa Proteksi ... 9

Gambar II 2.4 Konfigurasi Jaringan 1+1 MSP Protected Point-to-Point ... 9

Gambar II 2.5 Konfigurasi Jaringan Linear Add/Drop ... 10

Gambar II 2.6 Konfigurasi Jaringan Folded Ring ... 10

Gambar II 2.7 Konfigurasi Jaringan Ring ... 10

Gambar II 2.8 Trafik Normal pada Topologi 2-Fiber MS-SPRing ... 11

Gambar II 2.9 Loopback Protection pada Topologi 2-Fiber MS-SPRing ... 11

Gambar II 2.10 Konfigurasi Sistem DWDM ... 12

Gambar II 2.11 Sistem sederhana transmisi DWDM Point-to-point... 14

Gambar II 2.12 Jaringan Generik Multi-User ... 15

Gambar II 2.13 Block diagram jaringan bintang sederhana, dimana DWDM digunakan untuk routing dan multiplexing ... 15

Gambar II 2.14 Jaringan Ring Unidirectional sistem DWDM ... 16

Gambar II 2.15 Sistem Transmisi DWDM Ring ... 16

Gambar II 2.16 Logika Koneksi Jaringan Multihop 8 node dengan dual-rail DWDM bus ... 18

Gambar II 2.17 Jaringan yang dilengkapi dengan wavelength reuse dengan routing wavelength passive ... 20

Gambar II 2.18 Cross-Connect Wavelength 2x2 ... 20

Gambar II 2.19 Active Wavelength Switching di dalam suatu WAN dinamis .... 21

Gambar II 2.20 Jaringan Wide Area Network (WAN) ... 22

Gambar II 2.21 Jaringan Multihop 8 node dengan dual-rail DWDM bus ... 23

Gambar II 2.22 Arsitektur EDFA ... 25

Gambar II 2.23 Skema Amplifikasi (Tiga tingkatan EDFA amplifier) ... 26

Gambar II 2.24 Arsitektur Raman Amplification ... 28

Gambar II 2.25 Arsitektur optikal Cross-connect menggunakan switch optic dan tanpa wavelength conventer ... 30


(11)

Gambar III 3.1 Perangkat SDH dan DWDM ... 32

Gambar III 3.2 Peta JASUKA Ring I dan II ... 34

Gambar III 3.3 Diagram hubungan antara JASUKA Ring I dan Ring II... 35

Gambar III 3.4 Peta SKKL JASUKA Ring I ... 36

Gambar III 3.5 Konfigurasi Sistem JASUKA Ring I SS#1 dan SS#2 ... 37

Gambar III 3.6 Straight Line Diagram (SLD) Repeater ... 37

Gambar III 3.7 Peta Segment Terrestrial JASUKA ... 38

Gambar III 3.8 Typical C-band SURPASS hiT 7500 3.0 DWDM Link tanpa Fiber Break ... 40

Gambar III 3.9 Aktivasi Power Shutdown _1 Otomatis ... 41

Gambar III 3.10 Ring 1 Jasuka Backbone ... 42

Gambar III 3.11 Ring 2 Jasuka Backbone ... 44

Gambar III 3.12 Jaringan Sederhana DWDM ... 45

Gambar III 3.13 Sistem Alarm ... 46

Gambar III 3.14 Konfigurasi eksisting Ring 1 JASUKA Backbone ... 49

Gambar III 3.15 Konfigurasi eksisting Ring 2 JASUKA Backbone ... 49

Gambar IV 4.1 Booster 1 Transmit Medan dan transmit P. Siantar ... 55

Gambar IV 4.2 Trafik Info (a) Booster 1 Transmit Medan dan (b) booster 1 P. Siantar ... 56

Gambar IV 4.3 (a) Preamplifier 1 Receive Medan dan (b) preamplifier receive P. Siantar ... 58

Gambar IV 4.4 Trafik (a) Preamplifier 1 Receive Medan dan (b) preamplifier 1 receive P. Siantar ... 59


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel II 2.1 Standar Frame dan Kecepatan SDH ... 6

Tabel IV 4.1 Digital Line Section ... 60

Tabel IV 4.2 SNR Power Budget ... 61

Tabel IV 4.3 Optical Power Budget Ring I ... 62

Tabel IV 4.4 Optical Power Budget Ring II ... 62

Tebel IV 4.5 FIT Rate dan MTBF Komponen JASUKA ... 63


(13)

ABSTRAK

Aspek kehandalan dan reliablitas menjadi hal penting dalam jaringan optic transport karena melibatkan trafik yang besar dan potensi kurangnya pendapatan yang tidak sedikit. Guna memenuhi kebutuhan itu diperlukan suatu jaringan yang handal, dengan kapasitas menampung bandwidth yang besar dengan kemudahan penambahan kapasitas, performansi yang lebih baik, tingkat ketersediaan yang tinggi, dan fleksibilitas yang baik. Jaringan Fiber Optic adalah jaringan yang dipercaya mampu menangani masalah tersebut. Dalam penulisan Tugas Akhir ini, akan membahas transmisi yang sedang dipakai saat ini adalah Synchronous Digital Hierarchy (SDH) dan yang sedang berkembang teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) yaitu dengan judul Analisis Kinerja Topologi Jaringan Ring pada SDH dan DWDM yang diaplikasikan pada Ring 1 dan Ring 2 PT. Telkom.

Dalam Topologi jaringan SDH dan DWDM ini akan dianalisis aplikasi topologi ring 1 (NEC) sea portion dan ring 2 (SIEMENS) land portion diterapkan pada wilayah JASUKA (Jawa, Sumatera dan Kalimantan). Backbone JASUKA merupakan sistem jaringan transport gabungan antara SKSO (Sistem Komunikasi Serat Optik) dan SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) yang menghubungkan sebagian besar kota-kota di Sumatra, Jawa (Jakarta) dan Kalimantan (Pontianak). Metodologi yang dipakai yaitu studi pustaka, penelitian dan analisa mengenai kehandalan dan gangguan pada implementasinya.

Dengan mengkalkulasikan probabilitas ring pada working path dan protection path maka kualitas kehandalan (reliability) yang dicapai adalah 99,99% dan probabilitas kegagalan (failure) dalam kurun waktu mencapai kurang dari 2 menit per tahun terjadi delay kegagalan. Hal ini sesuai target managemen yang ditetapkan oleh standar perusahaaan dengan minimnya bit error.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dan trend trafik data yang sangat cepat telah mendorong semakin berkembangnya teknologi jaringan transport optic yang mampu mengakomodasi kebutuhan bandwidth yang sangat besar (Next Generation Optical Transport Network).

Transport optic SKSO yang saat ini sedang digunakan dan berkembang merupakan teknologi berbasis SDH dan DWDM yang sedang dilakukan pengamatan dalam penulisan Tugas Akhir ini. Elemen jaringan SDH terdiri perangkat terminal, sejumlah regenerator, dan sepasang core serat optik (TX dan RX). Jika kapasitas jaringan meningkat, perangkat SDH yang diperlukan juga akan bertambah, sehingga tidak ekonomis. Dengan diimplementasikannya DWDM pada jaringan transport SDH, penambahan perangkat SDH dapat dikurangi, dan efisiensi pemakaian core optik juga dapat ditingkatkan.

Topologi ring adalah topologi umum digunakan dalam jaringan SDH yang memiliki tingkat kehandalan yang tinggi dengan sistem proteksi self healing ring, dan tingkat survivabilitas (keawetannnya) 100%. Implementasi topologi ring ini dipakai pada backbone JASUKA (Jawa-Sumatera-Kalimantan). Backbone JASUKA ini merupakan sistem jaringan transport gabungan antara SKSO (Sistem Komunikasi Serat Optik) dan SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) yang menghubungkan sebagian besar kota-kota di Sumatra, Jawa (Jakarta) dan Kalimantan (Pontianak).

Bila DWDM diimplementasikan berdasarkan topologi ring, maka jumlah perangkat dan komponen yang dipergunakan dalam sistem akan menjadi lebih sedikit. Bila terjadi kerusakan node atau fiber, sistem ring DWDM dapat melakukan proteksi dengan metode pengaturan proteksi sinyal dan sinyal kerja mengacu pada sistem ring. Pada aplikasinya, Ring 1 menggunakan SDH sementara Ring 2 menggunakan DWDM.

Pada Tugas Akhir ini, akan dibahas analisa perhitungan rata-rata estimasi reliability (kehandalan) dan failure probability (probabilitas gangguan) dari tiap


(15)

bagian perangkat yang berdampak pada kualitas transmisi JASUKA Ring I dan Ring II, yang dapat diasumsikan pada setiap working path (Pw) dan protection path (Ps) dalam parameternya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:

1. Bagaimana prinsip kerja dasar SDH dan DWDM. 2. Bagaimana prinsip kerja topologi jaringan ring.

3. Bagaimana aplikasi topologi jaringan SDH dan DWDM terhadap jaringan Ring.

4. Bagaimana kehandalan (reliability) dan gangguan (failure) terhadap jaringan ring.

5. Bagaimana kinerja jaringan topologi Ring DWDM dan SDH.

1.3 Tujuan penulisan

Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk menganalisa kinerja ataupun kriteria kualitas kerja Topologi jaringan ring pada SDH dan DWDM dalam implementasinya, yaitu mengetahui kehandalan (reliability) dan probabilty of failures dengan menghitung probabilitas working path dan protection path.

1.4 Batasan masalah

Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini, maka dibuat pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Membahas Topologi jaringan SDH (Synchronous Digital Hierarchy) dan DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing) secara umum.

2. Hanya membahas kinerja topologi jaringan Ring (cincin) yaitu Ring 1 dan Ring 2 untuk wilayah JASUKA (Jawa, Sumatera dan Kalimantan).

3. Hanya membahas kehandalan (reliability) dan probabilitas gangguan (probability of failures).


(16)

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk memberikan informasi kepada penulis dan pembaca, bagaimana aplikasi kinerja topologi jaringan ring terhadap SDH dan DWDM dan mengkalkulasikan kehandalan dan probabilitas gangguan sehingga kualitas transmisi dapat bekerja sesuai yang diharapkan.

1.6 Metodologi penulisan

Metodologi penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah :

1. Studi Literatur, yaitu berupa studi kepustakaan dan kajian dari buku-buku dan jurnal-jurnal pendukung, baik dalam bentuk hardcopy dan softcopy. 2. Penelitian, yaitu melakukan penelitian ke lapangan di PT TELKOM.

3. Analisis yaitu menganalisa parameter dengan menggunakan persamaan matematis.

1.7 Sistematika penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan dari Tugas akhir ini.

BAB II : SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM)

Bab ini membahas tentang pengertian, prinsip kerja, arsitektur, topologi jaringan, standard-standard SDH dan DWDM.


(17)

BAB III : TOPOLOGI JARINGAN RING PADA JASUKA BACKBONE

Bab ini membahas tentang teknologi SDH dan DWDM, topologi Ring yang diimplementasikan, arsitektur dan sistem proteksi pada Jasuka backbone.

BAB IV : ANALISA KINERJA TOPOLOGI JARINGAN RING TERHADAP SDH DAN DWDM (JASUKA BACKBONE) Bab ini menganalisa besarnya delay gangguan, probabilitas gangguan dan reliability performansi network dalam topologi jaringan ring.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari analisa Tugas Akhir ini dan saran dari penulis.


(18)

BAB II

SYNCHRONOUS DIGITAL HIERARCHY (SDH) DAN DENSE

WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM)

2.1 Umum

SDH merupakan suatu standar transmisi optik sinkron yang dapat digunakan sebagai interface untuk berbagai jenis sinyal dengan kecepatan tinggi secara efisien, termasuk sinyal kecepatan rendah yang telah ada.

Pada level hirarki SDH dikenal dengan nama STMN. SDH dikembangkan dengan tujuan utamanya untuk menciptakan standarisasi bit rate secara internasional sehingga bit rate (2 Mbps untuk Eropa dan 1,5 Mbps untuk Amerika Utara dan Jepang).

Teknologi Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) merupakan teknologi terbaru dalam telekomunikasi dengan media kabel serat optik. Pada prinsipnya DWDM dapat dipandang sebagai sekumpulan kanal-kanal optis yang masing-masing menggunakan panjang gelombang (wavelength) cahaya berbeda-beda, tetapi semuanya menggunakan satu serat optik yang sama. Solusi teknologi tersebut mampu meningkatkan kemampuan kapasitas jaringan eksisting tanpa perlu mengeluarkan biaya penanaman kabel kembali, dan secara signifikan mampu mengurangi biaya peningkatan jaringan.

2.2 Synchronous Digital Hierarchy (SDH)

SDH merupakan hirarki multiplexing yang berbasis pada transmisi sinkron yang telah ditetapkan oleh ITU-T Grid. Dalam dunia telekomunikasi, sejumlah multiplexing sinyal-sinyal dalam transmisi menimbulkan masalah dalam hal pencabangan dan penyisipan (add/drop) yang tidak mudah serta keterbatasan untuk memonitor dan mengendalikan jaringan transmisinya. Hirarki multiplexing SDH dapat dilihat pada Gambar 2.1. SDH (Synchronous Digital Hierarchy), adalah multiplex digital yang berfungsi menggabungkan:

1. Sinyal digital 2 Mbit/s, 34 Mbit/s, 140 Mbit/s menjadi : a. Sinyal STM-1 (155,52 Mbit/s) atau


(19)

2. Sinyal STM-1 menjadi : a. Sinyal STM-4, atau

b. Sinyal STM-16 (2,48832 Gbit/s). 3. Sinyal STM-4 menjadi :

a. Sinyal STM-16,

b. Sinyal STM-64 (9,95328 Gbit/s)

4. Sinyal-sinyal PDH dan STM-n menjadi sinyal SDH dengan level yang lebih tinggi.

Gambar 2.1 Multiplexing SDH

SDH memiliki dua keuntungan pokok yaitu fleksibilitas yang demikian tinggi dalam hal konfigurasi kanal pada simpul-simpul jaringan dan meningkatkan kemampuan manajemen jaringan baik untuk payload traffic-nya maupun elemen-elemen jaringan. Secara bersama-sama, kondisi ini akan memungkinkan jaringannya untuk dikembangkan dari struktur transport yang bersifat pasif pada PDH ke dalam jaringan lain yang secara aktif mentransportasikan dan mengatur informasi [1].

Struktur frame SDH terendah yang didefinisikan dalam standar SDH adalah STM-1 (Synchronous Transport Module level 1) dengan laju bit 155,520 Mbit/s (155 Mbps). Ini berarti STM-1 terdiri dari 2430 byte dengan durasi frame 125μ s. Bit rate atau kecepatan transmisi untuk level STM-N yang lebih tinggi juga telah distandarisasi sebagai kelipatan bulat (1, 4, 16 dan 64) dari N x 155,520 Mbps, seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 [1].


(20)

Tabel 2.1 Standar Frame dan Kecepatan SDH

Adapun fungsi SDH (Synchronous Digital Hierarchy) yaitu: 1. Mengubah sinyal bipolar PDH input menjadi sinyal unipolar NRZ. 2. Menempatkan sinyal unipolar NRZ pada containernya masing-masing :

a. C-12 untuk sinyal 2048 Kbps b. C-3 untuk sinyal 34368 Kbps c. C-4 untuk sinyal 139264 Kbps

3. Melengkapi sinyal-sinyal C-12, C-3 dan C-4 dengan byte-byte : a. Over Head (POH)

b. Pointer

4. Menggabungkan sinyal-sinyal yang sudah dilengkapi dengan byte-byte Over Head dan Pointer menjadi satu deretan sinyal serial.

5. Mengubah sinyal hasil multiplexing menjadi :

a. Sinyal Bipolar CMI untuk STM-1 yang dikirimkan melalui Radio Gelombang Mikro Digital SDH atau melalui level SDH yang lebih tinggi.

b. Sinyal dengan daya optik untuk STM-1 yang dikirimkan melalui kabel optik.

Fungsi Networking utama SDH adalah sebagai berikut:

1. SDH Crossconnect – SDH Crossconnect adalah versi SDH dari suatu

Time-Space-Time crosspoint switch. Ini meng-connect berbagai channel dari berbagai inputnya ke berbagai channel pada berbagai outputnya. Crossconnect


(21)

SDH digunakan dalam Transit Exchanges, dimana semua input dan output adalah terhubung ke exchanges yang lain.

2. SDH Add-Drop Multiplexer – SDH Add-Drop Multiplexer ( ADM ) dapat

menambahkan atau mengurangi setiap frame yang dimultiplexkan sehingga menjadi 1.544Mb. Di bawah level ini, standard TDM dapat dibentuk . SDH ADMs juga dapat berfungsi untuk SDH Crossconnect dan juga digunakan pada End Exchanges dimana channel-channel dari subscriber-subscriber dihubungkan ke core PSTN network [1].

2.2.1 Topologi Jaringan Transmisi SDH

Ada 2 level penggunaan elemen-elemen jaringan SDH dalam jaringan transmisi:

1. Jaringan Akses (Access Network) untuk mengkombinasikan dan mendistribusikan layanan-layanan yang menggunakan semua jenis bit rate (64 kbps, VC-12, VC-3, VC-4) dan dengan bit rate transmisi STM-1, STM-4, STM-16 dan STM-64.

2. Level Transport untuk transmisi sinyal-sinyal STM-1 STM-4, STM-16 dan STM-64 serta node-node jaringan dengan sistem Cross-Connect yang menggunakan semua jenis bit rate (VC-12, VC-3 dan VC-4).

Elemen jaringan SDH terdiri perangkat terminal Multiplexer, ADD/Drop Multiplxer, Digital Cross Connect, sejumlah regenerator, dan sepasang core serat optik (TX dan RX). Topologi jaringan SDH dapat dilihat pada Gambar 2.2 [1].


(22)

Berbagai macam aplikasi yang digunakan dalam SDH yaitu: 1. Aplikasi terminal point to point (end)

Gambar 2.3 berikut merupakan Topologi point-to-point yang hanya cocok untuk trafik rendah dan pelanggan yang terkonsentrasi atau tidak menyebar. Kelemahan dari topologi ini adalah tidak adanya proteksi yang cukup.

Gambar 2.3 Topologi Point to point tanpa Proteksi

Untuk meningkatkan keamanan jaringan bisa dilakukan peningkatan kehandalan sistem yaitu dengan menggunakan 1 + 1 MSP Protected point-to-point seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. Jika jarak antar terminal cukup jauh sehingga daya optik turun sampai di bawah sensistifitas detektor optik, maka perlu ditambahkan Optical Amplifier (atau regenerator optik) [1].

Gambar 2.4 Konfigurasi Jaringan 1+1 MSP Protected Point-to-Point

2. Aplikasi Linear Add/Drop

Linear Add/ drop ini digunakan apabila sebuah jaringan terdapat lebih dari 2 terminal. Sinyal dari perangkat terminal asal selain diturunkan di terminal


(23)

berikutnya oleh terminal ini pula diteruskan ke terminal selanjutnya. Konfigurasi jaringan Linear Add/Drop dapat dilihat pada Gambar 2.5 [1].

Gambar 2.5 Konfigurasi Jaringan Linear Add/Drop

3. Aplikasi Jaringan Ring Tipuan (Folded)

Apabila terminal akhir dalam suatu jaringan dihubungkan kembali dengan serat optik (pada kabel yang sama) ke stasiun awal, maka seolah-olah membentuk jaringan Ring atau Ring tipu-tipuan (Folded Ring). Berikut Gambar 2.6 Konfigurasi Jaringan Folded Ring [1].

Gambar 2.6 Konfigurasi Jaringan Folded Ring

4. Aplikasi Ring

Perangkat ADM 16/1 ini mampu memberikan Jaringan Ring dengan jumlah nodes 2 sampai dengan 16. Gambar 2.7 Konfigurasi Jaringan Ring [1].


(24)

2.2.2 Sistem Proteksi 2-Fiber MS-SP Ring

Topologi Jaringan dengan menggunakan system proteksi 2-fiber MS-SP Ring (Multiplex Section-Shared Protection Ring) dimana setiap saluran akan proteksi dengan satu saluran yang lain pada arah berlawanan. Dalam hal ini bandwidth akan berkurang menjadi setengahnya. Pada Gambar 2.8 dilukiskan kapasitas trafik yang tersedia pada satu system STM-64 dengan menggunakan Topologi MS-SP Ring [2].

Gambar 2.8 Trafik Normal pada Topologi 2-Fiber MS-SPRing

Jika hubungan B-C putus maka komunikasi akan berlangsung seperti Gambar 2.9 [2].


(25)

2.3 Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM)

Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) merupakan teknik multiplexing dimana sejumlah sinyal optik dengan panjang gelombang yang berbeda-beda ditransmisikan secara simultan melalui sebuah serat optik tunggal. Tiap panjang gelombang merepresentasikan sebuah kanal informasi. Pada dasarnya, konfigurasi sistem DWDM terdiri dari sekumpulan transmitter sebagai sumber optik yang memancarkan cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Sinyal cahaya tersebut kemudian mengalami proses multiplexing dan ditransmisikan secara simultan melalui medium serat optik yang sama. Di sisi receiver, sinyal tersebut kemudian didemultiplikasi kembali dan dipisahkan berdasarkan panjang gelombangnya masing-masing. Konfigurasi sistem DWDM secara umum dapat diperlihatkan pada Gambar 2.10 [3].

Beberapa Channel Wavelength Independent Beberapa Channel Wavelength Independent Multiplex DWDM

(Coupler)

Demultiplex DWDM (Splitter) Kabel Fiber Optic,

membawa beberapa channel Wavelength

Optical Transmitter (Laser) Optical Receiver (Detector)

T1 T1 T2 Tn λ1 λΝ λ2 λ3 R1 R2 Rn λ1 λ2 λΝ λ3

λΝ λ3λ2λ1

λΝ λ3λ2λ1

Optical Amplifier λΝ λ3λ2λ1

λΝ λ3λ2λ1

Gambar 2.10 Konfigurasi Sistem DWDM

Yang menjadi fungsi dari masing-masing bagian di atas adalah sebagai berikut:

1. Optical Transmitter (Laser)

Sistem DWDM menggunakan resolusi yang tinggi atau band yang sempit dan laser mengirimkan pada band panjang gelombang 1550 nm dengan 2 keuntungan

a. Memperkecil kehilangan daya optik, selama perjalanan sinyal pada kabel serat optik dari pengirim ke penerima


(26)

b. Memungkinkan digunakannya penguat optic untuk memperbesar daya optik pada jarak tempuh yang lebih jauh lagi.

Laser dikirimkan dengan band yang sempit ini penting, untuk memungkinkan spasi antar kanal menjadi dekat, dan sekaligus untuk memperkecil efek-efek lain dari sinyal, misalnya dispersi chromatic.

2. DWDM Multiplexer

DWDM Multiplexer berfungsi untuk menggabungkan sinyal-sinyal transmit yang mempunyai panjang gelombang berbeda-beda menjadi satu, untuk kemudian diteruskan ke satu satu optical fiber. Untuk keperluan multiplexing ini beberapa teknologi digunakan, termasuk filter-filter dielektrik thin-film dan beberapa tipe optical grating. Beberapa multiplex dibuat dari completely passive devices artinya tidak memerlukan catuan listrik [3].

Multiplex optical pasif bekerja sebagaimana prisma dengan presisi yang sangat tinggi untuk menggabungkan beberapa sinyal individual. Multiplex ada yang mempunyai kemampuan untuk transmit dan receive pada satu single fiber, yang dikenal dengan be-directional transmission.

3. Optical Cable

Berfungsi untuk menyalurkan sinyal gabungan beberapa panjang gelombang, yang datang dari DWDM Multiplexer.

4. Optical Amplifier

Berfungsi untuk menguatkan sinyal optik yang sudah mulai melemah karena redaman sepanjang dalam perjalanan di dalam kabel serat optik. Satu optical amplifier dapat menguatkan beberapa sinyal optik secara bersamaan.

2.3.1 Topologi Jarigan DWDM

Ada tiga topologi jaringan umum yang dapat digunakan pada sistem DWDM yaitu:

1. Jaringan Point-to-point 2. Jaringan Star

3. Jaringan Ring

Gambar-gambar berikut memperlihatkan sistem DWDM yang dikonfigurasi pada jaringan point-to-point, star dan jaringan ring. Pada jaringan


(27)

star, setiap node mempunyai pemancar dan penerima dimana satu transmitter dihubungkan ke satu input passive star dan receiver dihubungkan ke satu output star. Jaringan DWDM juga dapat dikonfigurasikan pada bermacam-macam jaringan ring yang berbeda. Jaringan ring ini mejadi terkenal, karena banyak jaringan elektrik menggunakan topologi ini disebabkan pada jaringan ring mudah mengimplementasikan konfigurasi jaringan sesuai dengan geografi yang ada. Pada contoh berikut, setiap node dapat me-recovery setiap signal wavelength node yang lainnya, yaitu dengan cara menggunakan wavelength-tunable receiver[3].

Gambar 2.11 berikut memperlihatkan hubungan point-to-point sistem DWDM, dimana pada salah satu node digabungkan beberapa wavelength untuk kemudian ditransmisikan melalui fiber optic ke beberapa lokasi dan pada node tujuan gabungan wavelength tersebut akan di-demultiplex. Hal ini dapat dilakukan, apabila fiber optic yang digunakan mempunyai bandwidth tinggi (high-bandwidth) [3].

Gambar 2.11 Sistem sederhana transmisi DWDM Point-to-point

Sistem sederhana transmisi WDM point-to-point dimana WDM MUX menggabungkan multi wavelength paralel menjadi satu wavelength serial, diteruskan melalui label serat optik dan regenerator (jika diperlukan) ke arah penerima. Oleh WDM DEMUX multi wavelength serial diubah menjadi multi wavelength paralel.

Gambar 2.12 menunjukkan bentuk umum jaringan multi user dimana link komunikasi dan routing path ditentukan oleh wavelength yang digunakan antar switching optik. User Node-1 terhubung ke User Node-3 dengan λ3 dan User Node-2 terhubung ke User Node-4 dengan λ4. Routing bandwidth tinggi


(28)

(high-bandwidth routing) dapat diterapkan pada sistem DWDM, di dalam jaringan multi-user. Tiap-tiap Wavelength harus mempunyai address, agar dapat dibedakan antara wavelength yang satu dengan yang lainnya di dalam jaringan optikal. Sebab setiap NODE akan mengadakan komunikasi dengan NODE lainnya, setiap transmitter atau receiver harus mempunyai wavelength yang tunable. Pada Gambar 2.12, dipilih transmitter yang tunable [3].

Gambar 2.12 Jaringan Generik Multi-User

Gambar 2.13 menunjukkan block diagram jaringan bintang yang sederhana dimana:

1. Tx1 transmit λ1, Tx2 transmit λ2, …….. Txn tran smit λn k e WDM N x N STAR, yang kemudian akan diteruskan ke penerima.

2. Semua wavelength diterima pada perangkat penerima dalam hal ini pertama – tama multi wavelength akan diterima oleh Tunable Optical Fiber.

3. Tunable Optical Fiber akan memilih dan meneruskan wavelength yang dikehendaki dan menekan (meredam) panjang gelombang yang tidak dikehendaki [3].

Gambar 2.13 Block diagram jaringan bintang sederhana, dimana DWDM digunakan untuk routing dan multiplexing


(29)

Gambar 2.14 menunjukkan jaringan ring sistem WDM unidirectional, dimana User Node-2 transmit ke User Node-N dengan λ2 dan User Node-3 transmit ke User Node-1 dengan λ3 [3].

Gambar 2.14 Jaringan Ring Unidirectional sistem DWDM

Gambar 2.15 memperlihatkan suatu jaringan Transmisi WDM Ring terdiri dari OADM (Optical Add Drop Multiplexer) yang dapat add dan drop sinyal optik. Sinyal IP dan STM digabungkan menjadi satu dan diteruskan ke E/O converter untuk di add-kan ke OADM. Atau sebaliknya dari OADM sinyal di-drop, diteruskan ke O/E converter untuk diteruskan ke DEMUX, dan dipecah menjadi IP dan STM. HUB mengubah sinyal IP dan STM dari elektrik menjadi optik dan digabungkan dengan wavelength yang lainnya, atau memisahkan sinyal dengan wavelength tertentu untuk didrop dan diubah menjadi IP dan STM [3].


(30)

Pada gambar kedua jaringan diatas, jaringan star dan jaringan ring setiap node mempunyai panjang gelombang yang berbeda dan setiap 2 node dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan panjang gelombang tersebut. Hal ini berarti, untuk menghubungkan N node, dibutuhkan N panjang gelombang. Keuntungan dari topologi ini, transmisi data dari pengirim hingga penerima tidak akan mengalami interupsi sistem seperti ini dikenal dengan istilah jaringan hop tunggal. Karena data optik mulai dari node pengirim (originating) dan berakhir pada node penerima (destination) tanpa berhenti di suatu node perantara [3].

Kerugian dari jaringan DWDM single hope sebagai berikut:

a. Jaringan dan semua komponen harus sebanyak N panjang gelombang dan hal ini dapat menimbulkan kesulitan (bahkan tidak mungkin) untuk diterapkan pada jaringan yang besar.

b. Sampai saat ini teknologi pabrik belum dapat menyediakan dan mentransmisikan sebanyak 1000 panjang gelombang untuk 1000 jaringan pemakai.

c. Sebagai alternatif untuk mengatasi kebutuhan N panjang gelombang untuk mengakomodasikan N node adalah dengan diterapkannya suatu jaringan multihop dimana setiap 2 node dapat saling berkomunikasi dengan mengirimkan sinyalnya melalui node ke-3 dengan dimungkinkan terdapat beberapa node perantara diantara kedua node yang bersangkutan.

Gambar 2.16 memperlihatkan suatu bus ganda multihop pada jaringan WDM 8 node, dimana setiap node dapat mentransmisikan 2 panjang gelombang, dan dapat menerima 2 Panjang gelombang yang lainnya. Jika Node-1 ingin berhubungan dengan Node-5 maka Node-1 akan mentransmisikan panjang

gelombangnya sendiri, yaitu λ1. Dan dalam hal ini hanya dibutuhkan single hop.

Dan jika Node-1 ingin berhubungan dengan Node-2, maka pertama-tama Node-1 harus mengirimkan sinyalnya ke Node-5, baru kemudian ke Node-2 jadi dalam hal ini dibutuhkan 2 hop [3].

Suatu hop tambahan akan dihapus, apabila:

1. Waktu transmit antara 2 node yang saling berhubungan meningkat, sehingga pada umumnya hop membutuhkan suatu bentuk pendeteksian dan pengiriman kembali.


(31)

2. Keluaran (throughput) antara 2 node yang saling berhubungan menurun sehingga node pengulang (relaying node) dapat mengirimkan datanya sendiri, sementara node pengulang sedang memproses pengulangan (relaying) data dari node-node yang lainnya.

Walaupun demikian suatu jaringan multihop dapat memperkecil jumlah panjang gelombang dan komponen pengatur panjang gelombang (wavelength tunable range).

Gambar 2.16 Logika Koneksi Jaringan Multihop 8 node dengan dual-rail DWDM bus

Gambar 2.16 menunjukkan koneksi jaringan Multihop yang terdiri dari 8 node, dengan dual-rail WDM bus dimana masing-masing node dapat mengirimkan/menerima 2 wavelength [3]:

a. Node-1 berhubungan dengan Node-5 menggunakan λ1, dan dengan Node -6 menggunakan λ2.

b. Node-2 berhubungan dengan Node-7 menggunakan λ3, dan dengan Node -8 menggunakan λ4.

c. Node-3 berhubungan dengan Node-5 menggunakan λ5, dan dengan Node -6 menggunakan λ6.

d. Node-4 berhubungan dengan Node-7 menggunakan λ7, dan dengan Node -8 menggunakan λ8.


(32)

e. Node-5 berhubungan dengan Node-1 menggunakan λ9, dan dengan Node -2 menggunakan λ10.

f. Node-6 berhubungan dengan Node-3 menggunakan λ11, dan dengan Node -4 menggunakan λ12.

g. Node-7 berhubungan dengan Node-1 menggunakan λ13, dan dengan Node -2 menggunakan λ14.

h. Node-8 berhubungan dengan Node-3 menggunakan λ15, dan dengan Node -4 menggunakan λ16.

2.3.2 Routing Wavelength Passive

Dalam hal jumlah wavelength available yang kita miliki terbatas maka jaringan dapat menggunakan routing passive untuk melalukan suatu sinyal pada jaringan yang hanya berbasis pada panjang gelombangnya sendiri. Routing didesain dengan jalan menggunakan kembali wavelength pada link-link lainnya (non-shared links). Dapat dilihat pada Gambar 2.17, dimana user I dapat menggunakan panjang gelombang λ1 untuk berhubungan dengan user II dan secara bersamaan user V dapat menggunakan kembali panjang gelombang yang sama, λ1, untuk komunikasi dengan user III. Fungsi ini sesuai dengan prinsip cross-connect, dimana route sinyal input pada suatu wavelength menentukan output sinyal. Operasi cross-connect DWDM passive dapat dilihat pada Gambar 2.18 [3].

Cross-connect terdiri dari:

a. Demultiplex Wavelength untuk arah sinyal masuk b. Multiplexer Wavelength untuk sinyal arah keluar c. Fiber yang menghubungkan tingkat input dan output

Walaupun hanya ada 2 wavelength namun terdapat 4 kemungkinan path routing tanpa saling mengganggu yang berdasar kepada wavelength dan transmitternya (origin). Pada umumnya, N wavelength untuk N kemungkinan koneksi path tetapi sekarang N wavelength untuk N2 koneksi path. Panjang gelombang yang sama dapat digunakan kembali oleh setiap port input untuk akses ke port output yang sama sekali berbeda dan menentukan penambahan koneksi. Teknik ini mengingkatkan kapasitas dari jaringan DWDM.


(33)

Gambar 2.17 Jaringan yang dilengkapi dengan wavelength reuse dengan routing wavelength passive

Gambar 2.17 menunjukkan suatu jaringan yang dilengkapi dengan wavelength reuse dengan routing wavelength passive yaitu routing tanpa terjadi perubahan wavelength [3].

a. User Node-1 berhubungan dengan User Node-2 menggunakan λ1 dan dengan User Node -5 menggunakan λ3.

b. User Node-2 berhubungan dengan User Node-1 menggunakan λ1 dan dengan User Node -4 menggunakan λ2.

c. User Node-3 berhubungan dengan User Node-5 menggunakan λ1. d. User Node-4 berhubungan dengan User Node-2 menggunakan λ2.

e. User Node-5 berhubungan dengan User Node-1 menggunakan λ3 dan dengan User Node -3 menggunakan λ1.


(34)

Gambar 2.18 menunjukkan contoh jaringan Cross Coonnect Wavelength 2 x 2 dimana routing port outputnya ditentukan oleh Input wavelength tertentu dan input port tertentu pula. Dua buah Wavelength DEMUX masing-masing menerima input 2 wavelength λA dan λB. Masing-masing wavelength ditransmisikan ke dua wavelength Mux yang berbeda [3].

2.3.3 Shifting Wavelength Active

Berbeda dengan routing passive yang dibatasi pada kondisi jaringan statis, pada shifting wavelength active sifatnya dinamis dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada kondisi jaringan. Hal ini berarti bahwa perubahan routing tergantung pada wavelength dan link yang ada. Konsep jaringan ini memerlukan shifting wavelength active. Pada Gambar 2.20 diperlihatkan 2 LAN kecil dihubungkan ke suatu WAN yang lebih besar dimana setiap LAN hanya dapat mentransmisikan melalui Node-II ke Node-I, yaitu λa dan λb. Node-I ingin berhubungan dengan Node-II. Apabila Node-I ingin mentransmit, maka wavelength yang dapat digunakan hanya λa. Karenanya, jika sinyal muncul pada LAN kanan, hal ini akan revealed bahwa λa sudah digunakan oleh LAN kanan. Berarti, hanya ada satu cara bagi sinyal yang akan muncul di Node-II, yaitu dengan mengaktifkan switch ke λb yang dapat digunakan [3].

Gambar 2.19 Active Wavelength Switching di dalam satu WAN dinamis, 2 jaringan LAN yang lebih dapat saling berhubungan hanya dengan menggunakan sepasang wavelength yang terbatas yaitu λa dan λb [3].

a. Pada Ring A : untuk komunikasi digunakan λb. b. Pada Ring B : untuk komunikasi digunakan λa.


(35)

Untuk komunikasi antara Ring A dan Ring B, dari Ring A sampai Wavelength Router menggunakan λa. Pada Wavelength Router panjang gelombang dihubungkan dari λa ke λb. λb dari Wavelength Router diteruskan ke Ring B. LAN lainnya yang membutuhkan switching wavelength aktif adalah suatu kondisi dimana satu set wavelength yang digunakan secara eklusif oleh antar LAN. Wavelength yang digunakan di dalam suatu LAN dapat digunakan lagi oleh suatu LAN yang lainnya, selama diantara wavelength tersebut tidak saling mengganggu (interference) [3].

Gambar 2.20 Jaringan Wide Area Network (WAN)

Gambar 2.20 menunjukkan jaringan Wide Area Network (WAN) dimana beberapa jaringan LAN (A –B –C –D) saling dihubungkan. Satu set Wavelength Lokal yang dapat digunakan lagi oleh tiap-tiap LAN dan satu set Wavelength Global yang digunakan untuk menghubungkan antar LAN. Penggeseran satu panjang gelombang ke panjang gelombang yang lainnya merupakan pekerjaan yang sangat sulit di dalam suatu jaringan. Satu metode untuk membentuk switching panjang gelombang aktif adalah dengan menggunakan optoelectronic penggeser panjang gelombang. Metode ini membutuhkan pengubah optoelectronic dan akan menyebabkan suatu kejadian dimana kecepatan optoelectronic menjadi leher botol. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan jalan digunakannya all-optical active wavelength shifting yang bekerja pada kecepatan tinggi. All-optical disini berarti bahwa semua penggeser panjang gelombang (shifter) harus optical murni misalnya tidak menggunakan pengubah optoelectronic data optik. Dalam hal ini ada beberapa metode untuk all-optical


(36)

wavelength shifting dimana setiap methode mempunyai keuntungan dan kerugian [3].

Gambar 2.21 Jaringan Multihop 8 node dengan dual-rail DWDM bus

Gambar 2.21 menunjukkan suatu jaringan multihop dengan 8 node yang menggunakan bus WDM dual-rail, Node-1 berhubungan dengan Node-5 (λ1) dan Node-1 berhubungan dengan Node-2 (λ1 dan λ10 melalui Node-5) dimana masing-masing node dapat bekerja dengan 2 pasang wavelength yang berbeda kombinasi λ1 s/d λ16. Semua node dapat saling berhubungan. Node-1 berhubungan dengan Node-5 menggunakan λ1. Node-2 melalui Node-5 dengan menggunakan λ10 [3].

2.4 Sistem Proteksi

Teknologi SDH dan DWDM menggunakan sarana transmisi kabel serat optik merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk jaringan telekomunikasi pada kondisi trafik tinggi. Proteksi yang digunakan pada sistem ini yaitu:

1. Path Protection

Path Protection atau disebut juga Sub Network Connection Protection (SNCP), sinyal infomasi input pada sisi kirim ditransmisikan ke dua arah working path dan protection path pada jaringan yang berbentuk ring. Sedangkan pada sisi terima, akan menerima memilih/melaksanakan switching sinyal informasi mana yang akan ditransmisikan dari sisi pengirim [4].


(37)

Pada sistem proteksi ini, sinyal informasi dikirim dari sisi multiplex secara parallel melalui media serat optik ke sistem serat optik working dan serat optik protection. Di sisi terima, akan dilaksanakan switching, dipilih sinyal mana yang mempunyai kualitas baik. Jadi switching terjadi pada sisi terima (proteksi ada pada sisi terima).

3. 1:1 Multiplex Section Protection

Multiplex Section Protection merupakan sistem proteksi untuk multiplex dimana sistem switching terjadi pada sisi kirim dan sisi terima secara bersamaan dipilih kualitas sinyal informasi yang memenuhi tolok ukur Bit error rate (proteksi terdapat pada sisi kirim dan terima). Sinyal informasi dikirim secara paralel melalui serat optik working dan serat optik protection [4].

4. Bi-directional Selfhealing Ring (BSHR)

Proteksi ini merupakan kombinasi dari path protection dan line protection. Pada saat kondisi normal, bagian switching/proteksi tidak akan bekerja. Sinyal informasi akan ditransmisikan pada sistem working. Jika serat optik terjadi gangguan (putus), multiplex akan melaksanakan loopback ke sistem proteksi. 5. Card/Module Protection

Card Protection adalah sistem protection yang dilaksanakan pada tingkat equipment (module). Proteksi modul ini dirancang untuk melaksanakan proteksi apabila module working terganggu dan akan diswitch ke modul proteksi yang dikendalikan oleh module switching [4].

Card Protection ada 2 tipe:

a. Tipe 1: N Card Protection. Tipe ini, beberapa module working diproteksi oleh satu module protection.

b. Tipe 1+1 Card Protection. Tipe ini, satu module working diproteksi oleh satu module Protection.

6. Power Supply Protection

Power supply protection adalah sistem proteksi untuk perangkat power supply artinya setiap modul yang terpasang dicatu oleh dua power supply secara parallel [4].


(38)

2.5 Sistem Amplifikasi

Untuk melengkapi handalnya jaringan beroperasi, perlu adanya amplifier yang mampu memberikan daya. Ada 3 bagian amplifikasi dalam sistem ini yaitu Amplifier EDFA, Semiconductor Optical Amplifier (SOA) dan Amplifier Raman. Sehubungan dengan penguatan yang digunakan dalam proyek ini maka hanya dibahas 2 amplifikasi saja yaitu Amplifier EDFA dan Amplifier Raman[5].

2.5.1 Amplifier EDFA

Untuk penguatan optical disediakan tehnologi Erbium Doped Fiber Amplifier (EDFA). SURPASS hiT 7500 dilengkapi dengan broadband EDFA, yang dapat menguatkan seluruh channels optic secara bersamaan, sehingga memperpanjang jarak tempuh transmisi lebih dari 3000 km dan dapat mentransmisikan individual wavelengths dengan bit rates s/d 40 Gbit/s .

Gambar 2.22 Arsitektur EDFA

Module optical EDFA mempunyai 3 tingkat penguat optical dimana EDFA tingkat pertama akan bekerja menguatkan sinyal dengan power rendah secara optimal dan menguatkan noise sekecil mungkin. Antara EDFA tingkat pertama dan tingkat kedua (mid-stage access point pertama), dipasang suatu Variable Optical Attenuator (VOA) untuk setting agar EDFA dapat menguatkan sinyal secara optimal [5].

EDFA tingkat kedua menyediakan penguatan optical yang moderat, sehingga level output signal sesuai dengan kebutuhan dispersion-compensating module (DCM), yang dipasang pada stage access point kedua. Pada


(39)

mid-stage access point kedua dapat ditambahkan spectral control untuk Hit7500, misalnya Pre-Tilt compensation filter untuk menekan Raman Tilt.

EDFA tingkat ketiga (terakhir) untuk mengoptimalkan penguatan terhadap sinyal optik sebelum dikirim saluran. Disini dapat ditambahkan modul External pump untuk meningkatkan power sinyal output.

Untuk memperkuat EDFA disini ditambahkan pada OLI suatu alat ukur power Optical Performance Analyzer for Power (OPAP) sehingga dapat meningkatkan performansi perangkat. OPAP digunakan untuk memonitor penguatan tilt channel yang dikuatkan dan menyediakan feedback untuk Pre-Tilt compensation filter untuk memperoleh kompensasi yang lebih akurat sepanjang link. Skema 3 tingkatan Amplifikasi EDFA diperlihatkan pada Gambar 2.22 berikut [5].

Gambar 2.23 Skema Amplifikasi (tiga tingkatan EDFA Amplifier)

Adapun keuntungan EDFA yaitu: 1. Efficient pumping

2. Sensitifitas polarisasi yang minimal 3. Daya output yang tinggi

4. Rendah noise

5. Rendah distorsi dan minimal crosstalk

6. Mempunyai efisiensi lebih tinggi dari Raman untuk low amplifier pump powers (aplikasi kanal rendah).

7. Dapat digabung dengan Raman, untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik lagi.


(40)

Kekurangan EDFA :

1. Terbatas untuk band C dan L

2. Pada higher amplifier pump powers (aplikasi kanal lebih tinggi) kurang efisien dibanding Raman amplifiers

2.5.2 Raman amplification

Untuk lebih memperpanjang jarak antara inline amplifier sites dan total optical transmission reach, SURPASS hiT7500 dilengkapi dengan Raman amplification. Dasar dari Raman amplification adalah energy scattering effect yang disebut Stimulated Raman Scattering (SRS). SRS bekerja dengan cara mentransfer power dari signal pada higher frequency (lower wavelength) ke satu lower frequency (higher wavelength) didalam media fiber optic.

Hal ini dapat digunakan untuk menguatkan sinyal optical pada gelombang lower frequency yang membawa sinyal trafik sebenarnya, selama sinar pada higher frequency berfungsi sebagai pump source. Proses amplifikasi Raman terjadi pada ujung akhir dari suatu optical span SURPASS hiT7500. Jika signal melemah, maka terhadap energi signal tersebut akan diperbarui melalui pump light yang akan diinsertkan pada ujung akhir dari hop pada arah yang berlawanan.

Seperti pada Gambar 2.24 penguatan Raman yang sebenarnya terjadi hanya pada span beberapa kilometers terakhir. Peristiwa ini dikenal dengan istilah contra-directional Raman pumping, dimana Raman pump light berjalan pada arah yang berlawanan dengan arah signal traffic yang sebenarnya. Raman amplification mempunyai beberapa implikasi penting untuk sistem DWDM [5]:

1. Memungkinkan spasi antar optical amplifiers ditingkatkan

2. Mengurangi power output per channel EDFA, sehingga meningkatkan jumlah total dari optical spans. Hal ini menyebabkan sistem SURPASS hiT7500 dapat dikembangkan menjadi sistem Ultra Long Haul (ULH).


(41)

Gambar 2.24 Arsitektur Raman Amplification

Keuntungan Raman yaitu : 1. Bandwidth lebar.

2. Dapat bekerja pada band C, L, dan S.

3. Penguatan Raman dapat muncul di dalam ordinary silica fibers

4. Pada higher amplifier pump powers (aplikasi kanal lebih tinggi) lebih efisien dari EDFAs.

5. Dapat digabung dengan Raman, untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik lagi.

Kekurangan Raman :

Mempunyai efisiensi lebih rendah dari EDFAs untuk low amplifier pump powers (aplikasi kanal rendah) [5].

2.6 Dispersion Compensating Fiber

Dispersion Compensating Fiber (DCF) digunakan sebagai pengkompensasi akumulasi dispersi pulsa akibat pengaruh dispersi kromatik. DCF merupakan serat optik dengan panjang tertentu yang dibuat dari material yang memiliki koefisien dispersi kromatik yang khusus pada panjang gelombang operasinya. Koefisien dispersinya kromatik ini bernilai negatif dan bernilai lebih besar per unit panjangnya dibandingkan dengan koefisien dispersi dari serat optik yang digunakan sistem. Dengan karakteristik ini, maka panjang DCF yang cukup pendek dapat mengkompensasi akumulasi dispersi kromatik pada serat optik yang digunakan sistem.


(42)

2.7 Regenerator / Optical Amplifier

Adapun yang menjadi bagian dari regenerator/Optical Amplifier dalam DWDM ini yaitu :

1. Pre-amplifier

Ditempatkan persis sebelum receiver, untuk menaikkan kekuatan signal; sesuai dengan rentang sensitivitas receiver.

2. Post amplifier

menguatkan sinyal pada sisi pengirim, dipasang persis setelah transmitter. 3. In-Line Amplifier (ILA)

Ditempatkan kira-kira setiap 80 s/d 100 km media optik, untuk menguatkkan signal yang mengalami redaman selama dalam transmisi untuk mencapai tempat yang dituju, ILA berikutnya atau sisi terminal. ILA bekerja pada daerah optik, dan berfungsi sebagai amplifier 1R.

Amplifier dikatagorikan kedalam 1R, 2R, dan 3R: a. 1R : Re-amplify

b. 2R : Re-amplify dan reshape

c. 3R : Re-amplify, reshape, dan retime

Pengembangan jaringan WDM/DWDM agar mencakup jarak lebih jauh dan/atau menambah jumlah node memerlukan penyisipan repeater atau amplifier. Amplifier dapat menyediakan regenerasi 1R hanya untuk menanggulangi redaman daya optik. Repeater dapat menyediakan regenerasi 3R untuk menanggulangi redaman dan disperse. Perangkat 1R hanya menguatkan sinyal yang diterima. Perangkat 2R menyediakan amplification dan reshaping gelombang untuk menyediakan recovery data. Perangkat 3R melakukan amplifications dan reshaping serta memerlukan sumber waktu yang digunakan bagi pewaktuan kembali transponder [5].

2.8 Optical Cross-connect

Tingkat tinggi modularitas jalan, scaling kapasitas, dan fleksibilitas dalam menambahkan atau menjatuhkan saluran di sebuah situs pengguna dapat dicapai dengan memperkenalkan konsep arsitektur cross-terhubung optik dalam struktur jalur fisik (lapisan jalan disebut) dari suatu optik jaringan. Optikal cross-connect


(43)

ini (OXCs) beroperasi tepat di optikal domain dan dapat merutekan kapasitas data data stream WDM yang sangat tinggi melalui jaringan jalur optik saling berhubungan [2].

Gambar 2.25 Arsitektur optikal Cross-connect menggunakan switch optic dan tanpa wavelength conventer

Untuk memvisualisasikan operasi OXC, anggap pertama kali bahwa arsitektur OXC yang terlihat pada Gambar 2.25 menggunakan switching tanpa konversi panjang gelombang. Daerah switch dapat dikonstruksikan ke dalam kaskade elektronik terkontrol elemen pasangan direksional optikal atau gerbang switching penguat optikal semikonduktor. Tiap input fiber membawa M panjang gelombang (empat), satu atau semua yang mana dapat ditambahkan atau didrop pada sebuah node. Pada input, jumlah sinyal panjang gelombang yang tiba dikuatkan dan dengan pasif dicabangkan ke N jalur oleh penguat splitter. Pemilihan filter kemudian memilih panjang gelombang individual, yang diteruskan ke matrix space switching optic. Kemungkinan, gelombang demultiplexer yang mengganggu dapat digunakan untuk mencabangkan kumpulan masukan ke dalam kanal gelombang individual. Switch matrix meneruskan kanal lainnya ke delapan keluran jika sinyal tersebut dilaluinya atau ke bagian penerima yang berdempet dengan OXC pada output port 9 melalui port 12 jika telah didrop ke user pada node tersebut. Sinyal akan dibangkitkan di tempat itu oleh user untuk


(44)

menghubungkan elektrik via Digital Cross-connect Matrix (DXC) ke penerima optikal. Dari sini, masukka n switch matrix, yang membawanya ke output line yang tepat. M output, tiap gelombang pembawa terpisah, diberikan ke multiplexer panjang gelombang ke bentuk kumpulan keluaran single. Sebuah penguat optik menaikkan level sinyal untuk mentransmisikan trunk fiber secara normal yang mengikutinya [2].


(45)

BAB III

TOPOLOGI JARINGAN RING PADA JASUKA BACKBONE

3.1 Umum

Sebelum dikembangkan optical amplifier, untuk menguatkan sinyal optik yang mulai melemah dilakukan dengan jalan meregenerasi sinyal tersebut secara elektrik yaitu dengan jalan mengubah sinyal optik menjadi sinyal elektrik terlebih dahulu, kemudian diregenerasi dan diubah kembali menjadi sinyal optik dan dipancarkan ke stasiun tujuan. Pada cara ini, setiap panjang gelombang mempunyai regeneratornya sendiri-sendiri.

Akan tetapi dengan penerapan DWDM pada teknologi SDH, maka mampu mengurangi perangkat repeater-repeater SDH, dan penghematan pemakaian core optik untuk penggunaan NE SDH yang lebih banyak seperti yang terlihat pada Gambar 3.1 Perangkat SDH dengan DWDM.

SDH NE SDH NE

Optical Terminal MUX WDM

Optical Terminal MUX WDM Optical Amplifier

Gambar 3.1 Perangkat SDH dengan WDM

Prinsip Kerja Jaringan Transport Optik Dense WDM adalah mentransmisikan trafik dengan kecepatan n x 2,5 Gbps atau n x 10 Gbps dalam bentuk sinyal-sinyal dengan panjang gelombang (lambda) yang berbeda pada satu fiber.


(46)

Dense Wavelength Division Multiplexing (DWDM) adalah suatu metoda untuk menyisipkan sejumlah kanal atau panjang gelombang melalui satu fiber optik. DWDM mengoptimalkan penggunaan fiber yang terpasang dan memungkinkan service baru secara cepat dan mudah disediakan pada infrastruktur fiber eksisting. DWDM menawarkan multiplikasi bandwidth bagi operator pada pasangan fiber yang sama [6].

Adapun prinsip kerja DWDM sebagai berikut:

a. Bandwidth dari laser yang dimodulasi adalah: 10-50 MHz b. Tipe Guard band : 0.4 –1.6 nm

c. 80 nm atau14 THz @1300 nm band d. 120 nm atau 15 THz @ 1550 nm

e. Bentuk discrete wavelengths dari tiap kanal dapat dimodulasi, routed dan switched secara individu

Operasi ini membutuhkan perangkat pasif dan aktif yang berbeda-beda. Keuntungan-keuntungan dalam penerapan DWDM antara lain:

1. Penghematan penggunaan sumber daya core optik, terutama jaringan kabel optik yang hanya memiliki kapasitas core yang kecil.

2. Kemampuan penyaluran transport network yang sangat tinggi, sehingga mampu menekan biaya investasi dan pemeliharaan perangkat.

Transparansi format dan bit rate (tidak merubah format/bit rate, hanya menyalurkan) sehingga penyaluran data, gambar dan suara tetap menggunakan jaringan transpor yang umum [6].

3.2 Dearah Jasuka Backbone

Jasuka Backbone merupakan tulang punggung transmisi serat optik yang meliputi Jawa-Sumatera-Kalimantan. Jaringan transport backbone teknologi DWDM yang diimplementasikan dengan kapasitas maksimum 32 lambda (λ) dengan bit rate = 10 Gbps (STM-64)/λ dan initial kapasitas 2λ. Gambar 3.2 Peta Jasuka Ring 1 dan Ring 2.


(47)

Gambar 3.2 Peta JASUKA Ring I dan II

Ring I meliputi : Semanggi – Tanjung Pakis – Tanjung Pandan – Pontianak – Batam - Dumai – Duri - Pekanbaru – Rengat - Jambi – Palembang – BatuRaja – Bandar Lampung – Cikupa – Jakarta. Terrestrial DWDM system diaplikasikan di Dumai – Duri - Pekanbaru – Rengat - Jambi – Palembang – Batu Raja - Bandar Lampung – Cikupa – Semanggi - Tanjung Pakis.

Ring-2 meliputi : Medan – Pematang Siantar – Balige – Sibolga – Padang Sidempuan – Kotanopan – Lubuk Sikaping – Lubuk Basung – Padang – Bukit Tinggi – Pekan Baru – Rantau Prapat – Kisaran – Tebing Tinggi – Medan.

Peta rute JASUKA Ring I, dimana terdapat dua segment SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut) baru yaitu antara Batam – Pontianak sebagai Sub-Segment 2 dan Tanjung Pandan - Tanjung Pakis sebagai Sub-Sub-Segment 1. Gambar 3.3 Diagram Hubungan antara Jasuka Ring 1 dan Ring 2 dengan titik terminal berada pada Pekan Baru.


(48)

Gambar 3.3 Diagram hubungan antara JASUKA Ring I dan Ring II Daftar singkatan nama station :

BTM : Batam MDN : Medan

DMI : Dumai TBT : Tebing Tinggi

DRI : Duri PMS : Pematang Siantar

PBR : Pekanbaru BLG : Balige

RGT : Rengat SBG : Sibolga

JB : Jambi PDS : Padang Sidempuan

PG : Palembang KNP : Kotanopan

BTA : Batu Raja LBS : Lubuk Basung

BDL : Bandar Lampung LSK : Lubuk Sikaping

CKA : Cikupa PD : Padang

SMI-2 : Semanggi 2 BKT : Bukit Tinggi Tj- PK : Tanjung Pakis KIS : Kisaran TJP : Tanjung Pandan

PTK : Pontianak

3.3 Segment Kabel Laut (Submarine)

Gambar 3.4 menunjukkan diagram sistem kabel laut Ring I JASUKA dengan menggunakan teknologi DWDM 10 Gbps per lambda. Kapasitas total per fiber pair sebesar 16 lambda (160 Gbps), dengan kapasitas desain total (ultimate) 320 Gbps dengan menggunakan 2 fiber pair.


(49)

Gambar 3.4 Peta SKKL JASUKA Ring I

LTE (Line Terminal Equipment) yang digunakan untuk JASUKA segment laut adalah NEC T160M yang mampu menyediakan kapasitas 16 lambda. LTE NEC T160M menyediakan fungsi Multilpex Demultiplex lambda dan transponder yang dilengkapi error correction function (FEC) pada modul Submarine Line Terminating Modules (SLTM) [7].

Di station Tanjung Pandan, Pontianak dan Batam, modul SLTM dihubungkan ke interface SIE SIEMENS STM-64. Proteksi MS-Spring disediakan melalui SIE SIEMENS tersebut untuk mendapatkan realibilitas sistem yang tinggi.

JASUKA dilengkapi Wet Plan Supervisory System untuk memonitor kondisi serat optik dan repeater yang digunakan, Power Feeding Equipment (PFE) NEC – NPW1000 untuk menyediakan catuan DC untuk repeater, dan Element Management System (EMS). Network Management System (NMS) digabung bersama perangkat SIE digunakan untuk control dan mengatur (manage) bagian – bagian dari sistem SKSO/SKKL JASUKA. Gambar 3.5 menunjukkan Konfigurasi Sistem JASUKA Ring I SS#1 dan SS#2 [7].


(50)

Gambar 3.5 Konfigurasi Sistem JASUKA Ring I SS#1 dan SS#2

PFE terdapat di station Tanjung Pandan, Tanjung Pakis dan Batam, sedangkan untuk Pontianak berada dekat dengan lokasi Beach Man Hole. Jumlah repeater Qty untuk segment#1 berjumlah 3 repeater, sedangkan untuk Sub-segment#2 berjumlah 6 repeater. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.6 berikut merupakan Straight Line Diagram ((SLD) Repeater. Tiap repeater akan terpasang pada jarak 80-100 km [7].

Gambar 3.6 Straight Line Diagram (SLD) Repeater

3.4 Segment Kabel Darat (Terrestrial)

Untuk segment terrestrial menggunakan teknologi DWDM SIEMENS Ultra High Capacity (UHC) dengan nama SIEMENS SURPASS hiT7500 dan SURPASS hiT 7070. Jumlah kanal DWDM sebesar 32 lambda (kanal) dengan masing-masing bitrate 10 Gbps. Sistem tersebut meliputi Optical Transport


(51)

Terminal (OTT) dan Optical Line Repeater (OLR). Jumlah station Sistem Terrestrial JASUKA Ring I dan Ring II adalah 42 station yang terdiri dari 24 terminal dan 18 station repeater. Terminal station menggunakan OTT SIEMENS SURPASS hiT7500 dan SIE SIEMENS SURPASS hiT7070 untuk menyediakan tributary interface PDH dan STM-n. Berikut Gambar 3.7 Peta Segment Terrestrial JASUKA [7]

Gambar 3.7 Peta Segment Terrestrial JASUKA

3.5 Optical Amplifier

Module-module Optical Line Interface (OLI) adalah module aktif (mempunyai local card controller sendiri) yang fungsi utamanya adalah sebagai optical amplification dan mengontrol sinyal trafik DWDM utama. Optical amplification ini adalah Erbium Doped Fiber Amplifier (EDFA). SURPASS hiT 7500 dan SURPASS hit 7070 menggunakan broadband EDFA sehingga semua channel optik dikuatkan secara bersamaan (optically amplified).

Ada tiga tipe umum dari OLI module :

1. Optical preamplifier (pada sisi penerima optical path) 2. Optical booster (pada sisi transmit optical path)


(52)

Ketiga tipe module OLI tersebut dapat yang berupa OLI standard (operation C+L), OLI basic (untuk link yang lebih pendek) dan/atau campuran antara basic dan standard. Biasanya module OLI dibuat sama untuk berbagai variant baik untuk booster amplification, inline amplification dan pre-amplification [5].

3.6 Laser Safety

Laser Safety merupakan sistem pengaman laser yang berfungsi secara otomatis melakukan shutdown jika fiber optic putus demi keselamatan kerja.

3.6.1 Mekanisme Pengaman Optikal

Erbium Doped Fiber Amplifiers (EDFA) pada SURPASS hiT 7500 menghasilkan power output s/d +23 dBm, yang berarti masuk dalam kategori Laser Class 3B (< +27 dBm atau 500 mW) menurut ETSI standards. Output power Raman pump juga maximum +27 dBm yang berarti juga termasuk dalam kategori Laser Class 3B. Untuk Laser Class ini, harus ada akses kontrol ke ruangan yang berisi perangkat tersebut, dan harus mekanisme untuk me-reduce output power menjadi Class 1 levels (< +10 dBm atau 10 mW) pada saat optical connectors dibuka.

Dalam kaitan dengan implementasi Automatic Power Shutdown (APSD) dan Automatic Power Reduction (APR), Siemens menjamin bahwa selama perangkat operasi normal output power optik masuk dalam kategori Laser Class 1. Hal ini diaplikasikan pada saat traffic berjalan normal, link set-up, fiber break atau amplifier/laser terlalu besar. Selama fiber putus, maka shutdown tehadap semua high power outputs harus sudah bekerja dalam 3 detik.

Dengan dilengkapinya penutup sub-rack, sebagaimana distandardkan, maka tidak akan ada sinar yang dipancarkan dari sub-rack. Dan juga petugas tidak bisa mengatur fungsi Automatic Power Shutdown ke disable, demi alasan keselamatan [6].


(53)

Ada beberapa situasi yang menyebabkan amplifier pump lasers dan Raman pump lasers shut down, pada umumnya karena fiber pada saluran antara dua SURPASS hiT 7500 NE, OTTU, OLRU, atau OADM putus. Setiap optical amplifier SURPASS hiT 7500 dilengkapi dengan Automatic Power Shut Down (APSD) dan kemampuan automatic restart.

Jika input power pada amplifier turun dibawah standard (power threshold) yang ditentukan, maka pump lasers pada satu seksi amplifier akan switched off; dan akan restarted lagi jika input power mendapat harga minimum power threshold.

Gambar 3.8 menunjukkan suatu link DWDM SURPASS hiT 7500 3.0 C-band Siemens dengan transponders 10 Gbit/s yang menyediakan signal trafik dengan kanal individual. Pada skenario ini line fiber adalah tetap utuh, dan suatu bit khusus di dalam OSC bit APSD diset ke-0 atau OK pada setiap arah untuk setiap link [5].

Gambar 3.8 Typical C-band SURPASS hiT 7500 3.0 DWDM Link tanpa Fiber Break

Jika pada salah satu site yang mempunyai OTT/OLR/OADM, dan pada fiber yang membawa signal datang putus, maka line input akan mendeteksi loss of signal (LOS) pada kedua signal trafik DWDM dan Optical Supervisory Channel (OSC). Pada kondisi ini, fiber break akan men-trigger pump laser di dalam in-line amplifier (atau pre-amplifier) pada arah yang sama, dan in-line amplifier (atau booster amplifier) pada arah berlawanan keposisi shutdown. Begitu traffic signal pada arah berlawanan shut down, maka pada saat yang sama, bit APSD di dalam OSC pada arah ini di-set ke 1 untuk mengindikasikan bahwa


(54)

APSD sedang aktif untuk memberitahukan kepada site terdekat berikutnya. Gambar 3.9 menunjukkan aktivasi power shutdown [5].


(55)

3.7 Sistem TNMS Jaringan Jasuka Backbone

Sistem Ring 1 yang meliputi daerah Batu Raja – Pekan Baru – Rengat – Jambi – Talang Kelapa – Batu Raja – Bandar Lampung – Cikupa – Gambir - Jakarta – Semaggi – Tanjung Pakis – Tanjung Pandan – Pontianak – Dangas – Dumai – Duri – Pekan Baru. Dengan titik terminal di Pekan Baru. Berikut Gambar 3.10 TNMS Ring 1 DWDM.

Gambar 3.10 Ring 1 Jasuka Backbone

Dalam topologi jarigan ring ini, sistem kerjanya menggunakan West to East, yang berputar searah jarum jam. Pada Gambar 3.10 Ring 1 ini, yang


(56)

merupakan titik terminal berada di Pekan Baru. Titik terminal ini akan dihubungkan ke Ring lainnya yang berdekatan dengan Ring 1 ini. Dalam jaringan ini, terdapat ring-ring kecil yang berhubungan. Hal ini merupakan salah satu proyek PT. Telkom dengan managemet yang telah ditetapkan agar dapat dikembangkan pada daerah-daerah tertentu yang belum yang terjangkau.

Dengan menggunakan perangkat SurpasshiT 7070 mampu membawa wavelength untuk bandwith yang lebar dengan kapasitas 10 GHz yang biasa digunakan pada sistem DWDM ini. Network Element (NE) yang berwarna merah yaitu kota Dumai, menunjukkan bahwa stasiun dalam keadaan rusak atau terjadi gangguan. Sedangkan yang berwarna Kuning untuk kota Pekan Baru segment 1 dan Pekan Baru segment 2, Batu Raja segment 2, Semanggi-Jakarta, Dumai segment 1 merupakan stasiun yang masih dalam kondisi idle (siap pakai), masih dirancang dan belum digunakan. Untuk NE yang berwarna hijau adalah sistem yang sedang beroperasi.

Dengan sistem Proteksi Bidirectional Self Healing Ring (BSHR) telah menjaga keamanan layanan jaringan, sehingga jika terjadi gangguan atau jaringan terputus yang biasa disebut backlist, sistem proteksi akan mengambil alih sistem dengan memberikan route back, memutar kembali arah jalur transmit dimana setiap saluran akan proteksi dengan satu saluran yang lain pada arah berlawanan. Dalam hal ini bandwidth hanya berkurang minimum dengan delay maks 25 mikrosekon. Sehingga kecil kemungkinan bahwa koneksi akan terputus. Selama BSHR Protection berfungsi maka layanan tetap dapat berjalan.

Adapun titik terminal terletak pada Pekan Baru menggunakan multiplex hiT7070 yang menggabungkan seluruh saluran pada ring 1 untuk kemudian ditransfer ke ring 2.

Gambar 3.11 menunjukkan Sistem TNMS untuk jaringan Ring 2 DWDM. Yang meliputi daerah Balige – Pematang Siantar – Medan Centrum – Tebing Tinggi – Kisaran – Rantauprapat – Duri – Bukit Tinggi – Padang – Lubuk Basung – Lubuk Sikaping – Kotanopan – Padang Sidempuan – Sibolga.


(57)

Untuk Network Element (NE) yang berwarna hijau yaitu pada kota Pemantangsiantar, Medan Centrum, Kisaran, Rantauprapat, Lubuk Basung, Lubuk Sikaping dan Kotanopan merupakan stasiun-stasiun yang sedang beroperasi. Daerah idle yaitu Tebing Tinggi, Duri, Bukit Tinggi dan Padang segment 1. Terjadi gangguan pada Padang segment 2. Di setiap stasiun ini, masing-masing telah menggunakan perangkat SurpasshiT 7070, termasuk multiplexernya.

Gambar 3.11 Ring 2 Jasuka Backbone

Gambar 3.12 berikut Jaringan sederhana DWDM dari Medan - Tebing Tinggi - Pematang Siantar. Menggunakan Perangkat SurpasshiT 7500, untuk stasiun Medan


(58)

Gambar 3.12 Jaringan Sederhana DWDM

3.8 Alarm Display pada TNMS CT

Penanganan gangguan pada perangkat DWDM meliputi, deteksi, lokalisir, isolasi dan pelaporan gangguan. Gangguan yang direpresentasikan dalam bentuk alarm message, dikirimkan ke operation sistem melalui Q3 interface dan disimpan dalam alarm log agar dapat diketahui history alarmnya dan alarm list untuk menampilkan current alarm [8].

Gangguan yang terjadi memberikan dampak yang berbeda terhadap layanan yang diberikan, ada yang dapat memutuskan layanan, ada yang hanya menurunkan kualitas layanan. Oleh karena itu, gangguan yang terjadi diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan, yaitu:

a. Critical alarm: direpresentasikan dengan alarm simbol warna merah. b. Mayor alarm: direpresentasikan dengan alarm simbol warna orange. c. Minor alarm: direpresentasikan dengan alarm simbol warna kuning. d. Warning alarm: direpresentasikan dengan alarm simbol warna biru.

Keempat tingkatan tersebut dapat dilihat pada status bar. Gambar 3.13 menunjukkan Sistem alarm.


(59)

Gambar 3.13 Sistem Alarm Keterangan :

Network Element (NE) =

Kosong =

Berfungsi =

Client EM =

Tidak berfungsi = Tidak diketahui =

Rusak =

Gangguan/tidak terkoneksi =

Acknowledged alarm Unacknowledged alarm


(60)

3.9 NE dan Subsystem

Dalam sistem backbone Jasuka Perangkat SurpasshiT 7500 dan 7070 yang digunakan terdiri dari beberapa jenis Network Element (NE) dan sub sistem [8].

1. Optical Transport Terminal Unidirectional (OTTU)

OTTU merupakan Network Element dari sistem DWDM. OTTU berfungsi melakukan proses multiplexing dan demultiplexing semua channel dari DWDM transport network.

2. Optical Line Repeater Unidirectional (OLRU)

OLRU merupakan salah satu Network Element dari sistem DWDM. NE ini berfungsi sebagai:

a. Line Amplifier

b. Untuk melakukan penguatan Channel Power c. Melakukan penguatan Power Tilt

d. Melakukan kompensasi dispersi 3. Optical Channel Connection Unit (CCU)

CCU merupakan salah satu Network Element dari sistem DWDM. NE ini berfungsi sebagai:

a. Melakukan penguatan single channel

b. Melakukan penguatan dan melakukan fungsi switch channel antara add/drop atau pass through (dengan modul OCASC)

c. Melakukan fungsi switch channel antara add/drop atau pass through tanpa proses penguatan (dengan modul OCS)

4. Add-Drop Multiplexer Non-upgradable (ADN)

ADN merupakan add-drop multiplexer yang dilengkapi dengan fungsi wavelength blocker. ADN hanya digunakan pada sistem DWDM pada OADM100N compund network element.

5. Add-drop multiplexer Upgradable (ADU)

ADU merupakan sebuah Add-drop multiplexer yang dilengkapi dengan fungsi wavelength blocker. ADU hanya digunakan pada sistem DWDM pada OADM100U compund network element.


(61)

OCU merupakan network element yang berfungsi sebagai transponder. OCU digunakan sebagai link yang menghubungkan antara signal client dan network transport DWDM dan menyediakan spesifik service channel yang dibutuhkan oleh client signal. Tergantung pada modul yang digunakan pada dasarnya OCU dapat melakukan fungsi-fungsi :

a. Transponder

b. Multiplexing transponder c. Regenerator

d. Optical Protection Switch 7. Gateway Network Elements (GNE)

GNE memberikan kesimpulan dan kemudahan akses terhapa network dengan mereduksi jumlah IP address yang digunakan pada network element. Penggunaan GNE network memberikan beberapa keuntungan antara lain :

a. Berfungsi sebagai address concentrator dan address translator

b. Hanya dibutuhkan satu IP addresss pada satu subnetwork, GNE akan melakukan maping pada TCP port untuk NE yang berbeda dengan internal IP address pada subnetwork tersebut.

c. Menggunakan private IP address pada DCN untuk menghemat penggunaan NIC IP address.

d. Decoupling the Siemens DCN dari Carrier Internal Data Network e. Melindungi DCN network dengan melakukan blocking pada

paket-paket yang tidak dikenal.

f. Mereduksi aktivitas administrasi pada network management.

g. Auto-detecting pada semua NEs dalam suatu OSPF domain. NEs yang terhubung melalui DCC channel akan secara otomatis dideteksi oleh sistem [7].

3.10 Konfigurasi Eksisting Ring 1 dan Ring 2

Gambar 3.14 menunjukkan konfigurasi eksisting Ring 1 JASUKA Terrestrial yang menyatakan bahwa Talang Kalapa, Dangas dan Semanggi


(62)

merupakan titik terminal yang dihubungkan dengan ring lainnya. Tanjung Pakis dan Pontianak merupakan segment submarine yaitu segment kabel laut. Konfigurasi eksisting ini akan mendukung ke perhitungan analisis reliabilitasnya.

Gambar 3.14 Konfigurasi eksisting Ring 1 JASUKA Backbone

Gambar 3.15 Konfigurasi eksisting Ring 2 JASUKA Backbone

Gambar 3.15 Ring 2 JASUKA meliputi daerah Pekan Baru – Bangkinan – Bukit Tinggi – Padang – Lubuk Basung – Lubuk Sikaping – Kotanopan – Padang Sidempuan – Sibolga – Balige – Pematangsiantar – Medan – Tebing Tinggi – Kisaran – Rantauprapat.


(63)

OTT = Optical Transport Termination OLR = Optical Line Repeater

OCU = Optical Channel Unit

Perangkat SURPASS hiT 7500 dan 7070 dapat juga untuk aplikasi SDH dan DWDM standalone 2.5Gbit/s, OCU (Optical Channel Unit) diperuntukkan bagi keduanya, baik untuk aplikasi link DWDM 10 Gbit/s maupun 2,5 Gbit/s.

Jika OCU dipasang diantara client network dan DWDM network seperti pada SURPASS hiT 7500, maka transponders atau multiplexing transponders akan mengubah client signals dengan format data yang bervariasi (tidak spesifik), uncolored wavelength menjadi line signal dengan colored, specific wavelength yang sesuai untuk aplikasi DWDM. Sebagai tambahan, protection units OCP (Optical Channel Protection) dapat dipasang untuk membentuk sistem proteksi optik 1+1 bagi client signals. Jika di sepanjang link jaringan DWDM dipasang stasiun OER (Optical Electrical Regeneration), maka regeneratornya harus yang 3R (Reamplified, Reshaped dan Retimed) untuk tiap – tiap channel, sehingga dapat memperpanjang jarak transmisi.

Berbagai variasi optical plug-in cards yang tersedia. Tipe-tipe card yang berbeda membentuk fungsi yang kritis untuk optical channels, seperti transponder, multiplexing transponder, regeneration, dan optical protection switching.

3.11 Proteksi SurpasshiT 7500 dan 7070

Adapun bagian- bagian yang menjadi proteksi SurpasshiT 7500 dan 7070 yang digunakan pada proyek ini akan dirincikan untuk lebih jelasnya.

1. Proteksi Trafik

Jika terjadi gangguan pada jalur working, trafik dipindahkan ke jalur proteksi. Pada mode proteksi non-revertive, sinyal data tetap pada jalur proteksi walaupun gangguan sudah hilang. Switch kembali ke jalur asal hanya jika terjadi gangguan yang baru di jalur proteksi atau berdasarkan perintah operator.


(64)

Pada tipe arsitektur 1+1, entitas transport proteksi (contoh pada multiplex section) didedikasikan sebagai fasilitas back-up dari entitas transport working dengan sinyal trafik normal di-bridge ke entitas transport proteksi pada ujung sumber yang diproteksi.

Trafik normal di transport working dan proteksi ditransmisikan secara simultan ke ujung proteksi, dimana seleksi antara transport working dan proteksi berdasarkan berbagai kriteria seperti signal fail dan indikasi signal degrade.

Untuk proteksi card 1+1, modul tambahan disisipkan sebagai proteksi. Modul ini hanya memproteksi trafik pada satu card yang ditentukan jika terjadi kerusakan card atau switch oleh operator.

Sinyal dilewatkan di kedua modul working dan proteksi. Kedua modul mendistribusikan sinyal pada card yang beroperasi sesudahnya (contohnya switching network SN64) yang kemudian memilih satu dari dua sinyal, berdasarkan kriteria yang ditentukan.

3. Switching Bi-directional

Jika terjadi gangguan pada jalur working, maka sinyal diswitch ke jalur proteksi. Untuk kasus switching bidirectional, kedua arah jalur transmisi di-switch ke jalur proteksi. Skema switching proteksi ini disebut double-ended protection switching.

4. Switching Proteksi Jalur (Line protection)

Duplikasi jalur-jalur pada multiplex section disebut sebagai switching line protection. Pada sisi terima satu dari dua jalur dipilih yang menyalurkan sinyal. Pada kedua jalur, sisi kirim dan terima, dua jalur card mesti dipasang. Sinyal ditransmisikan pada kedua jalur dimonitor. Pada sisi terima card working yang dipilih, berdasarkan kriteria switching yang telah didefinisikan sebelumnya, dimana jalur sinyal akan dilewatkan ke switching fabric.

5. Path Protection

1+1 Path Protection disebut juga Sub-Network Connection Protection (SNCP), direalisasikan dan diaktivasi pada level cross-connect. Path protection dapat dimplementasikan baik pada jalur linear mapun ring. Sinyal data ditransmisikan melalui dua jalur yang berbeda dengan titik terminasi awal dan akhir yang sama. Pada titik terminasi akhir, kriteria switchover didefinisikan dan


(1)

Pw = Ps = MTTR x MTBF (Terrestrial LTE x 14 + STM64 (SIE) x 14 + Terrestrial Repeater x 3) x 10-9

= 4 x (11,3 x 14) + (32,8 x 14) + (4,2 x 3) x 10-9 = 2,52 x 10-6

Pring = Pw x Ps = 6,3504 x 10-10

Toutage = Pring/10-9 = 0.63 minutes/year

Availability = (1 – Pring) x 100%

= (1- 1.19 x 10-6) x 100%

Availability = 99.999881%

Dari pengkalkulasian di atas, terlihat bahwa availability mencapai target yang diinginkan perusahaan yaitu 99.99% yang menyatakan efektifnya kinerja proyek tersebut. Dalam probabilitas waktu 0.63 menit pertahun untuk terjadinya gangguan.

4.6 Perbaikan Kapal Kabel Laut (Ship Repair)

Jumlah dari gangguan – gangguan yang membutuhkan perbaikan kapal kabel laut untuk JASUKA Ring I untuk desain sistem sampai 25 tahun dihitung dengan mengalikan total probabilitas dari gangguan submarine repeater untuk perioda 25 tahun. REP-AMP 4λ, Repeater SS#1 9λ dan Repeater SS#2 21λ; Repeater QTY = 3 Ship repair dapat dihitung sebagai berikut:

Ship Repair = ((λREP-AMP x RQTY) + (λREP-PWR x RQTY)) x 10-9 x 24 x 365 x 25

SS#1 = ((4 x 3) + (9 x 3)) x 10-9 x 24 x 365 x 25 = 0.00854 SS#2 = ((4 x 3) + (21 x 3)) x 10-9 x 24 x 365 x 25 = 0.01642 Dari rumus di atas dapat diperoleh hasil Ship Repair pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Tabel Ship Repair

Segment Jumlah dari Ship Repair dalam 25 tahun


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dalam Tugas Akhir ini adalah

1. Topologi jaringan ring 1 dan ring 2 beroperasi dari arah west ke east, searah perputaran jarum jam, yang menggunakan sistem proteksi Bidireksional Self

Healing Ring (BSHR) dimana sistem proteksi BSHR ini memiliki sistem routeback jika salah satu jaringan terganggu atau putus, sistem akan

membalikkan arah jalur menjadi east ke west dengan delay max 25 mikrodetik, sehingga kecil kemungkinan untuk menyebabkan koneksi terputus.

2. Hasil analisis reliability, untuk ring 1 dan ring 2 mencapai target ketersediaan yang diinginkan Management Network Jasuka Backbone yaitu di atas 95%, dikarenakan probabilitas bit eror rate kecil. Time outage hanya mencapai kurang dari 2 menit pertahun untuk terjadinya delay kegagalan. Hal ini menyatakan bahwa kehandalannnya dapat diterima.

5.2 Saran

Yang menjadi saran dari Tugas Akhir ini adalah

1. Jika terjadi Black Out, yaitu terjadi gangguan pada kedua jalur jaringan terputus yang berada diantara titik terminal, ada baiknya segera menangani gangguan karena koneksi ke ring yang lain tidak dapat terhubung.

2. Ada baiknya dipergunakan topologi star mengingat kebutuhan masyarakat dan jangkauan daerahnya yang semakin diperluas sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya Black Out.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mandorkawat. 2009. ”Konsep Dasar Jaringan Access Fiber Optic”. Hal 1-10.

[2] Keiser, Gerd. 2000. ”Optical Fiber Communications”, third edition. Singapore: McGraw Hill.

Hal 11-12 dan hal 52-53.

[3] Anonim. 2010. “Buku 5 Dense Wavelength Divison Multiplexing (DWDM)” Telkom Training Center pdf.

Hal 12-23.

[4] Anonim. 2005. “Buku SOP Sistem Komunikasi Kabel Laut, Surabaya Backbone” Telkom release.

Hal 23-24.

[5] Anonim. 2010. ”Buku 7 SURPASS hiT 7500 (SDH)”. Telkom.ppt. Hal 25- 29 dan 38-41.

[6] Shepard, Steven. 2002. “Optical Networking Crash Course”, International Edition McGraw-Hill.

Hal 32-33.

[7] Anonim. 2010. “Buku 5 Synchronous Digital Hierarchy (SDH) dan

WDM-Dense Wavelength Divison Multiplexing (DWDM) JASUKA”. Telkom.ppt.

Hal 33-38.

[8] Anonim. 2010. ”Buku 8 TNMS CT dan software Aplikasi Telkom”. Telkom.ppt

Hal 45-48.

[9] Marcel Held*, Philipp M. Nellen. 2003. “Availability Calculation and Simulation of Optical Network Systems”.


(4)

[10] Frisch, Tony. 2010. “HOW MANY SPARE DOES ONE REALLY NEED?”.

Hal 53-54.


(5)

(6)