BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP AKTA
YANG DIBUATNYA
A. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Perbuatan pidana strafbaar feit ialah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan
dapat dicela. Perbuatan manusia terpenuhi bukan karena mempunyai niat atau keyakinan, melainkan hanya melakukan atau tidak melakukan.
93
Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan
“strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkatan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena Perbuatan
manusia dianggap juga sebagai perbuatan badan hukum. Semua unsur tindak pidana yang tertulis di dalam rumusan suatu perbuatan pidana harus dipenuhi.
Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan “tindak pidana” atau
“perbuatan pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”
tersebut.
93
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 2007, hal 26.
Universitas Sumatera Utara
kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
94
Istilah term “strafbaar feit” telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai:
95
1. Perbuatan yang dapatboleh dihukum
2. Peristiwa pidana
3. Perbuatan pidana
4. Tindak pidana
5. Delik
Beberapa pakar hukum pidana telah membahas beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan strafbaar feit, Moeljatno dan Roeslan
Saleh memilih istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan
sehari-hari. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya. Perkataan peristiwa tidak
menunjukkan bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga hewan atau alam.
96
Para pakar hukum pidana memberi definisi mengenai istilah “strafbaar feit” sebagai berikut:
97
1. Vos
94
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 181.
95
S.R. Sianturi, Op.Cit., hal 200.
96
Ibid., hal 203.
97
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
Vos merumuskan strafbaar feit sebagai feit yang dapat dihukum berdasarkan undang-undang.
2. Van Hamel
Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
3. Simons
Simons merumuskan bahwa een strafbaar feit adalah suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dihukum. 4.
Pompe Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma gangguan
terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Alasan Simons merumuskan “strafbaarfeit” seperti di atas adalah karena:
98
1. Adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu
tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di
98
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 185.
Universitas Sumatera Utara
mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur delik seperti yang dirumuskan di dalam undang- undang.
3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.
Perbuatan pidana didasari oleh asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah dilarang dan diancam pidana
barang siapa yang melakukannya. Rumusan nullum delictum berasal dari Von Feuerbach dan yang dimaksudkannya adalah supaya larangan-larangan dan
ancaman-ancaman pidana itu ditentukan terlebih dahulu secara terang, sehingga orang tahu bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan pada
barang siapa yang melakukannya sudah jelas pula apakah pidana yang akan diterimanya.
99
Dengan asas legalitas ini dimaksudkan lebih lanjut bahwa:
100
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam satu aturan undang-undang. 2.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku mundur. 4.
Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
99
Roeslan Saleh, Op.Cit., hal 40
100
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, op.cit., hal 7.
Universitas Sumatera Utara
5. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas syarat lex certa.
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan oleh undang-undang.
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Setiap perbuatan pidana, pada hakikatnya harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah fakta oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir dunia. Selain kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya
diperlukan pula adanya hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan,
yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku.
101
Rumusan perbuatan pidana dijabarkan dalam unsur-unsurnya, hal pertama yang kita jumpai ialah disebutkannya sesuatu perbuatan manusia.
Adanya perbuatan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana,
sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan
sesuatu”.
102
Tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
macam unsur-unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
101
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 64
102
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 193.
Universitas Sumatera Utara
dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
103
Asas hukum pidana mengatakan “tiada hukuman tanpa kesalahan” An act does not make a person guilty unless the
mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan.
104
Unsur-unsur subjektif dari suatu perbuatan adalah sebagai berikut:
105
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa.
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam
Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3.
Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dsb.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 5.
Perasaan takut seperti antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku
itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:
106
1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
103
Ibid.
104
Leden Marpaung, Op.Cit., hal 9.
105
Ibid., hal 11.
106
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri
dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat. Menurut Moeljatno, unsur-unsur subjektif tersebut tidak termasuk unsur
perbuatan pidana tetapi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana, sedangkan unsur-unsur objektif termasuk unsur perbuatan pidana. Beliau
memisahkan secara tegas unsur-unsur perbuatan pidana dari unsur pertanggungjawaban pidana.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dapat dipidana, tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari
pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit fait materielle. Dahulu, dijalankan atas pelanggaran tetapi sejak arrest susu dari HR 1916
Nederland, hal itu ditiadakan. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung
jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, berikut yang menjadi
pertanyaan adalah kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu?.
107
1. Adanya kesalahan
Simons mengemukakan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana kemampuan
bertanggung jawab dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela
karena melakukan perbuatan tadi. Masalah pertanggungjawaban pidana tergantung pada hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya. Seseorang
tidak mungkin dipertanggungjwabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana
akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan. Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan, dapat dilihat dari ada atau
tidaknya kesengajaankealpaan si pembuat dalam melakukan perbuatannya serta tidak adanya alasan-alasan yang dapat menghapus kesalahan si pembuat.
Baik kesengajaan maupun kealpaan adalah unsur kesalahan yang menentukan pertanggungjawaban dari si pembuat. Berikut akan diuraikan mengenai
unsur-unsur pertanggungjawban pidana:
Asas kesalahan adalah asas fundamental dalam hukum pidana, dari semua syarat dapat dipidana, inilah yang langsung berhubungan dengan
pidana. Pidana menjadi sah karena kesalahan, sehingga kesalahan adalah
107
Marlina, Peradilan Pidana Anak Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hal 70.
Universitas Sumatera Utara
dasar yang mengesahkan pidana.
108
Mengenai kesengajaan dalam KUHP tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toelichting MvT Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminiel wetboek
1881 yang menjadi KUHP Indonesia tahun 1915 dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Dapat dipidananya suatu perbuatan disyaratkan adanya kesengajaan atau sekurang-kurangnya kealpaan mutlak.
Kesengajaan dan kealpaan merupakan keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan.
109
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori
kehendak, snegaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang, sedangkan teori membayangkan menyatakan
manusia tidak mungkin dapat mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adanya sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena
suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih
dahulu telah dibuat.
110
Suatu rumusan “dengan sengaja” berarti bahwa pelaku mengetahui dan sadar, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Unsur
sengaja yang diletakkan di muka unsur-unsur lainnya dalam rumusan suatu
108
D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Op.Cit., hal 79.
109
Marlina, Loc.Cit.
110
Ibid., hal 71.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana meliputi atau mempengaruhi semua unsur yang letaknya dibelakang. Berarti sifat melawan hukum suatu perbuatan harus diketahui
oleh pelaku, baik timbulnya akibat maupun perbuatan yang menimbulkannya harus dilakukan dengan sengaja. Prakteknya, sulit membuktikan “dengan
sengaja” ini kecuali kalau ada pengakuan dari pelaku. Kelalaian atau culpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2 dua
syarat:
111
a. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau
kurang waspada. b.
Perbuatan harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati.
Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi karena perbuatan itu, ia tidak
melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya akibat. Apabila ia berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakan-
tindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya akibat yang sebelumnya telah dibayangkan.
Tindakan-tindakan pencegahan itu tergantung atas pengetahuan atau kemampuan akal yang dimiliki pelaku. Apakah seorang pelaku memiliki
pengetahuan atau kemampuan akal guna melakukan tindakan-tindakan pencegahan itu dapat diketahui dengan meninjau juga masalah-masalah yang
111
H.A.K. Moch. Anwar Dading, Op.Cit., hal 110.
Universitas Sumatera Utara
meliputi perbuatan itu. Tidak cukup menyatakan bahwa suatu akibat timbul karena kelalaian seseorang dengan melakukan sesuatu perbuatan.
2. Mempunyai kemampuan bertanggung jawab
Rumusan tindak pidana dalam KUHP mengenai kemampuan bertanggung jawab telah tidak ditentukan, artinya menurut undang-undang
bukan merupakan unsur. Pasal 44 KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak
dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab.
112
Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan
bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tindak pidana dapat terjadi tanpa perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab
ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada pelakunya. Apabila
menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana terdapat keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, maka barulah diperlukan
atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dan harus dibuktikan untuk tidak dipidana terhadap pelakunya.
113
Simons mengatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh
orang yang sehat rohaninya, mempunyai pandangan normal, yang dapat
112
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, Selanjutnya disebut Buku I, hal 146.
113
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapinya, yang di bawah pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara
yang normal pula. Perihal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana,
dapat dijelaskan dengan 2 dua cara, yaitu sebagai berikut:
114
a. Berdasarkan rumusan Pasal 44 ayat 1 KUHP, yakni keadaan jiwa yang tidak
mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau jiwanya terganggu karena penyakit. Pasal ini menentukan dua keadaan jiwa
yang tidak mampu bertanggung jawab , dengan berpikir sebaliknya orang yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya apabila tidak
terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana dikatakan oleh Pasal 44 ayat 1. Artinya jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanya tidak
terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab. b.
Dengan tidak menghubungkannya dengan Pasal 44, menurut Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada tiga syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
115
1 Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa normal sehingga ia bebas
atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
2 Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa sehingga ia mempunyai
kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nnilai perbuatannya beserta akibatnya.
114
Ibid., hal 148-149.
115
Satochid Kartanegara, dalam Adami Chazawi, Ibid., hal 149.
Universitas Sumatera Utara
3 Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk
menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah suatu kelakuan tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum atau
oleh masyarakat maupun tata tertib. 3.
Tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar Undang-undang menentukan dasar tidak dapat dipidananya seseorang,
dibagi atas:
116
a. Alasan pemaaf
1 Ketidakmampuan bertanggungjawab mengenai kedewasaan;
2 Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
3 Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan ikt ikad baik;
b. Alasan pembenar
1 Adanya daya paksa;
2 Adanya pembelaan terpaksa;
3 Sebab menjalankan perintah undang-undang;
4 Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah.
Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf fait d’excuse walaupun perbuatannya terbukti melanggar UU, yang artinya perbuatannya
tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya. Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan.
116
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, Sealnjutnya disebut Buku II, hal 18-19.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan si pembuat dalam kenyataannya telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si
pembuat tidak dapat dipidana.
117
B. PelakuSubjek Hukum yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana