Penerapan Hukum Tidak Tertulis Oleh JaksaPenuntut Umum Dalam Proses Peradilan

314 maka pemahaman yang sama aparat penegak hukum terhadap makna asas legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan hukum pidana yang berkeadilan. Keharusan adanya dasar hukum bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam negara hukum termasuk pelaksanaan politik hukum pidana, merupakan konsekuensi logis dari penempatan asas legalitas sebagai salah satu sendi negara hukum, dalam rangka mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, dalam kenyataan sebagai sendi utama sekaligus sebagai tujuan negara hukum. Sebagai sarana untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak asasi dalam kenyataan, asas legalitas dalam kerangka negara hukum mengandung tiga makna. Pertama; Supremasi hukum, artinya setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam negara hukum, haruslah berdasarkan hukum dan memperoleh legalisasi hukum. Kedua; hukum yang dipergunakan sebagai dasar bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hanyalah hukum yang mengandung motivasi dan memberi ruang gerak bagi terwujudnya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga; menolak keberadaan hukum yang bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, artinya, asas legalitas melarang masyarakat dan pemerintah menggunakan hukum, yang bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan hak asasi sebagai dasar hukum bagi setiap langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

C. Penerapan Hukum Tidak Tertulis Oleh JaksaPenuntut Umum Dalam Proses Peradilan

Universitas Sumatera Utara 315 Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum, mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan. Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa: ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya”. Sehubungan dengan itu, berdasarkan konsideran Menimbang pada huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut, juga telah menentukan secara limitatif, bahwa: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional. Menurut Soerjono Soekanto, hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 375 375 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983, hal. 5. Oleh karena itu, keberadaan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum mempunyai kedudukan yang sentral dan peranan yang sangat strategis di Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, karena kejaksaan menjadi filter antara proses Universitas Sumatera Utara 316 penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga dengan demikian keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum. Pada waktu Het Herziene Inlandsch Reglement HIR masih berlaku sebagai Hukum Acara Pidana di Indonesia, maka penyidikan dianggap bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian menjadikan Penuntut Umum Jaksa sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan. 376 Akan tetapi, setelah digantinya HIR dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, maka kewenangan kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 HIR hampir seluruhnya dicabut, bahkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, maka kewenangan di bidang penuntutan bukan lagi kewenangan penuh kejaksaan. 377 Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum 376 Marwan Efendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 145. 377 Dengan diberlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP tersebut, maka telah terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan penting melalui KUHAP tersebut mengakibatkan kewenangan penyidikan menjadi berubah, yakni: 1. Kepolisian: a. Di bidang penyidikan, kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum; b. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan; c.Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS. Sedangkan kewenangan Kejaksaan: a. Di bidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi, walaupun sifatnya sementara; b. Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang. Universitas Sumatera Utara 317 dan keadilan, peran kejaksaan sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis. Oleh karena itu, setiap JaksaPenuntut Umum dalam melaksanakan perannya tersebut harus senantiasa mengingat sumpahnya sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 10 ayat 2 aleniabagian kedua dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang menyatakan: “Saya bersumpahberjanji bahwa: Saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan Saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban Saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan Negara”. Sehingga dengan demikian, sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, maka peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum, dalam sistem peradilan pidana terdapat empat sub-sistem yakni, Kepolisian; Kejaksaan; Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki kewenangan di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan Universitas Sumatera Utara 318 oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, peran Kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum harus dapat menjunjung tinggi asas dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Criminal Jastice System adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini dapat berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil, apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. 378 Selanjutnya sistem peradilan pidana dapat dijelaskan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. 379 a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; Dengan demikian, maka cakupan sistem peradilan pidana adalah sebagai berikut: b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas, karena keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. 378 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan. Jakarta: UI-Press, 2007, hal. 84. 379 Ibid. Universitas Sumatera Utara 319 Komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi-instansi yang dikenal dengan: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. 380 Sehubungan dengan itu Mardjono Reksodiputro menjelaskan, bahwa desain prosedur procedural design sistem peradilan pidana dapat dibagi tiga, yaitu: Masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut sering dipengaruhi oleh tujuan-tujuan sendiri dan melupakan adanya tujuan bersama dari keseluruhan sistem yang telah digariskan dalam kebijakan criminal criminal policy pemerintah. 381 a. Tahap pra adjudikasi pre-adjudication; b. Tahap adjudikasi adjudication; dan c. Tahap pasca adjudikasi post adjudication. Ketiga urutan tersebut memang menunjukan desain prosedur, akan tetapi belum jelas tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Jika dilihat kembali catatan-catatan diskusi yang alot pada waktu penyusunan KUHAP 1981, maka sudah terasa adanya gesekan dan benturan antara kewenangan penyelidikan investigationpolice powers dengan kewenangan pendakwaan penuntutan prosecutorialpublic prosecutor powers. 382 380 Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: UI-Press, 2007, hal. 140. 381 Ibid. 382 Ibid., hal. 145. Oleh karena itu, apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada beberapa kerugian yang akan ditimbulkan di antaranya adalah: Universitas Sumatera Utara 320 a. Kesulitan dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; b. Kesulitan dalam menyelesaikan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana Indonesia; dan c. Tanggung jawab masing-masing instansi menjadi kurang jelas, karena setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Sebaliknya, apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tersebut dapat dilakukan, maka dengan demikian, juga akan dapat mewujudkan Inti Dari Tujuan Pemidanaan, yakni: Sosial Welfare perlindungan individusosial dan Sosial Defence perlindungan masyarakat. Secara sosial welfare inti tujuan pemidanaan antara lain adalah untuk: pencegahan kejahatan, pengayoman masyarakat, pemulihan keseimbangan masyarakat melalui: penyelesaian konflik conflict opplossing serta mendatangkan rasa damai vrede-making. 383 Selain itu, asas keadilan sendiri mempunyai pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan ruang lingkupnya, namun secara umum, asas keadilan menitik Sedangkan secara sosial defence inti tujuan pemidanaan antara lain adalah untuk: memasyarakatkan terpidana resosialisasirehabilitasi, membebaskan rasa bersalah, serta yang sangat penting adalah pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia perlindungan terhadap sanksi yang sewenang-wenangbersifat pembalasan. 383 Barda Nawawi Arief, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 321 beratkan pada proporsi atau perimbangan. 384 Pengkajian secara obyektif-ilmiah terhadap persoalan identitas hukum nasional, meliputi berbagai hal yang dipandang dapat memberikan jalan ke arah penemuan identitas hukum nasional, yang meliputi kawasan filsafat, kebudayaan, sosial, politik kebijakan dan kehidupan, di mana masing-masing perlu dicermati. Aspek keadilan yang sangat dititikberatkan dalam berbagai aspek, pada undang-undang negara Indonesia secara tidak langsung, juga mengisyaratkan bahwa perlu adanya suatu penegakan hukum yang sesuai dengan nilai keadilan. Proses menuju penegakan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia memang tidaklah mudah, sebab tantangan terbesar dalam penegakan hukum adalah menciptakan nilai keadilan, kejujuran dan rasa memiliki bangsa. Nilai keadilan adalah nilai universal. Dalam upaya memberantas ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, nilai-nilai yang perlu menjadi perhatian lebih adalah nilai keadilan, kejujuran dan rasa memiliki bangsa. Nilai-nilai tersebut harus mulai diajarkan dan diterapkan sejak dini bagi para generasi muda, namun hal tersebut merupakan suatu upaya perubahan jangka panjang dan terkesan normatif. Untuk perubahan dan terobosan yang dapat dilaksanakan dalam waktu dekat adalah perubahan berbagai peraturan dan ketentuan yang sudah usang. Permasalahan kepastian hukum dan keadilan memang menjadi masalah pelik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. 384 The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Liberty, 1979, hal. 25. Universitas Sumatera Utara 322 Menyangkut persoalan identitas hukum nasional, ada tiga cakupan pokok masalah yang merupakan suatu kenyataan yang perlu dipahami, yaitu: 385 1. Substansi Hukum Nasional, yang meliputi nilai-nilai dasar hukum asional yang bersumber pada Pembukaan UUD 1945. Dimana hukum berwatak mengayomi dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, berdasarkan persatuan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum harus mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bukan semata-mata tujuan, tetapi merupakan pegangan konkrit dalam membuat ketentuan hukum. Artinya hukum berasal dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan, di samping itu hukum berdasarkan nilai Ketuhanan yang memberikan dasar pengakuan terhadap adanya hukum Tuhan, selain itu juga memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai moral dan budi pekerti yang luhur. 2. Nilai-nilai dasar hukum nasional harus dikembalikan pada sila-sila Pancasila, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, kerakyatan dan keadilan. 3. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakan nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, sudah semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum itu tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain. Hukum merupakan bagian penting dari kebudayaan, dalam kaitannya dengan hukum nasional, hukum adat yang merupakan unsur kebudayaaan, memperkaya huku m nasional. 386 385 Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional., Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, hal. 286-296. 386 Hukum adat yang tradisional menunjukan adanya nilai-nilai yang universal seperti asas gotong royong, fungsi sosial manusia, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, R. Soepomo ingin mengangkat nilai-nilai hukum adat masyarakat-masyarakat lokal tersebut menjadi hukum nasional, kalaupun tidak dalam hal kaidah-kaidahnya dapatlah kiranya dalam wujud asas-asasnya untuk kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam hukum modern. Lihat R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1966, hal. 12-21. Kebudayaan berfungsi sebagai pengintegrasi bahan-bahan, Universitas Sumatera Utara 323 guna pembentukan hukum nasional, sehingga diperlukan adanya selektivitas, terhadap gejala-gejala yang berkadar untuk mencegah aspek-aspek negatif dari percepatan pertemuan antar kebudayaan. Kebudayaan dipandang sebagai motor penggerak, karena berisi nilai-nilai dan pranata-pranata kemasyarakatan. Selanjutnya, strategi pengembangan kebudayaan harus sesuai dengan perkembangan hukum yang berorientasi ke masa depan. Di samping itu hukum juga merupakan sub sistem dari suatu sistem sosial, yang mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat. Substansi, tujuan dan bentuk hukum nasional tidak dapat dipandang terlepas dari pengaruh dan ikatannya, dengan subsistem-subsistem lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan hakekat inti hukum, keadilan mutlak ditempatkan sebagai hakikat sosial hukum nasional. Perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang diakibatkan oleh globalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan hukum yang seharusnya sebagai kaidah yang mendahului dinamika masyarakat, tidak dapat memainkan perannya sebagai rekayasa sosial yang memberi dasar dan sekaligus arah, perkembangan agar tetap sesuai dengan wawasan dan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia. Upaya-upaya kreatif perlu dilakukan baik dalam pelaksanaan pembentukan dan pembaharuan hukum maupun dalam penegakan hukum, serta peningkatkan profesionalisme aparatur penegak hukum. Penciptaan budaya masyarakat yang mendukung sistem nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 Universitas Sumatera Utara 324 mempunyai arti penting, sebab berfungsinya suatu sistem hukum, selain ditentukan oleh struktur dan aparatur, ditentukan pula oleh kultur masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran dalam arti luas, baik menyangkut keadilan hukum maupun keadilan sosial, serta menghargai dan menghormati hak-hak asasi manusia, prinsip persamaan di depan hukum, disiplin, hormat dan taat hukum. Nilai-nilai yang kondusif untuk terciptanya budaya masyarakat yang mendukung hukum nasional perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan. Sosialisasi nilai-nilai tersebut bermakna penyebarluasan nilai-nilai secara persuasif dan edukatif ke tengah-tengah masyarakat, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi dari cara hidupnya. Nilai-nilai yang telah memasyarakat dan dihayati serta diamalkan oleh setiap warganya, dilembagakan sebagai bagian dari keseluruhan lembaga yang ada, namun harus diingat, diperlukan kearifan dalam mengembangkan nilai-nilai tersebut guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Cita-cita hukum dan asas-asas hukum merupakan bagian penting budaya hukum karena menyangkut ide, pemikiran, gagasan bahkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang akan mempengaruhi komponen-komponen sistem hukum lainnya, baik struktur maupun substansi hukumnya, yang juga mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Masa depan bersama tergantung pada terjadinya tranformasi dalam pranata- pranata, teknologi, nilai dan prilaku kita sesuai dengan realitas ekologi dan sosial, Universitas Sumatera Utara 325 sehingga tranformasi ini harus menangani tiga kebutuhan pokok masyarakat global, yaitu: 387 1 Keadilan, yang menuntut semua orang memiliki sarana dan kesempatan untuk menghasilkan nafkah minimal yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Keadilan menolak hak satu orang untuk memperkaya diri melebihi kepemilikan sumberdaya yang juga merupakan sumber kehidupan orang lain. 2 Berkelanjutan, yang memberi makna agar tiap generasi mengetahui kewajibannya untuk memelihara sumber daya bumi dan eko-sistemnya untuk generasi berikutnya. 3 Ketercakupan, artinya setiap orang yang memilih menjadi anggota produktif suatu masyarakat dan mau ikut menyumbang, mempunyai hak dan kesempatan untuk berbuat dan mendapat penghargaan untuk sumbangsihnya. Dalam berbagai aspek kehidupan, cita hukum dan asas-asas huku m nasional, diharapkan mampu memberi arah pada proses tranformasi masyarakat yang berkelanjutan mencakup semua orang dan seluruh masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Semakin mendekatnya harapan dengan kenyataan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada hukum yang pada gilirannya akan memperkokoh wibawa hukum. Kendala yang dihadapi dalam mendekatkan antara cita-cita dengan kenyataan, antara lain disebabkan belum adanya persamaan persepsi apalagi pada tahap penuangan citi hukum dan asas-asas hukum untuk kondisi konkrit, masih adanya dualisme hukum sebagai peninggalan zaman kolonial dan bervariasinya tingkat kepatuhan hukum masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan budaya hukum. 387 A.A. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertahanan, Jakarta: Sinar Harapan, 1996, hal.104. Universitas Sumatera Utara 326 Pada sisi lain, kemauan politik bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembaharuan dan pembangunan hukum perlu diwujudkan ke dalam tindakan nyata pada program-program konkrit guna meningkatkan pembangunan seluruh komponen sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan dukungan sarana dan dana yang memadai. 388 Sehubungan dengan wewenang penuntutan oleh jaksa dalam fungsinya sebagai penuntut umum sebagaimana diuraikan di atas, dalam hukum acara pidana di Indonesia, dikenal dua asas penuntutan, yaitu: Asas legalitas, yang mewajibkan penuntut umum menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan, bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum. Kemudian Asas oportunitas, yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum. Tugas untuk mendekatkan cita hukum dan asas-asas hukum nasional dengan realita merupakan pekarjaan yang berat yang harus ditangani secara konsepsional, terarah dan terenca serta bersama. 389 Melihat tugas dan wewenang yang diberikan tersebut, dalam peradilan pidana, eksistensi jaksa dalam upaya penegakan hukum di Indonesia sebagimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, jaksa mempunyai posisi yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Hal tersebut karena secara normatif 388 Sekurang-kurangnya ada 6 enam tuntutan reformasi lebih kurang 15 tahun yang lalu, yakni: 1 Amandemen UUD 1945, 2 Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI, 3 Penegakan hukum, HAM dan pemberantasan KKN, 4 Otonomi Daerah, 5 Kebebasan Pers, dan 6 Mewujudkan kehidupan demokrasi. 389 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 29 Universitas Sumatera Utara 327 lembaga ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni untuk mengemban tugas terutama di bidang penuntutan. Tugas jaksa ini bukan hanya bersifat formalitas dalam sistem peradilan pidana, melainkan secara faktual juga diharapkan oleh masyarakat benar-benar dapat berperan aktif dalam mewujudkan rasa keadilan maupun kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dengan demikian masyarakat dapat memperoleh manfaat dari suatu proses peradilan yang bangun. Lembaga kejaksaan sebagai lembaga yang mewadahi tugas-tugas jaksa penuntut umum, merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Akan tetapi, dalam tata susunan kekuasaan badan- badan penegak hukum, secara eksplisit dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia tidak diatur secara tegas, baik dalam UUD 1945 sebelum perubahan maupun sesudah adanya perubahan. Pengaturan keberadaan Kejaksaan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, secara implisit termuat dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu ”Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Sedangkan dalam UUD 1945 sesudah perubahan juga termuat secara implisit, yaitu dalam Pasal 24 ayat 3 yang menyatakan, bahwa ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang”. Selain itu secara implisit juga termuat dalam Pasal II Aturan Peralihan, bahwa ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang- Universitas Sumatera Utara 328 undang Dasar dan belum diadakannya yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memberikan perubahan mendasar bagi lembaga kejaksaan ini. Perubahan mendasar tersebut dapat terlihat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan, ”Bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun”. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penegak hukum berada di lingkungan kekuasaan pemerintah. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berfungsi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan di samping melaksanakan fungsi kekuasaan lainnya yang diberikan oleh undang- undang. Fungsi kejaksaan tersebut dalam kepidanaan mencakup aspek preventif maupun aspek represif, sedangkan dalam keperdataan dan tata usaha negara, kejaksaan berfungsi sebagai Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan dalam aspek preventif, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 30 ayat 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, Universitas Sumatera Utara 329 pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal. Dalam aspek represif, sebagaimana terlihat dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan berfungsi melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS. Melalui fungsi seperti itu, dalam proses peradilan pidana, eksistensi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum. Hal itu karena lembaga kejaksaan mengemban tugas dan tanggung jawab dalam proses penyaringan antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan. Dalam posisi yang strategis ini, jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang- undang, harus mampu mengemban tugas dalam rangka penegakan hukum. Mengkaji kedudukan dan fungsi JaksaPenuntut Umum sebagaimana tersebut di atas dalam kerangka penegakan hukum, penting kiranya mengkaitkannya dengan cita hukum rechtsidee yang dianut dalam masyarakat, Universitas Sumatera Utara 330 karena pada hakikatnya eksistensi jaksa dalam proses penegakan hukum juga untuk mencapai cita hukum. Hal tersebut seperti dikatakan oleh Marwan Effendy, bahwa: Kedudukan dan fungsi kejaksaan dalam proses penegakan hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan menjadi suatu badan yang berorientasi pada pencapaian tujuan hukum bagi pencari keadilan, baik itu masyarakat maupun pemerintah sendiri, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat hukum 390 Dalam penerapannya, hukum pidana memerlukan peradilan, jika hukum yang hidup dalam masyarakat ini diajukan ke pengadilan akan ditemui suatu hambatan bagi jaksa penuntut umum untuk merumuskan delik dalam surat dakwaan. Unsur- unsur kejahatan yang terdapat pada hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak begitu rinci seperti halnya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan. Lagi pula, tanpa memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat perkara di . Hukum yang hidup dalam masyarakat tidak selalu bisa dinormakan secara limitatif, karena selalu atau senantiasa berkembang secara dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang dilarang atau tidaknya suatu perbuatan. Seperti disebutkan di muka, hukum yang hidup dalam masyarakat pada dasarnya bukanlah hukum yang tertulis. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, pengakuan secara formal hukum yang hidup dalam masyarakat akan menambah keruwetan sistem hukum negara yang pada dasarnya menginginkan adanya keseragaman. 390 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 153. Universitas Sumatera Utara 331 pengadilan sudah menumpuk, sehingga dapat menghambat prinsip peradilan cepat dan biaya murah. Penyelesaian perkara oleh masyarakat adat sendiri, jauh lebih murah ketimbang diselesaikan oleh pengadilan. Persoalan krusial lain di antaranya adalah mengenai proses dan cara memeriksa perkara, jika pelaku pelanggaran merupakan orang yang bukan kelompok persekutuan masyarakat adat bersangkutan. Akibatnya, dibutuhkan hakim yang mengerti dengan baik karakteristik hukum adat yang akan dijadikan dasar putusannya. Selain itu, persoalan nebis in idem yang oleh hukum pidana pelakunya telah dibebaskan. Sementara hukum adat menganggap tetap menyatakan hal tersebut adalah pelanggaran. Tentu saja akan terjadi proses peradilan yang berulang-ulang, dan proses seperti ini merupakan pelangaran terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, seperti persoalan tentang asas legalitas untuk mewujudkan adanya kepastian hukum dalam proses penuntutan dan penjatuhan hukuman, persoalan nebis in idem untuk mencegah terjadinya pemeriksaan persidangan dan penghukuman ganda, serta masalah tentang minimnya kriteria atau ukuran keadilan, menjadi faktor penyebab enggannya atau ketidakmauan jaksa menerapkan hukum tidak tertulis dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sehingga dalam praktek seringkali ditemukan fakta, bahwa penegakan hukum tidak berjalan secara profesional dan proporsional. Banyak kasus besar yang dibiarkan menggantung dan tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan. Di sisi Universitas Sumatera Utara 332 lain, ada pula kasus kecil yang dengan mudahnya dilanjutkan ke persidangan tanpa memikirkan aspek lain, seperti kemanfaatannya, dan lebih mengedepankan kebenaran formil, mengukuhkan prosedural sebagai alasan yang tidak dapat ditawar, sehingga perkara tersebut harus dilanjutkan ke persidangan. Negara Indonesia secara tegas telah dinyatakan sebagai negara hukum yang prismatis, yaitu menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dengan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan bukan hanya the rule of law. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen ketiga, telah menentukan secara tegas dan limitatif, bahwa: Indonesia adalah “Negara Hukum” titik, tanpa ada kata rechtstaat yang diletakkan di dalam kurung. Hal itu harus diartikan bahwa Negara hukum Indonesia menerima asas rasa keadilan, yang titik beratnya pada rechtstaat, sekaligus menerima asas rasa keadilan, yang titik beratnya pada rule of law. Pengertian demikian yang dipertegas pula di dalam Pasal 28H UUD 1945, yang juga menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan. Sehubungan dengan itu, Pasal 24 UUD 1945 juga menekankan bahwa Kekuasaan Kehakiman harus menegakkan Hukum dan Keadilan, sedangkan Pasal 28D menekankan pentingnya kepastian hukum yang adil. 391 Sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman tersusun dari 3 tiga sub sistem berupa, struktur hukum, substansi dan kultur hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi Oleh karena itu, mengkaji tentang negara hukum tentunya tidak terlepas dari hukum dan penegakan hukum serta sistem hukum. 391 Moh. Mahfud MD, dalam kata pengantar buku KPHA Tjandra Sridjaja Prajonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 24 Juni 2010, hal. ix. Universitas Sumatera Utara 333 hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilam dengan para Hakimnya. Substansi, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan Pengadilan. Kultur huku m, yaitu opini-opini, kepercayaan- kepercayaan keyakinan- keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. 392 Hukum dan penegak hukum, menurut Soerjono Soekanto 393 Para penganut paradigma hukum positif menyatakan, bahwa tujuan hukum adalah kepastian hukum. Aliran ini menganggap ketertiban atau keteraturan tidak merupakan 2dua faktor dari 5lima faktor yang saling berkaitan, yang tidak bisa diabaikan dalam mewujudkan penegakan hukum yang diharapkan. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka Kejaksaan sebagai salah satu institusi Penegak hukum mempunyai kedudukan yang esensial, yang memiliki peranan yang strategis di dalam suatu Negara hukum karena institusi Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, harus mampu mengemban tugas penegakan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dikemukan bahwa tujuan utama hukum adalah mewujudkan ketertiban. Tujuan itu sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur ketertiban merupakan syarat mendasar yang sangat dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Ketertiban benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat yang nyata dan obyektif, 392 Lawrence M. Friedman, 1975:11-16, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan Teori Peradilam Judicial Prudence, Vol. 1. Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 2004. 393 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 8. Universitas Sumatera Utara 334 mungkin terwujud tanpa pola-pola perilaku yang pasti. Keteraturan akan terwujud jika ada kepastian, dan untuk itu hukum haruslah diwujudkan dalam pola tertulis. Hukum dalam pola-pola tertulis hendaknya bersifat fleksibel, jangan kaku. Kepastian hukum meskipun fleksibel tetapi harus bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan antisipatif. Dalam paradigma Positivisme hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan perundang-undangan difikirkan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas Hakim tinggal menerapkan ketentuan undang- undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai ketentuan undang-undang. Namun paradigma Positivisme hukum klasik yang menempatkan Hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu insitusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat. 394 Berkenaan dengan tujuan hukum dari beberapa paradigma hukum tersebut di atas, Mochtar Kusumaatmadja, Sementara itu, penganut paradigma hukum alam berpendapat, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Mereka menganggap, bahwa satu- satunya tujuan hukum yang utama adalah keadilan. Hukum ada atau diadakan adalah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia. 395 394 Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hal. 1. 395 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, tanpa tahun, hal. 2. mengatakan bahwa tujuan pokok dari hukum Universitas Sumatera Utara 335 adalah ketertiban. Kepatuhan terhadap ketertiban adalah syarat untuk masyarakat yang teratur. Tujuan hukum lainnya adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban, pergaulan antar manusia, dalam masyarakat harus mencerminkan kepastian hukum. Selain itu, dalam suatu Negara Hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada 3 unsur yang harus selalu mendapat perhatian, yaitu: Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. 396 Di dunia ini hukum yang mendominasi sistem hukum yang berlaku adalah Eropa Kontinental atau Civil Law, dan Anglon Saxon atau Common Law. Indonesia lebih dominan mempraktekkan sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law. Hal ini dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain Jika berbicara tentang sumber hukum, maka dapat dibagi dua bagian, yaitu hukum tertulis, salah satu contohnya adalah undang-undang. Hukum tidak tertulis adalah hukum yang hidup, antara lain contohnya kebiasaan, adat dan hukum agama. Bila ingin menerapkan hukum tidak tertulis berarti menganut pluralisme, sementara politik hukum nasional sampai hari ini menganut apa yang disebut unifikasi hukum. Hukum tidak tertulis berimplikasi terhadap unifikasi hukum, unifikasi hukum tidak bisa diterapkan terhadap semua kaidah hukum, termasuk hukum pidana. Oleh karena itu, dengan pemberlakuan hukum tidak tertulis, maka ia akan menggeser prinsip sentralisasi yang termanifestasi pada unifikasi hukum. 396 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1983, hal. 1. Universitas Sumatera Utara 336 penjajajah Belanda dalam kurun waktu ± 3 ½ abad, yang memperkenalkan sistem hukum Civil Law. Tapi walaupun demikian tidak ada satu sistem hukum pun di dunia ini yang bisa mengklaim menganut sistem hukum tertentu secara murni, termasuk Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka di dalam prakteknya JaksaPenuntut Umum dan Hakim lebih dominan menerapkan hukum tertulis, padahal undang- undang yang mengatur tugas pokok dan fungsi mereka membuka pintu untuk menerapkan hukum tidak tertulis. Khususnya Kejaksaan, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, pada Pasal 8 ayat 4 ditegaskan, bahwa: dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada bagian Umum, alenea 6 disebutkan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib Universitas Sumatera Utara 337 menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Baik ketentuan Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia, maupun dalam penjelasannya terlihat jelas peluang atau pintu bagi JaksaPenuntut Umum untuk menerobos dominasi asal legalitas di dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Hal tersebut tergambar dari anak kalimat yang berbunyi, “wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat the living law. Tapi dalam praktek ketentuan tersebut mati suri, terbelenggu pada pola pikir konsisten menerapkan hukum tertulis asal legalitas. Akibat konsistennya para JaksaPenuntut Umum menerapkan hukum tertulis tanpa memperdulikan aturan-aturan legal yang telah digariskan undang-undang untuk mengindahkanmenggali hukum yang hidup dalam masyarakat the living law, maka bergulirlah ke pengadilan kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat kecil dan lemah, seperti Prita Muliasari yang diajukan ke Pengadilan karena didakwa melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap dr Hengky Gosal, Sp.PD dan dr Grace H. Yarlen Nela yang bekerja di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Universitas Sumatera Utara 338 Pengadilan Negeri Tangerang dalam putusannya No. 1269Pid.B2009PN.TNG. tanggal 29 Desember 2009, memutuskan sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 Undang – Undang RI No. 11 Tahun 2008, Kedua Pasal 310 ayat 2 KUHP, Ketiga Pasal 311 ayat 1 KUHP. 2. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan tersebut. 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 4. Membebankan biaya perkara kepada Negara. Terhadap putusan bebas tersebut, Penuntut Umum mengajukan Kasasi, dan pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung RI melalui putusan No. 822 KPID.SUS2010, tanggal 30 Juni 2011, dengan amar putusan sebagai berikut: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA-PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI TANGERANG tersebut ; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1269PID.B2009PN.TNG tanggal 29 Desember 2009; MENGADILI SENDIRI 1. Menyatakan Terdakwa PRITA MULYASARI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “DENGAN SENGAJA DAN TANPA HAK MENDISTRIBUSIKAN DANATAU MENTRANSMISIKAN Universitas Sumatera Utara 339 DANATAU MEMBUAT DAPAT DIAKSESNYA INFORMASI ELEKTRONIK DANATAU DOKUMEN ELEKTRONIK YANG MEMILIKI MUATAN PENGHINAAN DANATAU PENCEMARAN NAMA BAIK”; 2. Menghukum Terdakwa PRITA MULYASARI oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 enam bulan ; 3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali dalam waktu masa percobaan selama 1 satu tahun, Terdakwa melakukan tindak pidana yang dapat dihukum; Penanganan kasus Prita ini mendapat perhatian yang sangat besar oleh masyarakat, praktisi hukum, pakar-pakar hukum, yang intinya memprotes Prita diajukan ke sidang Pengadilan. Dan ketika JaksaPenuntut Umum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melawan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang membebaskan Prita Muliasari, juga mendapat sorotan tajam dari para praktisi hukum, bahkan Jaksa Agung Basrief Arief menyesalkan sikap JaksaPenuntut Umum yang mengajukan Kasasi tersebut. Bahwa terhadap Kasasi yang diajukan JaksaPenuntut Umum dalam Kasus Prita Mulyasari, Jaksa Agung Basrief Arief yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi dari lembaga Kejaksaan sendiri telah menyatakan sikap kekecewaannya terhadap Jaksa yang melakukan Kasasi terhadap Prita Mulyasari. Hal ini dapat dilihat dari beberapa artikel yang termuat di media online dan beberapa media cetak lainnya, di antaranya sebagai berikut: 397 397 Lihat Putusan Pemeriksaan Peninjauan Kembali No. 225 PKPid.Sus2011, tanggal 17 September 2012, hal. 22-23. Universitas Sumatera Utara 340 - Artikel di Harian Rakyat Merdeka pada halaman 2 tertanggal Rabu, 20 Juli 2011 pada rubrik “Blak-Blakan”, yang memuat hasil wawancara dengan Basrief Arief selaku Jaksa Agung, pada intinya menyatakan sikap kekecewaannya terhadap JaksaPenuntut Umum yang menangani kasus Prita Mulyasari, yang telah kehilangan hati nuraninya dalam menangani perkara kecil dengan melakukan upaya hukum Kasasi terhadap suatu putusan bebas murni; - Artikel di Harian Koran Tempo tertanggal, 20 Juli 2012, yang memuat pemberitaan “Jaksa Agung sesalkan kasus Prita”. ; - Artikel di media online www.detiknews.com , tanggal 22 Juli 2011, yang memuat pemberitaan “Basrief Imbau Jaksa Kedepankan Hati Nurani Dalam Penegakan Hukum Secara Berkeadilan”, terutama dalam kasus yang mencederai rakyat kecil seperti Prita Mulyasari; - Artikel di media online “Jaksa Agung Kecewa Anak Buah Kasasi Prita”, www.vivanews.com tanggal 19 Juli 2011; - Artikel di media online www.tribunnews.com , tanggal 19 Juli 2011 yang membuat pemberitaan “Jaksa Agung Prihatin Kasus Prita”, di mana Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan prihatin terhadap kasus yang menimpa Prita Mulyasari dan meminta Jaksa untuk menjunjung tinggi kepastian hukum, kemanfaatan hukum tetapi harus mengedepankan Hati Nurani. Pernyataan-pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief di media online dan beberapa media cetak tersebut di atas, menegaskan bahwa JaksaPenuntut Umum dalam melaksanakan tugasmya di dalam proses peradilan, tidak hanya berfokus Universitas Sumatera Utara 341 pada kepastian hukum, tetapi juga pada kemanfaatan, dengan mengedepankan hati nurani. Dengan kata lain, JaksaPenuntut Umum juga harus berani menerobos hukum tertulis, dan menerapkan hukum tidak tertulis, sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Pasal 8 ayat 4 dan Penjelasan Bagian Umum alenea 6 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief dengan mengedepan hati Nurani tersebut disampaikan beliau pula pada puncak peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke- 51, Jumat, 22 Juli 2011, beliau meminta kepada seluruh insan Adhyaksa agar meningkatkan profesionalisme, integritas moralitas, serta mengedepankan nurani dalam setiap penegakan hukum serta menghindari perbuatan tercela yang dapat merendahkan martabat penegak hukum. Selain itu, pada kesempatan itu pula memberikan perintah harian, yang salah satu pointnya adalah memberi perintah pada jajarannya, “Terus tingkatkan kualitas intelektual dan spiritual yang berlandaskan dan mengedepankan hati nurani dalam setiap menjalankan wewenang dan tugas, karena institusi Kejaksaan menjadi tumpuan para pencari keadilan.” 398 Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan KembaliTerpidana Prita Mulyasari. Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 822 KPID.SUS2010, tanggal 30 Juni 2011 tersebut, terpidana Prita Mulyasari Permohona Peninjauan Kembali. Dalam hal ini Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa pemeriksaan peninjauan kembali telah memutuskan, dengan amar putusan sebagai berikut: 398 Kata Sambutan Jaksa Agung RI, Jumat, 22 Juli 2011, kata sambutan tersebut juga dibacakan oleh seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia pada puncak peringatan Hari Bhakti Addhyaksa. Universitas Sumatera Utara 342 Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 822 KPID.SUS2010, tanggal 30 Juni 2011 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.1269PID.B2009PN.TNG, tanggal 29 Desember 2009. MENGADILI KEMBALI 1. Menyatakan Terpidana Prita Mulyasari tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh JaksaPenuntut Umum dalam dakwaan Kesatu, Kedua dan Ketiga; 2. Membebaskan Terpidana oleh karena itu dari semua dakwaan tersebut; 3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Putusan ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin tanggal 17 September 2012 oleh Djoko Sarwoko, SH, M.H. Ketua Muda Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum, dan H. Suhadi, SH, MH, Hakim-Hakim Agung sebagai anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim- Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Mulyadi, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Pemohon Peninjauan KembaliTerpidana dan JaksaPenuntut Umum. Keprihatinan Jaksa Agung Basrief tentang kasus-kasus yang mengemuka telah mencederai rasa keadilan masyarakat kecil bukan hanya terhadap kasus Prita Universitas Sumatera Utara 343 Mulyasari, tetapi juga terhadap kasus lain, seperti Kasus Rasminah yang didakwa melakukan pencurian enam buah piring. Liputan 6.com, Jakarta, posted: 03-02-2012, yang memberitakan bahwa Jaksa Agung Basrief prihatin terhadap penanganan kasus-kasus kecil yang sampai ke pengadilan. Salah satunya pencurian enam buah piring oleh terdakwa Rasminah, di mana Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung menghukum selama 130 hari penjara. “Kalau dikaitkan dengan masalah-masalah wong cilik itu keprihatinan kita bersama. Untuk ke depan jangan lagi hal-hal yang begitu tidak perlu ke pengadilan, ini harus ada pengertian dari semua aparat penegak hukum baik dari Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakimnya,” kata Basrief di Gedung Kejagung, Jakarta, Jumat 32. 399 Terkini, Jaksa Agung Basrief Arief kembali memerintahkan jajarannya untuk selalu mengedepankan hati nurani dalam penanganan perkara. Pada saat melantik Pejabat Eselon II di Kejaksaan Agung RI, Rabu 29 Mei 2013, dalam amanatnya, beliau berharap kepada para pejabat KAJATI yang baru, mampu mempelajari dan mengenali wilayah kerja masing-masing. “Pahami budaya yang tumbuh dalam masyarakat, cara berpikir dan cara bertindak hendaknya dapat diiringi kearifan Sama seperti Kasus Prita Mulyasari, Rasminah juga divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang, lalu JaksaPenuntut Umum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Dan Hakim Kasasi menyatakan Rasminah terbukti bersalah mencuri piring majikannya, Siti Aisyah MR Soekarno Putri. 399 Liputan6. Com 03022012, Jaksa Agung Prihatin Kasus Rasminah. Universitas Sumatera Utara 344 lokal. Dengan kearifan lokal, berarti penegakan hukum harus berjalan, namun keamanan dan ketertiban masyarakat harus menjadi perhatian.” 400 Akibat pengabaian tersebut, terus bermunculan kasus-kasus yang mestinya tidak perlu dibawa ke pengadilan penyelesaiannya, cukup di tingkat penyidikanprapenuntutan saja. Akan tetapi, yang selalu menjadi alasan para JaksaPenuntut Umum sungkan menghentikan kasus tersebut karena unsur-unsur pasal yang disangkakan Penyidik telah terpenuhi, dan kalau dihentikan mereka Anak kalimat kearifan lokal dalam amanat Jaksa Agung tersebut di atas, tentunya sangat bersintuhan dengan hukum tidak tertulis. Hal tersebut harusnya menjadi pedoman yang dipraktekkan oleh JaksaPenuntut Umum dalam melaksanakan tugas-tugas penyidikan dalam perkara tindak pidana khusus, pra penuntutan dan penuntutan dalam perkara-perkara tindak pidana umum. Khususnya yang menyentuh rasa keadilan masyarakat kecil dan lemah. Dalam praktek, perintah harian, anjuran atau ajakan dari Jaksa Agung tersebut pada jajaran di bawahnya, seakan hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, semacam ada keraguan bagi JaksaPenuntut Umum, khususnya di daerah untuk menggunakan sebagai pedoman menangani perkara dengan menggali kearifan lokal tersebut, padahal Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Penjelasannya Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, telah membuka pintu yang lebar agar para Jaksa berani menerapkan hukum tidak tertulis, menegatifkan asas legalitas yang begitu dominan keberadaannya. 400 Harian Tribun Medan, Kamis, 30 Mei 2013, hal. 1-7. Universitas Sumatera Utara 345 takut dikenakan pemeriksaan oleh bidang pengawasan, karena dianggap tidak taat asas. Selain itu, JaksaPenuntut Umum tidak mau repot karena jika kasus perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan, saksi korbanpelapor akan bolak balik mendatangi kantor Kejaksaan untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut, dan biasanya pelapor akan protes bila perkara tersebut dihentikan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Hasil penelitian yang dilakukan di jajaran Kejaksaan Tinggi Jambi, terhadap 10 sepuluh Kepala Kejaksaan Negeri, ditemukan 4 empat Kepala Kejaksaan Negeri yang tidak mengetahui atau lupa tentang rumusan ketentuan Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 401 401 Wawancara dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerapan hukum tidak tertulis, hukum yang hidup di dalam masyarakat oleh JaksaPenuntut Umum di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jambi, yang dilakukan pada tanggal 5 Juni 2013. Dan berkas wawancara tersebut dapat dilihat pada lampiran disertasi ini. Terdapat 1 satu Kepala Kejaksaan Negeri yang menerapkan Pasal 8 ayat 4 tersebut, artinya dengan memperhatikan kerugian yang kecil dan mengedepankan hati nurani, yaitu Kepala Kejaksaan Negeri Sarolangun beserta JaksaPenuntut Umumnya mendamaikan kedua belah pihak tersangka dan pemilik Sawit dalam kasus pencurian 5 lima tandan sawit, milik PT. Sal I. Dalam hal ini Penyidik mengirimkan SPDP Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sarolangun, No. 02IV2012RESKRIM, tanggal 18 Juli 2012, atas nama tersangka Susanto alias Santo, disangka melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-3 KUHP. Universitas Sumatera Utara 346 Berkas tahap pertama diterima oleh Kejaksaan Negeri Sarolangun pada tanggal 29 Juni 2012, dengan surat No.BP02VI2012, tanpa tanggal Juni 2012. Berkas perkara dikembalikan pada Penyidik oleh Penuntut Umum, disertai petunjuk-petunjuk. Kasus lain di mana Kejaksaan mencoba menerapkan aspek sosial untuk menghentikan suatu perkara, yang menarik perhatian masyarakat adalah dalam penanganan kasus Bibit Samad Rianto Chandra M. Hamzah, keduanya adalah pejabat teras di Komisi Pemberantas Korupsi KPK. Dalam praktek ditemukan fakta bahwa tidak semua kasus yang dimulai dari penyidikan sampai ke persidangan dan divonis oleh Hakim, yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Ada beberapa kasus yang penyelesaiannya hanya sampai di tingkat Penyelidikan atau penyidikan saja dan ada pula yang dilimpahkan tetapi tidak menjalani proses berikutnya, pembacaan tuntutanpeledoi dan putusan hakim. Dengan kata lain, dibenarkan menghentikan suatu perkara pada setiap tingkatan pemeriksaan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan. Selain itu, ada pula perkara dikesampingkan demi kepentingan umum, dan ada penutupan atau menutup perkara demi hukum, hal ini dimungkinkan pula dilakukan pada tahap pemeriksaan di persidangan. Dalam Kasus Bibit Chandra berkas perkara sudah dinyatakan lengkap oleh JaksaPenuntut Umum, unsur-unsur melakukan tindak pidana korupsi telah terpenuhi. Untuk melengkapi administrasi, maka Direktur Penuntutan pada Jaksa Universitas Sumatera Utara 347 Agung Muda Tindak Pidana Khusus selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Nomor: R-478F.3Ft.1112009, tanggal 24 Nopember 2009 dan Surat Nomor: R- 483F.3Ft.1112009, tanggal 26 Nopember 2009, perihal pemberitahuan hasil penyidikan perkara tindak pidana korupsi atas nama tersangka Chandra Martha Hamzah dan atas nama tersangka Bibit Samad Rianto. Penanganan perkara ini menarik perhatian masyarakat, banyak yang menyayangkan penetapan tersangka untuk diproses hingga ke proses persidangan. Kasus ini mencuat dengan istilah pertarungan Cicak dan Buaya. Selain itu, kasus ini juga memaksa Presiden Susilo Bambang Yudoyono SBY harus turun tangan. Sehingga gelombang protes terhadap kasus tersebut bergulir panas, mungkin berdasarkan pertimbangan tersebut pada tanggal 1 Desember 2009, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan terhadap perkara atas nama tersangka Chandra Martha Hamzah, dengan Nomor: TAP-010.1.14Ft.1122009 dan terhadap perkara atas nama tersangka Bibit Samad Rianto, dengan surat Nomor: TAP- 020.1.14Ft.1122009. Alasan yang menjadi pertimbangan JaksaPenuntut Umum menghentikan perkara tersebut adalah menggunakan argumen sosiologis sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKPP yaitu adanya situasi dan kondisi sosial politik saat itu yang sudah sangat mengkhawatirkan serta dapat mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Universitas Sumatera Utara 348 Penghentian perkara tersebut mendapat perlawan dari seseorang yang bernama Anggodo Widjoyo, yang bersangkutan pada tanggal 18 Maret 2010 telah dimohonkan pemeriksaan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan tersebut memutuskan bahwa penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor: TAP-010.1.14Ft.112 2009 dan Nomor: TAP- 020.1.14F.t.1122009, masing-masing tanggal 01 Desember 2009 merupakan perbuatan melawan hukum dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan tersebut dinyatakan tidak sah, sehingga perkara atas nama Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto tetap harus dilimpahkan ke pengadilan. Terhadap Putusan Pra Peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, pada tanggal 03 Mei 2009 JaksaPenuntut Umum melakukan upaya hukum Bandingmenyerahkan memori Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada tanggal 03 Juni 2010 Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan bahwa penghentian penuntutan yang dilakukan oleh JaksaPenuntut Umum tersebut adalah tidak sah sehingga mewajibkan JaksaPenuntut Umum untuk melanjutkan penuntutan terhadap perkara atas nama Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Pihak Kejaksaan tak kenal putus asa, masih melakukan upaya hukum Luar Biasa berupa permohonan Pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Lagi-lagi perjuangan Kejaksaan untuk menghentikan Kasus tersebut kandas, Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 152 PKPid2010, tanggal 7 Oktober 2010, memutuskan bahwa permohonan peninjauan kembali yang Universitas Sumatera Utara 349 diajukan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat diterima dan menyatakan Putusan Pra Peradian Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 130PidPrap2010.PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010 tetap berlaku. Kasus lain yang dapat dipaparkan di sini sehubungan dengan upaya menerobos asas legalitas atau menegatifkannya, atau upaya Kejaksaan menerapkan hukum tidak tertulis adalah dalam kasus anak yang mempidanakan ibu kandungnya. Artija, perempuan tua yang sudah berusia lanjut 70 tahun dilaporkan anak kandungnya bernama Manisah karena disangka telah mencuri 4 empat batang pohon. Padahal pohon itu ditanam oleh sang Ibu di pekarangan rumahnya, yang merupakan warisan dari almarhum suaminya. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Oktober 2012, saat Artija bersama anak pertamanya bernama Ismail serta cucunya bernama Syafi’i bermaksud menebang pohon untuk keperluan perbaikan rumah. Perbuatan itu diketahui oleh oleh Manisah, yang juga anak kandung Artijah, yang sekaligus adik kandung dari Ismail, sang adik perempuannya itu menuding ibunya dan abangnya telah mencuri batang pohon di atas sebidang tanah yang diakuinya sebagai miliknya, sesuai dengan akta jual beli yang ia pegang. Kasus tersebut sampai ke pengadilan Jember, sebelum pihak Kejaksaan telah berupaya untuk mendamaikan pencurian dalam keluarga tersebut, tetapi sang anak tersebut tak mengacuhkannya. Sehingga warga Jember menyebut kasus tersebut sebagai versi baru Malin Kundang, cerita rakyat Minangkabau, anak yang durhaka pada ibu kandungnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jember, Jawa Timur, menghentikan Universitas Sumatera Utara 350 persidangan kasus anak yang mempidanakan ibu kandungnya karena kedua belah pihak antara pelapor dengan terlapor sudah berdamai. 402 “Kami juga berdasar pada penyampaian JaksaPenuntut Umum JPU yang minta agar kasus dihentikan dan tidak ada penuntutan, bahkan surat itu ditandatangani langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kajari,” kata Ketua Majelis Hakim Aries S Rantjoko, usai membacakan putusan penghentian persidangan di Pengadilan Negeri PN Jember, Kamis, 16 Mei 2013. 403 Sebagai bandingan kewenangan JaksaPenuntut Umum di Indonesia dengan Negara lain, seperti Belanda, adalah salah satu kewenangan Jaksa yang penting di Belanda adalah prinsip oportunitas principle of oppotunity atau prinsip kewenangan diskresi Principle of Discretionary Power. Setelah Belanda merdeka pada tahun 1813, namun hukum Perancis yaitu Code d’Instructive Criminalle Mencermati Sikap Majelis Hakim Pengadilan Jember tersebut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP tidak ada diatur tentang penghentian sebuah kasus, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, kasus bisa dihentikan jika ada pencabutan laporan dan itupun ada batas waktunya. Dalam kasus ini, JaksaPenuntut Umum berperan aktif untuk tidak meneruskan kasus tersebut sampai pada putusan penghukuman atau pembebasan atau pelepasan dari tuntutan hukuman. Ini merupakan terobosan baru yang dilakukan oleh JaksaPenuntut Umum dalam hal menangani kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat kecil dan lemah. 402 Metrotvnews.com, Jember, Kamis, 16 Mei 2013, Hakim Hentikan Kasus Anak Pidanakan Ibu. 403 Ibid. Universitas Sumatera Utara 351 Code of Criminal Procedure dan code penal penal code masih terus berlaku selama kurun waktu tertentu. Dalam sistem penuntutan di Belanda, dimungkinkan untuk sepot dalam suatu kasus perkara pidana. Pada dasarnya, prinsip oportunitas memungkinkan JaksaPenuntut Umum untuk memilih menuntut suatu kasus perkara atau tidak. Jaksa dapat mengabaikan penuntutan suatu kasus perkara atas dasar atau alasan “demi kepentingan umum”. Pernyataan ini dapat dilakukan pada setiap tingkat perkara pengadilan. Di Belanda, Jaksa memiliki 2 dua kombinasi kekuasaan utama, yaitu: Pertama adalah kekuasaan oportunitas; dan yang kedua adalah kekuasaan Jaksa untuk mengintruksikan Polisi menginvestigasi suatu kasus atau tidak. 404 Dalam penjelasan Pasal 35 huruf c tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara danatau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagai mana dimaksud Berdasarkan uraian di atas, di Belanda juga JaksaPenuntut Umum mempunyai kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara kasus dengan dalih demi kepentingan umum. Kewenangan tersebut juga dimiliki oleh Jaksa Agung di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 404 www. Peradin.Or.IdGeogle ChromeMinggu, 09 Juni 2013. Universitas Sumatera Utara 352 dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan- badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia diterapkan dalam kasus Bibit-Chandra, di mana setelah upaya- upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghentikan kasus tersebut kandas hingga pada putusan Peninjauan Kembali, sehingga Kejaksaan memilih cara penyelesaian kasus tersebut dengan menerapkan Pasal 35 huruf c tersebut. Hal ini sesuai pula dengan pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 152 PKPID2010, tanggal 7 Oktober 2010 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130PIDPrap2010PT.DKI, tanggal 3 Juni 2010 yang dalam pertimbangannya menegaskan “bahwa......kalau pembanding semula Termohon I menggunakan argumen sosiologis sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKPP dalam perkara a quo, yaitu adanya situasi dan kondisi sosial politik saat itu sudah sangat mengkhawatirkan serta dapat mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka untuk itu seyogyanya lembaga ”penyampingan perkara demi kepentingan umum” ex Pasal 35 huruf c Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 berikut penjelasannya, dan tidak menggunakan baginya lembaga “Penutupan Perkara Demi Hukum” ex Pasal 140 ayat 2 KUHAP huruf a KUHAP. Pertimbangan putusan halaman 8 dan halaman 9. 405 405 Darmono, Penyampingan Perkara Pidana SEPONERING Dalam Penegakan Hukum, Bandung: Solusi Publishing, 2013, hal. 163-164. Universitas Sumatera Utara 353

D. Kewenangan Hakim Menerapkan Hukum Tidak Tertulis Dalam Putusan Perkara Pidana