dan meningkatkan profesionalitas kerja notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
D. Keaslian Penulisan
Penulis telah melakukan daftar penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen
Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan yang diangkat oleh penullis yaitu
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA STUDI PUTUSAN MA NO. 1099KPID2010.”
Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Skripsi ini merupakan karya asli yang berasal dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ditemukan adanya
kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat
mempertanggungjawabkannya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Toerekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada
pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
Universitas Sumatera Utara
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana.
14
Perbuatan pidana menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yaitu asas yang
menentukan bahwa suatu perbuatan adalah terlarang dan diancam pidana barang siapa yang melakukannya. Apakah orang yang telah melakukan
perbuatan itu juga dipidana, tergantung pada soal, apakah orang tersebut dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Seseorang
yang tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang atau tercela, tentu tidak dipidana.
15
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari hukum pidana ialah perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Unsur formil
dari perbuatan pidana ialah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barang siapa yang melanggar larangan tersebut, sedangkan unsur materiilnya ialah bersifat melawan hukum. Unsur pertanggungjawaban pidana ialah
kesalahan. Sedangkan unsur kesalahan adalah: Hal ini sesuai dengan asas yang
tidak tertulis “Geen Straf Zonder Schuld” tiada pidana tanpa kesalahan, merupakan dasar dipidananya si pembuat.
16
14
Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT Sofmedia, Jakarta, 2010, hal 34.
15
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal 75.
16
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Keempat, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal 163.
Universitas Sumatera Utara
a. Mampu bertanggungjawab
b. Sengaja atau alpa
c. Tidak ada alasan pemaaf
Menurut Roeslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu
sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya
perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan.
17
Hal yang pertama, yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana disebut dengan masalah
kemampuan bertanggung jawab. Adanya kemampuan bertanggung jawab ditentukan oleh faktor akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan
yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Bilamana akalnya sehat dan normal, artinya mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan maka oleh hukum diharuskanlah kalau orang itu juga menentukan kehendak sesuai dengan yang
diperbolehkan oleh hukum.
18
Hal yang kedua, yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta
alasan pemaaf. Mampu bertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan serta
17
Roeslan Saleh, Op.Cit., hal 78-79.
18
Ibid., 81.
Universitas Sumatera Utara
tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur kesalahan. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidaklah dianut sejak dahulu kala. Pernah juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang
melakukan suatu perbuatan pidana, dia tentu dipidana tanpa menghiraukan apakah terdapat kesalahan atau tidak di dalam diri si pembuat. Pandangan
tersebut terlihat jelas pada pembentuk undang-undang dahulu ketika membentuk WvS. Kesalahan pada waktu itu diperlukan hanya pada jenis
perbuatan pidana yang disebut kejahatan. Dikatakan dalam MvT: “Pada pelanggaran, hakim tidak perlu untuk
mengadakan penyelidikan apakah ada kesengajaan atau kealpaan”. Apakah terdakwa telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan undang-
undang?, hanya inilah yang perlu diselidiki. Berdasarkan jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan pidana atau tidak, pendapat demikian
dinamakan ajaran fait materiel, di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.
19
Sejarah pembuatan undang-undang hukum pidana, kesengajaan dirumuskan dalam istilah dengan sengaja atau dengan maksud, tergantung
pada pada cara perumusan tindak pidana, yang pada pokoknya pengertian dari kedua istilah tersebut adalah sama. Menurut kepustakaan, pada umumnya
diakui ada tiga corak kesengajaan, yaitu:
20
a. Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk
19
Ibid., hal 87.
20
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 309.
Universitas Sumatera Utara
Kesengajaan sebagai maksud, perbuatan itu disengaja karena memang dengan maksud mencapai suatu tujuan. Apabila seseorang pada waktu ia
melakukan suatu tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang terlarang, menyadari bahwa akibat tersebut pasti timbul ataupun mungkin timbul karena
tindakan yang akan atau sedang ia lakukan, sedangkan timbulnya akibat tersebut memang begoogd atau memang ia kehendaki, maka apabila
kemudian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya.
21
b. Kesengajaan sebagai kepastian opzet bij zekerheids-bewustzijn
Dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai opzet als oogmerk terhadap timbulnya akibat yang bersangkutan.
Perkataan “zeker” di dalam bahasa Belanda itu berarti “pasti”, sedangkan “bewust” itu berarti “sadar”. “Zekerheids-bewustzijn” berarti
“kesadaran akan kepastian”. Perbuatan seseorang dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa akibat lain yang tidak dikehendakinya pasti akan terjadi,
maka terhadap timbulnya akibat lain tersebut ia mempunyai opzet bij zekerheids-bewustzijn atau suatu kesengajaan yang dilandasi akan kepastian
tentang timbulnya akibat lain daripada akibat yang memang ia kehendaki.
22
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheids-bewustzijn
Kesengajaan sebagai kemungkinan, jika seseorang melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-
undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki. Apabila kemungkinan yang ia
21
Ibid., hal 312.
22
Ibid., hal 313.
Universitas Sumatera Utara
sadari itu menjadi kenyataan, maka terhadap kenyataan tersebut, ia dikatakan mempunyai suatu opzet bij mogelijkheids-bewustzijn.
23
Menurut MvT yang dimaksud dengan kesengajaan adalah menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Artinya,
seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki dan menginsyafi tindakan tersebut dan akibatnya.
24
Paham determinisme menyatakan bahwa manusia tidak bebas dalam menentukan kehendaknya, tindakan manusia adalah perwujudan kehendaknya
yang dikendalikan atau dipaksakan oleh kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Dianutnya paham bahwa kehendak itu tidak bebas, akan berarti tidak
ada kesalahan pada pelaku, dan berakibat tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.
25
Mengenai kealpaan, diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-cirinya adalah:
Ajaran interdeterminisme menyatakan sebaliknya, walaupun mengakui adanya pengaruh dari keadaan lingkungan, manusia itu tetap dapat
menentukan kehendaknya. Teori ini tidak berdasarkan penelitian yang dapat dibuktikan, melainkan hanya berupa fiksi atau semacam axioma saja.
26
a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan
ingatanotaknya secara salah. Artinya, bahwa seseorang telah melakukan suatu tindakan aktif atau pasif dengan kurang kewaspadaan yang
diperlukan.
23
Ibid., hal 315.
24
S.R. Sianturi, Op.Cit., hal 164.
25
Ibid., hal 168.
26
Ibid., hal 189.
Universitas Sumatera Utara
b. Pelaku dapat memperhitungkan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat
mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti terjadi, ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu
tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.
Perumusan atau istilah-istilah yang digunakan dalam undang-undang, yang menunjukkan kealpaan adalah karena salahnya, kealpaan, harus dapat
menduga dan ada alasan kuat baginya untuk menduga. MvT menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:
27
a. Kekurangan pemikiran penggunaan akal yang diperlukan
b. Kekurangan pengetahuan ilmu yang diperlukan
c. Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan
Terakhir adalah tidak ada alasan pemaaf juga merupakan suatu syarat dari adanya kesalahan. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan dari terdakwa. Oleh undang-undang sendiri dalam beberapa ketentuan ada dirumuskan, hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang yang
telah melakukan suatu perbuatan pidana, suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik tidak dipidana. Alasan-alasan ini lazim disebut
dengan alasan yang menghapuskan pidana strafuitsluitings gronden. Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah
mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya ia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan tidak
dicelanya orang tersebut disebut dengan alasan-alasan pemaaf.
28
2. Pengertian Notaris, Peraturan Jabatan Notaris, dan Kode Etik Notaris 2.1. Pengertian Notaris
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris UUJN, notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Wewenang notaris lebih luas dicantumkan dalam Pasal 15 UUJN, yaitu notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2.2. Peraturan Jabatan Notaris
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan notaris yang kini berlaku sebagian besar masih didasarkan pada peraturan
28
Roeslan Saleh, Op.Cit., hal 126.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
29
a. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie Stb. 1860: 3 sebagaimana
telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101; b.
Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; c.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara Lembaran Negara 1954 Nomor 101, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 700; d.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379; dan
e. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah Jabatan
Notaris. Peraturan tentang notaris yang sekarang ini berlaku ialah Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris UUJN sebagai pengganti dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie Stb. 1860:3
atau Peraturan Jabatan Notaris PJN. Undang-undang ini merupakan unifikasi hukum yang mengatur secara menyeluruh mengenai notaris dalam
satu undang-undang. Undang-undang ini mengatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh notaris, sehingga diharapkan bahwa akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris mampu menjamin kepastian,
29
Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Universitas Sumatera Utara
ketertiban dan perlindungan hukum. Mengingat akta notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh. UUJN
merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris dan masyarakat yang membutuhkan jasa notaris.
2.3. Kode Etik Notaris
Menurut Abdul Kadir Muhammad, kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas
suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga anggota kelompok
profesi tidak akan ketinggalan zaman.
30
Secara etimologis, moral diartikan sama dengan etika yang berupa nilai- nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan manusia atau kelompok
manusia dalam mengatur perilakunya. Nilai-nilai dan norma-norma itu menjadi ukuran moralitas perbuatan. Profesi menuntut pemenuhan nilai moral
dari pengembannya. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum, yakni
sebagai berikut:
31
a. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Sikap yang terdapat dalam kejujuran ialah sikap terbuka yaitu berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani
secara cuma-cuma, dan sikap wajar yaitu berkenaan dengan perbuatan yang
30
Abdul Kadir Muhammad, dalam Supriadi, Etika Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 23.
31
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hal 62.
Universitas Sumatera Utara
tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
b. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Contohnya, tidak
menyalahgunakan wewenang, mendahulukan kepentingan klien, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat.
c. Bertanggung jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya bersedia untuk melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa
saja yang termasuk lingkup profesinya, bertindak secara proporsional tanpa membeda-bedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma prodeo dan
bersedia untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewajibannya. d.
Kemandirian moral Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh dan tidak mudah
mengikuti pandangan moral yang terjadi disekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri.
e. Keberanian moral
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik. Contohnya,
menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, dan cara-cara penyelesaian melalui jalan yang tidak sah.
Universitas Sumatera Utara
Kode etik notaris perlu dirumuskan secara tertulis, hal ini disebabkan oleh:
32
a. Sebagai sarana control
b. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain
c. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional
anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Kode etik profesi telah menentukan standardisasi kewajiban profesional anggota
kelompok profesi. Pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi
melaksanakan kewajiban profesionalnya.
33
Kode Etik Notaris dan selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasar Keputusan Kongres Perkumpulan danatau yang ditentukan oleh dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan
dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di Kode etik profesi merupakan
kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Kode etik
dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi.
32
Ibid., hal 78.
33
Ibid., hal 79.
Universitas Sumatera Utara
dalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti khusus.
34
Kedudukan kode etik bagi notaris bukan hanya karena notaris merupakan suatu profesi sehingga perlu diatur dengan suatu kode etik, melainkan juga karena
sifat dan hakikat dari pekerjaan notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kode etik dibuat oleh
perkumpulanorganisasi bagi para notaris yang disebut Ikatan Notaris Indonesia INI. INI berdiri sejak tanggal 1 Juli 1908 dan diakui sebagai
badan hukum berdasarkan Gouvernements Besluit Penetapan Pemerintah tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah
pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia.
Kode etik hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai- nilai yang hidup dalam lingkungan profesi notaris itu sendiri. Kode Etik
Notaris menjadi tolok ukur perbuatan anggota kelompok profesi notaris dan merupakan upaya pencegahan terhadap perbuatan yang tidak etis bagi
anggotanya. Kode etik dilandasi oleh kenyataan bahwa notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keahlian dan keilmuan dalam
bidang kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang kenotariatan.
34
Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia I.N.I
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa notaris tersebut.
35
a. Etika notaris dalam menjalankan tugasnya
Kode etik berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaan jabatan
maupun dalam kehidupan sehari-hari Pasal 2 Kode Etik Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005, merupakan prinsip-
prinsip etika yang harus diikuti oleh notaris di Indonesia, berisikan pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
b. Kewajiban-kewajiban profesional notaris
c. Etika tentang hubungan notaris dengan kliennya
d. Etika tentang hubungaan dengan sesama rekan notaris
e. Larangan-larangan bagi notaris
3. Pengertian Akta
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut
menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
36
Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan keterangan, pengakuan, keputusan, dsb resmi yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan
dan disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang berwenang.
37
35
Munir Fuady, Profesi Mulia Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus, Cetakan Ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 133
36
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Edisi Ketujuh, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2006, hal 149.
37
Sudarsono, Kamus Hukum, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal 25
Walaupun ada pembagian akta ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan, namun dari
Universitas Sumatera Utara
definisi di atas sudah terlihat adanya sifat otentik dari suatu akta. Yaitu dalam pembuatannya disaksikan dan disahkan oleh notaris atau pejabat yang berwenang.
Menurut Soedikno Mertokusumo, akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
38
Akta terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Skripsi ini membatasi pembahasannya pada pengertian akta otentik, karena sesuai dengan
batasan pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta. Hal ini juga sesuai dengan batasan pengertian yang diberikan undang-undang mengenai akta notaris ialah “akta otentik” yang dibuat oleh atau
di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang- undang.
Soedikno memberikan definisi yang lebih umum, menurutnya yang terpenting dalam suatu akta ialah tanda tangan pihak-pihak yang mengikatkan diri. Fungsi
tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau mengindividualisir sebuah akta, dengan tujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau
dari akta yang dibuat orang lain.
39
Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis menurut hukum
positif, akta otentik adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata: suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh
38
Soedikno Mertokusumo, Loc.Cit.
39
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
undang-undang welke in de wettelijke vorm is verleden dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum door of ten overstaan van openbare
ambtenaren yang berkuasa untuk itu daartoe bevoegd di tempat di mana akta dibuatnya.
40
Berdasarkan penjelasan di atas, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya
pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:
41
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. b.
Namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak
Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja. Di samping itu cara membuat akta otentik itu
harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada
kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta
di bawah tangan apabila ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang
kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan atas:
42
40
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 153.
41
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 566.
42
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 161.
Universitas Sumatera Utara
a. Kekuataan pembuktian lahiriah uitwendige bewijskracht
b. Kekuatan pembuktian formil formele bewijskracht
c. Kekuatan pembuktian materiil materiele bewijskracht
Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak seperti akta otentik serta memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Kekuatan pembukt ian lahir ini berlaku
bagi kepentingan dan terhadap setiap orang tidak terbatas bagi para pihak saja.
Kekuataan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya pernyataan yang dibuat oleh yang bertanda tanagan di dalam akta tersebut.
Kekuatan pembuktian formil memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam
akta. Akta yang dibuat oleh pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan
kebenaran apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat. Apabila pejabat mendengar keterangan pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah
berarti telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari kebenaran isi keterangan tersebut. Kebenaran dari pernyataan
pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, maka pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian
materiil.
43
43
Ibid., hal 162.
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum
dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.
44
Penelitian doctrinal dilakukan tidak sebatas melakukan inventarisasi hukum positif, akan tetapi juga memberikan koreksi terhadap suatu peraturan perundang-
undangan. Kemudian menguji apakah postulat normatif dapat atau tidak dapat diterapkan untuk sebuah perkara konkrit.
Penelitian ini disebut juga dengan penelitian doctrinal doctrinal reseacrh.
45
2. Sumber Data
Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris
terhadap akta yang dibuatnya yaitu studi Putusan MA No. 1099KPID2010. Hal ini dilakukan untuk melihat penerapan hukum positif terhadap perkara konkrit
yang terjadi di masyarakat terutama terhadap pertimbangan hakim yang menjadi dasar menjatuhkan putusan.
Data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mencakup:
44
Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, hal 53
45
Ibid., hal 55.
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan dibuat
oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata dan Undang-Undang. b.
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
46
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang dapat memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah kamus hukum.
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku dan dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris, dan putusan MA No. 1099KPID2010, majalah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan yang
telah dipaparkan penulis pada perumusan masalah di atas.
3. Metode Pengumpulan Data
Keseluruhan data di dalam skripsi ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan library research, yakni melakukan penelitian dengan berbagai
bahan bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, pendapat para sarjana dan bahan lainya yang berkaitan dengan skripsi. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan konsep, teori dan doktrin serta pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan
telaahan penelitian ini.
46
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 13.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data yang
sering disebut penelitian yang holistik. Dikatakan holistik karena mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang
diteliti. Ketentuan bahwa data-data yang berbeda tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dari objek yang diteliti.
47
G. Sistematika Penulisan
Gambaran secara keseluruhan mengenai skripsi ini akan dijabarkan penulis dengan cara menguraikan sistematika penulisannya yang terdiri atas 4
empat bab, yaitu: Bab I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna
memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Batasan Pelanggaran Etik Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Memberikan penjelasan mengenai
kedudukan notaris dan batasan pelanggaran yang dapat dilakukan notaris dalam UUJN dan Kode Etik Notaris, sejauh mana perbuatan notaris dapat
dikatakan telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris, serta
47
Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Op.Cit., hal 43.
Universitas Sumatera Utara
fungsi Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan Notaris dalam menentukan bahwa notaris telah terbukti melakukan pelanggaran untuk
kemudian dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya dan diteruskan kepada proses acara di pengadilan.
Bab III Pertanggungjawaban Pidana Notaris terhadap Akta yang dibuatnya. Memberikan penjelasan mengenai masalah perbuatan pidana dan
teori pertanggungjawaban pidana, subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, pertanggungjawaban pidana notaris terhadap
akta yang dibuatnya, serta mekanisme pertanggungjawaban pidana notaris yang terbukti melakukan perbuatan pidana.
Bab IV Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Notaris San Smith dalam kasus Putusan MA No. 1099KPID2010. Menberikan analisis hukum
terhadap kasus dengan melihat pertimbangan hukum dan penerapan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, mengetahui teori-teori apa yang
digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan dan menetapkan pertanggungjawaban pidana notaris.
Bab V Kesimpulan dan Saran. Merupakan bagian akhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari penulis atas hasil penelitian dan kaitannya dengan
masalah yang dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM
UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS
A. Kedudukan Notaris Selaku Pejabat Publik Terhadap Akta yang Dibuat Sesuai dengan Syarat Formil Ditinjau dari UUJN dan Kode Etik Notaris
1. Notaris Sebagai Pejabat Publik
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris PJN dan
Pasal 1868 KUHPdt.
48
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut aturan hukum wajib
dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan akta notaris,
sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris. Jabatan notaris
Pasal 1 PJN menyatakan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain.
Pasal 1868 KUHPdt menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
48
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan Tulisan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, Selanjutnya disebut Buku II, hal 15.
Universitas Sumatera Utara