Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

xxix dan atau dalam bentuk jasa temasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali. Utang luar negeri yang diterima Pemerintah, dimaksudkan sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan, disamping sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan baik tabungan masyarakat dan sektor swasta. Salah satu masalah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah keterbatasan modal dalam negeri. Hal ini tercermin pada angka kesenjangan tabungan investasi “Saving-Investment Gap” S-I gap dan “Foreigan Exchange Gap” forex gap. Saving Investment gap menggambarkan kesenjangan antara tabungan dalam negeri dengan dana investasi yang dibutuhkan.

B. Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar KMB. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif xxx utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya. 18 Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri ULN sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar, bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar jika dikonversikan, sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar. Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto. Bagaimanapun, pewarisan utang pemerintah suatu era kepada era berikutnya telah berlangsung. Tidak ada penghapusan beban utang dalam besaran yang cukup berarti, yang disebabkan oleh pergantian kekuasaan atau kebijakan pemerintah baru. 18 Cyrilluc Harinowo, UTANG PEMERINTAH, Perkembangan, Prospek, dan pengelolaannya h. 4 xxxi Keringanan atas beban utang hanya diberikan oleh para kreditur berupa penjadwalan pembayaran untuk waktu yang tidak terlampau lama, ketika terjadinya krisis 1997. Krisis justeru memaksa pemerintah untuk menambah posisi utangnya melalui pinjaman kepada IMF. Meskipun sifatnya adalah untuk berjaga-jaga dan akhirnya ”tidak dipergunakan”, biaya utangnya tetap harus dibayar. Selain itu, krisis memberi beban tambahan bagi pemerintah. Diantaranya berupa jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta tanggungan pemerintah atas beberapa utang swasta yang gagal bayar default. 19 Kreditur luar negeri malah cenderung sedikit berbaik hati tatkala Indonesia mendapat musibah tsunami Aceh dan Nias. Beberapa miliar dolar ULN pemerintah yang mestinya jatuh tempo pada tahun itu, dijadwal ulang pembayarannya untuk lima tahun ke depannya, dengan masa jeda pembayaran antara satu sampai dengan dua tahun. 1. Utang Pemerintah Orde Lama Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak 19 Cyrilluc Harinowo, UTANG PEMERINTAH, Perkembangan, Prospek, dan pengelolaannya h.74 xxxii dinyatakan dihapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pemerintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga. 20 Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara- negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun dihentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri. Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang 20 Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”. Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia” Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006, h. 4 xxxiii kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga terhadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia. Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan mengemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karena berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik. 21 Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi. Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD 17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun 21 Sri Edi Swasono dan Ridjal F, ed., “Masalah Bantuan Perkembangan Bagi Indonesia”, Jakarta: Universitas Indonesia, 1992, h. 195-218 xxxiv kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia dinyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB. 22 Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat dalam data statistik oleh Kusfiardi 23 utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno. Masalah utang luar negeri sama sekali bukan masalah baru bagi Indonesia. Walaupun masalah ini baru terasa sebagai masalah yang cukup serius sejak terjadinya transfer negatif bersih net negatif transfer dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 19841985, masalah utang luar negeri sudah hadir di 22 Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia” Jakarta: Koalisi Anti Utanng, 2006, h. 3 23 Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”, h. 4 xxxv Indonesia sejak awal kemerdekaan. Sebagaimana diketahui, kemerdekaan secara resmi baru diakui oleh masyarakat internasional pada Desember 1949. Namun sebagai persiapan untuk memperoleh utang luar negeri telah berlangsung sejak 1947. Bahkan, pada tingkat wacana, perbincangan mengenai arti penting utang luar negeri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat telah berlangsung sejak November 1945. Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila segera setelah pengakuan kedaulatan, utang luar negeri segera hadir dalam catatan keuangan pemerintah. Lebih-lebih, sesuai dengan hasil konferensi meja bundar KMB, pengakuan kedaulatan Indonesia ternyata harus dibayar mahal dengan mengakui utang luar negeri Hindia Belanda. 24 Akibatnya, terhitung sejak 1950, pemerintah serta merta memiliki dua jenis utang luar negeri: warisan Hindia Nelanda 4 Milyar Dollar AS, dan utang baru Rp 3,8 Milyar. Setelah itu utang luar negeri terus mengalir. Dalam periode 1951-1956, utang luar negeri yang dibuat pemerintah masing-masing berjumlah: Rp 4,5 Milyar, Rp 5,3 Milyar, Rp 5,2 Milyar, Rp 5,2 Milyar, Rp 5,0 Milyar, dan Rp 2,9 Milyar. 25 Komitmen untuk membangun ekonomi nasional yang berbeda dari ekonomi kolonial itu antara lain terungkap pada kuatnya hasrat para Bapak pendiri bangsa untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam penguasaan faktor-faktor produksi di tanah air. Sebab itu, jika dilihat dari sudut utang luar negeri, sikap para Bapak pendiri 24 Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”, h.4 25 Kusfiardi, “Statistik Utang Luar Negeri Pemerintahan Indonesia”, h. 3 xxxvi bangsa cenderung mendua. Di satu sisi mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Tetapi, di sisi lain, mewaspadai penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia, mereka cenderung menetapkan syarat yang cukup ketat dalam membuat utang luar negeri. Sikap waspada para pendiri bangsa terhadap bahaya utang luar negeri itu antara lain terungkap pada syarat pembuatan utang luar negeri sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad hatta berikut: pertama, Negara memberi pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri Negara yang meminjam. Kedua, suku bunganya tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen setahun, ketiga, jangka waktu utang luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun. Sedangkan untuk pembangunan infrastruktur, harus lebih dari itu. 26 Sikap waspada Soekarna-Hatta terhadap utang luar negeri itu ternyata tidak mengada-ngada. Setidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang membuktikan bahwa utang luar negeri memang cenderung dipakai oleh Negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk menciderai kedaulatan Indonesia. Peristiwa pertama terjadi tahun 1950. Menyusul kesediaannya untuk memberikan pinjaman sebesar US 100 juta, pemerintah Amerika kemudian menekan Indonesia untuk mengakui keberadaan pemerintah Bao Dai di Vietnam. Karena tuntutan tersebut tidak segera dipenuhi oleh Indonesia, pemberian pinjaman itu akhirnya ditunda pencairannya oleh Amerika. 26 Sri Edi Swasono dan Ridjal F, ed., “Masalah Bantuan Perkembangan Bagi Indonesia”, h. 201 xxxvii Peristiwa kedua terjadi tahun 1952. Setelah menyatakan komitmennya untuk memberikan pinjaman, Amerika kemudian mengajukan tuntutan kepada PBB untuk meningkatkan pengiriman bahan-bahan mentah strategis seperti karet, ke Cina. Sebagai Negara produsen karet dan agnggota PBB, permintaan tersebut akhirnya dipenuhi Indonesia. Peristiwa yang paling dramatis terjadi tahun 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia menanggapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Inggris. Mengetahui hal itu, pemerintah Amerika tidak bisa menahan diri. Setelah sebelumnya mencoba menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan pelaksanaan program stabilisasi IMF, Amerika kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan agar Indonesia segera mengakhiri Konfrontasi dengan Malaysia. 27 Campur tangan Amerika tersebut, ditengah-tengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di tanah air, ditanggapi soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan Amerika. Ungkapan “go to hell with your aid” yang terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada Amerika puncaknya, tahun 1965, Soekarno memutuskan untuk menasionalisasikan beberapa perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia. Namun demikian, perlawanannya yang sangat keras itu akhirnya harus dibayar mahal oleh Soekarno. Menyusul memuncaknya krisis ekonomi nasional pada 16 Burhanuddin Abdullah. Menanti Kemakmuran Negeri, Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama, 2006, h. 73-75 xxxviii pertengahan 1960-an, yaitu yang ditandai terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap 6 jenderal pada 30 September 1965, tepat tanggal 11 Maret 1966 Soekarno secara sistematis mendapat tekanan untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto. Sebagaimana diketahui, selain menandai berakhirnya era Soekarno, peristiwa dramatis itu sekaligus menandai naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia. 28 PEMBUATAN UTANG LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAHAN SOEKARNO 29 28 Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme”, h. 15 29 Kusfiardi, statistik utang luar negeri pemerintahan Indonesia, h. 2 TAHUN 1950,utang pemerintah tercatat 6,3 miliar dollar AS. Terdiri dari: 1. Utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS. 2. Utang luar negeri baru 2,3 miliar dollar AS. • Utang luar negeri warisan Hindia Belanda memang tidak pernah dibayar oleh Soekarno, tetapi utang luar negeri baru terus mengalir. • Utang luar negeri yang di buat pemerintah dalam periode 1950-1956 masing-masing berjumlah: 1. 1950 Rp. 3,8 miliar. 2. 1951 Rp. 4,5 miliar. 3. 1952 Rp. 5,3 miliar. 4. 1953 Rp. 5,2 miliar. 5. 1954 Rp. 5,2 miliar. 6. 1955 Rp. 5 miliar. 7. 1956 Rp. 2,9 miliar. xxxix C. Utang Pemerintah Orde Baru Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undangundang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.11967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF. 30 Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok 30 Joseph Hanlon, Warisan Hutang Rezim Soeharto, penerjemah Zaim Saidi dan Kurniawati, PIRAC dan INSIST PRESS: Juni 2000, h. vii xl sebagian besar utang. 31 Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga. 32 PEMBUATAN UTANG LUAR NEGERI OLEH PEMERINTAHAN SOEHARTO 33 1989 1990 1991 1992 1993 Commitment 12.512.300 10.748.406 11.508.084 15.652.13 22.631.35 Jmlh Yg Dicairkan 6.674.924 4.437.649 6.418.417 6.631.957 6.275.948

D. Pasca Reformasi