Teori Sistem Sosial Paradigma Fakta Sosial

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Fakta Sosial

Paradigma fakta sosial terdiri dari sekumpulan teori para teoritisi sosial yang memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial; struktur dan institusi sosial berskala luas beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu sebagai subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang masuk dalam paradigma fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro. Mereka mengasumsikan bahwa terdapat situasi dalam kehidupan manusia dan di dalam situasi tersebut ada perubahan dalam suatu waktu tertentu, serta tidak ada suatu fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Menurut Emile Durkheim, fakta sosial ialah barang thing yang berbeda dengan ide yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni spekulatif, akan tetapi melalui pengumpulan data yang nyata di luar pemikiran manusia. Menurutnya fakta sosial dapat dibagi menjadi dua, yakni dalam bentuk barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, contohnya adalah arsitektur, norma, hukum, dan lainnya. Kedua dalam bentuk non-material, yakni fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri, hanya muncul dalam kesadaran manusia, contohnya kelompok, egoisme dan sebagainya. Zamroni, 1992: 24

2.1.1 Teori Sistem Sosial

Menurut Parsons, sistem sosial merupakan jaringan hubungan antar aktor atau kerangka hubungan interaktif. Ia menyediakan kerangka konseptual untuk berinteraksi antar manusia dalam berbagai situasi sehingga sistem sosial dibentuk oleh norma, kepercayaan, nilai-nilai yang diorganisasikan dengan harapan peran. Aktor sangat ditentukan oleh peran Universitas Sumatera Utara 13 satu dengan yang lain dan menyediakan pola-pola yang sesuai. Jadi, sistem sosial dapat diukur sebagai kelompok yang terpola dari peran-peran sosial yang dapat berjalan secara baik. Rachmad K. Dwi Susilo, 2008: 117 Teori sistem sosial Talcot Parsons merupakan analisa melalui persyaratan-persyaratan fungsional yang harus dimiliki sebuah sistem sosial atau sistem sosial dapat dikembangkan jika memenuhi beberapa persyaratan fungsional dalam kerangka AGIL. Menurut Parsons Susilo, 2008: 121, pada dasarnya AGIL merupakan empat persyaratan fungsional yang harus dimiliki oleh sistem sosial, yaitu: 1. Adaptation adaptasi yaitu melindungi dan mendistribusikan alat-alat bertahan dari lingkungan atau menyesuaikan tuntutan dari lingkungannya. Setiap masyarakat harus menemukan kebutuhan fisik dari anggota-anggotanya jika ingin siap. 2. Goal attainment pencapaian tujuan yakni menentukan, mengatur, dan memfasilitasi pencapaian tujuan, dan kesepakatan. Konsekuensinya, ia harus memiliki alat dan sumber daya untuk mengidentifikasi, menyeleksi, dan menetapkan tujuan kolektif termasuk menyediakan susunan kultural untuk pencapaian tujuan ini. 3. Integration integrasi. Hubungan sosial yang melindungi secara kooperatif dan terkoordinasi dalam sistem. Jadi, ada koordinasi internal yang membangun cara yang berpautan. Masyarakat harus menjamin ukuran koordinasi dan kontrol di elemen-elemen internal dari berbagai bagian pada sistem sosial, layaknya peran dan status sosial yang telah merumuskan mana yang boleh dan tidak. 4. Latency laten terdapat pemeliharaan pola yang di dalamnya terdapat motivasi perilaku yang diinginkan. Sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang. Ide-ide sistem budaya membuat cita-cita dan nilai-nilai umum yang disepakati. Universitas Sumatera Utara 14 Keempat persyaratan fungsional yang digambarkan dalam AGIL di atas menunjukkan bahwa setiap sistem sosial harus bisa beradaptasi dalam menghadapi lingkungannya dan harus memiliki tujuan sehingga setiap tindakan para anggota dalam sistem sosial itu berarah pada tujuannya. Pada setiap sistem sosial juga harus memiliki persyaratan integrasi agar sistem sosial dapat berfungsi secara efektif sebagai satu tujuan sehingga dalam sistem sosial tingkat solidaritas di antara individu merupakan suatu keharusan dan integrasi menjadi kebutuhan untuk menjamin adanya ikatan emosional. Dalam strategi mempertahankan pola juga merupakan suatu keharusan bagi sistem sosial agar interaksi yang dibangun dalam sistem sosial itu tetap masih dapat dipertahankan. Soejono Soekanto Natzir, 2008: 69 mengatakan bahwa secara kultural sistem sosial memiliki unsur pokok yaitu sebagai berikut: 1. Kepercayaan, yaitu hipotesa tentang gejala yang dihadapi dan dianggap benar. 2. Perasaan, yakni sikap yang didasarkan pada emosi atau prasangka. 3. Tujuan yang merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu. 4. Kaedah, yaitu pedoman tentang tingkah laku yang pantas. 5. Kedudukan peranan dan pelaksanaan peranan yang merupakan hak dan kewajiban serta penerapannya di dalam proses interaksi sosial. 6. Tingkatan atau jenjang, yaitu posisi sosial yang menentukan alokasi hak dan kewajiban. 7. Sanksi yaitu suatu persetujuan sanksi positif atau penolakan sanksi negatif terhadap pola-pola perikelakuan tertentu. 8. Kekuasaan yang merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar dia berbuat sesuai dengan kemauan pemegang kekuasaan. 9. Fasilitas yang merupakan saran-sarana untuk mencapai tujuan. Universitas Sumatera Utara 15 Etnis Tionghoa merupakan jaringan dalam sistem sosial yang memiliki hubungan interaktif. Mereka memiliki pandangan tentang alat serta tujuan yang didapat pada situasi yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilai yang diorganisasikan dalam harapan peran. Mereka tidak menghadapi situasi sebagai individu, tetapi memiliki peran sosial yang menghasilkan suatu tujuan. Dalam perkembangan di Indonesia, aktivitas perpolitikan etnis Tionghoa mengalami pasang surut. Adanya kebebasan bagi etnis Tionghoa setelah reformasi untuk ikut dalam dunia politik membuat mereka memiliki peran. Indikasi ini dapat dilihat dengan membentuk partai politik dan mencalonkan diri baik sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif. Keputusan mereka untuk membentuk partai politik bukan tanpa alasan. Adanya pengalaman pahit yang mereka alami membuat etnis Tionghoa merasa harus bersatu dan membentuk kelompok, yaitu partai politik. Walaupun belum mendominasi, tetapi etnis Tionghoa sudah mulai tampak dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

2.2 Politik