liii yang lama, dan diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi, politik dan militer
terbesar di Asia dalam satu dekade mendatang.
41
B. Utang sebagai Sumber Devisa Pemerintah
Jumlah utang luar negeri pemerintah yang besar pada akhirnya harus dibandingkan dengan kekayaan yang ada. Selain aset BUMN maupun yang dimiliki
BPPN, pemerintah masih memiliki kekayaan yang sangat besar dalam bentuk sumber daya alam. Dalam hal ini, ketergantungan neraca pembayaran maupun APBN pada
hasil sumber daya alam ini masih sangat besar. Penerimaan minyak maupun pajak yang dikenakan pada perusahaan minyak secara netto merupakan suatu jumlah yang
masih cukup mendominasi. Jumlah aliran dana dari minyak tersebut diperoleh dari perusahaan-perusahaan
minyak asing, selain Pertamina, yang jumlahnya terbatas. Namun, mengingat jumlahnya sangat krusial, perlu suatu upaya monitoring yang sangat ketat agar semua
sumber daya yang seharusnya memang menjadi hak Pemerintah itu jauth ke tangan pemerintah. Di masa yang lalu, penerimaan minyak ini di transfer langsung dari
perusahaan-perusahaan minyak asing ke rekening Bank Indonesia di New York. Tidak begitu jelas lagi apakah mekanisme semacam ini masih berlangsung demikian
dan dilakukan secara disiplin. Demikian juga, perlu dijaga agar jumlah yang di
41
Data diperoleh dari tulisan Rizal Ramli, “Mafia Berkeley: Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia”
, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasioanal, “50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Jakarta: koalisi Anti Utang, 2006, h.4.
liv transfer tersebut memang jumlah yang seharusnya diserahkan. Dalam hal ini, perlu
dijaga agar proses tersebut dapat berjalan dengan suatu mekanisme control yang diperkuat. Jika untuk penjualan suatu asset yang tidak seberapa nilainya di audit
maupun proses due-diligence yang sangat ketat, kiranya sudah waktunya atau malah sudah terlambat untuk melakukan hal itu bagi penerimaan yang sangat vital bagi
Negara ini. Dengan melihat hal tersebut secara lebih menyeluruh, rasanya kekhawatiran
besar yang selama ini selalu melingkupi masyarakat dapat sedikit demi sedikit dikurangi, sehingga Tim Ekonomi dapat bekerja dalam tantangan yang lebih
“manageable”. Namun sebagaimana digambarkan strategi pembangunan dengan
memanfaatkan pembiayaan utang pada akhirnya telah berhasil membangun basis yang kuat pada perekonomian untuk menciptakan kemampuan dalam melakukan
pelunasan utang tersebut. Kemampuan negara dalam mengumpulkan penerimaan pajak serta
kemampuan perekonomian dalam mendukung ekspor adalah dua hal penting yang dibutuhkan dalam memupuk kemampuan pemerintah untuk melakukan pelunasan
kewajiban bunga dan cicilan utang luar negeri. Secara kronologism, perkembangan utang luar negeri pemerintah Indonesia dapat diikuti dari tabel berikut ini
lv Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah
dalam Juta Dollar
42
Tahun Total ULN
Pemerintah Tahun
Total ULN Pemerintah
Tahun Total ULN
Pemerintah 1966
2.015 1978
11.330 1990
45.100 1967
2.076 1979
11.775 1991
45.725 1968
2.74 1980
12.994 1992
48.769 1969
2.437 1981
13.945 1993
52.462 1970
2.778 1982
16.767 1994
58.616 1971
3.225 1983
19.953 1995
59.588 1972
3.617 1984
21.589 1996
55.303 1973
4.426 1985
25.321 1997
53.865 1974
4.851 1986
31.521 1998
67.315 1975
6.611 1987
38.417 1999
75.720 1976
8.295 1988
38.983 2000
74.891 1977
9.654 1989
39.577
42
Data dari Bank Indonesia untuk akhir tahun 2000 menunjukan seluruh utang luar negeri Indonesia berjumlah141,7 miliar dollar AS, yang terdiri dari Utang Pemerintah sebesar 74,9 miliar
dollar, sedangkan selebihnya dilakukan oleh BUMN, bank-bank dan swasta non bank. Sementara itu, data untuk bulan Februari 2001 dari Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan RI
menyebutkan bahwa data utangn luar negeri Pemerintah adalah 61,2 miliar dollar AS.
lvi Berdasarkan
gambaran keseluruhan
tersebut dapat
dilihat bahwa
perkembangan utang luar negeri pemerintah memang mengalami fluktuasi meskipun trendnya tetap menunjukan peningkatan.
Pada pertenganhan dasawarsa 1970-an terdapat lonjakan yang cukup tinggi karena “credit worthiness” pemerintah meningkat dengan adanya kenaikan nilai
ekspor migas. Namun pada saat yang sama kenaikan pinjaman tersebut juga terjadi karena pada akhirnya pemerintah harus menanggung utang yang semula dilakukan
oleh pertamina. Pada pertengahan dasawarsa 1980-an terdapat lonjakan berikutnya. Hal ini
terjadi karena menguatnya mata uang yen terhadap dollar AS sehingga pada akhirnya mempengaruhi jumlah utang yang ada dalam satuan dollar AS. Sementara itu,
jatuhnya harga minyak pada pertengahan dasawarsa tersebut membuat pemerintah terpaksa menarik utang luar negeri yang lebih besar, termasuk dari IMF dalam bntuk
“compensatory Financing Facility”, selain pinjaman dari Bank Dunia, ADB dan pemerintah jepang dalam bentuk “fast disbursing loans”.
Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang pemerintah, yang sebagian disebabkan juga oleh perubahan nilai
tukar mata uang. Namun demikian, trend penurunan ini akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1998 dan 1999 karena terjadinya krisis di Indonesia
maupun terjadinya perubahan kurs antara mata uang utama. Pada tahun 1998 kenaikan pinjaman tersebut sebesar 13,45 milyar dollar AS. Sedangkan pada tahun
1999 masih terjadi kenaikan lagi sebesar 8,4 miliar dollar AS. Namun demikian,
lvii tahun 2000 jumlah utang kembali mengalami sedikit penurunan. Perkembangan
tersebut merupakan suatu bahan “renuangan” yang menarik mengenai strategi pembiayaan pembangunan dengan memanfaatkan utang luar negeri.
lviii
BAB IV UTANG LUAR NEGERI ANTARA KESENJANGAN DAN