PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA WIRAUSAHA

c. Pengalaman Staw berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan, terutama bila bisnis baru itu berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumnya. Menurut Hisrich Brush wirausaha yang memiliki usaha maju saat ini bukanlah usaha pertama kali yang dimiliki. Pengalaman mengelola usaha bisa diperoleh sejak kecil karena pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha. d. Pendidikan Pendidikan merupakan syarat keberhasilan bagi seorang wirausaha. Tingkat pendidikan rata-rata wirausaha adalah pendidikan menengah atas. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala kecil, dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

D. PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA WIRAUSAHA

ETNIS BATAK TOBA DAN JAWA Kewirausahaan pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker dalam Purnomo, 2011 misalnya, pernah menulis dalam Innovation and Entrepremeurship bahwa, “Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha dan berperilaku seperti wirausaha”. Sebab kewirausahaan lebih merupakan perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi”. Perilaku, konsep dan teori merupakan hal-hal yang dapat dipelajari Universitas Sumatera Utara oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak perlu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja. Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat berwirausaha tidaklah benar. Sebab dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minangkabau dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha. Jika kita kaitkan dengan budaya tertentu, misalnya orang Batak Toba dan Jawa sangat cocok untuk bekerja di dunia kewirausahaan karena kedua etnis tersebut memiliki salah satu sifat-sifat wirausaha, yaitu sifat suka bergaul dengan orang lain. Dimana kedua etnis tersebut memiliki falsafah hidup yang menekankan pada pemeliharaan hubungan yang baik dengan sesama manusia. Pada orang Jawa sifat tersebut terdapat dalam falsafah tentang hakekat hubungan manusia dengan sesamanya. Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tanggamasyarakat Hadi, 2003. Sedangkan pada orang Batak sifat tersebut terdapat dalam falsafah martutur punya kekerabatan. Masyarakat Batak memelihara hubungan yang baik dengan memegang teguh kekerabatan yang ada. Sehingga setiap pertemuan, orang Batak selalu tampak dan Universitas Sumatera Utara mudah akrab berdasarkan pertuturannya Tinambunan, 2010. Sifat suka bergaul dengan orang lain sangat dibutuhkan untuk menjadi wirausahawan karena mereka dituntut untuk mampu mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun yang tidak. Hubungan yang baik perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas Hutagalung dan Situmorang, 2008. Dunia kewirausahaan memiliki banyak tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang wirausahawan membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya. Menurut Stoltz 2000 adversity quotient AQ merupakan sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ memiliki empat dimensi yaitu control, origin ownership, reach dan endurance. Penelitian ini hendak melihat perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Menurut Stoltz 2000 ada sembilan faktor pendukung kesuksesan seseorang yaitu kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, pendidikan dan keyakinan. Faktor tersebut dapat mempengaruhi AQ yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu faktor yang mempengaruhi AQ yang dapat membedakan AQ yang dimiliki oleh wirausahawan Batak Toba dan Jawa adalah karakter. Hal ini dapat dilihat dari Universitas Sumatera Utara karakter masing-masing budaya pada dimensi-dimensi yang membentuk AQ yaitu control, origin ownership, reach dan endurance. Karakter yang dimiliki oleh masing-masing budaya adalah berbeda. Pewarisan kultur genetis suatu bangsa dapat menjadi alasan mengapa suku atau bangsa tertentu memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini bukan semata-mata terjadi karena perbedaan iklim dan geografis tempat pribadi hidup, melainkan pola perilaku, sifat, temperamen, perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa lain Koesoema, 2007. Perbedaan AQ pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa dapat dilihat juga dari karakter tiap budaya pada masing-masing dimensi AQ. Dimensi pertama AQ adalah control. Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Orang yang memiliki AQ yang lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada orang yang AQ nya lebih rendah. Sehingga mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Mereka yang AQ nya lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti Stoltz, 2000. Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, orang Batak Toba cenderung memiliki control yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan orang Batak Toba yang hanya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang sederhana, namun orang tua menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak. Orang tua dapat membuat anak-anaknya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat Universitas Sumatera Utara tinggi dan berhasil meraih “gelar sarjana”. Sehingga banyak orang Batak Toba yang berhasil menyekolahkan anaknya walaupun kehidupan mereka cukup sederhana. Misalnya saja, seorang Ibu Batak Toba berperan sangat dominan dan bersedia untuk memberikan segalanya berkorban untuk keberhasilan anak- anaknya. Ia tidak memperdulikan penampilan, sambil mengasuh anak mencangkul sawah, mengerjakan rumah tangga sehari-hari dan rela hanya makan ikan asin sementara anaknya makan ikan basah. Bila suami sudah meninggal pada umumnya mereka tidak menikah lagi. Hal ini menggambarkan bahwa orang Batak Toba gigih dan berusaha keras untuk menjalankan kehidupan ini Irmawati, 2007. Sedangkan orang Jawa dalam menjalankan hidup menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Mereka juga percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya pada masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan menganggap bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Bekerja memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Mereka tidak memikirkan hal lain seperti pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang Batak Toba memiliki kendali untuk menghadapi kesulitan dibandingkan orang Jawa Hadi, 2003. Dimensi kedua AQ adalah origin dan ownership. Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai Universitas Sumatera Utara sejauh manakah seseorang mengakui akibat kesulitan tersebut. Semakin tinggi skor origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau luar dan menempatkan peran sendiri pada tempat yang sewajarnya. Semakin tinggi skor ownership seseorang, semakin besar seseorang mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun penyebabnya Stoltz, 2000. Dimensi ini berkaitan dengan keterbukaan diri yang dimiliki oleh seseorang. Individu yang memiliki keterbukaan diri akan mampu mengatasi masalah atau kesulitan, khususnya perasaan bersalah melalui pengungkapan diri. Individu menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan bersalah dengan mengungkapkan perasaan dan menerima dukungan Devito, 1997. Orang Batak cenderung memiliki origin dan ownership yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Menurut Suseno dan Reksusilo Gainau, 2009 menyatakan bahwa dalam budaya Jawa seorang anak sejak kecil telah dilatih untuk berafiliasi dan konformis, lebih-lebih pada anak perempuan yang dituntut untuk bersikap pasif, menerima apa adanya dan pasrah. Disamping itu ada prinsip hidup yang dipegang oleh masyarakat Jawa yang paling menentukan pola pergaulan yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya keterbukaan diri orang Jawa khususnya pada perempuan. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Orang Jawa tidak mengungkapkan pikiran perasaan apa adanya kepada orang lain. Sedangkan menurut Tarigan Gainau, 2009 orang Batak lebih terbuka. Dimensi ketiga AQ adalah reach. Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan seseorang. Universitas Sumatera Utara Semakin tinggi skor reach seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang tersebut membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi dan semakin besar kemungkinan seseorang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas Stoltz, 2000. Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, maka dapat dikatakan bahwa orang Batak Toba cenderung memiliki reach yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan orang Batak Toba yang mengalami kesulitan ekonomi, namun mereka tidak menganggap kesulitan itu dapat menjangkau bagian lain dari kehidupannya. Orang Batak Toba yang hanya dengan bermata pencaharian sebagai petani, namun kesulitan tersebut tidak membuat anak-anak mereka tidak bersekolah. Mereka tetap memikirkan pendidikan anak-anaknya Irmawati, 2007. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai hidup yang dimiliki oleh orang Batak Toba yaitu nilai hidup hasangapon yang artinya selalu berusaha menjadi orang yang terpandang dan dihormati dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang Batak sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun harta tidak ada, asal anaknya bisa sekolah, inilah yang menjadi prinsip bagi orang Batak Tinambunan, 2010. Sedangkan orang Jawa berdasarkan falsafah Jawa yang masih dianutnya, mereka memiliki falsafah hidup nrima ing pandum, yang artinya menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Misalnya saja untuk masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah Universitas Sumatera Utara merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Hal ini berarti dengan kesulitan ekonomi yang mereka miliki, mereka hanya memikirkan segala sesuatunya untuk mendapatkan makanan. Mereka tidak memikirkan hal lain yang juga lebih berguna seperti pendidikan Hadi, 2003. Dimensi keempat AQ adalah endurance. Dimensi ini mempertanyakan seberapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu yang cepat menyerah terhadap kesulitan berarti menganggap kesulitan akan berlangsung lama Stoltz, 2000. Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, maka dapat dikatakan orang Batak Toba cenderung memiliki endurance yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari sifat orang Jawa yang lebih cepat menyerah Hadi, 2003. Sedangkan orang Batak Toba tidak gampang menyerah Tinambunan, 2010. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa orang Batak Toba memiliki adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang Batak Toba yang memiliki control, origin ownership, reach dan endurance yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa.

E. HIPOTESIS