vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 19971998 benar-benar merupakan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Peristiwa itu tidak hanya menyebabkan semakin
terpuruknya kondisi perekonomian Indonesia, proses pemulihannya pun ternyata cenderung berlarut-larut. Bila ditinjau ke belakang, krisis ekonomi yang
menyebabkan porak-porandanya fondasi ekonomi politik orde baru itu, pada mulanya bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia berlangsung bersamaan dengan
terjadinya krisis serupa di beberapa Negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya. Reaksi masing-masing negara dalam menghadapi terjangan krisis ketika itu
memang berbeda-beda. Demikian pula dengan akibat yang ditimbulkannya. Indonesia, Thailand, Korea Selatan, menghadapi terjangan krisis dengan cara
menguras cadangan devisa. Sedangkan Malaysia, sebagai perkecualian, cepat-cepat menutup pintu lalu-lintas devisa mereka dan menerapkan rezim kurs tetap sebagai
sebuah tindakan pengamanan. Akibatnya, Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, terperosok ke lembah
krisis yang lebih dalam. Selain mengalami pengeringan devisa, nilai mata uang ketiga negara ini merosok secara tajam. Sebaliknya dengan Malaysia. Walaupun sempat
sama-sama mengalami guncangan politik pada masa permulaan krisis, Malaysia berhasil mengamankan cadangan devisa dan mempertahankan nilai ringgit mereka.
vii Yang paling celaka adalah nasib Indonesia, karena nasib ekonomi yang
dialami Indonesia cenderung berlarut-larut, dan bahkan meluas menjadi krisis ekonomi politik, kontrak kerjasama Indonesia dengan International Monetary Fund
IMF yang seharusnya hanya berlangsung empat tahun, secara diam-diam diperpanjang menjadi lima tahun. Bahkan, dalam mengakhiri kontrak International
Monetary Fund IMF tersebut, pemerintah Presiden Megawati sepakat untuk
memilih opsi pemantauan pasca program post program monitoring hingga 2007. Akibatnya, selain masih terus terperangkap di dalam jebakan krisis, kondisi
ekonomi Indonesia kini benar-benar terpuruk ke dalam lembah pelecehan ekonomi politik yang cenderung berkepanjangan. Kurs rupiah hingga kini masih terus
bertengger pada kisaran Rp 9.000 per satu dollar Amerika Serikat. Investasi asing langsung dan ekspor masih terus merosot. Sedangkan setiap tiga bulan sekali,
Indonesia harus bersiap-siap untuk dievaluasi dan digurui oleh International Monetary Fund
IMF.
1
Ketika krisis ekonomi melanda Asia pada pertengahan 1997, negara-negara asia timur dan tenggara tersebut justru memanfaatkan krisis ekonomi sebagai
momentum historis untuk melakukan berbagai langkah perbaikan structural. Mahathir misalnya, dengan sadar menolak resep International Monetary Fund IMF karena
pasti akan menimbulkan gejolak ekonomi dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat
1
Revrisond Baswir, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 3-5
viii menggembirakan dengan stabilitas ekonomi dan financial Malaysia, pertumbuhan
ekonomi dan menciptakan lapangan kerja juga tinggi.
2
Sikap pemerintahan terhadap utang luar negeri ternyata belum banyak berubah. Anjuran berbagai pihak agar pemerintah “menghapuskan utang lama dan
menolak utang baru,” cenderung diabaikan begitu saja. Alih-alih minta penghapusan utang, sekedar mempercepat penghapusan pelunasan utang kepada International
Monetary Fund IMF pun pemerintah tampak berat hati. Sikap pemerintah yang
sangat bersahabat dengan utang luar negeri dan International Monetary Fund IMF itu sangat jelas bertolak belakang dengan kecendrungan internasional mengenai hal
tersebut. Sebagaimana diketahui, secara internasional, kritik terhadap utang luar negeri cendrung semakin meningkat. Kritik tidak hanya muncul sehubungan dengan
efektifitasnya, tetapi meluas hingga mencakup sisi kelembagaan, sisi idiologi, serta implikasi sosial dan politiknnya.
Pada sisi efektifitasnya, secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara
dunia ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial. Merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan. Sedangkan secara
eksternal, utang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan
2
Rizal Ramli, Pengantar CATATAN HITAM LIMA PRESIDEN INDONESIA Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Menuju Indonesia
Jakarta: UFUK PUBLISHING HOUSE, PT Cahaya Insan Suci. 2008.
ix negara-negara Dunia ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan
utang luar negeri secara berkesinambungan. Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti
International Monetary Fund IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank
ADB, tidak hanya dipandang telah bersikap tidak transparan dan tidak auntabel. Keduanya telah diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara
dunia pertama pemegang utama saham mereka, untuk mengintervensi Negara-negara penerima pinjaman.
Pada sisi ideologinya, utang luar negeri diyakini telah dipakai oleh Negara- negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan
kapitalisme Neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan dipakainya utang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal, berarti utang
luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia. Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, utang luar
negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima
pinjaman. Secara tidak langsung ia diyakini turut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan
perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan.
3
3
Revrisond Baswir,. “Krisis Ekonomi Dunia”. Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia”
Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006, h. 2
x Para kritisi pembangunan saat ini cenderung menuduh bahwa rezim neo-
liberal adalah rezim yang paling bertanggungjawab atas kegagalan pembangunan tersebut. “The Silent Takeover: Global Capitalism and The Death of Democrazy.”
Saat ini keberadaan state atau government seperti politisi, partai, elit, militer, pendidik cenderung hanya sebagai instrumen yang memfasilitasi ekspansi pasar
bebas. Rezim neo-liberal seperti pemerintah USA, EROPA, Asian Development Bank
ADB, International Monetary Fund IMF dan World Bank telah melumpuhkan kemampuan negara dalam hal kontrol atas sumber daya dalam hal ini
dicurigai sebagai penyebab kematian demokrasi.
4
Setelah kejatuhan Presiden Soekarno, banyak teknokrat merapat dan mengabdi selama 32 tahun kepada rezim otoriter Soeharto. Banyak dari anggotanya
yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang ekonomi dan menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank Dunia dan USAID. Para
teknokrat sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh
Washington. Garis kebijakan ekonomi ini di kemudian hari dikenal dengan “Washington
Konsensus ”. Istilah
“Washington Konsensus” pertama kali diperkenalkan oleh ekonom kondang John Williamson dari Institute for International
Economics , istilah ini digunakan John Williamson untuk merujuk hasil konsensus
4
Noreena Hertz, Perampok Negara; Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Penerjemah Muhammad Mustafid Yogyakarta: Alenia, 2005, h. 229-242.
xi yang dihasilkan oleh ekonom-ekonom dari kubu konservatif dan liberal di
Washington dalam menggagas dan merumuskan lembaga multilateral IMF dan Bank Dunia beserta pemerintah Amerika Serikat diwakili Menteri Keuangan, serta
beberapa “tangki pemikiran” think tanks di kota itu. Dunia sekarang dicirikan sebagai “keterhubungan berskala global”. Dalam
cuaca yang demikian itu, Indonesia sedang berusaha merumuskan identitas dirinya. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri: terdapat arus kultur global yang bergerak
begitu cepat dikendalikan oleh iklim kapitalisme dan neoliberalisme; sebuah kultur dengan kekuatan dasar daya ekonomi. Kenyataan lain yang tidak dapat disangkal
Indonesia sebagai bagian dari jagat global memiliki kebudayaan lokal sendiri yang tidak semestinya lenyap pada dominasi budaya global itu, memang dalam situasi
dunia yang mengglobal, pencarian identitas kultural tidak dapat dikatakan mudah. Bahkan untuk berdiri sendiri sebagai subjek-otonom yang mampu menemukan
makna dari bagi dirinya sendiri pun sudah rumit. Dengan memahami definisi fiqh sebagai al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyyah al-
amaliyyah al-muktasab min adillatiha al-tafsiliyya ’
5
mengetahui hukum syari’a amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global, fiqh memiliki
peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Artinya definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali al-muktasab menumbuhkan
pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya
5
Adib Rofi’uddin Izza, AZ-ZUBAD, Cirebon: Buntet Pesantren Sindanglaut, 1994, h. 1-3
xii dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umum kita kenal sebagai ijtihad itu
bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga mengembangkan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan.
Perkembangan cara menjajah bangsa, mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik melalui fisik, ideologi, budaya. Seperti halnya fiqh yang selalu
mengalami dinamisasi perkembangan, politik juga mengalami perubahan yang sama. Sehingga pemahaman mengenai kolonialisme juga mengalami cara pandang baru.
Dalam konteks utang luar negeri sebagai alat invasi politik seperti terjadi di Indonesia, utang luar negeri bisa menjadi sandungan yang sangat berarti dalam proses
terciptanya sebuah bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, pandangan fiqh menjadi menarik dalam tulisan ini. Karena dalam pandangan fiqh ada sesuatu yang perlu
dikaji ulang mengenai mekanisme utang luar negeri yang terjadi di Indonesia, yang selama ini utang luar negeri tidak memberikan tangguhan sampai Indonesia bisa
membayarnya. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 280 Allah menjelaskan:
+ , -
012 456
8 9 :;=
Artinya “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. QS. Al-Baqarah: 280
xiii Dengan dasar pemikiran inilah penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih
jauh tentang POLITIK UTANG LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PANDANGAN FIQH SIYASAH.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah