Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan pada DAS Separi menggunakan model HEC HMS

(1)

MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

NUR HARTANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, November 2009

Nur Hartanto NRP. A155070011


(3)

NUR HARTANTO. Study of Hydrological Response as Result of Land Use Change on Separi Watershed using HEC-HMS Model. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO as chairman and SURIA DARMA TARIGAN as member of advisory committe.

The research aimed to analyse effect of land use change on hydrological response on Separi Watershed and to determine the best land use in reduc ing runoff. The research was carried out at Separi Watershed, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan Province. HEC-HMS model was used to predict runofff hydrograph. Hydrograph Model was calibrated using seven rainfall-hydrograph event and data set in 2007. High Nush-Suctliffe coefficient was obtained with values of 0.93 for time to peak, 0.95 for peak flow and 0.84 for runoff volume, respectively. Three different time periods of land use were used to assess the effect of land use change on hydrological response. Model simulation indicated that defforestation of 20 699 ha increased peak flow 49.3 % and runoff volume 52.0%, respectively. Three scenarios of land use were established to propose Separi Watershed management. All those scenarios produced peak flow and runoff volume smaller than existing land use. The best land use scenario for Separi Watershed was scenario based on land cappability. The increase of forest area and agrotechnology improvement in this scenario could reduce the higest peak flow and runoff volume than the other scenario.

Keywords: Land use change, Hydrological response, HEC-HMS, Separi Watershed.


(4)

NUR HARTANTO. Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO sebagai ketua, dan SURIA DARMA TARIGAN sebagai anggota komisi pembimbing.

Maraknya penebangan hutan di DAS Separi antara tahun 1991-1998 telah menyebabkan berkurangnya areal hutan seluas 12 330 ha. Sebagian besar areal hutan tersebut berubah menjadi semak belukar dan tanah terbuka yang sampai saat ini belum dimanfaatkan. Alih fungsi hutan yang sangat besar di DAS Separi telah menyebabkan perubahan respon hidrologi yang ditandai dengan meningkatnya intensitas banjir. Oleh karena itu, perbaikan kondisi DAS sangat diperlukan dengan pengelolaan DAS yang sesuai. Penilaian secara cepat, akurat dan menyeluruh terhadap respon hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan akan sangat membantu dalam pengelolaan DAS, khususnya dalam perencanaan penggunaan lahan pada kawasan DAS sehingga dampak negatif yang ditimbulkan dapat dikurangi. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisa pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS Separi menggunakan model HEC-HMS (2) Mentapkan skenario penggunaan lahan di DAS Separi yang dapat menurunkan aliran permukaan.

Dalam penelitian ini, model HEC-HMS digunakan untuk memprediksi hidrograf aliran permukaan. Model dikalibrasi menggunakan tujuh kejadian hujan-aliran permukaan pada tahun 2007. Metode kalibrasi yang digunakan adalah koefisien efisiensi Nush-Sutcliffe. Untuk menilai pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan respon hidrologi DAS Separi, dilakukan simulasi model terhadap penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007. Pada penelitian ini, disusun tiga skenario penggunaan lahan yang didasarkan pada proyeksi penggunaan lahan tahun 2013 (skenario 1), Keppres No. 32 Tentang Pengelolaan Kawasa Lindung (skenario 2) dan kelas kemampuan lahan (skenario 3). Selanjutnya, dilakukan simulasi model terhadap ketiga skenario tersebut untuk memperoleh penggunaan lahan yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan di DAS Separi.


(5)

0.93, 0.95 dan 0.84. Nilai koefisien efisiensi yang lebih besar dari 0.7 menunjukkan bahwa parameter yang digunakan dalam model cukup akurat untuk memprediksi aliran permukaan di DAS Separi.

Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Separi antara tahun 1991-2001 dan 2001-2007 mengarah kepada alih fungsi hutan menjadi semak belukar. Hasil keluaran model menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 21 768 ha pada tahun 1991 menjadi 1 069 ha pada tahun 2007 telah meningkatkan debit puncak dan koefisien aliran permukaan masing- masing sebesar 49.3 dan 52.0%.

Keluaran model menggunakan input hujan tanggal 6 Maret 2007 menghasilkan hidrograf dengan debit puncak dan volume aliran permukaan masing- masing sebesar 50.8 m3 det-1 dan 5 376 103 m3 untuk skenario 1, 46.2 m3 det-1 dan 4 942 103 m3 untuk skenario 2, 45.5 m3 det-1 dan 4 832 103 m3 untuk skenario 3. Ketiga skenario tersebut menghasilkan aliran permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan aliran permukaan yang dihasilkan oleh penggunaan lahan tahun 2007. Dari ketiga skenario tersebut, skenario 3 dengan alokasi penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan lahan menghasilkan aliran permukaan yang paling rendah. Hal ini dikarenakan pada skenario 3 terjadi penambahan luas hutan dan penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan agroforestri.


(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

NUR HARTANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Tesis : Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS Nama : Nur Hartanto

NRP : A155070011

Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(9)

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Judul tesis ini adalah Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas kesediannya memberikan bimbingan pada pelaksanaan dan penulisan tesis ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan bapak/ibu Dosen pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada ayahnda H RM. Sumbono, SE., ibunda Hj. Nurul AS, istriku tercinta Hj. Nia Isnani, S.Kom, serta seluruh keluarga atas kesabaran dan doanya kepada penulis.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, November 2009


(10)

Penulis dilahirkan di Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 14 April 1982 dari ayah RM. Sumbono dan ibu Nurul AS. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMA N 1 Balikpapan. Kemudian melanjutkan pendidikan strata 1 di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman dan lulus tahun 2004.

Sejak tahun 2005 penulis bekerja sebagai Dosen di Program Studi Ilmu Tanah (sekarang bernama Program Studi Agroteknologi Pertanian) Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan strata 2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS).


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ……..………... 1

1.2. Permasalahan ...………... 2

1.3. Tujuan ………... 3

1.4. Manfaat ………...………... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Daerah Aliran Sungai ... 5

2.2. Sistem Hidrologi DAS ... 6

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan ... 7

2.4. Model HEC_HMS ... 9

2.5. Bilangan Kurva Aliran Permukaan ... 9

METODOLOGI ... 12

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2. Alat dan Bahan ………. 12

3.3. Metode Penelitian ……… 12

3.3.1. Pengumpulan Data ……….. 12

3.3.2. Pembangkitan Parameter Model ………. 14

3.3.3. Pemisahan Hidrograf Aliran ………... 17

3.3.4. Kalibrasi ………... 19

3.3.5. Penyusunan Skenario Penggunaan Lahan ………... 20

3.3.6. Simulasi Model ………... 22

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ………... 23

4.1. Iklim ... 23

4.2. Karakteristik Morfologi DAS ... 23

4.3. Topografi ... 25

4.4. Tanah ... 26

4.5. Penggunaan Lahan ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hidrograf Aliran Model ... 30

5.1.1. Bilangan Kurva Aliran Permukaan ... 30

5.1.2. Waktu Tenggang dan Koefisien Puncak ... 33

5.1.3. Geometeri dan Kekasaran Saluran ... 34

5.1.4. Kalibrasi ... 35


(12)

Hidrologi ... ... 42

5.4. Skenario Penggunaan Lahan ... 45

5.4.1. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2013 (Skenario 1)... 45

5.4.2. Kawasan Lindung (Skenario 2) ... 46

5.4.3. Kelas Kemampuan Lahan (Skenario 3) ... 48

5.5. Penggunaan Lahan Terbaik yang Dapat Menurunkan Aliran Permukaan ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN... 56

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(13)

Tabel Halaman

1. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991-1998 di DAS Separi….. 3

2. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 22

3. Luas kelas lereng untuk masing- masing Sub DAS di DAS Separi ... 25

4. Luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi ... 28

5. Luas Sub DAS, bilangan kurva rata-rata dan abstraksi awal pada AMC II ... 33

6. Nilai L, Lc, S dan Ct untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi ... 34

7. Nilai Tp dan Cp untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi ... 34

8. Data Saluran pada masing- masing jangkauan di DAS Separi ... 35

9. Kejadian hujan dan karakterisitk hidrograf pengukuran ... 36

10.Parameter hidrograf hasil model untuk masing- masing kejadian hujan... 36

11.Perbandingan parameter hidrograf aliran permukaan antara model dengan hasil pengukuran ………. 37

12.Perubahan penggunaan lahan DAS Separi tahun 1991/2001 dan 2001/2007 ... 41

13.Bilangan kur va pada penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007... 43

14.Luas penggunaan lahan skenario 1 ... ... 45

15.Distribusi penggunaan lahan eksisting pada kawasan non- lindung dan lindung ... 47

16.Luas penggunaan lahan skenario 2 ... 48

17.Luas penggunaan lahan skenario 3 ... 52


(14)

Gambar Halaman

1. Peta Lokasi DAS Separi ... 13

2. Diagram Alir Penelitian ……… 14

3. Skema Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi... 18

4. Cara Pemisahan Hidrograf Metode Garis Lurus ... 19

5. Kriteria kawasan lindung ... 21

6. Peta DAS Separi ... 24

7. Peta Kelas Lereng DAS Separi ... 26

8. Peta Tanah DAS Separi ... 27

9. Peta Penggunaan Lahan DAS Separi Tahun 2007... 28

10.Peta Bilangan Kurva Standar SCS pada AMC II ... 32

11.Grafik Hubungan antara Parameter Hasil Prediksi dengan Pengukuran pada Masing-Masing Kejadian Hujan ... 38

12.Penggunaan lahan DAS Separi Tahun 1991, 2001 dan 2007 ... 40

13.Perbandingan Hidrograf Aliran Permukaan Model antara Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2001 dan 2007 Menggunakan Input Hujan Tanggal 6 Maret 2007... 44

14.Perbandingan Hidrograf Aliran Permukaan antara Skenario 1, Skenario 2 dan Skenario 3 Menggunakan Input Hujan Tanggal 6 Maret 2007... 53


(15)

Lampiran Halaman

1. Bilangan Kurva (CN) Aliran Permukaan untuk Kondisi Berbagai Komplek Tanah-Penutup (Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya:

II Dan Ia =0,2S) ... 61

2. Nilai Bilangan Kurva Untuk Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya I dan III ………... 63

3. Curah Hujan Untuk Ketiga Kondisi Air Tanah Sebelumnya ……… 63

4. Parameter Kekesaran Saluran Manning untuk Saluran Alami (n) .………… 64

5. Kriteria Kemampuan Lahan ... 65

6. Cakupan Wilayah untuk Masing-Masing Stasiun Hujan Menggunakan Metode Poligon Thiessen ... 67

7. Legenda Peta Tanah dan Karakterisitik Satuan Peta Tanah di DAS Separi ... 68

8. Peta Kelompok Hidrologi Tanah DAS Separi ………. …. 70

9. Perbandingan Hidrograf Hasil Pengukuran dan Keluaran Model Tanggal 6 Maret 2007 ... 71

10.Peta Penggunaan Lahan Skenario 1 ... 72

11.Peta Kawasan Lindung DAS Separi ... 73

12.Peta Penggunaan Lahan Skenario 2 ... 74

13.Peta Sub Kelas Kemampuan Lahan ... ... 75

14.Keterangan Peta Sub Kelas Kemampuan Lahan ... 76

15.Rekomendasi penggunaan dan pengelolaan lahan di DAS Separi Berdasarkan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dengan kelas Kemampuan lahan ... 77

16.Peta Penggunaan Lahan Skenario 3 ... 79

17.Hujan, Debit Sungai dan Pemisahan Hidrograf pada Kejadian Hujan Tanggal 6 Maret 2007 yang Menyebabkan Banjir di DAS Separi ... 80


(16)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan hanya bisa tercapai apabila kebutuhan manusia dan kapasitas sumberdaya alam dapat seimbang. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan kebutuhan bahan pangan dan energi meningkat sehingga memperbesar tekanan terhadap sumberdaya alam khusunya sumberdaya lahan. Persaingan/meningkatnya penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun keperluan lainnya memerlukan pemikiran seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas. Selain itu, dibutuhkan juga tindakan konservasi untuk menjaga kelestarian sumberdaya lahan sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan (Sitorus, 2004).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu usaha untuk mengatur sumberdaya lahan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan DAS (Noy, 2005). Pengelolaan DAS harus dilakukan secara terintegrasi antara berbagai sektor yang berkepentingan/terkait, agar tidak terjadi konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya lahan yang ada di dalam DAS. Selain itu, pengelolaan DAS juga harus dilakukan secara menyeluruh, baik di kawasan hulu, tengah dan hilir. Hal ini penting, mengingat adanya keterkaitan kawasan tersebut dalam suatu sistem hidrologi.

Implikasi pengelolaan DAS yang tidak tepat adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali yang umumnya terjadi dalam bentuk perubahan lahan hutan menjadi non-hutan (deforestasi). Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan mungkin meningkatkan keuntungan ekonomi namun dapat berdampak terhadap respon hidrologi DAS, seperti peningkatan aliran permukaan (runoff), penurunan aliran dasar (baseflow), peningkatan erosi dan sedimentasi. Peningkatan aliran permukaan dapat menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan. Pada dasarnya, banjir terjadi karena sebagian besar air hujan yang jatuh ke bumi tidak masuk ke dalam tanah mengisi akifer, tetapi mengalir di atas permukaan yang pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir (Sinukaban, 2007). Minimnya air yang masuk ke dalam akifer


(17)

menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah yang cukup besar khususnya pada musim kemarau sehingga menimbulkan bencana kekeringan. Meningkatnya aliran permukaan biasanya diikuti oleh peningkatan jumlah tanah yang tererosi. Hal ini akan meningkatkan jumlah beban sedimentasi pada badan perairan seperti saluran sungai, waduk, dan danau. Peningkatan beban sedimen di bagian hilir akan menyebabkan banjir, menurunan kualitas air dan mengganggu keberlangsungan habitat perairan seperti habitat bentos, nekton dan plankton (McColl & Agget, 2007).

Penilaian secara cepat, akurat dan menyeluruh terhadap respon hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan akan sangat membantu dalam pengelolaan DAS. Model komputer dapat digunakan sebagai alat bantu untuk penilaian secara cepat dan cermat terhadap perubahan komponen-komponen yang mempengaruhi respon hidrologi DAS (Sadeghi & Mahdavi, 2004). Salah satu model yang dapat digunakan untuk mensimulasikan aliran permukaan sebagai respon hujan tunggal adalah model HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hydrologic Modeling System). Model ini terbukti cukup akurat dalam memprediksi aliran permukaan (Knebl et al., 2005; Garcia et al., 2008).

1.2. Permasalahan

DAS Separi memiliki luas 23 351 ha. Selama kurun waktu tujuh tahun (1991-1998) telah terjadi alih fungsi hutan seluas 12 230 ha (Tabel 1). Maraknya penebangan hutan untuk pegambilan kayu alam telah menyebabkan hutan menjadi gundul. Tidak adanya tindakan reboisasi pada lahan tersebut, menyebabkan hutan berubah menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Hal ini nampak dari peningkatan lahan semak belukar dan tanah terbuka yang cukup tinggi. Sampai saat ini, lahan semak belukar dan tanah terbuka tidak dimanfaatkan bahkan cenderung dibiarkan begitu saja.

Alih fungsi hutan yang sangat besar di DAS Separi telah menyebabkan peningkatan aliran permukaan yang ditandai dengan meningkatnya intensitas banjir, yaitu satu kali setahun menjadi dua kali setahun (Hakim, 2008). Menurut Noordwijk et al. (2004), hubungan antara tutupan lahan oleh pohon baik penuh ‘hutan alam’ maupun sebagian ‘hutan parsial’ seperti agroforestri dengan fungsi


(18)

hidrologi dapat dilihat dari aspek hasil air total dan daya sangga DAS terhadap debit puncak (pencegahan banjir) pada berbagai skala waktu. Pengelolaan DAS seringkali dihubungkan dengan tingkat penutupan lahan oleh hutan, dengan asumsi bahwa ‘reforestasi’ atau ‘reboisasi’ dapat mengembalikan dampak negatif dari terjadinya deforestasi (penggundulan hutan).

Tabel 1. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991-1998 di DAS Separi.

No Jenis penggunaan lahan Luas (ha)

1991* 1998**

1 Hutan 2 1768 9 438

2 Kebun/ladang 215 409

3 Lahan terbuka 420 6 673

4 Permukiman 4 26

5 Persawahan 99 119

6 Semak belukar 845 6 686

Total 23 351 23 351

Keterangan:

* : sumber peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1991. **: sumber Hakim (2008).

Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap respon hidrologi DAS perlu dilakukan mengingat alih fungsi lahan di DAS Separi yang cenderung mengarah kepada terjadinya kerusakan DAS. Model hidrologi yang dapat memprediksi pengaruh alih fungsi lahan terhadap respon hidrologi dapat digunakan untuk ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang. Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS Separi yang lebih baik. Mengingat model HEC-HMS hanya dapat mensimulasikan aliran permukaan, maka pada penelitian ini respon hidrologi yang dikaji hanya berupa aliran permukaan.

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisa pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS Separi menggunakan model HEC-HMS (2) Mentapkan skenario penggunaan lahan di DAS Separi yang dapat menurunkan aliran permukaan.


(19)

1.4. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah skenario penggunaan lahan yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan DAS Separi.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan kesatuan dengan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama atau outlet (Departemen Kehutanan, 2001). Sedangkan menurut Sinukaban (2007), DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. Pengertian DAS yang terakhir menggambarkan DAS dapat memiliki luas yang bervariasi mulai dari puluhan meter persegi sampai ratusan ribu hektar tergantung dimana titik pengukuran ditempatkan.

Dalam mempelajari sistem DAS, suatu DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah-daerah tersebut me mpunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Daerah hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS khususnya untuk mengatur tata air. Apabila ada kegiatan di bagian hulu suatu DAS, maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, perencanaan daerah hulu seringkali menjadi fokus perencaanaan untuk pengelolaan DAS (Asdak, 1995).

Pengelolaan DAS adalah pemanfaatan sumberdaya lahan dan air secara rasional untuk mencapai produksi optimum dengan kerusakan sumberdaya alam yang minimum (Tidemen, 1996 dalam Sunarti, 2007). Selanjutnya dalam keputusan Menteri Kehutanan No. 52 tahun 2001 pengelolaan DAS didefiniskan sebagai upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara keseluruhan. Jadi, tujuan dari pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan secara


(21)

berkelanjutan sehingga tidak membahayakan lingkungan. Menurut Sinukaban (2007), salah satu indikator keberhasilan pengelolaan DAS adalah erosi yang terjadi lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan. Selain itu, output DAS harus mampu menjamin distribusi air yang merata sepanjang tahun dengan hasil air (water yield) yang cukup tinggi.

2.2. Sistem Hidrologi DAS

DAS dapat dipandang sebagai sebuah sistem hidrologi, dalam artian berfungsi mengalihragamkan masukan (input) yang berupa air hujan menjadi keluaran (output) seperti aliran dan sedimen. Komponen dalam sistem DAS dapat terdiri atas berbagai unsur diantaranya unsur fisik, tataguna lahan dan morfometri. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan membentuk satu kesatuan yang teratur. Analisis sistem hidrologi DAS dilakukan untuk memahami perilaku hidrologi suatu sistem DAS. Gunanya adalah untuk menterjemahkan perilaku komponen DAS yang digunakan untuk mengartikan, menetapkan dan memperkirakan besaran-besaran komponen tersebut dalam berbagai keadaan dan rentang waktu tertentu (Harto, 2000).

Proses pengalihragaman masukan menjadi keluaran memiliki bentuk dan sifat tertentu. Peristiwa ini melibatkan banyak proses, meliputi proses yang terjadi pada permukaan lahan, alur sungai, lapisan tanah dan akifer. Aliran yang tercatat pada outlet DAS biasanya disajikan dalam bentuk hidrograf. Hidrograf adalah grafik yang menunjukan fenomena aliran (tinggi muka air dan debit) yang dihub ungkan dengan waktu. Komponen hidrograf aliran terdiri atas aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran dasar dan hujan yang langsung jatuh di atas sungai (Fakhrudin, 2003).

Pada dasarnya hidrograf terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu sisi naik (rising limb), puncak (crest) dan sisi resesi/turun (recession limb) (Harto, 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi setiap bagian hidrograf adalah sebagai berikut: (a) bagian kurva yang menuju puncak hidrograf sangat dipengaruhi oleh karaktersitik hujan (intensitas, durasi dan penyebarannya) dan karaktersitik morfometri DAS (luas, lereng, kerapatan jaringan dan bentuk sungai) dan (b) bagian kurva resesi yang tidak banyak dipengaruhi oleh karaktersitik hujan, namun bagian ini


(22)

dipengaruhi oleh karaktersitik pelepasan dari simpanannya (storage), meliputi pelepasan air dari simpanan pada alur sungai, simpanan pada tanah dan simpanan pada akifer.

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan

Pengunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya, baik materi maupun rohani. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menurut berbagai cara, tetapi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan/industri. Penggunaan lahan pedesaan meliputi pertanian, padang rumput dan kehutanan. Sedangkan penggunaan lahan perkotaan dan industri meliputi kota, industri, tempat rekreasi, jalan raya dan aktivitas pertambangan (Vink, 1975).

Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita dan adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Hardjowigeno, 1994).

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi, perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan terencana dapat berpengaruh buruk terhadap daya dukung DAS terlebih lagi bila terjadi pada daerah hulu. Dampak yang ditimbulkan tidak saja pada daerah tersebut tetapi juga terhadap daerah hilir. Hal yang paling mendasar adalah perubahan aliran permukaan yang meliputi perubahan karakteristik puncak aliran dan perubahan volume limpasan.


(23)

Perubahan penggunaan lahan mempengaruhi debit aliran khusunya perubahan lahan hutan menjadi hutan (deforestasi) atau perubahan lahan non-hutan menjadi non-hutan (reforestasi). Salwati (2004) melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan volume aliran permukaan dan debit puncak aliran akibat perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman di DAS Cilalawi.

Dampak negatif perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non-hutan pada suatu DAS adalah berkurangnya tutupan lahan sehingga energi kinetik hujan yang jatuh di atas tanah menyebabkan penutupan pori-pori tanah lapisan atas oleh partikel liat (surface sealing) dan pemadatan tanah (soil crusting). Pemadatan tanah adalah fenomena penting untuk infiltrasi, aliran permukaan dan erosi setelah perubahan penggunaan lahan (Putz et al., 2003). Pemadatan tanah akan menyebabkan permukaan tanah menjadi kedap air (impervious). Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi sehingga meningkatkan aliran permukaan dan menurunkan pengisian air tanah (groundwater). Penurunan pengisian air tanah akan menimbulkan bahaya kekeringan pada musim kemarau.

Faktor yang kritis dalam perencanaan penggunaan lahan dengan pendekatan berbasis DAS adalah kemampuan memprioritaskan lahan dan untuk mencapai target program dan kebijakan dengan keuntungan yang maksimum. Seperti usaha untuk melibatkan pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah proses yang terstruktur dan terfokus. Hal ini memungkinkan peningkatan efisiensi ekonomi dengan mengalokasikan sumberdaya yang terbatas ke area yang berkontribusi atau memiliki potensi merusak kesehatan DAS. Randhir et al. (2001) mengembangkan sebuah model prioritas lahan DAS untuk optimalisasi suplai air dengan mengintegrasikan informasi geografis, hubungan antara krit eria lahan dan pengaruh terhadap waktu tempuh aliran permukaan. Ia mengamati bahwa pemfokusan pada beberapa area di DAS memberikan hasil air yang tinggi dan menghasilkan biaya yang lebih rendah. Sadeghi et al. (2009) menyelesaikan masalah optimalisasi penggunaan lahan dengan tujuan ganda (multiobjective) menggunakan program linier dengan ADBASE, ia berhasil menghubungkan keuntungan aspek ekonomi dan lingkungan pada skala DAS yang ditunjukkan dengan keuntungan (benefit) yang maksimum dan erosi yang minimum.


(24)

2.4. Model HEC-HMS

Model hidrologi merupakan penyederhanaan dari suatu sistem hidrologi yang komplek. Secara umum, model yang ideal seharusnya sederhana namun akurat. Model hidrologi untuk menggambarkan respon terhadap seluruh proses hujan-aliran permukaan pada suatu DAS dapat menggunakan pendekatan parameter lump (lumped parameter) maupun parameter terdistribusi (distributed parameter). Model parameter lump mentransformasikan curah hujan (input) ke aliran permukaan (output) dalam DAS sebagai sebuah unit hidrologi tunggal, artinya semua proses dalam DAS terjadi pada satu titik spasial. Sedangkan model parameter terdistribusi menggambarkan proses dan mekanisme fisik DAS dalam keruangan sehingga dapat diterapkan untuk mempelajari keragaman spasial (Sadeghi & Mahdevi, 2004). Secara umum, penggunaan model parameter terdistribusi lebih memuaskan daripada model parameter lump. Namun, model parameter terdistribusi membutuhkan input parameter yang relatif banyak dan rumit. Hal ini sering menjadi kendala apabila data lapangan terbatas sehingga kesulitan untuk memparameterkan dan memverifikasi model (Garcia et al., 2008).

Model HEC-HMS adalah model parameter lump dengan distribusi spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam Sub DAS. Model ini menyediakan sejumlah pilihan permodelan, dengan komponen utama penentuan hidrograf aliran permukaan dari Sub DAS dan pelacakan hidrograf (routing) melalui saluran ke outlet yang dipelajari. Karakterisitik hidrograf pada setiap Sub DAS adalah respon aliran permukaan yang khas karena perbedaan sifat-sifat DAS meliputi faktor geologi, geomorfologi, dan antropogenik (Knebl et al., 2004). Model ini cocok digunakan pada DAS dengan pola aliran dendritik. Model ini juga dapat digunakan untuk DAS dengan luasan yang besar.

2.5. Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Soil Conservation Service (SCS-sekarang bernama Natural Resource Conservation Service-NRCS) telah mengembangkan indeks yang disebut Runoff Curve Number (CN) atau yang diterjemahkan ke dalam Bilangan Kurva Aliran Permukaan (BK). Metode BK-SCS merupakan salah satu metode untuk menentukan volume aliran permukaan pada suatu DAS berdasarkan pada


(25)

penggunaan lahan, tanah, kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya (Knebl et al., 2004).

Metode SCS didasarkan pada keseimbangan air yang bisa digambarkan sebagai persamaan berikut (SCS, 1987 dalam Shi et al., 2009):

(1) (2) dimana P adalah presipitasi (mm), Ia adalah abstraksi awal (mm), F adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan/infiltrasi (mm), Q adalah aliran permukaan (mm) dan S adalah volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (mm). Dengan mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (2) didapatkan persamaan berikut:

(3) Persamaan (3) valid untuk P > Ia, jika tidak Q = 0. Parameter S pada persamaan (3) didefinisikan sebagai:

(4) dimana S dalam mm dan BK adalah bilangan kurva yang menggambarkan tentang hujan lebih yang nilainya bervariasi berdasarkan tiga kondisi kondisi air tanah sebelumnya. SCS telah membuat rasio Ia/S atau ? sebesar 0.2 (Smemoea et al., 2004), dengan demikian hubungan antara Ia dan S menjadi:

Ia = 0.2 S (5)

Nilai BK berkaitan erat dengan penggunaan lahan dan perlakuan tanah. Pada kondisi hidrologi tanah yang sama, penggunaan lahan hutan atau semak belukar memiliki nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan lahan permukiman. Pada penggunaan lahan dan jenis tanah yang sama, perlakuan tanah seperti tindakan konservasi dapat memberikan nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa adanya perlakuan tanah. Lahan yang memiliki nilai BK yang besar menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut tinggi. Sebaliknya, nilai BK yang rendah menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut rendah. Oleh sebab itu, perubahan

(

)

S Ia P Ia P Q + − − = 2 254 25400 − = BK S Q F Ia

P= + +

S F Ia P Q =


(26)

penggunaan lahan dan perbaikan terhadap perlakuan tanah dapat merubah nilai BK, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi volume aliran permukaan.


(27)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan, dimulai dari Bulan Maret sampai Juni 2009. Lokasi yang dipilih adalah DAS Separi, terletak di 00o 04’48’’-00o21’36’’ LS dan 117o07’48’’-117o16’12’’ BT. Menurut administrasi pemerintahan, lokasi studi/DAS Separi sebagian besar terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Lokasi DAS Separi disajikan pada Gambar 1.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tanah skala 1:50 000, peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1991 skala 1:50 000, data DEM (Digital Elevation Model) SRTM (Shuttle Radar Thopography Mission), Citra Landsat TM tahun 2001 dan 2007, GPS (Global Positioning System), clinometer, kompas, meteran, komputer dengan perangkat lunak Erdas Imagine versi 8.6, ArcGIS versi 9.2, WMS versi 7.0 dan HEC-HMS versi 3.0.1.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada tahap penelitian berikut: 1) pengumpulan data, 2) pembangkitan parameter model HEC-HMS, 3) pemisahan hidrograf aliran, 4) kalibrasi model, 5) penyusunan skenario penggunaan lahan, dan 6) simulasi model. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.3.1. Pengumpulan Data

Data primer diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan di lapangan, meliputi: geometri sungai, parameter kekasaran saluran, teknik pertanian dan kondisi hidrologi tanah pada beberapa jenis penggunaan lahan. Data sekunder didapatkan dari data yang dikumpulkan oleh peneliti sebelumnya atau oleh instansi terkait, meliputi: penggunaan lahan, jenis tanah, jaringan sungai, curah hujan dan tinggi muka air. Data curah hujan diperoleh dari stasiun hujan Separi,


(28)

Bayur, Marang Kayu dan Tanjung Santan. Sedangkan data tinggi muka air diperoleh dari stasiun pengamat tinggi muka air Separi.

Status penggunaan lahan tahun 1991 diperoleh dari peta rupa bumi tahun 1991, sedangkan status penggunaan lahan tahun 2001 dan 2007 diperoleh melalui klasifikasi citra landsat TM tahun 2001 dan 2007 dengan metode klasifikasi terbimbing.


(29)

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

3.3.2. Pembangkitan Parameter Model

Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Bilangan Kurva (BK) merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan, tanah, kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Dalam menetapkan bilangan kurva ini, SCS mengelompokkan tanah ke dalam empat kelompok hidrologi (Hydrology Soil Group-HSG) yang ditandai dengan huruf A, B, C dan D. Sifat-sifat tanah yang bertalian dengan keempat kelompok tersebut adalah adalah sebagai berikut:

Peta Tanah, Peta Rupa Bumi Indonesia, citra landsat,

DEM SRTM

Hujan

Pemisahan hidrograf

Kalibrasi

Pengumpulan data

Pembangkitan Parameter model

Bilangan Kurva

Waktu tenggang

Geometri sungai

Hidrograf aliran pengamatan

Hidrogra f model Hidrograf aliran permukaan pengamatan

Simulasi Model E<0.7

E >0.7 Pengukuran

geometri sungai


(30)

Kelompok A : Pasir dalam, loess dalam, debu beragregat Kelompok B : loess dangkal, lempung berpasir

Kelompok C : Lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi

Kelompok D : tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah saline tertentu.

Kelompok hidrologi tanah tersebut ditentukan oleh sifat-sifat tanah dari peta tanah semi detail skala 1: 50 000.

Selanjutnya BK ditetapkan dengan membuat Hydrology Response Unit

(HRU) yang dihasilkan dari tumpang susun antara peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah. Nilai BK untuk masing- masing HRU selanjutnya ditentukan dengan menggunakan tabel BK-SCS (Lampiran 1). Pada tahap ini, dihasilkan peta BK standar SCS.

Metode BK-SCS dalam perhitungannya tidak melibatkan pengaruh kemiringan terhadap hasil aliran permukaan. Menurut Huang (2006 dalam

Ebrahimian et al., 2009), kemiringan yang lebih dari 5% perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK. Untuk memasukkan faktor kemiringan, dilakukan tumpang susun antara peta kelas lereng dan peta BK. Adapun peta BK-disesuaikan kemiringan diperoleh dengan mengalikan nilai BK dengan konstanta yang diperoleh dari persamaan (6) (Huang, 2006 dalam Ebrahimian et al., 2009):

(6) dimana K adalah konstanta untuk BK dan αadalah kemiringan lahan (m m-1). Teori di atas memiliki asumsi bahwa BK diperoleh dari tabel standar BK-SCS pada kemiringan 5%. Nilai BK rata-rata setiap Sub DAS dihitung menggunakan persamaan (7):

(7) dimana BK adalah nilai bilangan kurva rata-rata sub DAS, Ai adalah luas setiap poligon, BKi adalah bilangan kurva dari setiap poligon dan A adalah luas Sub DAS.

Setelah memperoleh nilai BK-disesuaikan kemiringan, langkah berikutnya adalah menghitung retensi potensial (S). Nilai S dihitung untuk setiap poligon

A BKi Ai BK =

i .

52 . 323 63 . 15 79 . 322 + + = α α K


(31)

menggunakan persamaan (4). Selanjutnya, abstraksi awal dihitung menggunakan persamaan (5).

Waktu Tenggang (Basin Lag)

Hidrograf aliran setiap sub DAS diperoleh menggunakan metode sintetik unit hidrograf Snyder. Teori Synder didasarkan pada asumsi bahwa pengalihragaman hujan menjadi hidrograf ditentukan oleh beberapa parameter DAS yang dapat diukur dan didasarkan pada kondisi hidrologi DAS. Untuk menghasilkan hidrograf pada setiap sub DAS, dibutuhkan masukan berupa waktu tenggang (Tp) serta koefisien puncak (Cp). Nilai Cp berkisar antara 0.4-0.8 (Harto, 2000).

Tp diperoleh dengan persamaan yang telah dibuat oleh Los Angeles District, USACE (1994 dalam US Army Corps of Engineers-Hydrologic Engineering Center, 2000) seperti berikut:

(8) dimana Tp adalah waktu tenggang (yaitu beda waktu antara tengah-tengah hujan efektif dan debit puncak (jam)); Lc adalah panjang sungai dari titik kontrol (outlet)

sampai titik berat DAS (mil); L adalah panjang sungai dari titik kontrol sampai batas DAS di hulu (mil); Ct adalah koefisien yang tergantung pada unit dan

karakteristik drainase DAS; S adalah kemiringan umum sungai, yang diukur dari titik kosentrasi ke batas drainase DAS; dan N adalah eksponen, biasanya diambil 0,33. Nilai L, Lc danS dibangkitkan dari analisis data DEM SRTM.

Geometri dan Kekekasaran Saluran

Penelusuran aliran adalah cara matematik yang digunakan untuk melacak aliran melewati sistem hidrologi guna memperkirakan perubahan besaran, kecepatan dan gelombang sebagai fungsi waktu di satu atau beberapa titik di sungai (Chow, 1998; Fread, 1993 dalam Harto, 2000). Metode yang digunakan

untuk parameter ini adalah metode gelombang kinematik.

Masukan yang dibutuhkan untuk metode gelombang kinematik adalah panjang saluran/sungai untuk setiap jangkauan (reach), kemiringan saluran, koefisien kekasaran saluran Manning, dan geometri saluran (bentuk, lebar dasar, dan talud). Geometri saluran dan koefisien kekasaran Manning diperoleh dari

N

S LLc Ct Tp

    =


(32)

pengukuran dan pengamatan lapangan. Koefisien kekasaran Manning ditentukan dengan menggunakan tabel kekasaran Manning (lampiran 4). Panjang saluran diperoleh dari data jaringan sungai yang diperoleh dari analisis DEM SRTM. Adapun kemiringan saluran dihitung dengan persamaan:

(9) dimana Ss adalah kemiringan saluran (m m-1), Ku adalah ketinggian hulu saluran, Ki adalah ketinggian hilir saluran dan Ls adalah panjang saluran (m).

Untuk mempermudah permodelan, dibuat Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi (Gambar 3).

3.3.3. Pemisahan Hidrograf Aliran

Hidrograf aliran diperoleh dari konversi data tinggi muka air di outlet DAS dengan persamaan kurva lengkung debit (rating curve). Persamaan kurva lengkung debit di outlet DAS Separi telah dibuat oleh Hakim (2008) sebagai berikut:

Q = 10.599 ((5100-HON)/1000)1.4874 (10)

dimana Q adalah debit aliran (m3 detik-1), HON adalah selisih antara AWLR dan tinggi muka air (mm).

Hidrograf aliran dianalisis berdasarkan pasangan data curah hujan dan debit aliran sungai. Komponen hidrograf aliran (aliran sungai) terdiri dari aliran permukaan, aliran antara dan aliran dasar. Dalam penelitian ini, untuk lebih menyederhanakan, ketiga komponen tersebut dijadikan dua komponen, dengan mengandaikan aliran permukaan dan aliran antara menjadi satu komponen, yang disebut aliran permukaan. Dengan asumsi ini, maka hidrograf hanya terdiri dari dua komponen saja, yaitu aliran permukaan dan aliran dasar. Pemisahan hidrograf antara aliran permukaan dan aliran dasar me nggunakan metode garis lurus (straight line method) (Gambar 4).

Langkah- langkah pemisahan hidrograf pada Gambar 4 adalah sebagai berikut:

1) Waktu dan debit aliran sungai diplot ke dalam grafik, dengan sumbu datar adalah waktu dan sumbu tegak adalah debit aliran. Sumbu tegak menggunakan skala logaritmik.

Ls Ki Ku


(33)

2) Titik resesi (B) merupakan akhir hidrograf yang penurunannya konstan yang ditandai dengan ekor hidrograf yang berbentuk garis lurus.

3) Selanjutnya ditarik garis lurus yang menghubungkan titik awal hirograf (A) dengan titk resesi (B). Aliran dasar adalah debit yang berada di bawah garis lurus tersebut.

4) Aliran permukaan diperoleh dari pengurangan aliran sungai dengan aliran dasar.

Gambar 3. Skema Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi.

Sub DAS Percabangan

Reach Penghubung

Keterangan: 1

2

3

4 5

6

7

8

9 11

10

1

2

3

4 5

6

7

8 9


(34)

s

Gambar 4. Cara Pemisahan Hidrograf Metode Garis Lurus.

3.3.4. Kalibrasi

Kalibrasi model adalah proses penyesuaian nilai paramater model sampai hasil simulasi cocok dengan data pengukuran (Garcia et al., 2008). Kalibrasi model dengan data hasil pengukuran adalah sebuah langkah yang penting dalam membuat representasi DAS yang dapat dipercaya (Knebl et al., 2005). Parameter DAS yang telah dikemukakan sebelumnya mungkin perlu dimodifikasi untuk menghasilkan hidrograf yang paling sesuai antara model dan pengukuran. Metode kalibrasi yang digunakan adalah koefisien efisiensi Nash-Sutcliffe. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Nash & Sutcliffe dalam Garcia et al., 2008):

(11)

dimana ESTi adalah aliran permukaan yang dihasilkan oleh model, RECi adalah

aliran permukaan hasil pengukuran, RECadalah rata-rata aliran permukaan hasil pengukuran.             − − − =

= = n i i n i i i REC REC REC EST E 1 2 2 1 ) ( ) ( 1 1 10 100 1000 10000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Waktu (jam)

Debit (m3/det)

A


(35)

Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutctlife menunjukkan tingkat akurasi model, dimana nilai E<0.5 adalah tingkat akurasi rendah, 0.5<E<0.7 adalah tingkat akurasi tinggi dan E>0.7 adalah tingkat akurasi sangat tinggi (Garcia et al., 2008). Model dikalibrasi dengan pasangan data hujan-debit aliran permukaan pada tahun 2007. Parameter hidrograf yang dibandingkan adalah debit puncak, waktu debit puncak dan volume aliran permukaan. Jika model memiliki akurasi yang sangat tinggi, maka bisa digunakan untuk menge valuasi perubahan respon hidrologi disebabkan modifikasi penggunaan lahan.

3.3.5. Penyusunan Skenario Penggunaan Lahan

Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2013 (Skenario 1)

Pada skenario 1 alokasi penggunaan lahan disusun berdasarkan status perubahan penggunaan lahan dari tahun 1991/2001 dan tahun 2001/2007. Analisis trend dilakukan untuk memperoleh pola perubahan setiap jenis penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan proyeksi penggunaan lahan di DAS Separi untuk tahun 2013. Skema alokasi penggunaan lahan skenario 1 adalah penambahan luas suatu penggunaan lahan proporsional dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Skenario 2)

Pada skenario 2 alokasi penggunaan lahan disusun berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengalolaan Kawasan Lindung. Gambar 5 menyajikan penentuan kawasan lindung berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut.

Langkah pertama dalam penentuan kawasan lindung adalah standarisasi nilai untuk menghilangkan perbedaan satuan yang dimiliki oleh kriteria-kriteria tersebut. Area yang memiliki kriteria yang harus dilindungi diberi nilai 1 dan area lain di luarnya diberi nilai 0. Langkah kedua, seluruh kriteria yang telah distandarisasi ditumpang susun menggunakan metode weigted overlay. Hasil dari tumpang susun tersebut adalah peta kawasan lindung.

Setelah dihasilkan peta kawasan lindung, selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap penggunaan lahan tahun 2007 (existing land use) dengan cara menumpang susun peta kawasan lindung dengan peta penggunaan lahan tahun 2007. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengunaan lahan non- hutan yang


(36)

berada pada kawasan lindung. Skema alokasi penggunaan lahan skenario 2 adalah kawasan semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka yang berada pada kawasan lindung dirubah menjadi hutan. Sehingga pada skenario ini terjadi penambahan luas hutan yang proporsional dengan penurunan luas semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka.

Gambar 5. Kriteria kawasan lindung berdasarkan Keppres No 32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Kelas Kemampuna Lahan (Skenario 3)

Pada Skenario 3 penggunaan lahan disusun berdasarkan evaluasi kemampuan lahan. Untuk menentukan kelas kemampuan, pertama-tama dibuat peta satuan lahan homogen (SLH). SLH diperoleh dengan melakukan tumpang susun peta tanah dan peta kelas lereng. Tahap selanjutnya, menentukan kelas kemampuan lahan untuk masing- masing SLH menggunakan kriteria yang dikembangkan oleh Klingebiel dan Montgometru yang dimodifikasi oleh Arsyad (2006). Kriteria klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada tabel 2 dan penjelasan kriteria tersebut disajikan pada La mpiran 5. Pada penelitian ini, hanya ditekankan pada enam faktor penghambat yang digunakan, yaitu lereng, tekstur lapisan atas, kepekaan erosi, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas.

Selanjutnya, dilakukan evaluasi kemampuan lahan terhadap penggunaan lahan tahun 2007. Evaluasi kemampuan lahan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan yang ada di DAS Separi dengan kelas

Kesesuaian lahan untuk kawasan lindung

Slope Elevasi Tanah Sempadan

sungai

>45% >2000 m

Regosol slope >15 %

Litosol slope >15 %

100 m di kiri dan kanan sungai


(37)

kemampuan lahan. Dari hasil evaluasi kemampuan lahan tersebut, disusun skema alokasi penggunaan lahan untuk skena rio 3.

Tabel 2. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Arsyad, 2006). No Faktor Penghambat Kelas Kemampuan lahan

I II III IV V VI VII VIII

1 Tekstur Lapisan atas t1,t2,t3 t1,t2,t3 t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 (*) t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 t5 2 Tekstur Lapisan bawah t1,t2,t3 t1,t2,t3 t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 (*) t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 t5

3 Lereng permukaan A B C D (*) E F G

4 Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) (**)

5 Kedalaman tanah k0 k1 k2 k3 (*) (*) (*) (*)

6 Kepekaan erosi KE1, KE2 KE3 KE4,KE5 KE6 (**) (*) (*) (*)

7 Banjir O0 O1 O2 O3 O4 (*) (*) (*)

8 Kerikil/batuan b0 b0 b1 b2 b3 (*) (*) b4

9 Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P4 P2,P4 P1 (*) (*) P5

Keterangan: (*) : dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah.

(**) : tidak berlaku

3.3.6. Simulasi Model

Simulasi (uji sensitifitas) dilakukan apabila model HEC-HMS telah memiliki akurasi yang tinggi untuk DAS Separi. Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS (tujuan pertama) dilakukan dengan simulasi model berdasarkan kondisi penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007. Selanjutnya, hidrograf hasil model pada penggunaan lahan pada tahun 2007 dan 2001 dibandingkan dengan hidrograf hasil model pada penggunaan lahan tahun 1991.

Simulasi model menggunakan skenario penggunaan lahan yang telah dibuat dilakukan untuk memperoleh penggunaan lahan yang paling baik dalam menurunkan aliran permukaan (tujuan kedua). Dalam melakukan simulasi diasumsikan semua parameter model tetap kecuali parameter yang inputnya terkait dengan penggunaan lahan. Parameter-parameter masukan model yang berhubungan dengan penggunaan lahan dirubah sesuai dengan kondisi peggunaan lahan tersebut.


(38)

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Iklim

Stasiun hujan yang terdapat di DAS Separi adalah stasiun hujan Separi. Mempertimbangkan luas DAS Separi yang besar, penggunaan stasiun hujan ini dirasa masih belum memenuhi standar. Oleh sebab itu, digunakan stasiun hujan lainnya yang lokasinya berdekatan dengan DAS Separi, yaitu stasiun hujan Bayur, Marangkayu dan Tanjung Santan. Rata-rata curah hujan wilayah untuk DAS Separi diperoleh menggunakan metode poligon thiessen berdasarkan empat stasiun hujan tersebut. Asumsi yang digunakan adalah tidak terdapat pengaruh orografik terhadap distribusi curah hujan dari masing- masing stasiun. Hal ini dikarenakan elevasi di daerah ini tidak terlalu berbeda, dengan elevasi tertinggi sebesar <250 m dpl.

Berdasarkan data hujan tahun 2001-2005, tipe iklim menurut klasifikasi Schmitd-Ferguson (1951) pada stasiun Separi dan Tanjung Santan adalah tipe B (basah), stasiun Marangkayu adalah tipe A (sangat basah). Penyebaran bulan basah (>100 mm) adalah pada Bulan Januari sampai Juni dan September sampai Desember, sedangkan bulan kering (<60 mm) terjadi pada Bulan Agustus. Rata-rata hujan tahunan sebesar 1 979 mm. Rata-Rata-rata hari hujan sebanyak 148 hari dan rata-rata curah hujan harian sebesar 14.55 mm.

4.2. Karakteristik Morfologi DAS

Beberapa karakteristik morfologi DAS yang mempengaruhi respon hidrologi DAS adalah luas, bentuk DAS, panjang sungai utama, kerapatan jaringan sungai dan pola aliran sungai (drainase) (Wilson, 1993). DAS Separi memiliki luas 233.51 km2 dan keliling 109.91 km. DAS ini memiliki indeks Gravelius 2.03. Indeks Gravelius ini menunjukan bahwa DAS Separi merupakan DAS yang berbentuk memanjang. DAS ini memiliki panjang aliran sungai utama 29.05 km. Pola aliran sungainya menyerupai percabangan pohon atau dendritik (Gambar 6).


(39)

Gambar 6. Peta DAS Separi

Bentuk DAS Separi yang memanjang akan menghasilkan unit hidrograf dengan waktu menuju debit puncak yang lebih lama dan debit puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan DAS yang berbentuk bulat (ukuran, luas dan


(40)

kejadian hujan sama) (Wilson, 1993). Selain itu, pola aliran dendritik juga berkontribusi terhadap penurunan debit puncak dan peningkatan waktu puncak aliran dibandingkan dengan DAS yang memiliki pola aliran radial maupun rectangular.

4.3. Topografi

Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah yang termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Hasil analisis peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50 000 lembar Marangkayu, Buanajaya dan Air Putih (BAKOSURTANAL, 1991), menunjukkan bahwa DAS Separi memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar sampai berbukit, bentuk lahan (landform) bukit-bukit kecil serta dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang curam. Kelas lereng mulai dari datar sampai sangat curam. Penyebaran kelas lereng di DAS Separi disajikan pada Tabel 3. Sedangkan peta kelas lereng DAS Separi disajikan pada Gambar 7.

Secara umum, kondisi topografi DAS Separi yang didominasi oleh dataran pada daerah hulu dan bergelombang pada bagian tengah menyebabkan semakin lama waktu puncak hidrograf pada outle t DAS Separi, sebaliknya debit puncaknya semakin rendah. Kaitannya dengan banjir yang tejadi di DAS Separi, menurut Hakim (2008) bukan dipengaruhi oleh topografi tetapi oleh alih fungsi penggunaan lahan dan menurunnya kapasitas tampung sungai akibat erosi dan sedimentasi.

Tabel 3. Luas kelas lereng untuk masing- masing Sub DAS di DAS Separi.

Sub DAS

Luas Kelas Lereng (ha) Total

(ha)

0-3% 3-8% 8-15% 15-30% 30-45% 45-60%

1 1 961 1 372 496 15 0 4 3 848

2 1 218 375 95 3 0 0 1 691

3 84 1 136 562 75 0 0 1 857

4 79 1 207 641 23 88 21 2 059

5 525 225 1 330 456 153 70 2 759

6 492 808 645 0 33 0 1 978

7 479 291 1 229 113 309 102 2 523

8 0 869 287 39 564 346 2 105

9 180 10 595 57 17 27 886

10 125 0 780 106 689 190 1 890

11 543 193 186 438 27 368 1 755


(41)

Gambar 7. Peta Kelas Lereng DAS Separi.

4.4. Tanah

Jenis tanah di lokasi penelitian diperoleh dari peta tanah skala 1:50 000 (PUSLITANAK, 1994). Berdasarkan peta tersebut, terdapat 27 SPT di DAS Separi, dimana jenis tanahnya terbagi menjadi 3 ordo yaitu : 1) Ultisols 2) Inceptisols dan 3) Entisols.

Ultisols terdiri dari Sub Grup Typic Plintudults, Typic Paleudults, Typic Hapludults, Psammentic Hapludults dan Plintic Paleudults, memiliki tekstur mulai dari lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung berliat dan liat. Penyebaran ultisols yang memiliki tekstur lempung berpasir sampai lempung liat berpasir adalah di Sub DAS 1, 2, 4, 6, 9, 10 dan 11. Penyebaran ultisols yang memiliki tekstur lempung berliat adalah di Sub DAS 3, 4, 7, 9 dan 11. Sedangkan ultisols yang memiliki tekstur liat terdapat di Sub DAS 1, 3, 4, 6, 7, 9, 10 dan 11.

Inceptisols terdiri dari Sub Grup Typic Dystropepts, Typic Eutropepts, Oxyaquic Dystropepts, Typic Tropaquepts, Aquic Dystropept dan Typic Plinthaquepts, tekstur mulai dari pasir sampai liat. Inceptisol yang memiliki tekstur pasir terdapat di Sub DAS 1, 2, 10 dan 11. Penyebaran inceptisols yang memiliki tektur lempung berpasir dan lempung liat berpasir dominan di Sub DAS


(42)

5, 6, 7, 9, 10 dan 11. Inceptisols yang memiliki tekstur lempung berdebu, lempung berliat dan liat berdebu dominan di Sub DAS 3, 4, 5, 9, 10. Sedangkan yang memiliki tekstur liat dominan di Sub DAS 5, 7 dan 11.

Entisols yang terdapat di DAS Separi adalah Sub Grup Typic Tropaquents, memiliki tekstur liat, terdapat di sepanjang dasar lembah yang merupakan daerah sekitar aliran sungai utama maupun anak sungai, sehingga cakupannya meliputi seluruh Sub DAS. Sebaran Satuan Peta Tanah di DAS Separi disajikan pada Gambar 8 dan keterangan Satuan Peta Tanah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 8. Peta Tanah DAS Separi.

4.5. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di DAS Separi pada tahun 2007 terdiri dari pemukiman, sawah, tegalan, kebun campuran, hutan, semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka (Gambar 9). Penggunaan lahan semak belukar merupakan penggunaan lahan yang dominan yaitu sebesar 88.28%, diikuti oleh hutan 4.57%, tanah terbuka 3.34% dan alang-alang 1.50%. Sedangkan persentase penggunaan lahan pemukiman, sawah, tegalan dan kebun campuran berturut-turut 0.16, 1.00, 0.37


(43)

dan 0.75%. Adapun luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi disajikan pada Tabel 4.

Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan DAS Separi Tahun 2007.

Tabel 4. Luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi Tahun 2007.

Sub DAS

Luas Penggunaan Lahan (ha)

Total (ha) Tanah

Terbuka

Permu -

Kiman Hutan

Semak Belukar

Alang-Alang Sawah

Kebun

Campuran Tegalan

1 10 0 114 3 719 5 0 0 0 3 848

2 0 0 394 1 297 0 0 0 0 1 691

3 0 0 0 1 857 0 0 0 0 1 857

4 0 0 182 1 841 0 0 0 36 2 059

5 1 0 81 2 571 106 0 0 0 2 759

6 23 0 133 1 822 0 0 0 0 1 978

7 30 6 140 2 331 0 0 16 0 2 523

8 133 0 0 1 962 10 0 0 0 2 105

9 126 0 0 759 1 0 0 0 886

10 450 3 0 1 158 230 0 0 49 1 890

11 7 29 25 1 298 0 235 72 89 1 755

Total 780 38 1 069 20 615 352 235 88 174 23 351

Vegetasi yang terdapat pada lahan semak belukar didominasi oleh tumbuhan yang merupakan tumbuhan perintis baik jenis pohon maupun vegetasi bawah sehingga kondisinya menyerupai hutan skunder. Vegetasi bawah yang


(44)

mendominasi adalah jenis paku-pakuan. Tumbuhan jenis pohon didominasi jenis mahang (Macaranga sp) dengan kerapatan yang rendah sehingga lahan yang tertutup oleh tajuk pohon tidak terlalu banyak dan seresah yang dihasilkan juga sedikit. Kondisi ini menyebabkan penggunaan lahan semak belukar memiliki potensi aliran permukaan yang besar lebih besar dibandingkan dengan hutan skunder.

Umumnya, pada lahan pertanian seperti tegalan dan kebun campuran tidak diterapkan teknik konservasi tanah dan air, seperti penanamam sejajar garis kontur, teras, mulsa dan tanaman penutup (land cover). Hal ini menyebabkan aliran permukaan dan erosi pada penggunaan lahan tersebut tinggi.


(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hidrograf Aliran Model

5.1.1. Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Pendugaan volume aliran permukaan menggunakan metode Bilangan Kurva-SCS. Jenis penggunaan tanah/perlakuan/kondisi hidrologi untuk komplek penutupan tanah di DAS Separi sesuai dengan tabel Bilangan Kurva (BK)-SCS (lampiran 1) adalah sebagai berikut:

1. Permukiman termasuk ke dalam perumahan petani.

2. Sawah yang ditanami padi secara terus- menerus tanpa pergiliran tanaman setara dengan padi-padian menurut kontur-buruk.

3. Kebun campuran tanpa menerapkan teknik konservasi tanah dan air setara dengan leguminosa ditanam rapat menurut lereng-buruk.

4. Tegalan yang ditanami jagung secara monokultur tanpa menggunakan teknik konservasi tanah dan air setara dengan tanaman semusim dalam baris menurut lereng-buruk.

5. Hutan sekunder dengan penutupan kanopi yang cukup tinggi, vegetasi bawah dan serasah yang banyak setara dengan hutan-sedang.

6. Belukar dengan penutupan kanopi yang sedang-rendah, vegetasi bawah yang sedang dan seresah yang sedikit setera dengan hutan-buruk.

7. Alang-alang setara dengan padang rumput pengembalaan-buruk.

8. Tanah terbuka tanpa ditumbuhi vegetasi setara dengan bera- larikan menurut lereng.

Adapun kelompok hidrologi tanah untuk masing- masing SPT yang ada di DAS Separi adalah sebagai berikut:

1. Kelompok hidrologi A yang meliputi SPT 18.

2. Kelompok hidrologi B yang meliputi SPT 14, 17, 19 dan 26.

3. Kelompok hidrologi C yang meliputi SPT 1, 2, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 15, 20, 22, 23, 24, 25 dan 27.

4. Kelompok hidrologi D yang meliputi SPT 3, 4, 8, 11, 13, 16 dan 21.

Peta Hidrologi Response Unit (HRU) diperoleh dari tumpang susun peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah. Nilai BK untuk


(46)

masing-masing HRU diperoleh dari tabel BK-SCS. Peta BK yang diperoleh dari langkah di atas belum memasukkan faktor kemiringan. Selanjutnya, untuk memasukkan faktor kemiringan, peta HRU ditumpang susun dengan peta lereng, kemudian BK pada masing- masing HRU dikalikan dengan konstanta BK untuk memperoleh nilai BK yang disesuaikan kemiringan.

Hubungan antara BK yang dihitung dari tabel standar SCS dan BK yang disesuaikan kemiringan menghasilkan BK yang lebih tinggi pada lahan yang memiliki kemiringan >5%, karena nilai konstanta BK semakin besar dengan bertambahnya kemiringan. Sebaliknya, terjadi penurunan nilai BK pada lahan yang memiliki kemiringan <5%. Adapun rata-rata peningkatan nilai BK DAS Separi karena faktor lereng sebesar 0.03%. Peningkatan nilai BK tertinggi sebesar 0.83% terjadi pada Sub DAS 10, sedangkan penurunan tertinggi sebesar 0.15% terjadi pada Sub DAS 2. Nilai BK terbesar (95.91) terdapat pada penggunaan lahan tanah terbuka dengan kelas kimiringan 45-60%.

Peta BK yang disesuaikan kemiringan disajikan pada Gambar 10. Peta BK bisa dilihat sebagai mosaik BK karena perbedaan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang memiliki BK terkecil adalah hutan, yaitu 36 sampai 79, sedangkan yang tertinggi adalah tanah terbuka, yaitu 86 sampai 94. Komposisi nilai BK sebagaimana Gambar 10 adalah sebagai berikut: nilai BK 80-90 (53.49%), 70-80 (23.68%), 60-70 (15.63%), 90-100 (6.33%). Adapun nilai BK 30-40, 40-50 dan 50-60 sebarannya sangat kecil (0.87%) sehingga nilai BK tersebut dijadikan selang 30-60.

Sub DAS yang memiliki nilai BK rata-rata tertinggi adalah Sub DAS 10 (90.32) dan terendah adalah Sub DAS 4 (75.02) (Tabel 5). Nilai ini menunjukkan bahwa Sub DAS 10 menghasilkan tebal aliran permukaan yang tertinggi, sedangkan Sub DAS 4 menghasilkan tebal aliran permukaan yang terendah.

Retensi potensial maksimum (S) diperoleh menggunakan persamaan (4). Kemudian, dengan mengalikan antara S dan rasio Ia/S diperoleh abstraksi awal (Ia). Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, rasio Ia/S sebesar 0.2 (persamaan 5). Namun, hasil kalibrasi model menunjukkan bahwa penggunaan rasio Ia/S sebesar 0.2 kurang cocok diterapkan di DAS Separi.


(47)

Gambar 10. Peta Bilangan Kurva DAS Separi pada AMC II

Woodward et al., menyatakan bahwa rasio Ia/S sebesar 0.2 kurang cocok diterapkan pada daerah yang memiliki kedalaman hujan dan bilangan kurva ya ng


(48)

rendah. Senada dengan ha l tersebut, Shi et al. (2009) telah melakukan pengujian terhadap dua puluh sembilan kejadian hujan yang dianalisis sesuai dengan proses hujan-aliran permukaan, dan menemukan bahwa rasio Ia/S bervariasi mulai dari 0.01 sampai 0.153 dengan nilai tengah 0.05. Sehingga rasio Ia/S yang digunakan di DAS Separi adalah 0.05. Hal ini diakibatkan oleh karakteristik hujan di DAS Separi yang memiliki durasi hujan yang lama sehingga intensitasnya tidak terlalu tinggi.

Tabel 5. Luas Sub DAS, BK rata-rata dan abstraksi awal pada AMC II. Sub DAS Luas (Ha) BK Rata-Rata* Ia (mm)

1 3 848 77.52 3.25

2 1 691 79.12 2.92

3 1 857 77.61 3.26

4 2 059 75.02 3.83

5 2 759 79.88 2.72

6 1 978 75.10 3.82

7 2 523 81.08 2.43

8 2 105 82.31 2.22

9 886 84.65 1.80

10 1 890 90.32 0.89

11 1 755 77.38 3.67

Total 23 351

Keterangan: BK yang disesuaikan kemiringan.

5.1.2. Waktu Tenggang dan Koefisien Puncak

Dari analisis data DEM SRTM, diperoleh panjang sungai dari titik kontrol sampai batas DAS di hulu (L) sebesar 3.45 sampai 6.95 mil, panjang sungai dari titik kontrol sampai titik berat DAS (Lc) sebesar 1.83 sampai 4.78 mil dan kemiringan umum sungai (S) sebesar 0.003 sampai 0.025 m m-1 (Tabel 6). Nilai Ct berkisar antara 1.45 sampai 1.8. Hasil perhitungan waktu tenggang (Tp) yang diperoleh dari persamaan (8) disajikan pada Tabel 7.

Nilai Tp tertinggi terdapat pada Sub DAS 1, yaitu 12.44 jam, sedangkan yang terendah terdapat pada Sub DAS 8, yaitu 5.72 jam. Dengan demikian, Sub DAS 1 memiliki waktu puncak aliran permukaan yang paling lama dibandingkan dengan sub DAS lainnya. Adapun waktu tenggang yang beragam pada setiap Sub DAS menyebabkan aliran permukaan di outlet DAS Separi tidak terkosentrasi pada waktu yang sama. DAS seperti ini memiliki karakteristik hid rograf aliran


(49)

dengan debit puncak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS yang memiliki waktu tenggang yang hampir sama pada setiap Sub DAS-nya.

Tabel 6. Nilai L, Lc, S dan Ct untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi. Sub DAS L (mil) Lc (mil) Ss (m m-1) Ct

1 6.95 3.22 0.003 1.8

2 5.92 3.88 0.006 1.8

3 5.19 3.18 0.014 1.65

4 6.32 4.06 0.013 1.65

5 8.01 4.12 0.008 1.7

6 5.48 4.78 0.012 1.7

7 6.16 2.99 0.017 1.6

8 3.99 2.52 0.025 1.5

9 3.54 2.16 0.014 1.7

10 4.46 2.69 0.017 1.45

11 5.36 1.83 0.012 1.45

Masukan lainnya untuk metode Snyder adalah koefisien puncak (Cp) yang nilainya dihasilkan melalui kalibrasi. Acuan yang digunakan adalah semakin besar nilai Ct maka semakin kecil nilai Cp (Wilson, 1993). Dari hasil kalibrasi, diperoleh nilai Cp berkisar antara 0.32 sampai 0.38 (Tabel 7).

Tabel 7. Nilai Tp dan Cp untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi.

Sub DAS Tp (jam) Cp

1 12.79 0.32

2 11.67 0.32

3 8.43 0.34

4 9.88 0.34

5 12.07 0.35

6 10.37 0.34

7 8.16 0.36

8 5.92 0.38

9 6.70 0.34

10 6.46 0.37

11 6.37 0.37

5.1.3. Geometri dan Kekasaran Saluran

Berdasarkan skema Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi (Gambar 2) terdapat sembilan jangkauan sebagai elemen penelusuran aliran. Dari pengamatan di lapangan, diketahui bahwa kondisi saluran pada semua jangkauan memiliki ciri yang hampir sama, yaitu berkelok, sering terjadi perubahan lebar sungai, terdapat lubuk, kondisi saluran bersih dari tanaman tetapi di saluran bagian hulu dan tengah terdapat beberapa akar dan batang pohon yang telah mati.


(50)

Berdasarkan kriteria kekasaran Manning, nilai kekasaran saluran tersebut berkisar antara 0.04 sampai 0.045 (Tabel 8).

Lebar dasar saluran dan talud pada daerah hulu dan tengah diperoleh dari pengukuran penampang melintang beberapa penggalan sungai, sedangkan pada daerah hilir diperoleh dari pengukuran yang dilakukan oleh Departemen PU Dirjen Pengairan (1998). Lebar dasar saluran pada daerah hulu, tengah dan hilir masing- masing berkisar antara 7.5 sampai 10 m, 12 sampai 18.4 m dan 18.6 sampai 19.7 m. Talud berkisar antara 0.7 sampai 1.2 m m-1.

Tabel 8. Data Saluran pada masing- masing jangkauan di DAS Separi. Jangkauan Panjang

(m)

Ss

(m m-1) Bentuk

W (m)

Z

(m m-1) N

1 3 100 0.010 Trapezoid 7.5 0.7 0.043

2 3 264 0.002 Trapezoid 10.0 0.8 0.043

3 3 513 0.003 Trapezoid 12.0 0.9 0.040

4 6 370 0.002 Trapezoid 14.7 0.9 0.043

5 4 551 0.002 Trapezoid 17.3 1.0 0.045

6 793 0.004 Trapezoid 18.4 1.0 0.040

7 1 227 0.002 Trapezoid 19.0* 1.0* 0.040

8 970 0.003 Trapezoid 18.6* 1.2* 0.040

9 4 320 0.003 Trapezoid 19.7* 1.2* 0.040 Keterangan:

Ss: kemiringan saluran, , W : lebar bawah, Z : talud dan N : kekasaran saluran Manning * : Sumber Departemen PU Dirjen Pengairan (1998).

5.1.4. Kalibrasi

Tujuh pasangan kejadian hujan- hidrograf penguk uran dengan interval satu jam digunakan dalam penelitian ini. Data hujan digunakan sebagai masukan komponen time series data manager pada model HEC-HMS sedangkan hidrograf pengukuran digunakan untuk kalibrasi. Spesifikasi hujan yang digunakan memiliki kedalam antara 13.2 sampai 88.6 mm (Tabel 9).

Hidrograf aliran permukaan (hidrograf aliran) diperoleh dari pemisahan hidrograf antara aliran permukaan dan aliran dasar. Parameter hidrograf aliran dari tujuh kejadian hujan tersebut adalah sebagai berikut: waktu puncak 18 sampai 100 jam, debit puncak 11.7 sampai 60.7 m3 det-1 dan volume aliran permukaan 998.1 103 sampai 11 928.7 103 m3.


(51)

Tabel 9. Kejadian hujan dan karakteristik hidrograf pengukuran. No Tanggal Hujan

(mm) AMC

Parameter Hidrograf Tp

(jam)

Qp (m3det-1)

Volume (103 m3) 1. 6 Februari 61.0 II 18.0 48.0 10 099.8

2. 6 maret 67.8 II 25.0 60.7 6 422.5

3. 20 Maret 43.4 III 19.0 36.8 7 346.3

4. 20 Juni 13.2 III 29.0 12.6 1 238.2

5. 18 Juli 37.2 I 26.0 11.7 998.1

6. 22 Juli 88.6 II 100.0 39.9 11 928.7

7. 23 Oktober 35.4 II 28.0 25.2 3 007.4

Hidrograf aliran model (hasil prediksi) yang dihasilkan dari masukan tujuh kejadian hujan dan parameter model HEC-HMS adalah sebagai berikut: waktu puncak sebesar 17 sampai 86 jam, debit puncak 7.2 sampai 60.1 m3 det-1 dan volume aliran permukaan 953.7 103 sampai 11 507.1 103 m3 (Tabel 10).

Tabel 10. Parameter hidrograf hasil model untuk masing- masing kejadian hujan.

No Tanggal

Parameter Hidrograf Tp

(jam)

Qp (m3 det-1)

Volume (103 m3)

1. 6 Februari 2007 19.0 51.3 6 290.6

2. 6 Maret 2007 26.0 56.9 6 010.0

3. 20 Maret 2007 20.0 42.3 6 073.4

4. 20 Juni 2007 29.0 7.2 953.7

5. 18 Juli 2007 28.0 12.1 1 233.2

6. 22 Juli 2007 86.0 43.0 11 507.1

7. 23 Oktober 2007 17.0 25.4 3 053.0

Koefisien efisiensi (E) yang dihasilkan dari kalibrasi antara parameter hidrograf hasil prediksi dengan hidrograf pengukuran untuk waktu puncak, debit puncak dan volume aliran permukaan berturut-turut sebesar 0.93, 0.95 dan 0.84. Menurut kriteria Nash-Sutcliffe, nilai E yang lebih dari 0.7 tergolong sangat tinggi. Tabel 11 menyajikan perbandingan parameter hidrograf hasil prediksi model dengan hasil pengukuran. Perbandingan hidrograf pengukuran dan model tanggal 6 Maret 2007 disajikan pada Lampiran 9.

Koefisien determinasi (R2) untuk waktu puncak, debit puncak dan volume aliran permukaan berturut-turut sebesar 0.97, 0.95 dan 0.91 (Gambar 11), dimana besarnya variabel prediksi model (y) meningkat dengan meningkatnya variabel hasil pengukuran (x). Pada Gambar 11, terlihat pencaran data berada pada sekitar garis diagonal (garis x = y). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa


(52)

nilai-nilai parameter yang digunakan dalam model HEC-HMS cukup akurat untuk memprediksi aliran permukaan di DAS Separi.

Tabel 11. Perbandingan parameter hidrograf aliran permukaan antara model dengan hasil pengukuran.

No Tanggal Hujan

(mm)

Pengukuran Model

Tp (jam)

Qp (m3det-1)

Volume (103 m3)

Tp (jam)

Qp (m3det-1)

Volume (103 m3)

1. 6 Februari 61.0 18.0 48.0 10 099.8 19.0 51.3 6 290.6

2. 6 maret 67.8 25.0 60.7 6 422.5 26.0 56.9 6 010.0

3. 20 Maret 43.4 19.0 36.8 7 346.3 20.0 42.3 6 073.4

4. 20 Juni 13.2 29.0 12.6 1 238.2 29.0 7.2 953.7

5. 18 Juli 37.2 26.0 11.7 998.1 28.0 12.1 1 233.2

6. 22 Juli 88.6 100.0 39.9 11 928.7 86.0 43.0 11 507.1

7. 23 Oktober 35.4 28.0 25.2 3 007.4 17.0 25.4 3 053.0

Secara umum, hidrograf hasil prediksi cocok dengan hidrograf pengukuran, walaupun cenderung memiliki waktu puncak yang lebih cepat pada curah hujan yang berdurasi panjang. Menurut Irianto (2000), adanya penyimpangan terhadap waktu puncak disebabkan karena penyederhanaan DAS, yang menyebabkan adanya perbedaan kemiringan sungai, panjang sungai dan faktor- faktor lain yang mempengaruhi waktu puncak.

Selain itu, volume aliran permukaan hasil prediksi juga cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini diduga disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) distribusi masukan (hujan) tidak merata di DAS Separi dan (2) kurang akuratnya metode bilangan kurva-SCS dalam memperkirakan volume aliran permukaan.

Distribusi hujan yang tidak merata disebabkan karena hujan mengandung variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi. Menurut Made (1987 dalam

Harto, 2000), khusus untuk daerah tropik, hujan memiliki ‘lingkaran pengaruh’ (cicrle of influence) yang sangat sempit, sedangkan pada umunya, analisis hidrologi dilakukan untuk luasan yang cukup besar, sehingga kejadian hujan merata pada DAS yang luas seperti DAS Separi hampir tidak pernah ada. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji berganda (uji berpasangan) curah hujan harian (tahun 2001-2005) antara stasiun Separi dan stasiun Marangkayu yang menghasilkan koefisien korelasi (R2) yang sangat rendah, yaitu sebesar 0.12.


(53)

0 10 20 30 40 50 60 70

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0

Qp Pengukuran (m3/det)

Qp Prediksi (m3/det)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 0

2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

Volume Pengukuran (1000 m3)

Volume Prediksi (1000 m3)

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Parameter Hasil Prediksi dengan Pengukuran pada Masing-Masing Kejadian Hujan : Waktu Puncak (A), Debit

Puncak (B) dan Volume Aliran Permukaan (C). B A 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Tp Pengukuran (jam)

Tp Prediksi (jam)

C

R2 = 0.97

R2 = 0.95

R2 = 0.91 E = 0.93

E = 0.95

E = 0.84 A


(1)

Lampiran 14. Keterangan Peta Sub Kelas Kemampuan Lahan.

Kelas

Kemampuan

Sub

Kelas

Keterangan

Luas

(ha)

I

-

Lahan ini tidak memiliki penghambat yang berarti

1 024

II

IIw

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas II disebabkan

oleh drainasenya agak baik. Oleh sebab itu sub

kelasnya diberi simbol IIw

1 107

IIe

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas II disebabkan

terletak pada lereng landai sehingga mudah tererosi

jika digarap untuk tanaman semusim. Oleh sebab itu

sub kelasnya diberi simbol IIe

923

III

IIIe

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas III karena

terletak pada daerah yang agak miring dan memiliki

kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi. Oleh sebab

itu sub kelasnya diberi simbol IIIe

7 912

IIIw

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas III karena

memiliki drainase agak buruk. Oleh karena itu sub

kelasnya diberi simbol IIIw

1283

IV

IVe

Lahan in i dimasukkan ke dalam kelas IV karena

terletak pada daerah agak miring sampai miring dan

memiliki kepekaan erosi tinggi sampai sangat tinggi.

Oleh sebab itu sub kelasnya diberi simbol IVe

1 900

IVs

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas IV karena

memiliki perakaran yang sangat dangkal. Oleh

karena itu sub kelasnya diberi simbol IVs

2 862

V

Vw

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas V karena

terletak pada daerah datar dan memiliki drainase

yang sangat buruk. Oleh sebab itu sub kelasnya

diberi simbol Vw

3 336

VI

VIe

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas VI karena

terletak pada lereng agak curam dan memiliki

kepekaan erosi tinggi sampai sangat tinggi. Oleh

sebab itu sub kelasnya diberi simbol VIe

1 883

VII

VIIe

Lahan ini dimasukkan ke dalam kelas VII karena

terletak pada lereng yang curam. Oleh sebab itu sub

kelasnya diberi simbol VIIe

1 059


(2)

Lampiran 15. Rekomendasi penggunan dan pengelolaan lahan di DAS Separi berdasarkan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan denga n

kelas kemampuan lahan.

Kelas Kemampuan

Sub

Kelas Luas (ha)

Penggunaan Lahan

Eksisting (Luas) Rekomendasi Pengelolaan Lahan

I - 1 024 Permukiman (10 ha)

Sawah (192 ha) Tegalan (27 ha) Semak belukar (795 ha)

-Sawah ditaman Padi + mulsa jerami 4 ton ha-1

- Tegalan menrapkan pola tanam tu mpang sari dan ditaman sejajar kontur *)

- Semak belukar dikonversi menjadi sawah yang ditaman padi + mulsa jerami 4 ton ha-1

II IIw 1 118 Permukiman (9 ha)

Sawah (18 ha) Tegalan (12 ha) Semak belukar (880 ha) Hutan (199 ha)

- Sawah ditaman Padi + mulsa jerami 4 ton ha-1

- Tegalan diperbaiki sistem drainasenya

- Semak belukar dikonversi menjadi sawah yang ditaman padi + mulsa jerami 4 ton ha-1

- Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

IIe 812 Permukiman (3 ha)

Sawah (9 ha) Tegalan (22 ha) Kebun campuran (2 ha) Semak belukar (769 ha) Tanah terbuka (6 ha)

- Sawah menggunakan teras bangku dan mulsa jerami 4 ton ha-1

- Tegalan dengan pola tanam tumpang sari *) dan ditaman sejajar kontur

- Kebun campuran menerapkan penanaman sejajar kontur

-Semak belukar dan tanah terbuka dikonversi menjadi tegalan dengan pola tumpang sari dan

menerapkan penanaman sejajar kontur, teras gulud + mulsa sisa tanaman.

III IIIe 7 962 Permukiman (1 ha)

Tegalan (36 ha)

Kebun campuran (12 ha) Semak belukar (6 729 ha) Hutan (464 ha)

Tanah terbuka (493 ha)

- Tegalan dengan pola tanam tumpang sari *) dan ditaman sejajar kontur

-Kebun campuran menerapkan penanaman sejajar kontur dan teras gulud

-Semak belukar dan tanah terbuka dikonversi menjadi tegalan dengan pola tumpang sari dan

menerapkan penanaman sejajar kontur dan teras gulud

-Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

IIIw 1283 Semak belukar (1 144 ha)

Hutan (129 ha) Tanah terbuka (10 ha)

- Semak belukar dan tanah terbuka dikonversi menjadi sawah yang ditaman padi + mulsa

jerami 4 ton ha-1

- Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

IV IVe 1 909 Permukiman (7 ha)

Tegalan (23 ha)

Kebun campuran (36 ha) Semak belukar (1 691 ha) Alang-alang (79 ha) Hutan (31 ha) Tanah terbuka (34 ha)

-Semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka dijadikan kebun campuran dengan penerapan

teras bangku dan penanaman sejajar kontur

-Tegalan dengan pola tumpang sari *) dan menerapkan penanaman sejajar kontur dan teras

bangku

-Kebun campuran tetap dijadikan kebun campuran dengan penerapan teras bangku dan


(3)

Lampiran 15. Lanjutan.

Kelas Kemampuan

Sub

Kelas Luas (ha)

Penggunaan Lahan

Eksisting (Luas) Rekomendasi Pengelolaan Lahan

IVs 2 906 Semak belukar (2 774 ha)

Alang-alang (17 ha) Hutan (106 ha) Tanah terbuka (8 ha)

- Semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka dijadikan hutan

- Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

V Vw 3 356 Permukiman (6 ha)

Sawah (15 ha) Tegalan (5 ha)

Kebun campuran (34 ha) Semak belukar (3 176 ha) Alang-alang (19 ha) Hutan (64 ha) Tanah terbuka (38 ha)

-Sawah, tegalan dan kebun campuran diperbaiki sistem drainase lahannya

-Semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka dijadikan hutan

-Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

VI VIe 2 269 Permukiman (3 ha)

Tegalan (49 ha)

Semak belukar (2 014 ha) alang-alang (10 ha) Hutan (55 ha)

Tanah terbuka (138 ha)

-Tegalan dijadikan sistem agroforestri **)

-Semak belukar, tanah terbuka dan alang-alang dijadikan sistem agroforestri ***)

-Hutan tetap dipertahankan sebagai hutan

VII VIIe 712 Kebun campuran (3 ha)

Semak belukar (643 ha) Hutan (22 ha)

Tanah terbuka (43 ha)

- Kebun campuran dijadikan sistem agroforestry ***)

- Semak belukar dan tanah terbuka dijadikan hutan.

Total 23 351

Keterangan:

*

)

: jagung-kedelai

**

)

: sistem pertanaman lorong

***

)

: sistem multi strata


(4)

(5)

Lampiran 17. Hujan, Debit Sungai dan Pemisahan Hidrograf pada Kejadian Hujan

Tanggal 6 Maret 2007 yang Menyebabkan Banjir di DAS Separi.

Tanggal

Jam

Hujan

(mm)

Debit Sungai

(m

3

det

-1

)

Aliran Dasar

(m

3

det

-1

)

Aliran

Permukaan

(m

3

det

-1

)

6/3/2007

15:00

0.0

11.7

11.7

0.00

16:00

0.3

11.6

11.6

0.00

17:00

9.4

11.5

11.5

0.00

18:00

0.2

11.8

11.8

0.00

19:00

2.0

12.0

12.0

0.00

20:00

0.2

11.9

11.9

0.00

21:00

0.0

11.8

11.8

0.00

22:00

0.0

11.6

11.6

0.00

23:00

0.0

11.4

11.4

0.00

7/3/2007

0:00

0.0

11.3

11.3

0.0

1:00

0.0

11.3

11.4

0.0

2:00

0.0

11.5

11.5

0.0

3:00

0.1

11.7

11.7

0.0

4:00

1.5

11.9

11.8

0.1

5:00

13.8

12.7

11.9

0.8

6:00

17.9

15.0

12.0

3.0

7:00

11.2

21.3

12.2

9.1

8:00

0

32.0

12.3

19.7

9:00

43.5

12.4

31.1

10:00

53.0

12.5

40.5

11:00

61.4

12.7

48.8

12:00

68.1

12.8

55.3

13:00

72.2

12.9

59.3

14:00

73.7

13.0

60.7

15:00

73.9

13.2

60.7

16:00

73.7

13.3

60.4

17:00

73.3

13.4

59.8

18:00

72.7

13.6

59.2

19:00

72.2

13.7

58.5

20:00

71.5

13.8

57.7

21:00

71.0

13.9

57.0

22:00

70.2

14.1

56.2

23:00

69.3

14.2

55.1

8/3/2007

0:00

68.2

14.3

53.9

1:00

66.8

14.4

52.3

2:00

64.8

14.6

50.2

3:00

62.8

14.7

48.1

4:00

60.8

14.8

46.0

5:00

58.9

15.0

44.0

6:00

56.8

15.1

41.8


(6)

Lampiran 17. lanjutan.

Tanggal

Jam

Hujan

(mm)

Debit Sungai

(m

3

det

-1

)

Aliran Dasar

(m

3

det

-1

)

Aliran

Permukaan

(m

3

det

-1

)

8/3/2007

8:00

52.9

15.3

37.6

9:00

50.8

15.5

35.3

10:00

49.2

15.6

33.6

11:00

47.4

15.7

31.7

12:00

46.1

15.8

30.2

13:00

44.5

16.0

28.6

14:00

43.1

16.1

27.0

15:00

42.0

16.2

25.7

16:00

40.8

16.4

24.4

17:00

39.3

16.5

22.8

18:00

38.2

16.6

21.6

19:00

37.1

16.7

20.4

20:00

36.2

16.9

19.4

21:00

35.3

17.0

18.3

22:00

34.4

17.1

17.3

23:00

33.5

17.2

16.3

9/3/2007

0:00

32.5

17.4

15.1

1:00

31.5

17.5

14.1

2:00

30.7

17.6

13.1

3:00

29.6

17.7

11.9

4:00

28.8

17.9

10.9

5:00

28.0

18.0

10.0

6:00

27.4

18.1

9.3

7:00

26.9

18.3

8.6

8:00

26.3

18.4

7.9

9:00

25.4

18.5

6.9

10:00

24.9

18.6

6.3

11:00

24.5

18.8

5.7

12:00

24.0

18.9

5.1

13:00

23.5

19.0

4.5

14:00

23.1

19.1

3.9

15:00

22.6

19.3

3.3

16:00

22.1

19.4

2.7

17:00

21.8

19.5

2.3

18:00

21.3

19.7

1.7

19:00

20.9

19.8

0.0

20:00

20.3

19.9

0.4