sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban seorang klien yang menggunakan jasa notaris tersebut.
35
a. Etika notaris dalam menjalankan tugasnya
Kode etik berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaan jabatan
maupun dalam kehidupan sehari-hari Pasal 2 Kode Etik Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan di Bandung pada tanggal 28 Januari 2005, merupakan prinsip-
prinsip etika yang harus diikuti oleh notaris di Indonesia, berisikan pengaturan tentang hal-hal sebagai berikut:
b. Kewajiban-kewajiban profesional notaris
c. Etika tentang hubungan notaris dengan kliennya
d. Etika tentang hubungaan dengan sesama rekan notaris
e. Larangan-larangan bagi notaris
3. Pengertian Akta
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut
menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
36
Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan keterangan, pengakuan, keputusan, dsb resmi yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan
dan disahkan oleh notaris atau pejabat pemerintah yang berwenang.
37
35
Munir Fuady, Profesi Mulia Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus, Cetakan Ke I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 133
36
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Edisi Ketujuh, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2006, hal 149.
37
Sudarsono, Kamus Hukum, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2007, hal 25
Walaupun ada pembagian akta ke dalam akta otentik dan akta di bawah tangan, namun dari
Universitas Sumatera Utara
definisi di atas sudah terlihat adanya sifat otentik dari suatu akta. Yaitu dalam pembuatannya disaksikan dan disahkan oleh notaris atau pejabat yang berwenang.
Menurut Soedikno Mertokusumo, akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
38
Akta terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Skripsi ini membatasi pembahasannya pada pengertian akta otentik, karena sesuai dengan
batasan pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta. Hal ini juga sesuai dengan batasan pengertian yang diberikan undang-undang mengenai akta notaris ialah “akta otentik” yang dibuat oleh atau
di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang- undang.
Soedikno memberikan definisi yang lebih umum, menurutnya yang terpenting dalam suatu akta ialah tanda tangan pihak-pihak yang mengikatkan diri. Fungsi
tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau mengindividualisir sebuah akta, dengan tujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau
dari akta yang dibuat orang lain.
39
Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis menurut hukum
positif, akta otentik adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata: suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh
38
Soedikno Mertokusumo, Loc.Cit.
39
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
undang-undang welke in de wettelijke vorm is verleden dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum door of ten overstaan van openbare
ambtenaren yang berkuasa untuk itu daartoe bevoegd di tempat di mana akta dibuatnya.
40
Berdasarkan penjelasan di atas, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya
pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:
41
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta
otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. b.
Namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak
Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja. Di samping itu cara membuat akta otentik itu
harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada
kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta
di bawah tangan apabila ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fungsi terpenting daripada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang
kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan atas:
42
40
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 153.
41
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 566.
42
Soedikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 161.
Universitas Sumatera Utara
a. Kekuataan pembuktian lahiriah uitwendige bewijskracht
b. Kekuatan pembuktian formil formele bewijskracht
c. Kekuatan pembuktian materiil materiele bewijskracht
Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak seperti akta otentik serta memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Kekuatan pembukt ian lahir ini berlaku
bagi kepentingan dan terhadap setiap orang tidak terbatas bagi para pihak saja.
Kekuataan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya pernyataan yang dibuat oleh yang bertanda tanagan di dalam akta tersebut.
Kekuatan pembuktian formil memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam
akta. Akta yang dibuat oleh pejabat tidak lain hanya untuk membuktikan
kebenaran apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat. Apabila pejabat mendengar keterangan pihak yang bersangkutan, maka itu hanyalah
berarti telah pasti bahwa pihak yang bersangkutan menerangkan demikian, terlepas dari kebenaran isi keterangan tersebut. Kebenaran dari pernyataan
pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, maka pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian
materiil.
43
43
Ibid., hal 162.
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum
dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.
44
Penelitian doctrinal dilakukan tidak sebatas melakukan inventarisasi hukum positif, akan tetapi juga memberikan koreksi terhadap suatu peraturan perundang-
undangan. Kemudian menguji apakah postulat normatif dapat atau tidak dapat diterapkan untuk sebuah perkara konkrit.
Penelitian ini disebut juga dengan penelitian doctrinal doctrinal reseacrh.
45
2. Sumber Data
Penelitian dilakukan dengan menganalisis putusan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana notaris
terhadap akta yang dibuatnya yaitu studi Putusan MA No. 1099KPID2010. Hal ini dilakukan untuk melihat penerapan hukum positif terhadap perkara konkrit
yang terjadi di masyarakat terutama terhadap pertimbangan hakim yang menjadi dasar menjatuhkan putusan.
Data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mencakup:
44
Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum, hal 53
45
Ibid., hal 55.
Universitas Sumatera Utara