305
akan memutuskan suatu kebijakan yang menyangkut kehidupan langsung orang banyak, yakni bertindak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dengan melihat
dampak manfaatnya bagi kehidupan masyarakat umum. Dengan demikian hukum sebagai sarana pemperoleh keadilan dapat terwujud.
B. Sumber Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Menurut Peter Mahmud Marzuki sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus
perkara.
365
Sedangkan Cf. John Chipman Gray yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki,
366
365
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 301.
366
Ibid.
membedakan antara hukum dan sumber-sumber hukum yang olehnya diartikan sebagai bahan-bahan hukum dan non hukum tertentu yang digunakan
oleh Hakim karena tidak tersedianya aturan, sehingga putusan itu menjadi hukum. Istilah sumber hukum juga mengandung banyak pengertian. Istilah tersebut
dapat dilihat dari perspektif historis, sosiologis, filosofis dan ilmu hukum. Selain itu, masing-masing disiplin juga mengartikan dari perspektifnya terhadap hukum.
Sejarawan, sosiolog, filosuf dan yuris, melihat hukum dari masing-masing sudut pandangnya. Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala
sosial, sehingga harus didekati secara ilmiah. Sedangkan filosuf dan yuris, malahan sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem
nilai.
Universitas Sumatera Utara
306
Sehubungan dengan itu, sejarawan hukum menggunakan istilah sumber hukum dalam dua arti, yaitu dalam arti sumber tempat orang-orang untuk
mengetahui hukum dan sumber bagi pembentuk undang-undang menggali bahan- bahan dalam penyusunan undang-undang. Sumber dalam arti tempat orang-orang
mengetahui hukum adalah semua sumber tertulis dan sumber lainnya yang dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi orang-orang tertentu.
Tempat-tempat dapat diketemukannya sumber-sumber hukum berupa undang- undang, putusan-putusan pengadilan, akta-akta dan bahan-bahan non hukum, seperti
inskripsi dan literatur. Seorang hakim atau Arbiter dapat merujuk kepada bahan- bahan hukum dan non hukum tersebut dalam mencapai suatu putusan atas perkara
yang ditanganinya. Sedangkan sumber hukum bagi pembentuk undang-undang adalah untuk mengggali bahan-bahan dalam penyusunan undang-undang-undang
yang berhubungan dengan rancangan undang-undang. Dari perspektif sosiologis, sumber hukum berarti faktor-faktor yang benar-
benar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Berbagai faktor tersebut adalah fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang menjadi tuntutan sosial untuk menciptakan
hukum. Dipandang dari segi sosiologi, hukum tidak lebih dari pencerminan realita sosial. Oleh karena itulah, hukum dikondisikan oleh faktor-faktor politik, ekonomi,
budaya, agama, geografis dan sosial. Menurut penganut sosiologi hukum, baik legislator maupun hakim harus
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam mengundangkan undang-undang dan memutus perkara. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, sosiolog
Universitas Sumatera Utara
307
hukum memandang bahwa hukum tidak lebih daripada kehendak penguasa. Berbagai faktor yang dikemukakan oleh sosiolog tersebut dalam Disertasi ini
dikemas menjadi faktor-faktor yang harus dirujuk sebagai praktik-praktik yang telah diterima sebagai hukum. Oleh karena itu, Hakim dapat merujuk kepada faktor-
faktor tersebut dalam memutus perkara. Apabila terjadi konflik antara praktik- praktik dengan hukum tertulis, maka menurut penulis yang harus digunakan sebagai
landasannya adalah yang sesuai dengan prinsip hukum yaitu yang sesuai dengan aspek fisik dan aspek eksistensial manusia.
Dari perspektif filosofis, istilah sumber hukum juga mempunyai dua pengertian, yaitu:
367
367
Ibid.. hal. 303-304.
arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian ini, sumber hukum menetapkan kriterium untuk
menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness. Dengan demikian, hukum dikondisikan oleh faktor-faktor politik, ekonomi, budaya
dan sosial. Begitu faktor-faktor tersebut berubah, maka hukumpun harus berubah pula. Akan tetapi sudut pandang ini berbeda dengan sudut pandang sosiologis
tentang sesuatu hal. Mengingat dari sudut pandang filosofis hukum dipandang sebagai aturan tingkah laku, maka sudut pandang tersebut akan menganalisis lebih
dalam mengenai esensi hukum, yaitu nilai yang diemban oleh hukum tersebut. Merupakan suatu titik berat pandang filosofis, bahwa hukum harus mengusung
nilai-nilai keadilan dan fairness dengan merujuk kepada faktor-faktor politik,
Universitas Sumatera Utara
308
ekonomi, budaya dan sosial. Terhadap hal tersebut, juga perlu dirujuk aspek fisik danaspek eksistensial manusia.
Selain itu, secara umum sumber hukum terdiri dari atau dibedakan menjadi sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Sumber hukum merupakan
sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil.
368
Pemikiran di atas, hampir identik dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat 1, 2 Ketetapan MPR-RI Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menentukan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan di
Sarjana lain menyebutkan sumber hukum materil yaitu perasaan hukum atau keyakinan hukum individu dan pendapat
umum yang menentukan isi hukum, sedangkan sumber hukum formil yaitu gejala hukum yang membentuk hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri
dari Undang-undang, kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum
yang dikenal dengan doktrin.
368
Salmond mendefinisikan sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber berasalnya kekuatan mengikat dan validitas. Sedangkan sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber
berasalnya substansi hukum. Sama halnya antara Salmond dengan Bodenheimer mengartikan sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber-sumber yang tersedia dalam formulasi-
formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen resmi. Oleh karena itu, Baik Salmond maupun Bodenheimer merujuk kepada hukum yang dibuat oleh negara sebagai sumber-sumber
hukum dalam arti formal dan hukum yang tidak dibuat oleh organ-organ negara merupakan sumber-sumber hukum dalam arti materiil. Sumber-sumber hukum dalam arti formal berupa
undang-undang dan sumber-sumber hukum dalam arti materiil berupa kebiasaan, perjanjian dan lain-lain. Mengenai substansi yang diterima oleh masyarakat sebagai aturan hukum, pandangan
Anglo-American menyebutnya sebagai sumber hukum dalam arti materiil atau nonformal. Bandingkan dengan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 23-25.
Universitas Sumatera Utara
309
mana disebutkan sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
Dilihat dari peristilahan, mengenai istilah sumber hukum, ada bermacam- macam pendapat, sebagaimana disebutkan di atas, sumber hukum dapat dibedakan
menjadi sumber hukum formil dan sumber materil.
369
Bagi ahli ekonomi, yang menjadi sumber hukum adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi, kaum agama beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hukum
adalah kitab-kitab suci dan sunnah, selebihnya masih banyak anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat tentang sumber hukum ini. Adapun kalangan orang-orang
filsafat berpendapat lain, bicara mengenai sumber hukum mereka lebih mengetengahkan tentang keadilannya, seperti dikatakan oleh Bodenheimer,
Sumber hukum formil adalah bentuk hukum yang menyebabkan hukum itu berlaku menjadi hukum positif dan
diberi sanksi oleh pemerintah, misalnya Undang-undang, hukum adat, traktat, yurisprudensi dan doktrin, sedangkan sumber hukum materil adalah sumber hukum
yang menentukan isi kaidah hukum. Ahli sejarah beranggapan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang dan dokumen-dokumen yang bernilai
undang-undang, sedangkan ahli sosiolosi dan ahli antropologi budaya beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya.
370
369
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem civil law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Oleh karena itu, dalam
rangka menemukan keadilan, maka para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun quasi judicial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber tersebut yang menjadi
rujukan pertama dalam tradisi sistem civil law adalah peraturan perundang-undangan. Ibid.
370
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni,1986, hal. 273-286.
bahwa yang dipermasalahkan adalah ukuran apa yang dipakai untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
310
suatu hukum itu adil, dan dapatkah kita membuat semacam grundnorm atau ursprungsnorm yang menjadi dasar ethis bagi berlakunya sistem hukum formal.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan, bahwa sumber hukum adalah
masyarakat. Inipun masih belum selesai, sebab sumber sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil, dalam mengatur hidup tersebut harus
mengalirkan aturan-aturan hidup atau kaidah-kaidah hidup yang adil dan sesuai dengan perasaan atau kesadaran masyarakat, yang dapat menciptakan suasana damai
dan teratur karena kepentingan mereka diperhatikan. Aliran hukum positif menganggap bahwa undang-undang lah satu-satunya sumber hukum, karena hukum
disamakan dengan undang-undang, jadi yang ada hanya sumber hukum formal saja. Menurut Penulis pendapat ini tidak tepat, sebab, hukum yang dirasakan adil dan
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tidak semuanya atau belum semuanya berasal dari undang-undang yang telah ada.
371
371
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat berlaku umum itulah yang membedakan antara peraturan
perundang-undangan dan penetapan. Penetapan beschikkingdecree berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain. Sebagai contoh penetapan Grasi oleh Presiden dan lain-
lain.
Bahkan sering dijumpai undang- undang yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, oleh karena itu, di
samping hukum yang berwujud undang-undang, masih diperlukan sumber hukum, bahkan sumber dari segala sumber hukum yang dipergunakan sebagai ukuran atau
batu ujian terhadap hukum yang berlaku, agar hukum yang berlaku benar-benar sesuai dengan rasa keadilan yang menciptakan suasana damai dan hidup tertib
dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
311
Begitu pula halnya dengan sumber hukum pidana Indonesia, apabila dijabarkan lebih rinci, sumber hukum pidana Indonesia dapat terdiri atas hukum
pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Sumber hukum pidana tertulis bertitik tolak pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Konsekuensi
logis dari sumber hukum pidana ini, mengandung arti bahwa secara formal hukum pidana adat tidak diperlakukan, akan tetapi secara materil tetap diterapkan dan
berlaku dalam praktik peradilan, terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana.
372
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik dari sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat
merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Kemudian
sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat, adalah semua peraturan dalam bentuk- bentuk kebiasaan yang di dalamnya diatur larangan-larangan yang tidak boleh
dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban Cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri
dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum
yang hidup dalam masyarakat”, atau yang dikenal dengan istilah “living law”, yaitu “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak
tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
372
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
312
yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.
373
Mengapa aparat penegak hukum dalam menegakan hukum tidak mau menggunakan hukum yang hidup dalam masyarakat, padahal peraturan perundang-
undangan memperbolehkannya? Inilah yang merupakan masalah atau persoalan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Walaupun pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, sudah sejak lama ada di dalam
peraturan perundang-undangan, tetapi kenyataannya aparat penegak hukum terutama Polisi, Jaksa dan Hakim enggan memproses seseorang yang menurut
hukum yang hidup patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak hukum, hanya bepegang kepada peraturan perundang-undangan hukum tertulis saja. Khusus
mengenai ketentuan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan
terakhir dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan tersebut, di samping memberi
kebebasan kepada hakim untuk mempidana suatu perbuatan berdasarkan hukum yang hidup, juga memberi kebebasan kepada hakim untuk tidak mempidana suatu
perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dipidana, tetapi menurut hukum yang hidup tidak perlu dipidana.
373
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: PT Eresco, 1993, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
313
tentang nilai. Di sini aparat penegak hukum kurang memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan sekaligus tidak memahami makna sebenarnya dari asas legalitas.
374
Dengan demikian sah tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur dengan ada tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, melainkan juga
harus ada perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam perbuatan itu. Disini nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar legalisasi perbuatan, jika faktor nilai
dianggap sebagai sumber dari segala aktivitas dalam penegakan hukum pidana, Sehingga dengan demikian, aparat penegak hukum tidak lebih dari sekedar mulut
atau kaki tangan undang-undang, bahkan lebih parah lagi merupakan mulut atau kaki tangan penguasa.
Konsepsi negara hukum atau rule of law beserta sendi-sendinya sebagaimana tersebut diatas, membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan
sendi-sendi tersebut dalam berbagai hukum, baik hukum pidana formal maupun hukum materil. Penceminan sendi-sendi tersebut di bidang hukum pidana, akan
menimbulkan penciptaan asas-asass yang merupakan dasar hukum pidana yang bersangkutan. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu
dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Bertolak dari pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam
kerangka negara hukum, asas legilalitas harus dipahami sebagai sarana pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
374
Refleksi asas legalitas dalam bentuk lain tersurat dan tersirat pada asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dan larangan penderitaan ganda prohibition of double
jeopardyne bis in idem. Lihat Muladi, Op. Cit., hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
314
maka pemahaman yang sama aparat penegak hukum terhadap makna asas legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan hukum pidana yang berkeadilan.
Keharusan adanya dasar hukum bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam negara hukum termasuk
pelaksanaan politik hukum pidana, merupakan konsekuensi logis dari penempatan asas legalitas sebagai salah satu sendi negara hukum, dalam rangka mewujudkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, dalam kenyataan sebagai sendi utama sekaligus sebagai tujuan negara hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan
pengakuan dan perlindungan hak asasi dalam kenyataan, asas legalitas dalam kerangka negara hukum mengandung tiga makna. Pertama; Supremasi hukum,
artinya setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam negara hukum, haruslah berdasarkan hukum dan memperoleh legalisasi
hukum. Kedua; hukum yang dipergunakan sebagai dasar bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hanyalah hukum yang
mengandung motivasi dan memberi ruang gerak bagi terwujudnya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga; menolak keberadaan hukum yang
bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, artinya, asas legalitas melarang masyarakat dan pemerintah menggunakan hukum, yang
bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan hak asasi sebagai dasar hukum bagi setiap langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
C. Penerapan Hukum Tidak Tertulis Oleh JaksaPenuntut Umum Dalam Proses Peradilan