Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang

(1)

i ABSTRACT

ROSI CAESARIA HUTABARAT. Institutional and Transaction Cost Analysis of Fishery Resources Management in District of Labuan, Pandeglang Regency. Supervised by Aceng Hidayat.

Condition of District of Labuan which has a dense fishing waters, depletion and exploitation of fish resources tend to be difficult to control. This situation can branches out in to a dense or over fishing. Therefore, a proper fishery management is needed. One of which is a strong institutional system. Fishery resources management can not be separated from the intitutional that support it, the other way the institutional can not be separated from the actors (stakeholder), so it needs an integrated fishery resource management system. Institutional is an important factor that drives the performance of fishery resources management. Institutional rules or policies that result in a rule (rule of game) in resources management. Each actors play role and different activities in managing fishery resources.

The aim of this research are 1) to analyze stakeholders involved in fishery resources management in the District of Labuan, 2) to identify the relevant rules in fishery resources management in the District of Labuan, 3) to analyze the transaction cost in fishery resources management in the District of Labuan.

In this research, the data have been obtained were analyzed qualitatively and quantitatively. Processing and data analysis was done manually and using computer with Microsoft Office Excell program and are presented intabulated form and described descriptively. The data was analyzed by StakeholderAnalysis, Conflict Analysis, Rules Analysis and Transaction Cost Analysis.

The result of research showed; 1) Stakeholders in fishery resources management in the District of Labuan consists of a) Subjects is Bakul/Traders Gatherer, Langgan/Skipper and Fish Processing Industry, b) Players is Department of Marine and Fisheries Banten Province, Department Marine and Fisheries Pandeglang Regency, Technical Unit PPI and TPI District of Labuan, Fish Auction Place, Pillars of the Fisherman, HNSI, Cooperative Fisheries and POKMASWAS Fishery Resources of Labuan, c) Bystanders is Village Police, District Goverment and Banking, d) Actors is Satpolair. There are 12 stakeholders who are directly involved in the fishery resources management in the District of Labuan, Department of Marine and Fisheries Banten Province, Department Marine and Fisheries Pandeglang Regency, Technical Unit PPI and TPI District of Labuan, Fish Auction Place, Pillars of the Fisherman, HNSI, Cooperative Fisheries, POKMASWAS Fishery Resources of Labuan, Bakul/Traders Gatherer, Langgan/Skipper, Fish Processing Industry and Satpolair. 2) The formal rules that apply have been set up fishery resources, for both economic and conservation objectives (protection of fishery resources). But, the obedience and the understanding to these rules is very low, it is caused of the lack socialization in society and the lack of supervision and the optimal legal system. Informal rules implicitly have the social, economic and conservation in support of the fishery resources management in the District of Labuan. This shows that how important a mechanism of social control that exist in society in the form of local wisdom. But,


(2)

ii these informal rules have started to fade because it is no written. 3) Total transaction costs incurred by the government in the fishery resources management is Rp 234.810.400 in a year. Meanwhile, the total transaction costs incurred by the fisherman in the fishery resources management is Rp 7.400.000 in a year. Transaction costs incurred by the fishermen are much smaller than the transaction costs incurred by the government. This is caused the fisherman is not too much to pay for some activities, such as infrastructure development, monitoring of fishery resources and development costs.

Keywords: Institutional, Stakeholders, Formal and informal rules, Transaction Cost


(3)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah pulau sebanyak 17.504. Luas wilayah laut mendominasi total luas territorial Indonesia sebesar 7,7 juta km2. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagi negara yang dikarunia sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan terbesar (SEKJEN KKP, 2011).

Luasnya wilayah laut merupakan potensi alam yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri perikanan. Potensi perikanan nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Nilai Volume dan Produksi Sumberdaya Perikanan Tahun 2010

Sumber : SEKJEN KKP, 2011

Wilayah dua pertiga Indonesia yang berupa laut dikenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya ikan yang melimpah. Akan tetapi, sektor perikanan masih menghadapi masalah, seperti pencurian ikan oleh kapal asing, terjadinya kelebihan tangkap (overfishing) dan rusaknya ekosistem laut akibat praktik penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Berbagai alasan tersebut kemudian

Jenis Potensi Volume Produksi ( Ribu Ton )

Nilai Produksi ( Juta Rp )

Perikanan Tangkap di Laut 5.039 59.580

Perikanan Tangkap di Perairan umum 345 4.969

Perikanan Budidaya Laut 3.515 13.093

Perikanan Budidaya Tambak 1.416 24.444

Perikanan Budidaya Kolam 820 14.502

Perikanan Budidaya Karamba 121 4.238

Perikanan Budidaya Jaring Apung 309 4.472

Perikanan Budidaya Sawah 97 2.582


(4)

2 mengharuskan Indonesia membangun sebuah strategi pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan berkelanjutan agar dapat memberikan berbagai manfaat, baik dari segi ekonomi maupun konservasi.

Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, namun harus dilakukan oleh semua pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan sumberdaya perikanan seperti nelayan, pemerintah, lembaga/institusi non-pemerintah, akademisi, pelaku perikanan lainnya (pedagang, kelompok pengolah ikan) dan lain-lain. Para pihak (stakeholders) yang terkait harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dilakukan secara efektif dengan hanya mengandalkan kemampuan pemerintah dalam membuat dan menegakkan peraturan saja. Berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus sama-sama menyadari perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan serta dapat melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya dengan baik.

Undang – undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menegaskan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, menciptakan kesempatan kerja, mengoptimalkan serta menjaga kelestarian stok sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini bertujuan agar sumberdaya perikanan tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk


(5)

3 memanfaatkan sumberdaya tersebut. Persoalan hak memanfaatkan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak-pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya.

Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal, kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap sektor pembangunan daerah secara umum dan pembangunan masyarakat pesisir secara khusus masih rendah. Di samping itu pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan belum memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan sehingga terjadi degradasi dan deplesi sumberdaya yang mengarah kepada menurunnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan nasional.

Seiring dengan berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada desentralisasi pemerintahan maka kewenangan pengelolaan sumberdaya alam di perairan laut bergeser dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, khususnya sumberdaya ikan. Sesuai dengan kewenangan di sektor perikanan yang diserahkan pada daerah, maka perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan aturan-aturan baik yang berkaitan dengan pengelolaan-pengelolaan maupun institusinya. Pengaturan dan penataan kelembagaan dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan guna meningkatkan nilai ekonomi dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sehingga dapat dihindari terjadinya kesalahan kebijaksanaan dan kegagalan institusi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.


(6)

4 Dua komponen utama dalam bidang pengelolaan sektor perikanan adalah sumberdaya perikanan sebagai objek yang dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, serta sumberdaya manusia sebagai pengelola dengan dua pihak penting didalamnya yaitu pihak pengelola yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan sektor perikanan dan pihak pengguna sektor perikanan yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dipisahkan dari kelembagaan yang mendukungnya dan sebaliknya kelembagaan tersebut juga tidak terlepas dari para pelaku (stakeholders) perikanan, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang terintegrasi. Kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan menghasilkan peraturan atau kebijakan yang merupakan aturan main (rule of game) dalam pengelolaan sumberdaya. Masing-masing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda dalam mengelola sumberdaya perikanan. Peran dan adanya kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut mencerminkan kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, baik itu untuk tujuan pengembangan sumberdaya perikanan maupun untuk tujuan lain. Masing-masing pihak juga mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan seperti yang terjadi di Kecamatan Labuan. Oleh karena itu, perlu diketahui mekanisme hubungan para pihak dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut diperlukan pelibatan pemerintah daerah dan komunitas nelayan setempat dengan


(7)

5 menerapkan pola pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Perlu dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat, dan apabila tidak dikelola dengan baik akan sangat potensial menjadi sumber konflik bahkan menjadi sumber bencana yang dapat mengancam kehidupan masyarakat.

Ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan terbatasnya regulasi yang mengatur kegiatan penangkapan ikan diduga meningkatkan potensi konflik diantara pengguna sumberdaya, seperti antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara kelompok nelayan dengan pemerintah daerahnya. Disamping itu, konflik juga tidak terlepas dari adanya penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum perikanan serta belum terdefinisinya pengetahuan lokal masyarakat nelayan. Nelayan mengeksploitasi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup khususnya sumberdaya perikanan laut tanpa memperhatikan keberlanjutannya (sustainability), dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelebihan tangkap (overfishing), serta rusaknya ekosistem laut akibat pemakaian bahan peledak.

Kenyataan seperti ini telah terjadi di wilayah Kecamatan Labuan. Tekanan dan pengrusakan terhadap sumberdaya yang terjadi di wilayah Kecamatan Labuan diperparah dengan kurang berfungsinya institusi (lembaga) yang mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah ini. Para pelaku destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya tidak selalu mendapat sanksi dari kegiatan yang dilakukannya, dengan demikian aktivitas pengrusakan terus saja berlangsung.

Pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan karena tuntutan kebutuhan untuk mengembangkan pembangunan sektor perikanan dan


(8)

6 kelautan yang berdimensi jangka panjang, dimana kepentingan-kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat dipadukan. Pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan langkah konstruktif untuk memulihkan kondisi sumberdaya perikanan. Bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rezim pengelolaan sumberdaya yang terdiri dari empat tipe, yaitu rezim milik negara, rezim milik swasta, rezim tanpa milik atau akses terbuka dan rezim milik bersama.

Labuan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang dikenal dengan kegiatan perikanannya. Labuan sebagai sentra bagi kegiatan perikanan laut di pesisir barat Provinsi Banten. Banten memiliki potensi perikanan yang besar, karena Banten memiliki luas perairan laut sekitar 11.500 km2, dengan panjang garis pantai sekitar 517,42 km. Produksi perikanan Banten pada tahun 2010 yang berasal dari usaha penangkapan tercatat sebesar 59.278 ton (Mulyana, 2011).

Potensi produksi kandungan hayati ikan laut di Kabupaten Pandeglang, berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)/batas maksimum penangkapan ikan laut adalah 92.917,7 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebanyak 26.403,6 ton/tahun (28,4%). Potensi sumberdaya perikanan laut masih sangat terbuka untuk dilakukannya intensifikasi dan ekstensifikasi (pengembangan) produksi, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki panjang pantai 307 km yang membentang sepanjang pesisir Barat dan Selatan Kabupaten Pandeglang (BKPM Banten, 2010)

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan tidak terlepas dari komponen aturan/kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah atau yang


(9)

7 tercipta dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, ada interaksi dan koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Keadaan ini menggambarkan adanya suatu kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut.

Maraknya konflik-konflik antar nelayan, penggunaan alat tangkap yang merusak atau ilegal oleh beberapa masyarakat nelayan yang menyebabkan rusaknya sumberdaya perikanan dan kelautan dan belum terakomodasinya aspirasi masyarakat terhadap pengelolaaan sumberdaya perikanan merupakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian. Permasalahan yang dihadapi akhir-akhir ini adalah munculnya indikasi degradasi laut yang diakibatkan oleh penggunaan bahan-bahan beracun seperti potasium dan bom serta tekanan terhadap sumberdaya karena padatnya penduduk. Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan kelangsungan hidup masyarakat di Kecamatan Labuan. Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan harus dilakukan secara terkontrol, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan di perairan tersebut senantiasa dapat dipertahankan agar produktivitas optimum terus terjaga.

Berdasarkan uraian di atas maka pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya baik dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.


(10)

8 1.2 Perumusan Masalah

Dalam masyarakat Kecamatan Labuan yang memiliki kondisi perairan yang padat tangkap, pengurasan dan eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit dikendalikan. Keadaan ini bisa berkembang menuju kondisi padat atau tangkap lebih. Selain itu, sering ditemui adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan antar nelayan dalam hal wilayah penangkapan ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potasium. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan perikanan yang tepat. Salah satunya adalah perlu adanya sistem kelembagaan yang kuat. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan?

2. Apa saja aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan?

3. Berapakah biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

2. Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.


(11)

9 3. Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di

Kecamatan Labuan. 1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Menjadi sarana bagi penulis unuk mengaplikasikan dan mensinergikan ilmu- ilmu yang telah diperoleh di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

2. Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan.

3. Menjadi bahan masukan bagi masyarakat nelayan sehingga dapat meningkatkan partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

4. Menjadi sumber referensi dan informasi untuk penelitian berikutnya. 1.5 Batasan Operasional

1. Sumberdaya perikanan adalah semua kekayaan/ potensi yang ada di laut meliputi ikan dan biota perikanan.

2. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus-menerus.

3. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah usaha yang ditujukan untuk mengambil, menangkap, ataupun menggunakan sumberdaya ikan secara optimal yang dilakukan secara kontinyu.

4. Kelembagaan adalah lembaga-lembaga formal maupun informal yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan serta aturan-aturan pusat dan kearifan lokal yang berlaku.


(12)

10 5. Kelembagaan formal adalah kelembagaan tertulis yang berpengaruh dalam

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

6. Kelembagaan informal adalah kelembagaan tidak tertulis atau kearifan lokal yang meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

7. Biaya transaksi adalah biaya-biaya yang digunakan untuk biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama yang dipergunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan.


(13)

11 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan

Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) yang terhabiskan (ekhaustable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Sumberdaya yang termasuk dalam kelompok sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya mineral, logam, minyak dan gas bumi. Sedangkan jenis sumberdaya yang termasuk ke dalam kelompok yang dapat diperbaharui adalah ikan (Fauzi, 2006).

Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama (common pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memiliki sifat-sifat interkoneksitas,

indivisibilitas dan substraktibilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan antara suatu komponen, seperti antara jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungannya. Sifat indivisibilitas

artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-dibagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat ini muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat substraktibilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu yang lain. (Nikijuluw, 2005).


(14)

12 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.


(15)

13 Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu (1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan (2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama (res communes) dapat dibagi menjadi : (1) dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang, (2) dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain, (3) properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan (4) properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan. Rezim sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik.

De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun (Nikijuluw, 2005).

Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006).


(16)

14 Dalam kasus perikanan, Ruddle (1999) diacu dalam Satria (2009) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut:

a) Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.

b) Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.

c) Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan. d) Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk

masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi.

e) Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi moral (melalui mekanisme pengadilan formal) dan sanksi fisik (pemukulan) f) Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir

yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. 2.3 Ko-manajemen Perikanan

Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya perikanan adalah keterbatasan hak atas sumberdaya (property right). Hal ini tidak terlepas dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties dan open access.


(17)

15 Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian (uncertenties) yang tinggi baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong sumberdaya laut ke dalam berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik. Sehingga untuk konflik dalam pemanfaatan sumberdaya diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah maupun kelompok pengguna sumberdaya. Dimana setiap pengguna diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan yang memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat keputusan yang melibatkan kelompok pengguna (pemangku kepentingan) dan pemerintah. Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pengolah, pedagang ikan, perantara (middleman), industri alat tangkap, pemasok alat tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati lingkungan dan konservasi, LSM, dll (Widodo, 2006). Pola Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan ko-manajemen dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dengan Pendekatan Ko-manajemen (Widodo, 2006)

Pengelolaan secara sentralistik oleh

pemerintah Dikelola

sendiri oleh masyarakat

Pengelolaan oleh Masyarakat

Pengelolaan oleh Pemerintah

Informatif Advisori Kooperatif Konsultatif Instruktif Ko-manajemen


(18)

16 Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe informatif hingga tipe instruktif. Tipe-tipe dalam ko-manajemen yaitu: informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan kemudian diinformasikan kepda pemerintah), (2) advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut, (3) kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam pengambilan keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah, dan (5) instruktif, tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan.

Menurut Pomeroy dan Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan bentuk

co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partisipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; (5)


(19)

17 Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra; (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

2.4 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah dan Kirsten, 2001 diacu dalam Fauzi, 2005).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Kelompok nelayan, Koperasi Unit Desa dan sejenisnya. Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana ditentukan hak-hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya (Schmid, 1987 diacu dalam Sukmadinata, 1995).

Dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) yang terlibat dalam pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak-haknya, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kelembagaan memberikan suatu


(20)

18 kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya (Nurani, 2008).

Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

Dari sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yaitu sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov, 2006) diacu dalam (Suhana, 2008).

1. Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia


(21)

19 memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses- proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

2. Kelembagaan sebagai Aturan Main

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal . 3. Kelembagaan sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan

Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur: (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan .


(22)

20 2.5 Biaya transaksi

Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex post transaction cost).

Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan

free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah : (1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran. (2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari


(23)

21 perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya. (3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan.

Menurut North dan Thomas (1973) diacu dalam Anggraini (2005), biaya transaksi meliputi :

1. Biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange).

2. Biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya merundingkan syarat-syarat suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange).

3. Biaya pelaksanaan (enforcement cost) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu kontrak (cost of enforcing the contract).


(24)

22 III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kondisi sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan sudah mengalami penurunan. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya perikanan tersebut, termasuk sistem kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan melibatkan berbagai aktor (stakeholders), sehingga dalam penelitian dianalisis para

stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Para aktor yang terlibat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh sebab itu, akan dianalisis masing-masing aktor yang terlibat, besarnya pengaruh dan kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, hubungan masing-masing aktor dan perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain itu, akan diteliti konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain aktor, aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh karena itu perlu diidentifikasi aturan-aturan apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Aturan formal dan aturan informal akan menggambarkan aturan main (rule of game) pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

Selain aktor-aktor yang terlibat dan aturan-aturan yang berlaku, akan dianalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.


(25)

23 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Aturan Main Stakeholder

Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan

Analisis Biaya Transaksi

Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan

dan biaya operasional bersama Biaya Transaksi

Analisis

Stakeholder

Identifikasi, pemetaan, pengaruh dan kepentingan,

hubungan stakeholder Analisis

Peraturan

Aturan main formal dan aturan main

informal

Analisis Konflik

Konflik antar aktor


(26)

24 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive), karena Labuan merupakan sentra perikanan laut di pesisir barat Provinsi Banten. Pengambilan data dilakukan awal Juli sampai Agustus 2010. 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung di lapangan dan kuisioner oleh responden. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, dan instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan penelitian. Data sekunder sebagai data pelengkap dan penunjang. Pada penelitian ini, matriks bentuk, jenis dan sumber data yang diambil dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks Bentuk, Jenis dan Sumber Data

Kelompok Data

Data yang Diperlukan

Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data Primer Data Sekunder Keadaan Umum Lokasi

Kondisi Geografis Informasi mengenai kondisi geografis wilayah Data Sekunder Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan Kondisi Sosial Ekonomi

Informasi mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat, misalnya mata pencaharian, jumlah penduduk Data Sekunder Pemerintah Setempat Keadaan Sumberdaya Perikanan Informasi mengenai kondisi perikanan , produksi

ikan,jumlah kapal, jenis kapal, jenis alat tangkap Data Sekunder Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan


(27)

25

LanjutanTabel 2.

4.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut : 1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap latar dan objek penelitian. Sasaran yang ingin dicapai dalam observasi adalah mendapatkan gambaran secara umum tentang pokok kajian sebelum melakukan penelusuran secara sistematis terhadap objek penelitian, yaitu melalui penelusuran secara bertahap kepada beberapa informan tentang berbagai macam pelapisan dan pengelompokan yang berada dalam objek penelitian. 2) Wawancara, yaitu teknik dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada responden dengan menggunakan kuisioner. 3) Pencatatan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data sekunder yang tersedia.

Pada penelitian ini prosedur penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Kelompok Data

Data yang Diperlukan

Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data

Primer

Data Sekunder

Stakeholder Stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

Identifikasi para aktor, peran masing-masing aktor, hubungan antar aktor, konflik antar aktor

Data Primer

Responden

Aturan Aturan formal dan informal

Aturan formal bisa berupa UU, peraturan menteri, peraturan daerah, keputusan bupati,dll Aturan informal bisa berupa kesepakatan yang terjadi dalam masyarakat Data Primer Data sekunder Responden, pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan

Biaya Transaksi Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan

Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama Data Primer Data sekunder Nelayan, DKP Pandeglang


(28)

26 Tabel 3. Matriks Prosedur Penelitian

No Tujuan Jenis Data Metode Analisis Data

1 Menganalisis Stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan

Primer Analisis Stakeholder

dan Analisis Konflik

2 Menganalisis aturan formal dan informal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan

Primer dan sekunder

Analisis Peraturan

3 Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan

Primer dan sekunder

Analisis Biaya Transaksi

4.4 Penentuan Responden

Pengambilan sampel untuk para stakeholders yang memiliki kepentingan di Kecamatan Labuan diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling

dengan penggalian data menggunakan panduan kuisioner. Responden berasal dari berbagai kalangan mulai dari pemerintah, masyarakat dan pengusaha perikanan/swasta. Jumlah responden sebanyak 30 orang.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excell serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif.

4.5.1 Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya)


(29)

27 dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor (Grimble dan Chan, 1995 diacu dalam Haswanto, 2006).

Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah:

1) Identifikasi stakeholders dan perannya

2) Membedakan dan mengkategorikan stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya.

3) Mendefinisikan hubungan antar stakeholders.

Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh. Besarnya kepentingan dan pengaruh diberi nilai sesuai dengan panduan yang telah dibuat. Untuk menilai besarnya kepentingan digunakan panduan penilaian untuk mengetahui tingkat kepentingan seprti pada Tabel 4 sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan panduan penilaian untuk mengetahui besarnya pengaruh seperti pada Tabel 5. Jumlah nilai yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh.


(30)

28 Tabel 4. Penilaian Tingkat Kepentingan

No Variabel Indikator Skor

1 Keterlibatan Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat 5 4 3 2 1 2 Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat

Mendapat 3 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 1 manfaat Tidak mendapatkan manfaat

5 4 3 2 1 3 Sumberdaya yang disediakan Menyediakan semua sumberdaya

Menyediakan 3 sumberdaya Menyediakan 2 sumberdaya Menyediakan 1 sumberdaya

Tidak menyediakan sumberdaya apapapun

5 4 3 2 1 4 Prioritas Pengelolaan Sangat menjadi prioritas

Prioritas Cukup Kurang

Tidak menjadi prioritas

5 4 3 2 1 5 Ketergantungan terhadap

sumberdaya

81-100 % bergantung 61-80 % bergantung 41- 60 % bergantung 21-40 % bergantung

≤ 20 % bergantung

5 4 3 2 1 Tabel 5. Penilaian Tingkat pengaruh

No Variabel Indikator Skor

1 Aturan/kebijakan pengelolaan Terlibat semua proses Terlibat dalam 3 proses Terlibat dalam 2 proses Terlibat dalam 1 proses Tidak terlibat 5 4 3 2 1 2 Peran dan partisipasi Berkontribusi pada semua point

Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 1 point Tidak berkontribusi 5 4 3 2 1 3 Kemampuan dalam berinteraksi Berinteraksi dalam semua point

Berinteraksi dalam 3 point Berinteraksi dalam 2 point Berinteraksi dalam 1 point Tidak melakukan interaksi apapun

5 4 3 2 1 4 Kewenangan dalam pengelolaan Kewenangan dalam semua proses

Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 1 proses Tidak memiliki kewenangan

5 4 3 2 1 5 Kapasitas sumberdaya yang

disediakan

Semua sumberdaya 3 sumberdaya 2 sumberdaya 1 sumberdaya

Tidak menyediakan sumberdaya apapun

5 4 3 2 1


(31)

29 Setelah diketahui besarnya nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing

stakeholder dipetakan ke dalam matriks kepentingan pengaruh (Gambar 3)

Gambar 3. Matriks Hasil Analisis Stakeholder

Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder

Skor Nilai Kriteria Keterangan

Kepentingan Stakeholder

5 21-25 Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya 4 16-20 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya 3 11-15 Cukup Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya 2 6-10 Rendah Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya 1 1-5 Sangat Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya

Pengaruh Stakeholder

5 21-25 Sangat Tinggi Sangat mempengaruhi pengeloaan sumberdaya 4 16-20 Tinggi Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 3 11-15 Cukup Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 2 6-10 Rendah Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya 1 1-5 Sangat Rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya Sumber :Abbas (2005)

K E P E N T I N G A N PENGARUH TINGGI TINGGI Subject (Kuadran I) Players (Kuadran II) Bystanders (Kuadran III) Actors (Kuadran IV)


(32)

30  Kuadran I (Subject) menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan

 Kuadran II (Players) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahan.  Kuadran III (Bystanders) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya, Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan dua hal yakni: (a) interest-nya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan.

 Kuadran IV (actor) merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.

4.5.2 Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Untuk menganalisis berbagai konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kecamatan Labuan digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Fisher et al.

(2000) dalam Suhana (2008). Dalam metode analisis ini, sebelumnya dipahami dahulu mengapa konflik itu terjadi : (1) agar dipahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini, (2) identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok yang menonjol saja; (3) agar memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami bagaimana hubungan mereka satu sama lain; (4) identifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik; dan (5) agar belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.


(33)

31 4.5.3 Analisis Peraturan

Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengkaji aturan formal maupun informal yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah serta oleh masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

4.5.4 Analisis Biaya Transaksi

Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan, dan (3) biaya operasional bersama. Biaya transaksi dalam penelitian ini merupakan nilai uang tunai yang akan dikeluarkan terhadap pihak lain karena adanya aturan main (rules of game) yang terjadi, baik secara formal maupun informal. Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi adalah :

Dimana :

TrC = Total biaya transaksi (Rp/tahun) Zi = Komponen Biaya Transaksi


(34)

32 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

5.1 Kondisi Umum Kecamatan Labuan 5.1.1 Kondisi Geografis

Kecamatan Labuan terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Daerah ini memiliki luas 15,65 Km2. Kecamatan Labuan terdiri dari 9 desa, 71 rukun warga (RW) dan 216 rukun tetangga (RT). Luas wilayah Desa di Kecamatan Labuan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas Wilayah Desa di Kecamatan Labuan

Sumber : BPS Kabupaten Pandeglang, 2009

Wilayah Kecamatan Labuan secara geografis terletak antara 06°13’ - 06°24’ Lintang Selatan dan 105°49’ - 105°54’ Bujur Timur. Kecamatan Labuan berjarak 41,1 km dari Kabupaten Pandeglang dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Carita; (2) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagelaran; (3) Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda; (4) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cikedal. Bentuk topografi wilayah Kecamatan Labuan pada umumnya merupakan dataran seperti Desa Rancateureup, Kalanganyar, Labuan, Banyumekar, Banyubiru serta pesisir pantai seperti Desa Cigondang, Sukamaju, Teluk dan Caringin dengan ketinggian rata-rata dibawah 50 m dari permukaan laut (dpl).

No Desa/Kelurahan Luas (Km2) Persentase Terhadap Luas Kecamatan(%)

1 Cigondang 0,98 6,26

2 Sukamaju 1,84 11,76

3 Rancateureup 1,80 11,50

4 Kalanganyar 0,99 6,33

5 Labuan 0,97 6,20

6 Teluk 0,97 6,20

7 Banyumekar 2,35 15,02

8 Banyubiru 2,55 16,09

9 Caringin 3,20 20,45


(35)

33 Kondisi iklim di Kecamatan Labuan diklasifisikan ke dalam iklim type A yaitu 0,3 % - 14,3 % dan type B yaitu 14,3 % - 33,3 %. Curah hujan rata-rata tahunan adalah sebesar 1.814 mm, sedangkan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 101 hari. Musim hujan pada umumnya jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, November dan Desember dengan curah hujan rata-rata 374 mm/bulan. Musim kemarau jatuh pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober dengan curah hujan rata-rata 209 mm/bulan.

5.1.2 Keadaan Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk Kecamatan Labuan berdasarkan data statistik pada tahun 2009 tercatat sebanyak 52.688 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 26.503 jiwa dan perempuan sebanyak 26.185 jiwa. Jumlah penduduk disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah Penduduk M enurut Jenis Kelamin di Kecamatan Labuan Tahun 2009

Sumber: Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan, 2009

Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Labuan masih rendah. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk yang tamat SD memiliki persentase yang paling besar yaitu 25,90 % dan persentase terkecil pada tingkat perguruan tinggi yaitu

No Desa/ Kelurahan Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Cigondang 4.225 3.756 7.981

2 Sukam aju 1.428 1.440 2.868

3 Rancat eureup 1.441 1.712 3.153

4 Kalanganyar 3.174 2.951 6.125

5 Labuan 5.807 5.717 11.524

6 Teluk 5.388 5.280 10.668

7 Banyum ekar 988 1.008 1.996

8 Banyubiru 1.127 1.086 2.213

9 Caringin 2.895 3.235 6.130


(36)

34 sebesar 2,34 %. Komposisi penduduk Kecamatan Labuan berdasarkan pendidikan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah ( orang ) Persentase ( % )

1 Belum Sekolah 6.823 16,50

2 Tidak Sekolah 3.936 9,52

3 Tidak Tamat sekolah 4.108 9,93

4 Tamat SD 10.711 25,90

5 Tamat SLTP 6.678 16,15

6 Tamat SLTA 5.210 12,60

7 Tamat Akademi (D1-D3) 2.928 7,08

8 Tamat Perguruan Tinggi (S1-S3)

966 2,34

Jumlah 41.360 100

Sumber : Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan (diolah), 2009 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Labuan beraneka ragam, antara lain : buruh tani, petani, pedagang, nelayan, dan lain sebagainya. Mayoritas mata pencaharian di Kecamatan Labuan adalah sebagai pedagang/wiraswasta/pengusaha yaitu sebesar 45,00 %. Kemudian nelayan yaitu sebesar 16,54 %. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Komposisi Penduduk Kecamatan Labuan Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah ( orang ) Persentase

1 Buruh Tani 2.135 9,57

2 Petani 1.465 6,57

3 Pedagang/Wiraswasta/Pengusaha 10.037 45,00

4 Pengrajin 889 3,99

5 Nelayan 3.690 16,54

6 PNS 692 3,10

7 TNI/Polri 38 0,17

8 Penjahit 104 0,47

9 Montir 72 0,32

10 Sopir 496 2,22

11 Pramuwisata 12 0,05

12 Karyawan Swasta 1.602 7,18

13 Kontraktor 13 0,06


(37)

35

Lanjutan Tabel 10.

No Mata Pencaharian Jumlah ( orang ) Persentase

15 Tukang Batu 267 1,20

16 Guru Swasta 300 1,20

17 Lainnya 149 0,67

Jumlah 22.305 100

Sumber : Data Monografi Desa/Kelurahan Kecamatan Labuan (diolah), 2009 5.2 Kondisi Umum Sumberdaya Perikanan

Aktivitas perikanan tangkap mendominasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan laut di Kecamatan Labuan dengan memanfaatkan perairan laut mulai dari perairan luar hingga perairan dalam tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Aktivitas perikanan tangkap ini adalah aktivitas yang turun temurun bagi masyarakat di Kecamatan Labuan. Nelayan Labuan sangat bergantung kepada sumberdaya laut. Sebagian besar nelayan konsisten dengan alat tangkap yang digunakan, namun sebagian nelayan berganti-ganti sesuai dengan musim dan pertimbangan lain. Seluruh nelayan di Kecamatan Labuan pada dasarnya adalah nelayan harian (one day fishing), yakni melaut dalam waktu tidak lebih dari sehari, kecuali pada saat mereka berpindah lokasi penangkapan ketika musim barat.

5.2.1 Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Kecamatan Labuan

Perkembangan volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kecamatan Labuan pada periode 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 11, Gambar 4 dan Gambar 5. Volume produksi cenderung mengalami penurunan, begitu juga dengan nilai produksi hasil tangkapan yang juga mengalami penurunan. Berbeda pada tahun 2009 terlihat volume produksi menunjukkan penurunan, akan tetapi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan antara lain harga jual ikan cenderung tinggi karena keterbatasan


(38)

36 jumlah produksi yang didaratkan dan nilai tukar rupiah. Selain itu, jenis ikan yang didaratkan adalah ikan yang berniali ekonomis tinggi. Kondisi menurunnya hasil tangkapan tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah armada penangkapan, tetapi juga dimungkinkan oleh beberapa faktor lain, yaitu stok sumberdaya ikan yang tersedia, musim penangkapan dan keterbatasan kemampuan jelajah armada penangkapan ikan.

Apabila stok sumberdaya ikan tersedia, dan musim ikan terjadi, maka dengan upaya penangkapan ikan yang tetap, terlebih-lebih bila upaya penangkapan meningkat, secara langsung akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan dan begitu pula sebaliknya. Kemampuan jelajah armada juga akan berpengaruh. Kapal-kapal yang sudah berumur tua dan kondisi mesin yang sudah mengalami penurunan akan berpengaruh pada hasil. Kapal yang masih baru memiliki kemampuan jelajah yang lebih baik dan mampu menemukan wilayah-wilayah penangkapan yang tersedia banyak ikan dan sebaliknya. Perkembangan jumlah armada yang beroperasi juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh, apabila armada tangkap berkembang baik dari segi jumlah dan atau dari segi kapasitas muat (tonage) maka secara langsung akan meningkatkan hasil tangkapan dan sebaliknya. Nelayan di Kecamatan Labuan mengenal 4 kategori tingkat perolehan ikan, yaitu: paila (perolehan sangat sedikit atau tidak ada),

kosong (perolehan sedikit, namun ada cukup ikan untuk dibawa ke rumah), along

(perolehan cukup atau lebih untuk membayar biaya melaut dan jatah memadai bagi awak kapal) dan along besar (perolehan berlebih banyak untuk membayar biaya melaut dan jatah awak kapal).


(39)

37 Tabel 11. Perkembangan Volume Produksi dan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan

Tahun Volume Produksi

(Ton)

Pertumbuhan (%)

Nilai Poduksi (Juta Rp)

Pertumbuhan (%)

2005 2.150 - 13.337 -

2006 1.907 -11,3 12.406 -7,0

2007 1.821 -4,5 9.031 -27,2

2008 1.802 -1,0 8.850 -2,0

2009 1.408 -21,9 10.451 18,1

Rata-rata 1.818 10.815

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009

Gambar 4. Perkembangan dan Kecenderungan Volume Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan

Gambar 5. Perkembangan dan Kecenderungan Nilai Produksi Hasil Tangkapan di Kecamatan Labuan


(40)

38 5.2.2 Unit Penangkapan Ikan di Kecamatan Labuan

Unit penangkapan ikan adalah satu kesatuan teknis dalam melakukan operasi penangkapan yang terdiri dari armada penangkapan, alat tangkap dan nelayan.

5.2.2.1Armada Penangkapan

Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah dan hasil tangkapan nelayan. Armada penangkapan di Labuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor (PM) dan kapal motor (KM). Perahu tanpa motor adalah perahu yang pengoperasiannya tidak menggunakan mesin tetapi menggunakan layar. Perahu motor adalah kapal/perahu yang pengoperasiannya menggunakan mesin motor tempel (outboard motor), sedangkan kapal motor adalah kapal yang pengoperasiannya menggunakan mesin yang disimpan di dalam badan kapal (inboard motor). Perkembangan jumlah armada penangkapan di Kecamatan Labuan dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 6. Jumlah armada penangkapan tahun 2005-2007 tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perkembangan skala usaha yang dilakukan oleh dinas setempat.

Tabel 12. Perkembangan Jumlah Armada Penangkapan di Kecamatan Labuan

Tahun Jumlah armada (unit) Total Pertumbuhan

PTM PM KM

2005 22 5 248 275 -

2006 22 5 248 275 0

2007 22 5 248 275 0

2008 22 5 256 283 2,91

2009 22 4 254 280 -1,06


(41)

39 Gambar 6. Perkembangan Armada Penangkapan di Kecamatan Labuan 5.2.2.2Alat Tangkap

Alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Labuan terdiri dari jenis Payang, Dogol, Arad, Purse seine, Gillnet, Jaring Rampus, Jaring klitik, Bagan tancap, Bagan rakit dan Pancing. Alat tangkap dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu alat tangkap yang menggunakan kasko kesil (seperti jenis Arad) dan alat tangkap yang menggunakan kasko besar (jenis purse seine dan payang). Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi dari tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 13 sedangkan perkembangannya dapat dilihat pada Gambar 7.

Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di Kecamatan Labuan selama periode 2005-2009 mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah jaring arad. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, alat tangkap arad memiliki jumlah yang dominan karena dianggap efektif untuk menghasilkan ikan dalam jumlah besar, harganya lebih murah, dapat menghasilkan hasil tangkapan ikan yang lebih banyak dibandingkan dengan alat tangkap lain, serta komoditas yang ditangkap bernilai ekonomis seperti udang.


(42)

40 Tabel 13. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Labuan

No Alat tangkap Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

1 Payang 44 43 43 45 42

2 Dogol 49 49 49 48 48

3 Arad 130 121 121 119 124

4 Purse seine 20 20 20 18 19

5 Gillnet 40 65 65 65 62

6 Jaring Rampus 32 32 32 35 32

7 Jaring Klitik 4 0 0 0 0

8 Bagan Tancap 8 8 8 0 0

9 Bagan Rakit 17 17 17 0 0

10 Pancing 65 68 68 68 63

Jumlah 409 423 423 398 390

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009

Gambar 7. Perkembangan Alat Tangkap di Kecamatan Labuan 5.2.2.3Nelayan

Mayoritas nelayan yang menetap di Kecamatan Labuan merupakan penduduk lokal (asli). Selain penduduk lokal, juga terdapat nelayan pendatang yang umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah, Surabaya, Dadap dan Tegal. Perkembangan jumlah nelayan di Kecamatan Labuan cenderung mengalami penurunan dengan kisaran pertumbuhan -7,56 % sampai 2,82 %. Perkembangan jumlah nelayan di Kecamatan Labuan pada periode 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 8.


(43)

41 Tabel 14. Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan

Tahun Nelayan (Jiwa) Jumlah

(jiwa)

Pertumbuhan (%) Lokal Pendatang

2005 4.289 221 4.510 -

2006 4.382 255 4.637 2,82

2007 4.300 240 4.540 -2,09

2008 3.905 292 4.197 -7,56

2009 3.690 294 3.984 -5,08

Rata-rata 4.113 260 4.373

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pandeglang, 2009

Gambar 8. Perkembangan Jumlah Nelayan di Kecamatan Labuan 5.2.3 Daerah Penangkapan

Bentuk kegiatan usaha penangkapan ikan di Kecamatan Labuan dikategorikan sebagai usaha perikanan yang berskala kecil. Kegiatan penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun dan sangat bergantung dari musim. Hal ini akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan (fishing ground) yang menjadi sasaran penangkapan.

Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat Sunda, Selatan Jawa/Samudera hindia dan Laut Jawa. Berdasarkan wawancara dengan nelayan daerah penangkapan yaitu sekitar Selat Sunda, Tanjung Panaitan, Kepulauan seribu, Kerakatau, Rompang, Sumur, Kelapa Koneng, Pulau Pucang,


(44)

42 Kalianda, Cemara, Karang bawah dan Batu Item. Daerah penangkapan ini ditempuh para nelayan sekitar 3 – 4 jam perjalanan.

Penentuan daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan di Kecamatan Labuan umumnya masih berpedoman pada faktor-faktor alam. Nelayan masih menggunakan pengetahuan sederhana seperti adanya burung yang terbang di atas perairan atau riak di air yang menandakan adanya ikan. Dengan hanya mengandalkan sebatas pengetahuan tradisional ini maka nelayan yang beroperasi menangkap ikan berada pada keadaan berburu atau pergi dengan tujuan mencari yang tidak pasti letaknya. Akan tetapi karena tingkah laku ikan yang sudah diketahui nelayan yaitu dimana ikan memijah dan dimana ikan biasa berkelompok mencari makan maka hal ini dapat digunakan nelayan dalam menentukan posisi ikan. Keberadaan kelompok ikan juga juga dapat diketahui dengan melihat permukaan laut yang berbuih, adanya ikan-ikan yang melompat-melompat di permukaan atau burung yang menukik dan menyambar ke permukaan laut. Selain itu, penentuan daerah penangkapan juga ditentukan berdasarkan pengalaman dan informasi dari kapal yang baru mendarat.

5.2.4 Musim Penangkapan

Intensitas penangkapan ikan oleh nelayan sengat dipengaruhi oleh keadaan musim angin. Terdapat tiga musim penangkapan yaitu 1) puncak musim atau musim timur, pada musim ini aktivitas penangkapan mencapai frekuensi tertinggi sehingga menyebabkan terjadinya musim puncak pendaratan ikan yang biasanya terjadi sekitar bulan Mei sampai Agustus. Nelayan Labuan menyebutnya dengan

rejeh (musim ketika perolehan ikan banyak), 2) musim normal atau musim peralihan, pada musim ini aktivitas penangkapan yang dilakukan nelayan berada


(45)

43 pada frekuensi normal dan menghasilkan volume produksi ikan normal terjadi dua kali dalam setahun, yaitu musim peralihan awal yang terjadi sekitar bulan Maret sampai April dan musim peralihan akhir yang terjadi sekitar bulan September sampai Oktober, 3) musim paceklik atau musim barat, pada musim ini cuaca dalam kondisi yang buruk sehingga nelayan jarang atau bahkan sama sekali tidak pergi melaut dengan alasan keamanan dan keselamatan sehingga hal ini mengakibatkan frekuensi pendaratan ikan rendah. Umumnya terjadi sekitar bulan November sampai Februari. Nelayan Labuan menyebutnya musim paila ( musim ketika perolehan ikan sedikit ).

5.2.5 Potensi Sumberdaya Perikanan

Kabupaten Pandeglang termasuk daerah dengan potensi sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Potensi besar tersebut berada di sebelah barat dan selatan Pandeglang yaitu di perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia. Potensi produksi kandungan hayati ikan laut di Kabupaten Pandeglang, berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)/batas maksimum penangkapan ikan laut adalah 92.917,7 ton/tahun dan baru dimanfaatkan sebanyak 26.403,6 ton/tahun (28,4%). Potensi sumberdaya perikanan laut masih sangat terbuka untuk dilakukannya intensifikasi dan ekstensifikasi (pengembangan) produksi, mengingat Kabupaten Pandeglang memiliki panjang pantai 307 km yang membentang sepanjang pesisir Barat dan Selatan Kabupaten Pandeglang (BKPM Banten, 2010)

Produksi hasil tangkapan di Kecamatan Labuan berupa kelompok jenis ikan karang, ikan pelagis dan ikan demersal. Beberapa jenis ikan pelagis yang didaratkan adalah cakalang, tongkol, tenggiri, tembang, kembung dan lain-lain.


(46)

44 Hasil tangkapan yang didaratkan beberapa diantaranya merupakan jenis yang bernilai tinggi seperti tenggiri, bawal, kerapu, cumi-cumi, kakap, dan ikan kuwe. 5.2.6 Pemasaran Hasil Tangkapan

5.2.6.1 Aktivitas Pemasaran

Proses pemasaran hasil tangkapan nelayan di Kecamatan Labuan dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:

1) Langsung dibeli oleh “langgan” atau pihak yang membiayai proses penangkapan ikan atau bahkan membiayai pembelian armada penangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, untuk jenis udang khususnya, dengan biaya melaut berasal dari langgan akan langsung dibawa ke tempat langgan karena hal ini sesuai dengan perjanjian kedua pihak tersebut. Harga ikan akan ditentukan oleh pihak langgan.

2) Langsung dibeli pada saat di tempat hasil tangkapan didaratkan (tanpa melalui TPI). Pada saat hasil tangkapan sampai di daratan para pembeli ikan yang di daerah ini sudah menunggu di tempat pendaratan untuk membeli ikan yang akan dijual langsung oleh pemilik kapal yang tidak memiliki langgan dan tidak akan menjual hasil tangkapannya melalui tempat pelelangan ikan.

3) Dibawa langsung ke TPI untuk dilakukan penjualan dengan proses pelelangan.

Waktu dimulainya proses pelelangan dilakukan setelah seluruh kapal selesai mendaratkan dan membawa seluruh hasil tangkapannya yang akan dilelang ke TPI. Proses pelelangan ikan dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari. Pada TPI 1 dilakukan sekitar pukul 06.00-08.00 WIB dan pukul 11.30-13.00 WIB


(47)

45 sedangkan di TPI 2 proses pelelangan dilakukan sekitar pukul 06.00-08.00 WIB dan pukul 18.30- 20.00 WIB. Lamanya proses pelelangan ikan tergantung banyaknya hasil tangkapan yang dilelang, dalam suatu proses lelang dibutuhkan waktu sekitar 15-20 menit untuk melelang ikan sebanyak 100 - 200 kg.

Proses pelelangan dimulai setelah seluruh ikan yang akan dilelang telah ditimbang dan diletakkan di atas lantai lelang. Ikan diletakkan di lantai tanpa menggunakan wadah dan ditumpuk, untuk ikan-ikan dengan ukuran besar tumpukan disusun secara beraturan seperti tuna, manyung, dan lain-lain, sedangkan ikan dengan ukuran kecil seperti kurisi, cumi-cumi, dan lain-lain tumpukan tidak disusun rapi atau disebut “gundukan”. Pelelangan dipimpin oleh seorang juru tawar yang didampingi oleh juru catat yang berasal dari pihak TPI dan dihadiri oleh pemilik ikan dan peserta lelang. Pada saat proses pelelangan dimulai juru tawar akan menentukan harga awal ikan yang dilelang sesuai dengan harga ikan yang berlaku di pasar saat itu, kemudian harga akan dinaikkan per seribu rupiah dan para peserta lelang akan mengacungkan tangan tanda setuju dengan penawaran yang diberikan juru tawar. Peserta lelang yang setuju dengan harga tertinggi di atas harga lelang awal akan mendapatkan ikan yang dilelang dengan menyetujui untuk membayar sesuai harga penawaran yang diberikan oleh juru tawar. Pembayaran dilakukan oleh pihak pembeli/bakul dengan cara dicicil sebanyak dua kali; pertama pada saat mengajukan menjadi peserta lelang dan kedua setelah ikan terjual kepada pihak selanjutnya.

Terdapat dua tempat dilakukannya pelelangan, yaitu di dalam dan di luar gedung TPI. Pelelangan yang dilakukan diluar gedung TPI tidak memungut biaya retribusi kepada peserta lelang. Pembeli yang membeli ikan dengan cara ini pada


(48)

46 umumnya adalah sama dengan pembeli pada proses pelelangan di TPI, yaitu pengumpul ikan, pengecer dan pengolah ikan. Setelah proses pelelangan tersebut selesai; maka untuk selanjutnya ikan akan didistribusikan dan dijual hingga sampai ke tangan konsumen.

Retribusi dalam proses pelelangan yang diselenggarakan oleh pihak TPI merupakan hal yang bersifat wajib untuk disetorkan oleh pihak nelayan/penjual ikan dan pembeli ikan (bakul). Berlakunya retribusi lelang ini yang menjadi salah satu penyebab nelayan memilih untuk tidak menjual ikannya melalui proses lelang di TPI. Adapun rincian retribusi lelang di TPI Labuan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No. 12 tahun 2001 adalah sebagai berikut:

Sumber pungutan berasal dari :

 Nelayan/penjual ikan sebesar 2%  Bakul/pembeli ikan sebesar 2% Diperuntukkan:

 Pemda melalui bendahara Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang sebesar 4%

Pungutan lainnya sebesar 4% diperuntukkan:  Biaya pelelangan ikan sebesar 2%  Tabungan Nelayan sebesar 1%

 Dana Paceklik yang dibagikan setiap tahun sekali menjelang Hari Raya Idul Fitri sebesar 0,5%


(49)

47 5.2.6.2Daerah Pemasaran

Ikan-ikan hasil tangkapan dipasarkan secara lokal (dalam kabupaten), antar kota dalam provinsi, Cilegon, Tangerang atau keluar provinsi seperti Lampung dan Jakarta. Daerah-daerah tujuan pemasaran dalam kabupaten meliputi kecamatan yang ada di Kabupaten Pandeglang., diantaranya yaitu:

- Kecamatan Menes, dengan jarak 10 km dari Labuan - Kecamatan Saketi, dengan jarak 20 km dari Labuan - Kecamatan Cimanuk, dengan jarak 35 km dari Labuan - Kecamatan Pandeglang, dengan jarak 41 km dari Labuan

Daerah tujuan pemasaran antar kota dalam provinsi diantaranya yaitu daerah Serang dengan jarak 100 km dan Tangerang dengan jarak 200 km dari Labuan. Tujuan pemasaran luar propinsi yaitu Jakarta dengan jarak 300 km dari Labuan dan Lampung dengan satu hari perjalanan.


(50)

48 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Stakeholder Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah para pihak atau aktor yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Stakeholders ini terdiri dari pemerintah, kelompok nelayan dan swasta/pengusaha perikanan.

6.1.1 Identifikasi Stakeholder

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 12 stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Stakeholder tersebut dibedakan menjadi stakeholder yang mempunyai kepentingan dan memberikan pengaruh secara langsung terhadap kegiatan pengelolaan perikanan serta stakeholder yang mempunyai kepentingan lain dan memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Stakeholder dengan berbagai peran dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Identifikasi Stakeholder dan Perannya

No Stakeholder Peranan

1 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten

- Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pengelolaan perikanan - Memberikan dukungan pendanaan

kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan


(51)

49

Lanjutan Tabel 15.

No Stakeholder Peranan

2 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pandeglang

- Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan pembinaan pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan koordinasi dan fasilitasi aktifitas yang mendorong kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan

- Memberikan dukungan pendanaan pengelolaan sumberdaya perikanan

- Melakukan pemantauan dan evaluasi 3 UPT (Unit Pelaksana

Teknis) PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) dan TPI (Tempat

Pelelangan Ikan) Kecamatan Labuan

- Menyelenggarakan pengelolaan dan pembinaan kegiatan Pangkalan Pendaratan Ikan dan Tempat Pelelangan Ikan

- Bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok dan penunjang

- Menyelengggarakan pelaksanaan teknis terhadap kapal perikanan, ketertiban dan kebersihan.

4 TPI (Tempat Pelelangan Ikan)

- Membantu memasarkan hasil perikanan - Memberikan perlindungan bagi nelayan

dalam hal penentuan harga

5 Rukun Nelayan - Memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

- Saluran untuk mengakomodir permasalahan yang ada di dalam kehidupan melaut nelayan

- Sarana silaturahmi antar nelayan

- Wadah untuk menampung informasi dari masyarakat

6 HNSI Labuan - Mediator antara nelayan yang menjadi anggotanya dengan pihak-pihak yang berkepentingan

- Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan


(1)

133 Lampiran 7. Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah

No Biaya Transaksi Pemerintah

1 Biaya Informasi Biaya (Rp/Tahun)

Biaya Konsultasi Masterplan Minapolitan 4.993.600 2 Biaya Pengambilan Keputusan

Biaya Sosialisasi 15.000.000

Biaya Transportasi 4.000.000

Biaya Akomodasi 3.500.000

Biaya Akomodasi Peserta 7.500.000

Biaya Pertemuan 17.500.000

Biaya Transportasi 4.000.000

Biaya Akomodasi 3.500.000

Biaya Bantuan kepada nelayan 5.000.000

Biaya Akomodasi Peserta 5.000.000

Total 32.500.000

3 Biaya Operasional Bersama

Biaya Pembangunan Sarana dan Prasarana

Perikanan 40.221.800

Rehabilitasi TPI 20.221.800

Pengadaan Alat Tangkap 20.000.000

Biaya Pembinaan dan pelatihan iklim usaha, sarana usaha, tekhnik produksi, pemasaran dan

mutu hasil perikanan 121.700.000

Biaya Transportasi dan akomodasi 35.700.000

Biaya Insentif 25.000.000

Biaya Peralatan 55.000.000

Biaya Peserta 6.000.000

Biaya Pengawasan dan perizinan 13.695.000

Biaya Transportasi dan akomodasi 13.695.000

Biaya pelatihan pengadaan sarana dan prasarana

budidaya ikan 21.700.000

Biaya Transportasi dan akomodasi 6.700.000

Biaya Peralatan 10.000.000

Biaya Peserta 5.000.000

Total 197.316.800


(2)

134 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Wawancara Kapal Penangkapan Ikan

Tepian Pantai Labuan Penambatan Kapal

TPI I LABUAN TPI II LABUAN


(3)

135 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 15 April 1988, merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Tamrin Hutabarat dan Ibu Hotma Sihombing.

Pada tahun 1994 penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Inpres 173131 Tarutung. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Tarutung. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tarutung. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB ( USMI ) pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis masuk pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada kegiatan organisasi dan kemahasiswaan. Penulis pernah aktif sebagai Staf Divisi Internal Development, Himpro REESA FEM IPB (2007-2008), Staf Divisi Study Researces and Development, Himpro REESA FEM IPB (2008-2009), Bendahara Komisi Kesenian UKM PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB (2007-2008) dan Bendahara Umum UKM PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) IPB (2009/2010). Penulis penah menjadi asisten prasktikum Ekonomi Umum Tahun Ajaran 2009/2010.


(4)

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN YOGHURT MY

HEALTHY DI DRAMAGA BOGOR

Oleh

ROSSELINA CINDY KAUTSAR

H24080061

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(5)

i RINGKASAN

ROSI CAESARIA HUTABARAT. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang. Dibimbing Oleh Aceng Hidayat.

Kecamatan Labuan yang memiliki kondisi perairan yang padat tangkap, pengurasan dan eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit dikendalikan. Keadaan ini bisa berkembang menuju kondisi padat atau tangkap lebih. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan perikanan yang tepat. Salah satunya adalah perlu adanya sistem kelembagaan yang kuat. Pengelolaan sumberdaya perikanan tidak dapat dipisahkan dari kelembagaan yang mendukungnya dan sebaliknya kelembagaan tersebut juga tidak terlepas dari para pelaku (stakeholders) perikanan, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang terintegrasi. Kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan menghasilkan peraturan atau kebijakan yang merupakan aturan main ( rule of game) dalam pengelolaan sumberdaya. Masing-masing pihak memiliki peran dan kegiatan yang berbeda-beda dalam mengelola sumberdaya perikanan.

Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan, 2) Mengidentifikasi aturan yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan, 3) Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

Dalam penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excell serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Analisis yang digunakan adalah Analisis Stakeholder, Analisis Konflik, Analisis Peraturan dan Analisis Biaya Transaksi.

Hasil penelitian menunjukkan : 1) Stakeholders yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan terdiri dari a) Subjects yaitu Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan dan Industri Pengolah Ikan, b) Players yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan dan POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan, c) Bystanders yaitu Aparat Desa, Pemerintah Kecamatan dan Perbankan, d) Actors yaitu Satpolair. Jadi, aktor yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan ada 12 stakeholders yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, Unit Pelaksana Teknis PPI dan TPI Kecamatan Labuan, Tempat Pelelangan Ikan, Rukun Nelayan, HNSI, Koperasi Perikanan, POKMASWAS Sumberdaya Perikanan Labuan, Bakul/Pedagang Pengumpul, Langgan/Juragan, Industri Pengolah Ikan dan Satpolair, 2) Aturan-aturan formal yang berlaku telah mengatur sumberdaya perikanan, baik untuk tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya perikanan). Akan tetapi, kepatuhan terhadap


(6)

ii aturan-aturan tersebut serta pengetahuan terhadap aturan-aturan yang ada sangat rendah, disebabkan kurangnya sosialisasi pada masyarakat serta kurangnya pengawasan dan sistem hukum yang optimal. Aturan-aturan informal secara implisit memiliki tujuan sosial, ekonomi dan konservasi dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya suatu mekanisme kontrol sosial yang ada di masyarakat berupa kearifan lokal. Akan tetapi, aturan-aturan informal ini sudah mulai memudar karena sifatnya yang tidak tertulis, 3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp 234.810.400 dalam setahun. Sementara itu, total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah Rp 7.400.000 dalam setahun. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pembangunan sarana dan prasarana, pengawasan sumberdaya perikanan dan biaya pembinaan.

Kata Kunci : Kelembagaan, Stakeholders, Aturan formal dan informal, Biaya Transaksi