Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP AKTA

YANG DIBUATNYA

A. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Perbuatan pidana strafbaar feit ialah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Perbuatan manusia terpenuhi bukan karena mempunyai niat atau keyakinan, melainkan hanya melakukan atau tidak melakukan. 93 Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkatan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena Perbuatan manusia dianggap juga sebagai perbuatan badan hukum. Semua unsur tindak pidana yang tertulis di dalam rumusan suatu perbuatan pidana harus dipenuhi. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan “tindak pidana” atau “perbuatan pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. 93 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 2007, hal 26. Universitas Sumatera Utara kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 94 Istilah term “strafbaar feit” telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai: 95 1. Perbuatan yang dapatboleh dihukum 2. Peristiwa pidana 3. Perbuatan pidana 4. Tindak pidana 5. Delik Beberapa pakar hukum pidana telah membahas beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan strafbaar feit, Moeljatno dan Roeslan Saleh memilih istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya. Perkataan peristiwa tidak menunjukkan bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga hewan atau alam. 96 Para pakar hukum pidana memberi definisi mengenai istilah “strafbaar feit” sebagai berikut: 97 1. Vos 94 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 181. 95 S.R. Sianturi, Op.Cit., hal 200. 96 Ibid., hal 203. 97 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 8. Universitas Sumatera Utara Vos merumuskan strafbaar feit sebagai feit yang dapat dihukum berdasarkan undang-undang. 2. Van Hamel Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. 3. Simons Simons merumuskan bahwa een strafbaar feit adalah suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. 4. Pompe Pompe merumuskan strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Alasan Simons merumuskan “strafbaarfeit” seperti di atas adalah karena: 98 1. Adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di 98 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 185. Universitas Sumatera Utara mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur delik seperti yang dirumuskan di dalam undang- undang. 3. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling. Perbuatan pidana didasari oleh asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah dilarang dan diancam pidana barang siapa yang melakukannya. Rumusan nullum delictum berasal dari Von Feuerbach dan yang dimaksudkannya adalah supaya larangan-larangan dan ancaman-ancaman pidana itu ditentukan terlebih dahulu secara terang, sehingga orang tahu bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan pada barang siapa yang melakukannya sudah jelas pula apakah pidana yang akan diterimanya. 99 Dengan asas legalitas ini dimaksudkan lebih lanjut bahwa: 100 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam satu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku mundur. 4. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. 99 Roeslan Saleh, Op.Cit., hal 40 100 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, op.cit., hal 7. Universitas Sumatera Utara 5. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas syarat lex certa. 6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. 7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang. Setiap perbuatan pidana, pada hakikatnya harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah fakta oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir dunia. Selain kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. 101 Rumusan perbuatan pidana dijabarkan dalam unsur-unsurnya, hal pertama yang kita jumpai ialah disebutkannya sesuatu perbuatan manusia. Adanya perbuatan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”. 102 Tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur-unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan 101 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 64 102 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal 193. Universitas Sumatera Utara dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. 103 Asas hukum pidana mengatakan “tiada hukuman tanpa kesalahan” An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. 104 Unsur-unsur subjektif dari suatu perbuatan adalah sebagai berikut: 105 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dsb. 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 5. Perasaan takut seperti antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut: 106 1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid. 103 Ibid. 104 Leden Marpaung, Op.Cit., hal 9. 105 Ibid., hal 11. 106 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. 3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Menurut Moeljatno, unsur-unsur subjektif tersebut tidak termasuk unsur perbuatan pidana tetapi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana, sedangkan unsur-unsur objektif termasuk unsur perbuatan pidana. Beliau memisahkan secara tegas unsur-unsur perbuatan pidana dari unsur pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dapat dipidana, tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit fait materielle. Dahulu, dijalankan atas pelanggaran tetapi sejak arrest susu dari HR 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggung jawab Universitas Sumatera Utara dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu?. 107 1. Adanya kesalahan Simons mengemukakan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana kemampuan bertanggung jawab dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Masalah pertanggungjawaban pidana tergantung pada hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjwabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan. Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan, dapat dilihat dari ada atau tidaknya kesengajaankealpaan si pembuat dalam melakukan perbuatannya serta tidak adanya alasan-alasan yang dapat menghapus kesalahan si pembuat. Baik kesengajaan maupun kealpaan adalah unsur kesalahan yang menentukan pertanggungjawaban dari si pembuat. Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pertanggungjawban pidana: Asas kesalahan adalah asas fundamental dalam hukum pidana, dari semua syarat dapat dipidana, inilah yang langsung berhubungan dengan pidana. Pidana menjadi sah karena kesalahan, sehingga kesalahan adalah 107 Marlina, Peradilan Pidana Anak Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hal 70. Universitas Sumatera Utara dasar yang mengesahkan pidana. 108 Mengenai kesengajaan dalam KUHP tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toelichting MvT Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminiel wetboek 1881 yang menjadi KUHP Indonesia tahun 1915 dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu. Dapat dipidananya suatu perbuatan disyaratkan adanya kesengajaan atau sekurang-kurangnya kealpaan mutlak. Kesengajaan dan kealpaan merupakan keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan. 109 Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori kehendak, snegaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang, sedangkan teori membayangkan menyatakan manusia tidak mungkin dapat mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adanya sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. 110 Suatu rumusan “dengan sengaja” berarti bahwa pelaku mengetahui dan sadar, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Unsur sengaja yang diletakkan di muka unsur-unsur lainnya dalam rumusan suatu 108 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sutorius, Op.Cit., hal 79. 109 Marlina, Loc.Cit. 110 Ibid., hal 71. Universitas Sumatera Utara tindak pidana meliputi atau mempengaruhi semua unsur yang letaknya dibelakang. Berarti sifat melawan hukum suatu perbuatan harus diketahui oleh pelaku, baik timbulnya akibat maupun perbuatan yang menimbulkannya harus dilakukan dengan sengaja. Prakteknya, sulit membuktikan “dengan sengaja” ini kecuali kalau ada pengakuan dari pelaku. Kelalaian atau culpa menurut ilmu pengetahuan mempunyai 2 dua syarat: 111 a. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati atau kurang waspada. b. Perbuatan harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati. Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi karena perbuatan itu, ia tidak melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya akibat. Apabila ia berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakan- tindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya akibat yang sebelumnya telah dibayangkan. Tindakan-tindakan pencegahan itu tergantung atas pengetahuan atau kemampuan akal yang dimiliki pelaku. Apakah seorang pelaku memiliki pengetahuan atau kemampuan akal guna melakukan tindakan-tindakan pencegahan itu dapat diketahui dengan meninjau juga masalah-masalah yang 111 H.A.K. Moch. Anwar Dading, Op.Cit., hal 110. Universitas Sumatera Utara meliputi perbuatan itu. Tidak cukup menyatakan bahwa suatu akibat timbul karena kelalaian seseorang dengan melakukan sesuatu perbuatan. 2. Mempunyai kemampuan bertanggung jawab Rumusan tindak pidana dalam KUHP mengenai kemampuan bertanggung jawab telah tidak ditentukan, artinya menurut undang-undang bukan merupakan unsur. Pasal 44 KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan secara negatif dari kemampuan bertanggung jawab. 112 Mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tindak pidana dapat terjadi tanpa perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggung jawab ataukah tidak mampu bertanggung jawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada pelakunya. Apabila menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana terdapat keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, maka barulah diperlukan atau dipersoalkan tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dan harus dibuktikan untuk tidak dipidana terhadap pelakunya. 113 Simons mengatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, mempunyai pandangan normal, yang dapat 112 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, Selanjutnya disebut Buku I, hal 146. 113 Ibid. Universitas Sumatera Utara menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapinya, yang di bawah pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula. Perihal kapankah terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pidana, dapat dijelaskan dengan 2 dua cara, yaitu sebagai berikut: 114 a. Berdasarkan rumusan Pasal 44 ayat 1 KUHP, yakni keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau jiwanya terganggu karena penyakit. Pasal ini menentukan dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab , dengan berpikir sebaliknya orang yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatannya apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana dikatakan oleh Pasal 44 ayat 1. Artinya jiwanya tidak cacat dalam pertumbuhannya, atau jiwanya tidak terganggu karena penyakit, demikian itulah orang mampu bertanggung jawab. b. Dengan tidak menghubungkannya dengan Pasal 44, menurut Satochid Kartanegara, orang yang mampu bertanggung jawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 115 1 Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa normal sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. 2 Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nnilai perbuatannya beserta akibatnya. 114 Ibid., hal 148-149. 115 Satochid Kartanegara, dalam Adami Chazawi, Ibid., hal 149. Universitas Sumatera Utara 3 Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah suatu kelakuan tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum atau oleh masyarakat maupun tata tertib. 3. Tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar Undang-undang menentukan dasar tidak dapat dipidananya seseorang, dibagi atas: 116 a. Alasan pemaaf 1 Ketidakmampuan bertanggungjawab mengenai kedewasaan; 2 Pembelaan terpaksa yang melampaui batas; 3 Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan ikt ikad baik; b. Alasan pembenar 1 Adanya daya paksa; 2 Adanya pembelaan terpaksa; 3 Sebab menjalankan perintah undang-undang; 4 Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf fait d’excuse walaupun perbuatannya terbukti melanggar UU, yang artinya perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. 116 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, Sealnjutnya disebut Buku II, hal 18-19. Universitas Sumatera Utara Perbuatan si pembuat dalam kenyataannya telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuat tidak dapat dipidana. 117

B. PelakuSubjek Hukum yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Persetujuan Istri Yang Sah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 330K/Pid/2012)

2 54 126

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Indonesia Nomor:1014k/Pid/2013) Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam pemalsuan Akta Otentik (Studi tentang putusan Mahkamah Agung republik Ind

0 1 11

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 2

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 17

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 5 62

Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014 K Pid 2013)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA A. Jabatan Notaris - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

6 44 38