BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan akhirnya krisis multi dimensional yang
telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada tahun 1998 menurut Badan
Pusat Statistik BPS pusat angka pengangguran itu telah mencapai 13,8 juta orang dan jumlah orang miskin mencapai 80 juta orang serta pada periode 1999-
2003 jumlah tersebut relatif bertahan sejalan dengan belum selesainya krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia. Menurut Ruyadi 2004 tingginya angka
pengangguran itu faktor utamanya adalah kolapsnya sejumlah perusahaan besar karena tidak mampu mengatasi dampak dari krisis ekonomi tersebut sehingga
banyak pekerjanya yang di PHK Pemutusan Hubungan Kerja. Di sisi lain, krisis ekonomi telah menumbuhkan “berkah” berupa lahirnya para entrepreneur baru.
Mereka ini adalah orang-orang yang jeli melihat peluang dan tak gamang menghadapi kesulitan. Ketika banyak orang meratapi nasibnya yang malang
akibat terkena PHK dan juga tidak dapat pekerjaan, mereka mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan orang
lain. Sehingga menurut BPS jumlah penganggur pada Februari 2011 mengalami penurunan sebesar 200 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2010 dan
mengalami penurunan 470 ribu orang jika dibanding keadaan Februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, bangsa Indonesia ditantang bukan hanya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang siap
bekerja, melainkan juga harus mampu mempersiapkan dan membuka lapangan kerja baru. Masyarakat kita dididik untuk menjadi para pencari kerja. Dengan
kondisi perekonomian yang tidak stabil, kemapanan dan keamanan dalam bekerja adalah tujuan utama, dan kemapanan tersebut didapat saat kita menjadi karyawan
yang mendapat gaji bulanan yang tetap. Sekolah, kuliah dan melamar pekerjaan sudah menjadi tradisi di negeri kita Soetadi, 2010.
Dunia entrepreneur wirausaha masih ditakuti oleh sebagian orang karena dianggap gambling dengan pendapatan yang fluktuatif, kadang naik, kadang
turun, dan bisa saja bangkrut. Padahal tidak sedikit entrepreneur yang sukses. Bahkan kebanyakan orang kaya di Indonesia saat ini adalah entrepreneur. Selain
itu, saat kita menerjunkan diri menjadi seorang wirausahawan, kita sudah turut andil dalam membuka lapangan pekerjaaan yang saat ini menjadi permasalahan
global Soetadi, 2010. Hendy Setiono, Presiden Direktur Kebab Turki Baba Rafi Surabaya adalah
salah satu wirausahawan muda yang sukses dalam berwirausaha. Hendy belajar untuk membuat kebab ketika dia berada di Qatar. Awalnya Hendy hanya mencoba
makanan yang banyak dijualbeli oleh warga setempat. Ketika dia memakan kebab tersebut langsung terbesit di pikiran Hendy untuk membuka usaha kebab di
Indonesia. Ketika tiba di Surabaya, dia langsung menyusun strategi bisnis bersama kawan bisnisnya Hasan Baraja. Awalnya mereka sengaja melakukan trial
dan error untuk menjajaki peluang bisnis serta pangsa pasarnya. Ternyata resep
Universitas Sumatera Utara
kebab dari Qatar tidak begitu disukai oleh konsumen. Sehingga mereka memodifikasi rasa dan ukuran yang sesuai dengan orang Indonesia. September
2003, gerobak jualan kebab pertamanya mulai beroperasi. Mengawali sebuah bisnis tidaklah mudah. Apalagi untuk meraih sukses. Suka duka pun dirasakan
oleh Hendy. Misalnya, uang jualan dibawa lari karyawannya, banyak karyawan yang keluar masuk. Bahkan pernah suatu hari dia tidak memiliki karyawan
sehingga Hendy dan istri yang berjualan. Hari itupun kebetulan hujan sehingga tidak banyak orang yang membeli kebab dan pemasukan pun sedikit
Irpanudin ,
2009. Hendy tidak ingin setengah-tengah dalam menjalankan bisnis. Akhirnya
dia memutuskan berhenti dari bangku kuliah. Hendy tidak menyesal meninggalkan bangku kuliah untuk membangun usaha. Keputusan dia untuk
meninggalkan bangku kuliah juga sempat ditentang oleh orang tuanya karena dianggap bisnis yang akan dilakukannya adalah proyek iseng. Yang luar biasa
kesuksesan bisnis Hendy tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkannya. Dalam waktu 3-4 tahun, dia berhasil mengembangkan sayap di
mana-mana. Bahkan, hingga pengujung 2006 pengusaha muda tersebut mencatat telah memiliki 100 outlet Kebab Turki Baba Rafi yang tersebar di 16 kota di
Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, Hendy berencana mengembangkan usahanya ke luar negeri. Hendy juga sempat ditawari dari Trinidad dan Tobago serta
Kamboja untuk membuka outlet Irpanudin
, 2009 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan
dunia kewirausahaan akan banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang wirausahawan
membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya. Menurut Stoltz 2000 adversity quotient AQ merupakan sikap mental yang berupa kemampuan
seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan
hidup. Stoltz 2000 mengemukakan adversity quotient merupakan faktor yang
paling penting dalam meraih kesuksesan. Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan dan serangkaian peralatan yang
memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Seseorang yang memandang dan mampu mengubah kesulitan atau hambatan sebagai suatu
tantangan dan peluang menurut Stoltz 2000 adalah seseorang yang akan mampu terus berjuang dalam situasi apapun sehingga mereka akan mencapai kesuksesan.
Seseorang yang terus berjuang dan berkembang pesat adalah seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi. Seseorang dengan adversity quotient
tinggi ini adalah individu yang merasa berdaya, optimis, tabah, teguh dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan.
Adversity quotient memiliki empat dimensi utama yang dapat membentuk AQ seseorang kuat yaitu control, dimensi ini mempertanyakan seberapa besar
kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Origin dan ownership, dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang
menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui
Universitas Sumatera Utara
akibat kesulitan tersebut. Reach, dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan seseorang. Endurance,
dimensi ini mempertanyakan seberapa lama kesulitan akan berlangsung atau seberapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung Stoltz, 2000.
Menurut Koentjaraningrat dalam Dewi, 2005, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, nilai-nilai budaya satu suku bangsa dapat
berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir, emosi, dan tingkah laku individu dalam setiap suku bangsa. Dalam
penelitian ini, peneliti hendak melihat perbedaan adversity quotient wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Peneliti tertarik untuk meneliti wirausahawan Batak Toba
dan Jawa karena kedua budaya tersebut semakin hari semakin berusaha mengembangkan usahanya dan semakin banyaknya muncul para wirausahawan
baru. Menurut Stoltz 2000 ada sembilan faktor pendukung kesuksesan
seseorang yaitu kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pendidikan dan keyakinan. Faktor tersebut dapat mempengaruhi AQ
yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu faktor yang mempengaruhi AQ yang dapat membedakan AQ yang dimiliki oleh wirausaha etnis Batak Toba dan Jawa
adalah karakter. Karakter yang dimiliki oleh masing-masing budaya adalah berbeda. Pewarisan kultur genetis suatu bangsa dapat menjadi alasan mengapa
suku atau bangsa tertentu memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini bukan semata-mata terjadi karena perbedaan iklim dan geografis tempat pribadi hidup,
Universitas Sumatera Utara
melainkan pola perilaku, sifat, temperamen, perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa lain Koesoema, 2007.
Secara stereotipe, orang Jawa umumnya dikenal karena gaya bicaranya yang lemah lembut, sabar, memiliki sikap pasrah, nrimo dan pantang untuk
berbicara dan bertingkah laku keras. Menurut Mulder dalam Dewi, 2005, masyarakat Jawa tidak menyukai emosi kuat dan marah, karena bila hal tersebut
diungkapkan dalam suatu hubungan interpersonal dapat merusak keselarasan sosial. Oleh karena itu, kelembutan perasaan merupakan nilai yang sangat
dihargai dalam masyarakat Jawa. Sebaliknya, orang Batak Toba umumnya dikenal karena kegigihan dalam memperoleh sesuatu, gaya bicarannya yang keras,
memiliki keberanian untuk membela kepentingan seluruh keluarga dan sanak saudara, tidak pasrah menerima keadaan, dan biasa bertindak tegas. Stereotipe
orang Batak Toba ini pada dasarnya terbentuk dari nilai-nilai budaya Batak Toba yang sejak dulu dianut dan disampaikan secara turun-temurun Dalihan Na Tolu.
Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat bahwa adversity quotient orang Batak Toba lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dikarenakan orang Batak
Toba memiliki sebahagian ciri-ciri orang yang memiliki AQ yang tinggi yaitu orang yang terus berjuang dalam bentuk kegigihannya dalam memperoleh
sesuatu, memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan yang ditunjukkan dengan sikap tidak pasrah menerima keadaan. Sedangkan orang Jawa tidak
termasuk orang yang memiliki AQ yang tinggi berdasarkan stereotipe nya. Karena orang Jawa memiliki sikap pasrah dan nrimo Dewi, 2005
Universitas Sumatera Utara
Tiap etnis yang ada di Indonesia juga memiliki falsafah hidup masing- masing. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling
umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu
masyarakat. Etnis Jawa memiliki falsafah hidup tersendiri yang terkandung dalam lima hakekat pokok yaitu hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat waktu, hakekat
hubungan manusia dengan sesamanya dan hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Misalnya falsafah hidup Jawa yang berisi hakekat hidup adalah
falsafah nrima ing pandum yang hampir semua orang Jawa mengenalnya adalah menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan
falsafah ini orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gauthama dalam Hadi, 2003 di
lima daerah yaitu kota Yogyakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan dan Pasuruan diperoleh hasil bahwa sebagian besar masyarakat, baik masyarakat kelas bawah,
menengah maupun atas masih memahami dan menganut falsafah ini dan hanya sebagian kecil yang tidak memahaminya.
Menurut Tinambunan 2010 suku bangsa Batak menjalani hidup sehari- hari juga berdasarkan prinsip-prinsip falsafah batak. Falsafah Batak adalah suatu
kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang ciri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi antara yang satu dengan
yang lainnya, yang saling mempengaruhi, saling menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan yang diikat dengan sistem Dalihan Natolu.
Prinsip-prinsip yang mendasar tersebut masih aktual dan sangat sering dilakonkan
Universitas Sumatera Utara
oleh sebagian besar orang Batak untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan, kekerabatan dan adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Adapun tujuh falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup dalam acara-acara adat, keagamaan, pesta, acara kekeluargaan dan kegiatan-kegiatan lain
yang dilakukan oleh komunitas Batak yaitu Mardebata punya Tuhan, Marpinompar punya keturunan, Martutur punya kekerabatan, Maradat
punya adat istiadat, Marpangkirimon punya pengharapan, Marpatik punya aturan dan Undang-Undang, Maruhum punya hukum. Misalnya salah satu
falsafah hidup orang Batak adalah hamoraon, yang artinya setiap orang Batak bercita-cita ingin memiliki harta dan kekayaan. Oleh karena itu, orang Batak
begitu gigih mencari uang. Laki-laki ataupun perempuan sama saja, tidak dibeda- bedakan. Identik hamoraon kekayaan dipakai untuk mencari hasangapon
terpandang dengan menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing
budaya memiliki karakter yang berbeda. Nilai falsafah hidup kedua budaya juga berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan adversity quotient kedua budaya juga
berbeda. Karakter seseorang yang tercermin dari nilai falsafah hidupnya dapat mempengaruhi adversity quotient yang dimilikinya. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang adatidaknya perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa.
Universitas Sumatera Utara
B. RUMUSAN MASALAH