Analisis pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas

(1)

KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini

Bogor, Mei 2008

Syarif Iwan Taruna Alkadrie


(3)

Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan FREDIAN TONNY.

Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi

Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas.Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk Mengkaji kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pesisir dan laut Kabupaten Sambas, Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kabupaten Sambas dan Menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi (mendukung dan menghambat) status kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas. Pengumpulan data dengan metode Primer dan sekunder, sedangkan sedangkan teknik pengumpulannya dengan kuisioner, wawancara terarah dan observasi. Menganalisis data dengan RAPFISH yang kemudian dilanjutkan denganMulti-dimensional Scalling(MDS).

Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang.

Berdasarkan rata-rata nilai total lima elemen kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas, hasil analisis MDS meunjukkan bahwa kinerja program secara menyeluru mencapai 68,27 atau tergolong “baik”, yang berarti kinerja Program PEMP telah berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Rincian hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kinerja untuk elemen kelembagaan program PEMP sebesar 79,85, Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 adalah 78,35, Kapasitas Pemanfaat Program 68,32 dan persepsi pemangku kepentingan 65,66 sehingga tergolong”Baik”.


(4)

proses, dan outputnya, program PEMP telah terlaksana cukup baik. Sebaliknya nilai elemen kinerja yang terakhir walaupun digolongkan “cukup” menunjukkan bahwa pada masa mendatang pelaksanaan program PEMP masih harus disempurnakan dan diintensifkan


(5)

1. Dilarang mengutip Sebagian atau seluruh karya ulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(6)

KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Nama : Syarif Iwan Taruna Alkadrie NIM : C225010341

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS Ir. Fredian Tonny, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Pesisir Dan Lautan

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 6.395,70 km2 atau 639.570 ha (4,36% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat), merupakan wilayah Kabupaten yang terletak pada bagian pantai barat paling utara dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Panjang pantai ± 128,5 km. Berbatasan dengan Negara Malaysia sehingga memiliki nilai strategis.

Kabupaten Sambas memiliki potensi perikanan yang relatif besar. Daerah ini karena berbatasan langsung dengan Perairan Natuna – Laut Cina Selatan. yang meupakan wilayah pengelolaan perikanan Indonesia yang masih potensial dikembangkan dengan potensi lestari Perairan Natuna – Laut Cina Selatan per tahun 23.250 ton (DKP Kabupaten Sambas 2005). Luas laut pengelolaan sejauh ± 4 mil mencapai 1.467,86 km2 (Lapan 2003). Sementara untuk hutan mangrove, daerah ini memiliki hutan mangrove seluas ± 7.720 km2 (Disbuntan Kabupaten Sambas 2004). Produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 Ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 Ton/tahun (DKP Kabupaten Sambas 2005).

Potensi Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground

nelayan Sambas sampai saat ini baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total sumberdaya yang ada. Potensi ikan pelagis besar sejumlah 66.080 ton/tahun hingga saat ini yang dimanfaatkan baru 53,21% yakni sejumlah 35.160 ton/tahun, sedangkan potensi ikan pelagis kecil sejumlah 621.500 ton/tahun baru dimanfaatkan 33,07% yakni sejumlah 205.530 ton/tahun dan potensi ikan demersal 334.800 ton/tahun baru dimanfaatkan 16,34% yakni 54.690 ton/tahun (BRKP-DKP dan P3O LIPI di acu dalam Dahuri 2003). Nilai ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan perikanan di Kabupaten Sambas masih sangat besar. Berdasarkan besarnya potensi Sumberdaya Perikanan presentase pemanfaatannya maka Pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut sebagai salah satu upaya pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut salah satunya dengan cara pelaksanaan Program PEMP.

Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan


(9)

kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003). Kabupaten Sambas menjadi salah satu daerah sasaran PEMP yang dimulai sejak tahun 2001 sampai saat ini.

Pada awalnya, program PEMP digagas untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran (revolving fund) Dana Ekonomi Produktif (DEP). Namun selama 6 tahun pelaksanaan Program PEMP yang diimplementasikan secara nasional telah mengalami beberapa perubahan dan diversifikasi usaha. Pembentukan kelembagaan dan perubahan-perubahan sistem semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara holistik dan sistematik sesuai dengan pinsip pemberdayaan, helping the poor to help themselves(DKP 2006).

Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada Tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP), hal ini dibuktikan Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara Nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi Sumber daya Alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas yang cukup strategis, dimana berbatasan langsung dengan Negara Malaysia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Maka hal yang paling penting dalam penelitian ini bagaimana alternatif kebijakan pengembangan Program PEMP di Kabupaten Sambas..


(10)

1.2 Rumusan Masalah

Perairan laut Pemangkat memiliki Sumberdaya Perikanan yang baru dimanfaatkan sebesar 35,94% dari total Sumberdaya yang ada, sehingga pengelolaan Sumberdaya Perikanan di arahkan pada peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tersebut. Salah satu upaya peningkatan pemanfaatan Sumberdaya Perikanan adalah dengan Program PEMP. Namun pemanfaatan peluang ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang, apakah sudah melewatieffort optimumatau belum.

Program PEMP merupakan program yang dibuat secara nasional yang diimplementasikan di beberapa daerah Indonesia secara serentak. Padahal permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir antara satu wilayah dengan wilayah lain belum tentu sama. Masyarakat pesisir di Kabupaten Sambas memiliki kelebihan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berbeda dan tidak bisa disamakan pada daerah-daerah penerima Program PEMP lain, sehingga mengakibatkan tidak optimalnya pencapaian tujuan program PEMP. Untuk itu agar dapat mengelola dan memanfaatkan Sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, setiap daerah membutuhkan pendekatan program yang berbeda pula.

Program PEMP disusun untuk mencapai sejumlah sasaran dan tujuan yang akan dicapai melalui suatu alur proses yang direncanakan dengan input yang diharapkan mampu mendorong pencapaiannya sebagai sebuah perencanaan. Permasalahannya apakah perencanaan yang dibuat sudah sesuai dengan kondisi Sumberdaya manusia dan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Sambas.

Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan sejak Tahun 2001 kemudian tahun 2003, 2004 dan tahun 2006 kembali mendapatkan Program PEMP dalam bentuk dana bergulir. Dari perjalanan tersebut sudahkah evaluasi dilaksanakan terhadap kemajuan selama Program PEMP berlangsung.

Program PEMP di Kabupaten Sambas telah berjalan selama 6 tahun dan dalam kurun waktu tersebut mendapatkan program selama 4 tahun, melihat sudut pandang Program PEMP dari sisi pengambil kebijakan dan stakeholder terkesan tidak dalam satu sudut pandang. Sehingga sering terjadi konflik baik itu antar


(11)

instansi maupun di antara lembaga PEMP lainnya. Disini persepsi penentu kebijakan (baik kalangan legislatif maupun eksekutif), masyarakat maupun

stakholder terkait masih beragam. Dari keragaman sudut pandang tentang Program PEMP ini apakah menjadi faktor pendukung atau penghambat dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan permasalahan diatas, maka perlu juga diketahui bagaimana kinerja Kelembagaan PEMP yang mencakup Dinas Kelautan dan Perikanan, LEPP-M3, Konsultan Manajemen (KM), Tenaga Pendamping Desa (TPD), Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dan kemitraan serta persepsi Stakholder. Dimensi atau elemen ini penting dan merupakan hal yang dapat menjawab dinamika bekerjanya aspek-aspek dalam Program PEMP, seperti input, proses dan outputnya.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan altenatif kebijakan pembangunan untuk pengembangan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas.

Tujuan Spesifik dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengkaji kondisi sumberdaya Perikanan dan sumberdaya manusia pesisir dan Perairan Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas.

2. Mengevaluasi kinerja pelaksanaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas.

3. Menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi (mendukung dan menghambat) status kinerja Program PEMP Kecamatan Pemangkat. 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan terhadap pengembangan program PEMP di Kecamatan Pemangkat yang akan datang. Selain itu juga dapat memberi informasi terhadap masalah yang berkaitan dengan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(12)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan

Sumberdaya perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, sumberdaya perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut (Dahuri 2004). Hal ini terkait dengan premise bahwa sumberdaya perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional.

Namun demikian, pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini, sumberdaya perikanan menjadi salah satu indikator utamanya.

Sementara itu, dalam hal struktur pengelolaan, Hanna (1999) mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan. Selalu ada kesenjangan (tradeoffs) antara stabilitas dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan sumberdaya perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan (Nohria 1994). Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi,


(13)

distribusi autoritas pengambilan keputusan dan informasi serta mampu memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles.

Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam hal ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas ( laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahamanrush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang.

Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan sumberdaya perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) sumberdaya perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.

Charles (2001) memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkantoollain sepertiquantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks sumberdaya perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsilimited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan sumberdaya perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right)


(14)

harus mempertimbangkan "kepada siapa hak tersebut diberikan". Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku sumberdaya perikanan dalam rejim open access. Pengetahuan nelayan terhadap Sumberdaya tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya "perusahaan", dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

2.2 Gambaran Umum Tentang PEMP

Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat besar yang dituangkan dalam bentuk kebijakan nasional. Melalui program kompensasi pengurangan subsidi BBM, diluncurkan bantuan dana ekonomi produktif untuk beberapa bidang yang dikelola oleh departemen terkait. Pada Departemen Kelautan dan Perikanan, salah satu bentuk program kompensasi melalui peluncuran dana ekonomi produktif


(15)

dikemas dalam bentuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarkat Pesisir (PEMP) yang dimulai sejak tahun 2001.

Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas melalui sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003), Sedangkan secara khusus, PEMP bertujuan untuk:

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir.

2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan.

3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkaungan.

4. Memeperkuat kelembangaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya.

5. Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat.

Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait. Program ini menggunakan model pengembangan usaha yang bersifat perguliran /revolving

yang dilakukan setelah ada keuntungan dan usaha kelompok telah kuat. Pinjaman modal melalui dana ekonomi produktif masyarakat yang diterima oleh sasaran


(16)

wajib untuk dikembalikan agar terjadi perguliran kepada masyarakat pesisir lainnya yang membutuhkan serta terpilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Model pengembangan PEMP disajikan pada Gambar 1

Gambar 1. Model Pengembangan PEMP(DKP 2003)

Identifikasi : (Potensi dan Permasalahan)

 SDA & SDM

 Kegiatan Usaha Perikanan

 Sarana dan Prasarana

 Kelembagaan Sosial

 Ekonomi

 Kebijakan Pemerintah

Analisis Data

Penyusunan Program Pengembangan

Program Ekonomi

Program Sosial

Program Lingkungan dan

Infrastruktur

Sosialisasi Program

Pendamping

Monitoring dan Evaluasi Implementasi Program :

 Pemilihan Peserta

 Pelatihan

 Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi

 Pelaksanaan Kegiatan Sosial, Lingkungan & Fasilitas

 Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi


(17)

Sedangkan struktur kelembagaan PEMP disajikan pada Gambar 2

Gambar 2. Struktur Kelembagaan PEMP(DKP 2003)

2.3 Kinerja PEMP

Penelitian tentang PEMP telah dilakukan oleh Khasanahturodhiyah (2002) di Kecamatan WonokertoKabupaten Pekalongan – Jawa Tengah. Pada penilitian ini, digunakan istilah KUB (Kelompok Usaha Bersama) untuk kelompok pemanfaat dana ekonomi produktif program PEMP, sedangkan pada struktur kelembagaan PEMP kelompok tersebut dikenal dengan istilah KMP (kelompok masyarakat pemanfaat), maka dalam penulisan hasil penelitian ini digunakan istilah KMP.

Beberapa kendala dan permsalahan dalam pelaksanaan program PEMP di Kecamatan Wonkerto Kabupaten Pekalongan (Khasanaturodhiyah 2002), yaitu :

Instansi Terkait

Departemen Kelautan dan Perikanan

Dinas Propinsi

Dinas Kota/Kabupaten

BAPEDDA Konsultan Manajemen

Kota/Kabupaten

LEPP-M3 :

 Wakil KMP

 Profesional

CAMAT Mitra Pengembangan :Pengusaha

 Lembaga Keuangan

 Perguruan Tinggi Kelompok A

Kelompok B

Pendamping (TPD)

KMP1 KMP2 KMP3………KMP N Mitra Desa :

Aparat Desa

Tokoh Masyarakat/ Agama

KCD/PPL DKP


(18)

1. Mundurnya pelaksanaan sosialisasi di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. 2. Data dari desa-desa yang tersedia kurang lengkap maka perlu adanya

pengumpulan dari berbagai sumber.

3. Pandangan masyarakat yang terbentuk sekarang ini menganggap bahwa bantuan dari pemerintah merupakan sebuah bantuan cuma-Cuma dan tidak perlu dikembalikan.

4. Terlambatnya terbentuknya KMP mengakibatkan pelaksanaan pelatihan untuk semua KMP mundur dari waktu yang ditentukan.

5. Kurangnya pengetahuan KMP tentang pemilihan kapal, modifikasi teknologi dan pentingnyacool box (kotak pendingin).

6. Pada saat penelitian, kemampuan KMP dalam menguasai materi relatif lambat dikarenakan tingkat pendidikan rata-rata rendah.

Pada penelitian ini juga diukur tingkat partisipasi peserta program PEMP dengan indikator yang digunakan adalah (1) kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa waktu maupun tenaga dalam melaksanakan program PEMP, (2) hak masyarakat untuk ikut menentukan arah dan tujuan program yang dilaksanakan di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan, dan (3) kemauan masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil program (Khasanaturodhiyah2002).

Tingkat partisipasi KMP Pedagang terhadap PEMP di Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan – Jawa Tengah yang tergolong partisipasi tinggi sebanyak 57,1%, partisipasi sedang sebanyak 28,5% dan partisipasi rendah sebanyak 14,2% (jumlah responden 28 orang). Factor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi tersebut adalah jumlah tanggungan keluarga, status penduduk, pendidikan dan kondisi rumah. Sedangkan pada KMP Nelayan, 43,7% berpartisipasi tinggi, 37,5% berpartisipasi sedang dan 18,7% berpartisipasi rendah (jumlah responden 16 orang). Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi tingkat partisipasi ini adalah status penduduk, pendidikan, pendapatan dan kondisi rumah (Khasanaturodhiyah 2002). Bantuan PEMP yang diberikan belum mampu memberikan surplus produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi produksi yang dapat digunakan untuk akumulasi modal bagi proses perdagangan dan pengolahan ikan dan hanya cukup memenuhi


(19)

kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 70,3% responden menyatakan bahwa omset per hari mereka tetap. Pengembalian pinjaman juga tidak lancar (ada pinjaman yang macet) karena adanya pedagang yang mendapat musibah (anggota keluarga sakit). Sutomo (2003) menyatakan pelaksanaan program PEMP tahun anggaran 2001 di Kabupaten Banggai-Sulawesi Tengah belum mencapai hasil yang optimal. Hasil evaluasi keberhasilan pencapaian indikator kinerja pelaksana PEMP diperoleh : Bupati = 63%, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan = 60%, Pimbagpro = 60%, Tenaga Pendamping Desa = 55%, KM Kabupaten = 65%, Mitra Desa = 46%, KMP = 79% dan Lembaga EkonomiPengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) = 20%. Hal ini disebabkan oleh pengelolah program tidak memahami dengan baik konsep pembedayaan masyarakat pesisir. Disamping itu, mereka yang pernah malakukan pelanggaran belum pernah mendapat tindakan nyata atas pelanggaran yang mereka lakukan seperti pada program KUT sehingga aktor-aktor proyek di daerah semakin berani melakukan pelanggaran.

Hasil evaluasi terhadap pencapaian kinerja tahapan kegiatan diklasifikasikan menjadi 6 kategori, yaituinput(masukan),process(pelaksanaan),

output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat) dan impact (dampak). Indikator kinerja input yang digunakan adalah sumberdaya manusia, kelembagaan, sosialisasi, modal usaha yang diterima, pelatihan, tenaga pendamping desa (TPD) dan konsultan. Indikatorprocessadalah pemilihan lokasi dan kelompok sasaran, penyaluran bantuan, penyusunan rencana kegiatan, pengawasan dan pelaporan. Indikator output adalah keragaan produksi, yaitu produksi primer dan sampingan. Indikator outcome adalah pendapatan dan perguliran dana ekonomi produktif. Indikator benefit adalah pendapatan agregat dan pemerataan inter wilayah dan Indikator impact adalah dampak positif dan negatif program secara umum (Sutomo 2003).

Penelitian ini menunjukkan pencapaian kinerja input = 48%, process = 59%, output = 16% sertaOucomet/benefit/Impact = 0%. Hal ini disebabkan oleh kurang diperhatikannya dampak positif suatu proyek di daerah dan administrasi yang rapi masih lebih diutamakan dari pada hasil dari suatu proyek. Ini berarti PEMP Kabupaten Banggai – Sulawesi Tengah hanya berjalan pada tahap awal


(20)

pelaksanaan dan kinerja program semakin buruk pada kegiatan selanjutnya. Beberapa faktor yang menyeababkan program ini tidak berjalan dengan baik adalah moralitas pelaksana, fasilitas yang diberikan tidak digunakan secara optimal dan modal sosial seperti kepercayaan dan solidaritas kurang dimiliki oleh KMP ( Sutomo 2003).

Penelitian Cahyadinata (2005) menyebutkan bahwa DEP PEMP di Kota Bengkulu belum mampu meningkatkan skala usaha masyarakat dan masih ada anggota KMP yang tidak berusia produktif, tidak memiliki pengalaman dan tidak memiliki hari kerja sehingga pengembalian pinjaman hanya 21% dari DEP dan bunga serta perguliran DEP hanya 10% dari pengembalian. Akibat tingkat pengembalian yang rendah, LEPP-M3 dan Mitra Kelurahan tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk menjalankan tugasnya. Meskipun demikian, DEP PEMP yang diterima oleh anggota KMP dapat meningkatkan pendapatan yang diindikasikan oleh berpengaruh nyatanya jumlah pinjaman terhadap pendapatan. Setiap peningkatan jumlah pinjaman sebesar Rp 1, akan meningkatkan pendapatan anggota KMP sebesar Rp 0,04 per bulan.

Berdasarkan analisis SWOT dan MAHP, alternative pendekatan program PEMP adalah peningkatan skala usaha masyarakat, pembinaan masyarakat pesisir (program pendampingan), peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan menciptakan iklim usaha yang kondusif.

2.4 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan demikian memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan, kegotongroyongan, dan


(21)

kebhinekaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selaras dengan pendapat tersebut, Jim Ife (1995) mengemukakan bahwa “empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and effect of their community”. Akhirnya Kartasasmita (1996) menyimpulkan bahwa, upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti: modal, teknologi, informasi dan pasar.

Menurut Jim Ife (1995) dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep power

(“daya”) dan konsep disadvantaged (“ketimpangan”) Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari empat sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis.

1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete wthin the rules).

2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitist adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis.


(22)

Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.

3. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural.

4. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi; atau pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi.

Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu ditemu-kenali. Jim Ife (1995) mengidentifikasi beberapa jenis daya yang dimiliki masyarakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka, antara lain:

1. Power terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik.

2. Powerterhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan kebutuhannya sendiri.

3. Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik.

4. Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.


(23)

5. Power terhadap sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi.

6. Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi.

Ketidakberdayaan masyarakat selain disebabkan oleh faktor ketidak-adaan daya (powerless), juga disebabkan oleh faktor ketimpangan, antara lain:

1. Ketimpangan struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang kaya-orang miskin; the haves-the haves not;

buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas – mayoritas, dan sebagainya.

2. Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tua-muda, ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah gay-lesbi, isolasi geografis dan sosial (ketertinggalan dan keterbelakangan).

3. Ketimpangan personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orang-orang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga.

Dengan demikian untuk dapat merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program pemberdayaan secara efektif, maka perlu memahami terlebih dahulu faktor apa sajakah yang menjadi akar permasalahan pengungsi, apakah terkait dengan faktor daya atau faktor ketimpangan, ataukah kombinasi keduanya.

2.4 Masyarakat Pesisir

Dalam kenyataan, perbedaan masyarakat pesisir atau pemukiman sukar dibedakan karena sifat masyarakat yang memiliki mata pencaharian yang saling bertumpang tindih. Menurut Muluk (1996) klasifikasi masyarakat dapat dibedakan berdasarkan sifat mereka bermukim. Dengan kombinasi kiteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat dibagi kedalam : (a) Masyarakat nelayan, (b) masyarakat petani dan nelayan , (c) masyarakat petani (d) masyarakat pengumpul


(24)

atau penjarah (collector , foreger), (e) masyarakat perkotaan dan perindustrian dan (f) masyarakat tidak menetap /sementara atau (migratory).

Dalam konteks masyarakat menurut Satria (2002) yaitu masyarakat desa terisolisasi (masyarakat pulau kecil). Komunitas kecil tersebut memiliki beberapa ciri :

(1) mempunyai identitas yang khas;

(2) terdiri dari jumlah penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas sehingga saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian;

(3) bersifat beragam dengan diferensiasi terbatas;

(4) kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas sehingga semua dapat dipenuhi sendiri tanpa bergantung pada pasar diluar.

Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir yang berjenis desa pantai dan desa terisolasi dicirikan oleh sikap mereka terhadap alam dan manusia.

Pada penelitian ini yang dimaksud masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir baik sebagai nelayan, pengolah maupun bakul/pedagang ikan dalam kegiatan usaha perikanan . Menurut Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan/budidaya binatang/tanaman air. Nelayan dibedakan nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapunberkuasa atas kapal/perahu yang dipdalam usaha perlukan dalam usaha penagkapan ikan di laut. Nelayan pekerja (buruh) yaiu semua orang yang sebagai satu kesatuan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut baik sebagai nakoda/pendega maupun sebagai pengoperasian alat tangkap.

2.5 Pendapatan Rumah Tangga

Keluarga Nelayan adalah suatu keluarga yang kepala keluarga atau lebih anggota keluarga terlibat dalam proses produksi atau pengolahan hasil perikanan sebagai sumber pendapatan dan penghidupannya. Pendapatan rumah tangga dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan keluarga dari semua sumber pendapatan dan pendapatan tersebut dapat beragam. Hal ini disebabkan disamping


(25)

kegiatan utama sebagai nelayan juga diupayakan kegiatan-kegiatan lain, seperti dagang, usaha jasa dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Menurut Dahuri et al (2001) pada saat ini kira-kira 60 % dari nelayan di desa pantai rata-rata pendapatannya hanya berkisar anatara Rp. 35.000,00/kapita/bulan, jauh dibawah kebutuhan minimumnya. Untuk meningkatkan pendapatan agar kesejahteraan masyarakat pantai meningkat perlu usaha-usaha untuk menghadapi perusahaan yang dihadapi. Permasalahan masyarakat pantai memang kompleks, baik masalah kependudukan / sumberdaya manusia, permasalahan potensi alam daratan maupun masalah perairan sebagai lahan masyarakat mencari nafkah.

2.6 Kesejahteraan

Menurut Dahuri (2000), bahwa tidak adanya akses ke sumber moral, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan terjadinya kemiskinan. Alasan lain terkait dengan sifat sumberdaya pesisir. Selanjutnya dikatakan bahwa kemiskinan juga disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan berkembangnya kriminalitas. Alasan lain juga terkait dengan kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir., lemahnya perencanaan yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan, dampak polusi dan kerusakan lingkungan. Kemiskinan juga terjadi karena prasarana pembangunan yang kurang di wilayah pesisir. Prasarana di wilayah pesisir memang sangat dibutuhkan, mengingat masyarakat hanya mampu memanfaatkan dan tidak mampu membangun atau mengadakannya.

Batas baris kemiskinan yang dipergunakan oleh BPS dihitung berdasarkan nilai dari kebutuhan pokok minimum masyarakat. Angka tersebut secara reguler direvisi sesuai dengan laju kenaikan indeks harga barang kebutuhan pokok. Akan tetapi penggunaan indeks harga untuk menetapkan garis kemiskinan harus dilakukan pembobotan dengan adanya variasi indeks harga antara wilayah. Dengan demikian penggunaan nilai konsumsi riil setara dengan kebutuhan kalori


(26)

untuk hidup normal kiranya dapat diaplikasikan sebagai dasar menentukan garis kemiskinan seperti yang diperkenalkan oleh Sajogyo (1996).

Klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) menurut Sajogyo (1977), didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu :

(1) Miskin, apabila nilai perkapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota.

(2) Miskin, sekali, apabila pengeluaran pekapita per tahun lebih rendah dari setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota. (3) Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari

setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota.

Aspek lain yang juga penting dalam menganalisis kesejahteraan rumah tangga, menurut BPS (2001) berdasarkan pada data kependudukan, kesehatan, pendidikan, fertilitas, pengeluaran rumah tangga, kriminalitas serta perumahan dan lingkungan. Karakteristik social ekonomi penduduk yang lebih spesifik dikumpulkan berdasarkan :

(a) Konsumsi/Pengeluaran/Pendapatan

(b) Kesehatan, pendidikan, Perumahan dan Pemukiman, dan (c) Sosial Budaya, Kesejahteraan Rumah Tangga, Kriminalitas.


(27)

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Wilayah Pesisir Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Kecamatan Pemangkat dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan ini selalu mendapatkan Program PEMP sejak tahun 2001 hingga tahun 2006.

Waktu penelitian selama 3 bulan yang dibagi dalam 2 tahap. Tahap I adalah tahap pengambilan data primer selama bulan April – Mei 2007. Tahap II adalah pengambilan data sekunder dan dilanjutkan analisis data pada bulan Mei hingga Agustus 2007.


(28)

3.2 Kerangka Konseptual Penelitian

Pengelolaan sumberdaya perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional. Besarnya potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Sambas belum mampu mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat pesisirnya. Kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan ini bukan semata-mata terkendala masalah pembiayaan/dana tetapi juga mencakup faktor sumber daya manusia/ nelayan yang tidak terampil menggunakan teknologi penangkapan ikan serta jumlah armada yang masih sedikit. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sambas (2003) hanya terdapat 26 kapal motor penangkap ikan dengan bobot > 50 GT. Sementara kapal motor berbobot 0 – 5 GT yang dominan digunakan nelayan Kabupaten Sambas (435 buah).

Beberapa kajian tentang masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan, di berbagai wilayah Indonesia telah memberikan Gambaran yang jelas bahwa persoalan kerawanan sosial-ekonomi, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, kelembagaan sosial yang lemah, serta kesulitan akses modal usaha, teknologi dan pasar. Merupakan masalah-masalah serius yang perlu diatasi. Masyarakat pesisir yang berjumlah 16.420.000 jiwa hidup dan tersebar pada 8.090 desa pesisir. Mereka terdiri atas kelompok nelayan 4.015.320 jiwa, pembudidaya perairan 2.671.400 jiwa, dan kelompok sosial lainnya 9.733.280 jiwa. Persentase yang hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 32% atau 5.254.400 jiwa, dari total masyarakat pesisir (Direktorat PMP 2006).

Kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki desa pesisir hampir 40% dari total luas daerahnya, yaitu meliputi Kecamatan Selakau (292,50 km2), Pemangkat (193,75 km2), Jawai (287,50 km2), Paloh (1.148,84 km2) dan Telok Keramat (741,10 km2). Dari kelima kecamatan tersebut dihasilkan produksi perikanan tangkap sebesar 15.702,72 ton/tahun dan perikanan budidaya sebesar 718,2 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas 2005).


(29)

Sejak terpilih sebagai daerah penerima dana Program PEMP pada tahun 2001, pemerintah daerah Kabupaten Sambas dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan, menyalurkan dana program PEMP dengan penekanan pada penanggulangan masalah setempat. Karena itu, kucuran dana dari LEPP-M3 difokuskan pada pembelian/pembuatan kapal penangkap ikan. Sebagian lain dimanfaatkan sebagai modal usaha dan pembelian alat penangkap ikan baru (LEPP-M3 Kabupaten Sambas 2003).

Program PEMP yang dilaksanakan di Kabupaten Sambas pada tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP). Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan kajian terhadap kinerja program PEMP selama 4 tahun di Kabupaten Sambas. Penerapan Program PEMP di Kabupaten Sambas yang mengacu Program PEMP secara nasional apakah sudah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kondisi faktual yang ada di lapangan, yang paling penting sebenarnya dalam menjalankan Program PEMP adalah strategi yang tepat yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sambas.

Untuk lebih memudahkan memahami kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(30)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan dari seluruh stakeholder

yang menjadi sasaran evaluasi secara langsung. Proses untuk mendapatkan data primer ini melalui teknik wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner dan observasi langsung ke lapangan.

Potensi dan Kondisi Sumberdaya Pesisir

Masyarakat Pesisir

Kendala & Pola Pemanfaatan Sumberdaya

Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Analisis Kinerja

Program PEMP

Strategi & Kebijakan Pelaksanaan PEMP

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Pendekatan Studi

 Dana/Lembaga

pembiayaan

 SDM

 Teknologi


(31)

Data sekunder berupa dokumen atau referensi yang relevan dengan Program PEMP seperti Laporan Keuangan LEPP-M3, kelengkapan administrasi lembaga, data statistik perikanan kabupaten Sambas serta kondisi geografis, demografis dan sosial ekonomi masyarakat yang didapat dari instansi pemerintah setempat.

Tabel 1. Jenis dan sumber data penelitian

No Aspek Jenis Data Sumber Data

A B 1. 2 3 4 5 6 7 C Perikanan Sosial Demografi Demografi Pekerjaan Utama Pendidikan Kesehatan Ekonomi Keagamaan Transportasi/te le-komunikasi LEPP-M3

Jumlah produksi perikanan Jenis dan jumlah alat tangkap Sarana dan Prasarana perikanan

Pemanfaat Sumberdaya

Perikanan

Jumlah Penduduk, Kepadatan, Umur, Pertumbuhan dan Penye-baran Penduduk.

Pekerjaan Utama penduduk,

Banyaknya Rumah Tangga

(RTP) Pertanian persektor. Jumlah fasilitas sekolah TK, SD,

SMTP dan SMTA per

Kecamatan/desa

Jumlah dokter , tenaga medis, dukun beranak dan fasilitas kesehatan perkecamatan/desa Jumlah fasilitas perekonomian; Bank, pasar, toko/warung, koperasi Per kecamatan/desa. Jumlah fasilitas keagamaan; mesjid, langgar/surau, gereja, vihara dll.per kecamatan/desa Panjang jalan, keadaan jalan, kedaan sarana tranportasi darat dan laut, Jaringan telepon dan listrik per Kecamatan/desa. Laporan keuangan

Rekapitulasi administrasi

PPI Pemangkat PPI Pemangkat/ DKP Kab. Sambas Literatur BPS Susenas, BPS Diknas, BPS Dinkes, BPS Kecamatan Dalam Angka Kecamatan Dalam Angka Dinas Kimprasda, Bappelitbangda, Kecamatan Dalam Angka Laporan Tahunan LEPP-M3 Akta Pendirian LEPP-M3


(32)

3.4 Teknik Pengambilan Contoh

Teknik sampling dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) pada nelayan-nelayan yang menerima program PEMP. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan rumus Slovin (Sevilla dalam Umar 2002) sebagai berikut :

n = N

1 + N e2

dimana : n = ukuran sampel

N = ukuran populasi e = Sampling error

Masyarakat yang medapatkan penyaluran Kredit dari Koperasi LEPP-M3 sebanyak 317 orang. Jumlah sampel yang diamati 23,173 (dibulatkan 23 orang).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

(1).Kuesioner (wawancara Terstuktur). Kuesioner merupakan alat yang memuat himpunan pertanyaan yang dibuat secara terstruktur sebagai alat bantu dalam mengekplorasi dan mengumpulkan data/informasi melalui wawancara. Penyusunan dan penggunaan kuesioner ini mengacu pada kebutuhan data/indikator untuk setiap elemen yang akan diukur, serta berdasarkan sasaran stakeholder yang diwawancarai. Penggunaan Kuesioner akan digunakan bagi anggota KMP dan bukan KMP.

(2).Wawancara Terarah. Pola wawancara yang dilakukan merupakan wawancara dua arah (dialogis) dimana penulis sebagai pewawancara dan stakeholder sebagai orang yang diwawancarai. Meskipun Topik wawancara dengan teknik seperti ini berpotensi memperluas cakupanya, namun pewawancara sudah dilengkapi dengan poin-poin (guide question) yang akan diwawancarakan dan didiskusikan. Wawancara dititikberatkan pada sejumlah key person dari lembaga/stakeholder sasaran seperti : Kepala Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sambas, Kepala LEPP-M3, Ketua KMP, dan sejumlahkey personlainnya.


(33)

(3). Observasi. Kegiatan ini untuk melihat secara langsung kondisi faktual yang terbangun dilapangan serta memperluas lingkup pengamatan terhadap subyek yang dinilai (faktor atau dinamika yang mempengaruhi kinerja). Observasi merupakan teknik dalam melakukan verifikasi (cross check) terhadap data dan informasi yang dihimpun dari wawancara yang dilakukan. Kegiatan observasi dapat dikembangkan untuk melihat secara langsung hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi sehari-hari masyarakat yang menjadi sasaran Program PEMP.

3.6 Analisis Data

Untuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil penelitian sebelumnya dan data primer yang diperoleh melalui pengamatan lapangan dan wawancara maupun data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Demikian pula kondisi dan potensi sumber daya alam dianalisis secara deskriptif.

Rapfish (Rapid Appraissal For Fisheries) ádalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada. Yang merupakan analisis untuk mengevaluasi secara Multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan

Multi-Dimensional Scaling(MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Secara umum, analisis Rapfish dimulai dengan mereview atribut dan mendifnisikan yang akan dianalisis.

elemen kinerja yang menjadi penekanan untuk dinilai adalah sebagai berikut :

1. Kelembagaan Program PEMP (DKP, LEPP-M3, KM, TPD, Bank Pelaksana, KMP)

Indikator :

a. Kemantapan organisasi pelaksana program

b. Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam program PEMP


(34)

c. Terlaksananya tupoksi dalam program PEMP d. Kesesuaian kualifikasi TPD

e. Kapasitas TPD dalam operasional tupoksi f. Proporsi daya serap anggaran UEP

g. Kesesuaian penetapan KMP/ individu penerima UEP h. Keterwakilan gender dalam pengurus LEPP-M3 i. Pelaporan periodik perkembangan LEPP-M3 j. Status LEPP-M3

k. Berjalannya pembianaan terhadap LEPP-M3 l. Kesesuaian kualifikasi TPD

m. Dst.

2. Pengelolaan LEPP-M3/ Koperasi LEPP-M3/ Koperasi Perikanan Indikator :

a. Pemahaman pengurus LEPP-M3 terhadap program dan Gambaran tugasnya.

b. Pengurus tetap/permanen LEPP-M3 dengan kualifikasi serta kompetensi yang relevan dengan bidang tugasnya.

c. Berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPP-M3

d. Berfungsinya sistem pengelolaan DEP yang disalurkan pada anggota KMP/individu.

e. Berjalannya sistem administrasi keuangan DEP. f. Kualitas fortopolio LEPP-M3.

g. Produktivitas dan efisiensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM). h. Pengembangan usaha LEPP-M3.

i. Pelaporan kegiatan LEPP-M3.

3. Kapasitas Pemanfaat (KMP/Individu) Indikator :

a. Adanya manajemen dan administrasi keuangan UEP yang dilaksanakan. b. Penguasaan teknis UEP.

c. Ekstensifikasi dan diversifikasi jenis UEP.


(35)

e. Transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu nonpemanfaat. 4. Kemitraan

Indikator :

a. Sinergisitas peran pemangku kepentingan mendukung pelaksanaan program.

b. Pengembangan dan diversifikasi UEP yang diprakarsai atau diinisiasi dan difasilitasi pihak lain.

c. Penguatan modal LEPP-M3 dari perbankan. d. Pembinaan UEP oleh lembaga mitra.

5. Persepsi Pemangku Kepentingan (stakeholders) Indikator :

a. Pemahaman terhadap substansi dan manajemen program. b. Kesesuaian peran dalam program.

c. Relevansi perencanaan program dan anggaran dari para pemangku kepentingan yang mendukung program.

d. Bentuk partisispasi dalam implementasi program.

Kemudian dilanjutkan dengan scoring yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish. Rapfish adalah teknik untuk mengevaluasi sumberdaya(Perikanan) secara kompeherensif berdasarkan atribut/indikator yang mudah untuk di scoring (Fauzi, 2002). Teknik scoring ini dilakukan terhadap seluruh indikator keberhasilan. Proses analisis statistik dilakukan terhadap hasil

scoring dari seluruh indikator. Dalam pemberian scoring ini digunakan rentang nilai sebagai berikut :

Tabel 2. Rentang Scoring Data Kualitatif

Rentang Scoring Status

0 – 25 26 – 50 51 – 75 75 – 100

Kurang Cukup

Baik Sangat baik


(36)

setelah itu dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif terhadap ordinasi

baddangood.

Dimensi atau Uji MDS dilakukan untuk memudahkan pengGambaran status kinerja Program PEMP dalam bentukscoredaribad(0) hinggagood (100). Nilai 0 atau buruk mengindikasikan kinerja Program PEMP tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran yang diharapkan. Nilai 100 mengindikasikan kinerja Program PEMP berjalan sebagaimana tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam score

selang 0 - 100 tersebut dibagi kedalam lima level status kinerja Program PEMP seperti dalam Tabel 3

Tabel 3. Rentang score

Rentang Score Status

0,00 – 20,00 >20,00 – 40,00 >40,00 – 60,00 >60,00 – 80,00 >80,00 – 100,00

Sangat Kurang Kurang

Cukup Baik Sangat baik

Selanjutnya Leverage analysis dilakukan untuk mengetahui pengaruh indikator kinerja terhadap status keberhasilan Program PEMP untuk setiap dimensi/elemen yang digunakan. Dengan menggunakan metode analisis ini akan dapat dinilai indikator-indikator kinerja yang mana dari setiap elemen yang paling berpengaruh (mendukung dan menghambat) status keberhasilan pelaksanaan Program PEMP.


(37)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KONDISI SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

4.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Sambas 4.1.1.1 Letak Geografis Kabupaten Sambas

Kabupaten Sambas terletak di bagian paling Utara Provinsi Kalimantan Barat atau di antara 2°08' Lintang Utara serta 0°33' Lintang Utara dan 108°39' Bujur Timur serta 110°04' Bujur Timur.

Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Sambas adalah: Utara : Serawak (Malaysia Timur) dan Laut Natuna Selatan: Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang Barat : Laut Natuna

Timur : Kabupaten Bengkayang dan Serawak

Kabupaten Sambas dengan luas 6.395,70 Km2 terdiri atas 16 kecamatan dan 183 desa (BPS Kabupaten Sambas 2005). Lima (5) kecamatan diantaranya merupakan kecamatan pesisir dengan 30 desa pesisir. Tabel 4 menyajikan data kecamatan pesisir di Kabupaten Sambas.

Tabel 4. Data Wilayah Pesisir Kabupaten Sambas, Tahun 2005

No Nama

Kecamatan

Luas (Km2)

Jumlah Desa Pesisir

Panjang Pantai (Km)

Luas laut (Km2)

1. Paloh 1.148,84 5 105,56 758,94

2. Teluk Keramat 741,10 3 19,67 142,59

3. Jawai 193,99 13 42,53 314,72

4. Pemangkat 193,75 3 20,49 151,62

5. Selakau 292,50 6 13,51 99,97

Jumlah 2570,18 30 198,76 1.467,86

Sumber : BPS Kabupaten Sambas 2005 (diolah 2007)

Tabel 4 menunjukkan Kecamatan Paloh merupakan kecamatan terluas yang terdapat di Kabupaten Sambas dengan luas 1.148,84 Km2 yang memiliki 5 desa pesisir dengan panjang pantai 105,56 Km dan luas laut sebesar 758,94 Km2. Kecamatan Jawai memiliki desa pesisir terbanyak dengan jumlah 13 Desa. Kecamatan Pemangkat relatif kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan luas 193,75 Km2 dengan 3 Desa pesisir dan panjang pantai sebesar 20,49


(38)

Km serta luas laut sebesar 151,62 Km2, namun demikian Kecamatan Pemangkat memiliki potensi besar sebagai penghasil sumberdaya ikan laut bagi Kabupaten Sambas. Sementara luas Kecamatan Pemangkat hanya 3,03 persen dari luas Kabupaten Sambas, yaitu seluas 193,75 Km2. Sentra kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sambas berada di lima (5) wilayah kecamatan. Produksi perikanan tangkap terbesar dihasilkan dari Kecamatan Pemangkat, yang merupakan wilayah kerja TPI Penjajab dan berada di PPN Pemangkat. Angka produksi dan nilai produksi yang dihasilkan di wilayah Kecamatan Pemangkat cukup memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Sambas. Sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kecamatan Pemangkat adalah sebesar Rp 241.627.430,00 melalui retribusi pasar grosir TPI Penjajab pada Tahun 2003.

4.1.1.2 Perekonomian Wilayah Kecamatan Pemangkat

Tinggi rendahnya perekonomian suatu daerah tergantung dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta ditunjang oleh faktor-faktor ekstern seperti kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang tepat dan terarah. Keberagaman aktivitas dan produktivitas ekonomi berbasis sumberdaya pesisir dan laut ditunjukkan oleh perekonomian wilayah pesisir Kecamatan Pemangkat yang tercermin dari beberapa sektor dan sub sektor dalam struktur pendapatan regional Kecamatan Pemangkat.

Sektor penggerak roda perekonomian Kecamatan Pemangkat secara sederhana diwakili oleh tiga jenis kelompok sumberdaya yang berbeda. Sektor perikanan mewakili kelompok sumberdaya hayati (renewable resource) yang sangat tergantung pada kualitas dan daya dukung lingkungan perairan agar dapat memberikan manfaat ekologis dan ekonomis, sedangkan sektor pertambangan dalam hal ini mewakili kelompok sumberdaya non hayati (non renewable resource).

Berdasarkan besaran nilai PDRB tahun 2003-2005, wilayah Kabupaten Sambas telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp 2,05 trilyun pada tahun 2003 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar Rp 2,27 trilyun. Terjadi peningkatan yang cukup besar di setiap sektor dan sub sektor, walaupun secara proporsi beberapa sektor mengalami penurunan.


(39)

Beberapa sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, angkutan dan sektor keuangan. Sektor pertanian secara proporsi mengalami peningkatan dari 46,15 % pada tahun pada tahun 2003, meningkat menjadi 46,79 % pada tahun 2004 dan sedikit menurun pada tahun 2005 menjadi 47,76 %. Sektor pertanian memberikan peran dominan terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Sambas, diantaranya adalah sektor pertanian (46,15 % tahun 2003 dan 47,76 % tahun 2005), sektor perdagangan, hotel dan restoran (27,50 % tahun 2003 dan 27 % tahun 2005). Sub sektor perikanan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB Kabupaten Sambas dan menduduki urutan ketiga dari lima sektor pertanian. Perkembangan dan proporsi kontribusi masing-masing sektor bagi perekonomian Kabupaten Sambas selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sambas Berdasarkan

Harga Konstan Tahun 2003-2005

PDRB Kabupaten Sambas

Komponen PDRB Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005

Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi (Rp Jutaan) (%) (Rp Jutaan) (%) (Rp Jutaan) (%) 1 Pertanian 946.117,60 46,15 1.006.966,61 46,79 1.086.997,98 47,76

a. Tanaman Bahan

Makanan 621.442,67 30,31 659.465,72 30,65 717.348,52 31,52 b. Tanaman Perkebunan 218.185,95 10,64 237.871,86 11,05 255.908,38 11,24 c. Peternakan dan Hasilnya 35.129,03 1,71 36.741,87 1,71 38.041,34 1,67 d. Kehutanan dan

Perkebunan 3.905,42 0,19 3.361,39 0,16 3.050,99 0,13

e. Perikanan 67.454,52 3,29 69.525,76 3,23 72.648,75 3,19 2 Pertambangan dan

Penggalian 3.871,06 0,19 3.974,26 0,18 4.081,00 0,18

3 Industri Pengolahan 206.872,79 10,09 211.678,99 9,84 217.573,78 9,56 4 Listrik, Gas dan Air

Minum 4.996,77 0,24 5.233,37 0,24 5.637,73 0,25

5 Bangunan dan Konstruksi 50.649,28 2,47 51.878,34 2,41 52.919,05 2,33 6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 563.797,47 27,50 587.757,09 27,31 614.531,71 27,00 7 Angkutan dan Komunikasi 79.099,86 3,86 81.770,09 3,80 84.014,40 3,69 8 Keuangan, Persewaan dan 98.414,71 4,80 101.266,62 4,71 103.832,05 4,56

Jasa Perusahaan

9 Jasa-Jasa 96.426,50 4,70 101.343,05 4,71 106.362,61 4,67 Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) 2.050.246,04 100,00 2.151.868,43 100,00 2.275.950,31 100,00


(40)

Pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sambas telah memberikan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang secara makro dicerminkan oleh peningkatan pendapatan perkapita yang diikuti laju pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya atau dengan kata lain terjadi pertumbuhan PDRB yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Sambas dapat dilihat ada Gambar 5.

Pada tahun 2005, PDRB Kabupaten Sambas atas dasar harga konstan meningkat 5,77 % dari 2.151.868,43 juta rupiah pada tahun 2004 menjadi 2.275.950,31 juta rupiah pada tahun 2005 (Tabel 5). Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Barat yang sebesar 4,71 % (BPS Kabupaten Sambas 2006).

5,22

2,98

4,73 4,96

5,77

0 1 2 3 4 5 6 7

2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

P

e

rs

e

n

Gambar 5 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sambas Tahun 2001-2005 4.1.2 Keragaan Perikanan di Perairan Pemangkat

4.1.2.1 Potensi Sumber Daya Perikanan di Perairan Laut Pemangkat

Wilayah Perairan Laut Pemangkat merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Laut Cina Selatan. WPP Laut Cina Selatan memiliki potensi perikanan sebagai berikut :

a) Sumber Daya Ikan Demersal, meliputi: potensi 334.800 ton per tahun, produksi 54.690 ton per tahun, dan pemanfaatannya 16,34 %.

b) Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil, meliputi: potensi 621.500 ton per tahun, produksi 205.530 ton per tahun, dan pemanfaatannya 33,07 %.

c) Sumber Daya Ikan Pelagis Besar, meliputi: potensi 66.080 ribu per tahun, produksi 35.160 ton per tahun, dan pemanfaatannya 53,21 %.


(41)

Perairan Laut Cina Selatan hampir lengkap memiliki kelompok sumber daya ikan, diantaranya sumberdaya ikan Pelagis Besar seperti tongkol dan tenggiri, sumberdaya ikan Pelagis Kecil seperti layang, selar, kembung, sardine; sumberdaya ikan Demersal seperti bawal, bambangan atau kakap merah, serta berbagai jenis udang dan cumi.

Wilayah Perairan Pemangkat terletak di sebelah Barat Kabupaten Sambas, yang merupakan perairan terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Natuna dengan panjang garis pantai kurang lebih 115 mil. Dalam radius jarak lebih dari 12 mil terbentang perairan ZEEI dan laut lepas yang termasuk dalam wilayah Laut Cina Selatan.

Kecamatan Pemangkat merupakan kecamatan yang banyak disinggahi nelayan untuk datang dan mendaratkan serta melelang ikan hasil tangkapannya. PPN Pemangkat merupakan pelabuhan perikanan yang mempunyai klasifikasi sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kelas B dengan luas lahan 7,5 hektar. Lokasi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pemangkat terletak di Desa Penjajap di muara Sungai Sambas, Kabupaten Sambas. Secara geografis Kecamatan Pemangkat terletak pada posisi 1o05’01”- 1o12’14” Lintang Utara dan 108o54’01”- 109o04’49” Bujur Timur

Volume produksi dan harga ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat dari Tahun 1998-2006 yang berasal dari berbagai jenis alat tangkap. Berdasarkan hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat sebagaimana terlihat pada Tabel 6, menunjukkan tren peningkatan dari Tahun 1998-2006. Tahun 2002 terlihat volume produksi menunjukkan penurunan, akan tetapi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai pada tahun sebelumnya. Hal ini memberikan pengertian bahwa jenis ikan yang didaratkan adalah ikan yang bernilai ekonomis tinggi.

Tabel 6 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan di PPN Pemangkat Tahun 1998-2006

No Tahun

Produksi (Ton)

Nilai (Rp Juta)

Produksi Rata-rata/hari (Ton)

1 1998 3.981,06 2.070,24 11,06

2 1999 3.966,54 4.696,46 11,02

3 2000 5.709,56 6.100,97 15,87

4 2001 5.918,11 8.246,53 16,44


(42)

6 2003 6.405,00 15.436,02 17,79

7 2004 9.205,00 35.168,02 25,57

8 2005 9.278,77 45.038,12 25,77

9 2006 10.474,53 73.476,77 29,10

Sumber: PPN Pemangkat 2006

Jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan Pemangkat diantaranya adalah kelompok ikan Pelagis Besar, Pelagis Kecil, Demersal, Udang dan Molusca. Kelompok sumberdaya yang dominan bila dilihat dari hasil produksi yang didaratkan di PPN Pemangkat adalah jenis Pelagis Kecil. Hal ini terindikasi dari besarnya produksi rata-rata tahunan kelompok sumberdayanya yang mencapai sekitar 4.394.880 kilogram pada periode tahun 1998-2006.

4.1.2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan untuk menjaga pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Dengan demikian, maka pemanfaatan dilakukan secara optimal pada masa sekarang agar generasi di masa datang dapat memperoleh manfaat yang paling tidak sama dari sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan.

Pengelolaan perikanan secara optimal dan berkelanjutan diharapkan dapat didekati melalui hasil penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis tingkat produksi lestari sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi. Perbandingan pengelolaan aktual dan pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 7.


(43)

Tabel 7 Alokasi Optimal Sumberdaya Ikan Demersal, Pelagis Besar,Pelagis Kecil, Udang dan Molusca di PPN Pemangkat.

Demersal Pelagis Besar Pelagis Kecil Udang Molusca

Alokasi

Optimal Satuan Aktual Optimal Aktual Optimal Aktual Optimal Aktual Optimal Aktual Optimal

Yield Ton per

tahun 424.251,83 725.477,08 1.390.817,03 1.478.324,11 4.008.022,12 82.591,29 49.258,82 1.559.137,64 4.008.022,12 3.479.266,20 Effort Trip per

tahun 124.724,46 46.216,47 18.736,03 26.970,36 1.643.108,16 12.357,35 3.570,36 36.283,99 7.277,45 2.424,58

Tangkapan Kg per

trip 30,22 15,70 74,23 54,81 0,80 6,68 16,71 42,97 0,80 1.435,00

Rente Total Rp per tahun (juta)

1.939.880,32 2.865.860,0

7 3.988.843,60 3.591.250,79 7.273.367,25 30.696,86 31.717,60 3.591.250,79 7.273.367,25 6.675.727,85

Alat tangkap Unit 95 10 36 65 0 78 0 6 36 0

Nelayan Orang 15 51 1.080 1.963 0 156 0 187 1.080 13

Sumber : Supriani (2007)

3


(44)

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

N

il

a

i

K

o

e

fi

si

e

n

Demersal Pelagis Besar

Pelagis kecil Udang

Molusca Treshold Koefisien Laju Degradasi

Dari tabel 7 kita lihat bahwa ikan demersal dan Pelagis besar yang masih belum terdegradasi, sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih dapat memperbaharui diri. Kondisi ini dimungkinkan karena sumberdaya ikan Pelagis Besar memiliki daerah ruaya yang jauh sehingga daerah tangkapannya tidak berada di sekitar Perairan Pemangkat. Sementara ikan Demersal umumnya adalah jenis ikan dasar yang daearah tangkapannya memang masih berada di sekitar Perairan Pemangkat akan tetapi kondisi stoknya masih terjaga dari kondisi degradasi. Hal ini diduga karena ikan jenis Demersal berada di zona kawasan konservasi sehingga kondisi biomassnya masih belum terdegradasi. Namun demikian kondisi kedua jenis sumberdaya ikan ini sudah hampir mendekati titik degradasi sehingga perlu diwaspadai dalam pemanfaatannya. Laju degradasi sumberdaya Pelagis Kecil, Udang, dan Molusca terlihat telah mengalami degradasi, khususnya untuk sumberdaya Pelagis Kecil dan Molusca terdegradasi secara konstan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sumberdaya Pelagis Kecil, Udang, dan Molusca telah mengalami over fishing dan kemampuan memperbaharuinya sudah sangat terganggu, sehingga introduksi ke dalam stok menjadi terganggu, akibatnya keberadaan di alam akan berkurang, sehingga tingkat produksinya juga akan berkurang.


(45)

Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkapPurse seine,Gill netdan Lampara Dasar untuk menangkap ikan demersal yang distandarkan ke alat tangkapGill net(Bottom Gillnet).Untuk ikan pelagis besar yang ditangkap dengan

purse seine dan gill net, alat tangkap distandarkan ke alat tangkap purse seine. Sementara untuk pelagis kecil ditangkap dengan menggunakan tiga jenis alat tangkap yaitu purse seine, gill net dan lampara dasar distandarisasi ke alat tangkap purse seine Untuk udang tidak dilakukan standarisasi karena hanya ditangkap dengan satu jenis alat tangkap yaitu lampara dasar. Sementara untuk molusca tertangkap dengan dua jenis alat tangkap yaitu lampara dasardan purse seinedan distandarisasikan ke alat tangkaplampara dasar.(Supriani 2007).

4.2 EVALUASI KINERJA PROGRAM PEMP DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

4.2.1 Program PEMP Di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas

Program PEMP yang dilaksanakan di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas pada tahun 2001 – 2006 diharapkan telah menunjukkan hasil yang positif sesuai dengan tujuannya. Adapun indikasi keberhasilan Program PEMP ini akan terlihat dari meningkatnya kesejahteraan masyarakat Pesisir, berfungsinya kelembagaan PEMP yang dibentuk, dan bergulirnya Dana Ekonomi Produktif (DEP). Tahun 2001 Kabupaten Sambas pertama kali mendapatkan Program ini, kemudian pada tahun 2003 dan 2004 kembali mendapatkan program PEMP, dan yang terkahir tahun 2006 mendapatkan Program ini kembali. Untuk pemanfaatannya program PEMP tahun 2001 dan 2003 perguliran DEP dengan membuat kelompok-kelompok pemanfaat yang di gulirkan di tiga kecamatan. Baru pada Program PEMP tahun 2004 dan 2006 dibentuk Koperasi LEPP-M3 sebagai pengelola dana tersebut, dan mulai tahun inilah mulai tampak keberhasilan program. Bantuan yang diberikan kepada para nelayan sasaran Program PEMP sebagian besar berupa kapal dengan alat tangkap walaupun ada juga sebagian yang berupa uang.


(46)

4.2.2 Status Kinerja Program PEMP

Dalam studi ini, analisis Rapfish dilakukan untuk Program PEMP. Identifikasi didasarkan pada status kinerja Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas mencakup 5 elemen dasar yang berpengaruh terhadap Kinerja Program PEMP, yaitu : (1) Kelembagaan Program PEMP, (2) Pengelolaan Koperasi LEPP-M3, (3) Kapasitas Pemanfaat Program, (4) Kemitraan, dan (5) Persepsi Pemangku Kepentingan. Data analisis ini diperoleh dari survey, statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas dan sumber-sumber lain untuk data scoring.

Analisis MDS ditujukan untuk menentukan posisi relatif dari Kinerja setiap elemen Program terhadap good dan bad. Nilai analisis MDS adalah dalam bentuk score 0 hingga 100 yang dibagi dalam lima level, yaitu : (1) Level “sangat kurang” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval 0 – 20; (2) Level “kurang” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >20 - 40; (3) Level “cukup” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >40 – 60; (4) Level “baik” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >60 – 80; (5) Level “sangat baik” apabila nilai elemen kinerja masuk dalam interval >80 – 100. Semakin mendekati nilai 0 menunjukkan kinerja program semakin tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran, begitu pula sebaliknya.

Hasil analisis Ordinasi dari ke lima aspek atau dimensi tersebut disajikan dalam Gambar 7 sampai Gambar 11. pada Gambar tersebut aksis horizontal menunjukkan perbedaan dalam ordinasi bad (0) sampai good (100) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sementara aksis vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara Program yang di evaluasi. Analisis ordinasi menunjukkan bahwa keberlanjutan Program PEMP dapat terlaksana.


(47)

RAPFISH Ordination -60 -40 -20 0 20 40 60

-20 0 20 40 60 80 100 120

Fisheries Sustainability KELEMBAGAAN Dimension

O th e r D is ti n g is h in g F e a tu r e s BAD GOOD UP DOWN

Gambar 7. Ordinasi Dimensi Kelembagaan

Dari hasil perhitungan MDS, terlihat bahwa kriteria-kriteria dalam elemen kelembagaan menunjukkan jarak eklidian yang cukup dekat seperti terlihat pada Gambar 7. Terlihat bahwa kriteria mekanisme pengawasan DEP memiliki kesamaan persepsi paling tinggi.

RAPFISH Ordination -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Fisheries Sustainability PENGELOLAAN LEPP-ME Dimension

O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s BAD GOOD UP DOWN


(48)

LEPP-Pada elemen pengelolaan LEPP-M3 menunjukkan bahwa kecendrungan kesamaan persepsi atas sistem dan mekanisme LEPP-M3 diberikan pada kriteria berjalannya sistem dan mekanisme organisasi LEPP-M3, adanya neraca keuangan secara periodik, produktivitas dan efisiensi LKM dan skala jangkauan dan pertumbuhan ekonomi pada sistem LEPP-M3. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kriteria pengelolaan terhadap program dan tupoksi menunjukkan persepsi yang tidak jauh berbeda.

Analisis MDS pada elemen kapasitas pemanfaat program menghasilkan kecendrungan nilai yang menonjol antara masing-masing kriteria seperti yang terlihat pada Gambar di atas. Pada kriteria manajemen pemanfaatan UEP menunjukkan persepsi pengelolaan UEP yang baik, sementara pada kriteria transformasi dan replikasi UEP bagi kelompok/individu non pemanfaat menunjukkan preferensi agak kebawah.

RAPFISH Ordination

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Fisheries Sustainability KAPASITAS PEMANFAAT Dimension

O

th

e

r

D

is

ti

n

g

is

h

in

g

F

e

a

tu

re

s

BAD GOOD

UP

DOWN


(49)

Hasil analisis untuk elemen Kemitraan terlihat bahwa kriteria pengembangan dan diversifikasi UEP yang diprakarsai pihak lain dan pembinaan UEP oleh lembaga mitra memiliki similirity (kesamaan) yang ditunjukkan oleh posisi saling berdekatan. Tetapi garis besar hasil analisis menunjukkan bahwa hampir semua kriteria dalam elemen kemitraan menunjukkan preferensi yang tidak dikehendaki dimana kriteria penganggaran oleh PEMDA/DPRD atau pihak lain menunjukkan ketidaksinergisan dan tidak strategis dalam pengembangan kemitraan program PEMP

RAPFISH Ordination

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Fisheries Sustainability KEMITRAAN Dimension

O

th

e

r

D

is

ti

n

g

is

h

in

g

F

e

a

tu

re

s

BAD GOOD

UP

DOWN


(50)

Tabel 9. Rekapitulasi Nilai hasil MDS per elemen kinerja Progrsm PEMP

No Elemen Kinerja PEMP Kabupaten Sambas Nilai MDS

1. Kelembagaan 79,85

2. Pengelolaan LEPP-M3 78,35

3. Kapasitas Pemanfaat 68,32

4. Persepsi Pemangku Kepentingan 65,66

5. Kemitraan 49,16

Rata-Rata 68,27

Dari data didalam Tabel 9 diketahui bahwa menunjukkan ordinasibad (0) sampai good (100) untuk setiap dimensi yang dianalisis. kinerja Program PEMP Kecamatan PemangkatBaik (68,27). Sementara itu berdasarkan nilai per elemen bahwa elemen kelembagaan (78,85), Pengelolaan LEPP-M3 (78,35), persepsi Pemangku Kepentingan (68,32) dan kapasitas pemanfaat (65,66) menunjukkan kinerja program PEMPbaik. Sementara itu elemen yang lainnya yaitu kemitraan (49,16) menunjukkan kinerja program PEMP tergolongCukup.

0 20 40 60 80

Kapasitas Pem anfaat Program

Kelem bagaan

Kem itraan Pengelolaan LEPP-M3

Persepsi Stakeholder

Gambar 12. Diagram Layang Nilai Rata-rata 5 elemen Kinerja Hasil analisis menunjukkan ketiga hal berikut :

(1) Kelembagaan Program PEMP dan kelembagaan ekonomi lokal hasil bentukan Program PEMP (Koperasi LEPP-M3) sudah mulai menguat. Setiap stakeholder program, terutama pengelola koperasi LEPP-M3,


(51)

sudah mulai memahami tugas pokok dan fungsinya. Pemahaman tupoksi ini merupakan modal kuat didalam pelaksanaan mekanisme dan prosedur program baik dan benar;

(2) Sosialisasi program sudah mulai berhasil, persepsi masyarakat yang sudah cukup baik terhadap konsep dan prinsip program merupakan bukti berjalannya sosialisasi program sesuai dengan harapan;

(3) Outcome atau dampak program perlu ditingkatkan agar jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sambas penerima Program PEMP berkurang secara signifikan. kemitraan yang masih tergolong ”Cukup” menunjukkan perlunya perlakuan lebih lanjut. Secara umum, jika mengacu pada tahapan Program PEMP di akhir tahun 2006 maka Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas dapat dikatakan telah berada pada jalur yang benar.

4.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program PEMP 4.2.3.1 Kelembagaan Program PEMP

Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setidaknya terdapat 2 (dua) elemen penting dalam memperkuat peran Program PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu : penguatan peran kelembagaan (institutional strengthening) pengelola program, dan peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga ekonomi mikro. Namun demikian, kedua elemen ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh elemen lainnya, seperti kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), keterlibatan

stakeholder dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan evaluasi secara komprehensif secara menyeluruh, terutama hubungan antar elemen yang terkait dalam Program PEMP. Dalam konteks ini, evaluasi kinerja kelembagaan pengelola program dan kelembagaan pengelola ekonomi mikro dalam kurun waktu pelaksanaan Program PEMP di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas.

Review dan analisis kinerja kelembagaan Program PEMP mencakup 6 komponen kelembagaan terkait yakni : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten


(1)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sumberdaya Perikanan Laut Cina Selatan yang merupakan Fishing Ground nelayan Kabupaten Sambas masih sangat besar. Namun pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ini harus memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat upaya penangkapan ikan yang ada sekarang. Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPN Pemangkat menunjukkan kondisi telah terjadi over fishing terhadap sumberdaya Pelagis Kecil, Udang dan Molusca. Alokasi optimum untuk sumberdaya ikan Demersal dan Pelagis Besar masih mampu memberikan manfaat yang lebih besar daripada kondisi aktual yang terjadi.

Berdasarkan rata-rata nilai total lima elemen kinerja Program PEMP Kabupaten Sambas, hasil analisis MDS meunjukkan bahwa kinerja program secara menyeluruh mencapai 68,27 atau tergolong “baik”, yang berarti kinerja Program PEMP telah berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Rincian hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kinerja untuk elemen kelembagaan program PEMP sebesar 79,85, Pengelolaan Koperasi LEPP-M3 adalah 78,35, Kapasitas Pemanfaat Program 68,32 dan persepsi pemangku kepentingan 65,66 sehingga tergolong”Baik”. Sedangkan nilai kinerja elemen Kemitraan sebesar 49,16 tergolong “Cukup”. Nilai-nilai kinerja keempat elemen pertama mencerminkan bahwa berdasarkan input, proses, dan outputnya, program PEMP telah terlaksana cukup baik. Sebaliknya nilai elemen kinerja yang terakhir walaupun digolongkan “cukup” menunjukkan bahwa pada masa mendatang pelaksanaan program PEMP masih harus disempurnakan dan diintensifkan.

Hasil analisis RAPFISH menunjukkan adanya kecenderungan-kecenderungan berikut ini : (1) Kelembagaan Program PEMP sudah mulai menguat, setiap stakeholder program, terutama pengelola koperasi LEPP-M3 sudah mulai memahami tugas pokok dan fungsinya. Pemahaman tupoksi ini merupakan modal kuat dalam pelaksanaan mekanisme dan prosedur program yang baik dan benar, (2) sosialisasi program sudah mulai berhasil. Persepsi masyarakat yang sudah cukup baik terhadap konsep dan prinsip program merupakan bukti berjalannya sosialisasi program sesuai dengan harapan, dan (3) outcome program


(2)

perlu ditingkatkan agar jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sambas berkurang secara signifikan. Kemitraan yang masih tergolong cukup menunjukkan perlunya perbaikan dalam pelaksanaan Program PEMP pada masa mendatang.

Leverage Analysis menunjukkan bahwa status kinerja Program PEMP per elemen yang di evaluasi tersebut sangat dipengaruhi oleh : (a) berjalan atau tidaknya peranan dan fungsi TPD, Koperasi LEPP-M3, dan bank pelaksana di dalam kelembagaan program PEMP, (b) berjalan atau tidaknya sistem dan mekanisme pengelolaan DEP yang mendukung baiknya kinerja keuangan Koperasi LEPP-M3, (c) atau ada tidaknya perubahan pendapatan bagi KMP/Individu dan bertambahnya nilai manfaat terhadap Program PEMP, (d) terwujud atau tidaknya sinergitas stakeholder program untuk bahu membahu mendukung pelaksanaan program, dan (e) ada atau tidaknya pemahaman yang baik masyarakat pemanfaat terhadap substansi, mekanisme, dan kelembagaan program PEMP yang tercermin pada tingkat partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Program PEMP.

Untuk menjaga keberlanjutan dari Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat maka Program PEMP mengharuskan pada para penerima Program untuk bisa mengarahkan tangkapan pada ikan Demersal dengan alat tangkap Gillnet (Bottom Gillnet) sehingga kelestarian dari Sumberdaya perikanan bisa dimaksimalkan terhadap Ikan Pelagis Kecil dan Udang.

Fungsi mitra dalam hal ini juga menjadi penting dalam pelestarian ini. Seperti penampung/pengumpul hasil tangkapan dengan membeli hasil tangkapan ikan demersal dengan harga yang lebih tinggi dari Ikan Pelagis Kecil dan Udang. Para Pemangku Kepentingan juga mesti mensosialisasikan dan memberikan pengertian kepada masyarakat terhadap pentingnya pelestarian Sumberdaya Perikanan di perairan Pemangkat demi keberlanjutan. Koperasi LEPP-M3 dalam memberikan perguliran dana juga harus mensyaratkan alat tangkap untuk Ikan Demersal.

Kebijakan Pemerintah dalam menunjang pengembangan Program PEMP harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sambas. Dimana kebijakan tersebut akan sangat berguna sekali dalam proses implementasi Program secara berkelanjutan. Adapaun kebijakan yang mesti diambil oleh Pemda Kabupaten Sambas adalah :


(3)

1. Membuat Peraturan Daerah dan kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat. 2. menganggarkan pendanaan di dalam APBD untuk kegiata yang mendukung

berkembangnya Usaha Ekonomi masyarakat pesisir.

5.2 Saran

Berdasarkan beberapa substansi dan kesimpulan diatas hal-hal yang perlu disarankan adalah :

1. Pengumpul/Penampung sebaiknya dalam menjaga keberlanjutan Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat mesti lebih banyak membeli Ikan Jenis Demersal disbanding Ikan Pelagis Kecil dan Udang. 2. Pemangku Kepentingan Harus bisa mensosialisasikan kepada masyarakat

nelayan agar menangkap Ikan Jenis Demersal.

3. Untuk memaksimalkan kedudukan dan peran Kelembagaan dalam menunjang pelaksanaan program PEMP perlu ditingkatkan partisipasi segenap lapisan masyarakat sehingga menciptakan dukngan sumberdaya yang luas untuk mencapai ujuan Program.

4. Dalam upaya mengoptimalkan kinerja dan pengelolaan Koperasi LEPP-M3 diperlukan peningkatan kualitas SDM, Rumusan dan mekanisme kerja sebagai dasar menjalankan koperasi untuk menghindari konflik kepentingan dan kewenangan, pengembangan model pengelolaan koperasi sesuai dengan karakteristik sosial-budaya pesisir dan kebutuhan masyarakat, penerapan manajemen keuangan dan pelaporan yang baik, dan menyediakan biaya-biaya operasional yang memadai.

5. Untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan manajemen usaha peserta program (KMP/Individu) harus dilakukan diklat yang relevan dengan kebutuhan, pembinaan usaha secara konsisten serta memonitoring dan mengevaluasi perkembangan usaha nasabah.

6. Untuk membangun kemitraan dengan berbagai pihak perlu ditingkatkan interaksi dan komunikasi sosial, koordinasi dan membentuk forum-forum pertemuan berkala.


(4)

7. Panduan dari Departemen Kelautan dan Perikanan perlu dibuatkan aturan yang bersifat detail teknis pelaksanaannya oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

---. 2001. Pembangunan di Sambas. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pembangunan Sambas. Sambas.

---. 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2005.Sambas Dalam Angka.Sambas Bengen, DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut

serta Prinsip Pengelolannya. PKSPL IPB. Bogor.

Cahyadinata, I. 2005. Analisis Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Bengkulu (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana ,Institut Pertanian Bogor.

Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteran Rakyat. LISPI bekerjasama dengan Ditjen P3K DELP. Jakarta.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, SP., Sitepu, MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.

Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004

Fauzi A, Anna S. 2005.Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31

Ife, J., 1995.Community Development: Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.


(6)

Kartasasmita, G., 1996.Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.

Khasanaturodhiyah, ST. 2002. Kajian Partisipasi Peserta dan Kinerja Pengelolaan Program PEMP. (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor.

Kusumastanto, T. 2002.Reposisi ”Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muluk, C. 1996.Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Angkatan V. 16 April – 31 Agustus 1996. Bogor.

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Cetakan Keempat. Penerbit Ghalia. Indonesia.

Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ

Satria, A. 2002.Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Sumodiningrat, G. 1996.Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Penakencana Nusadwipa. Jakarta.

Supriani, E 2007. Kajian Ekonomi Sumberdaya Perikanan di Perairan Pemangkat Kabupaten Sambas (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor.

Sutomo. 2003. Evaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. (Tesis). Bogor: Program Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor.

Sajogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Mimeograf. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT. Gramedia Wicdiasarana Indonesia. Jakarta.