Implikasi Civil Law System Terhadap Sistem Hukum di Indonesia

218 yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

BAB III IMPLEMENTASI KONSEP

THE LIVING LAW DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Implikasi Civil Law System Terhadap Sistem Hukum di Indonesia

Sistem hukum yang dikenal dengan nama civil law berasal dari hukum Romawi. 237 Perkembangannya diawali dengan pendudukan Romawi atas wilayah Perancis, di mana pada masa itu sistem ini dipraktekan dalam interaksi antara kedua bangsa untuk mengatur kepentingan mereka. 238 Proses ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya negara Perancis sendiri mengadopsi sistem hukum ini untuk diterapkan pada bangsanya sendiri. 239 237 Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan abad XII, Hukum Inggris dan Hukum Eropa Kontinental masuk ke dalam sistem hukum yang sama, yaitu Hukum Jerman. Hukum tersebut bersifat feodal, baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi. Dimana Hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan Hukum Kanonik yang merupakan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental. Sedangkan di Inggris yaitu pada masa pemerintahan Raja Henry II terluput dari pengaruh tersebut. Sehingga di negeri itu, masih berlaku hukum asli rakyat Inggris. Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2002, hal. 44-47. 238 Sebelum era kodifikasi, sistem hukum “Civil Law”, memiliki 3 tiga ciri karakteristik, yakni: a. Hampir pada sebagian besar Negara Eropah Daratan pengaruh Hukum Romawi sangat kuat terhadap hukum positif, b. Pengembangan hukum dimulai dari perguruan tinggi, c. Titik berat pengembangan hukum terletak pada hukum yang berlaku pada masyarakat setempat. Sehingga hukum yang berlaku pada masyarakat setempat atau hukum tidak tertulis diberlakukan jika undang-undang atau peraturan yang berlaku tidak mengatur masalah yang terjadi dalam masyarakat. Lihat H.C. Gutteridge, Comparative Law, hal. 186. Ibid., hal. 48. 239 Selama tahun 1803 dan awal tahun 1804 beberapa bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis telah diundangkan kembali menjadi satu Kitab Undang-Undang. Dalam bidang Hukum Pidana kodifikasi terjadi dua kali: pertama tahun 1791 dan kedua terjadi pada tahun 1810. Ibid. Lihat pula Leon Radzinowics, Ideology and Crime, hal. 24. Universitas Sumatera Utara 219 Dalam perkembangannya kemudian bangsa Perancis menduduki Belanda dan menerapkan sistem Hukum Romawi ini di negeri Belanda, demikian seterusnya dan lambat laun sistem ini berkembang ke Itali, Jerman, Portugal, Spanyol, dan pada akhirnya sistem ini pun berkembang ke seluruh daratan benua Eropa. 240 Karakteristik utama dari sistem civil law adalah adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden, sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Ketiga hal tersebut membedakan sistem civil law dengan sistem common law. Ketika bagsa-bangsa Eropa mulai mencari koloni di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sistem hukum ini digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa tersebut untuk mengatur masyarakat pribumi di daerah jajahannya, seperti Belanda menjajah Indonesia, di mana pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental civil law untuk mengatur masyarakat Indonesia. 241 240 Secara geografis, ideologis dan hisoris di dunia yang merupakan masyarakat internasional dikenal adanya “keluarga hukum”, yang meliputi: Keluarga hukum Anglo Saxon yang Common Law; Keluarga Hukum Eropa Kontinental yang Sivil Law; Keluarga Hukum Timur Tengah Negara-negara Timur Tengah, Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia dan lain-lain; Keluarga Timur Jauh RRC, Korea, Jepang dan lain-lain; Keluargan Hukum negara-negara sosialis Rusia, Eropah Timur; Keluarga hukum negara-negara yang merdeka pasca PD II negara-negara bekas jajahan yang awalnya menggunakan hukum bekas penjajah. Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH, MBA. Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 4. 241 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 3., Jakarta: Kencana, 2009, hal. 286. Sehingga dengan demikian yang menjadi dasar sistem hukum civil law adalah hukum diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Universitas Sumatera Utara 220 Karakteristik dasar ini dianut, mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan, apabila tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup, diatur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Sehingga Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya, putusan seorang hakim dalam suatu perkara, hanya mengikat para pihak yang berperkara saja. Karakteristik atau ciri selanjutnya dari sistem civil law adalah digunakannya sistem tertutup dalam peradilan. Di dalam sistem itu, Hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara, sehingga hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Hakim di dalam sistem hukum civil law, berusaha untuk mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal, sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim. Dalam sistem hukum civil law, bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. 242 242 Ibid., hal. 305. Dalam menemukan keadilan, hakim dan lembaga-lembaga peradilan maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber hukum tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Universitas Sumatera Utara 221 civil law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-negara penganut civil law, menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang- undangan, dan pada dasarnya semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi tertulis. Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah, yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para hakim di negara-negara penganut civil law, dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap, sementara kehidupan masyarakat begitu kompleks, sehingga undang-undang tidak mungkin dapat menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup bermasyarakat, dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan. Dilihat dari praktek peradilan dalam menerapkan hukum kebiasaan, bahwa yang menjadi sumber hukum bukanlah kebiasaan, melainkan hukum kebiasaan, sebab kebiasaan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu tindakan itu dilakukan secara berulang- ulang, dan ada unsur psikologis mengenai pengakuan, bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang itu aturan hukum. Unsur tersebut mempunyai relevansi yuridis, yaitu tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban hukum, yang menurut pengalaman manusia harus dilakukan. Unsur Universitas Sumatera Utara 222 psikologis itu mengandung arti bahwa orang bertindak sesuai dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum. Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum civil law atau sistem eropa kontinental. Periode tahun 1850-an merupakan suatu masa yang benar-benar merupakan babak baru dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan adanya eksploitasi yang dilakukan melalui VOC dengan cara monopoli usaha perdagangan yang menekan kehidupan golongan penduduk pribumi. Sebab usaha-usaha swasta di Hindia Belanda telah mengalihkan pelaku eksploitasinya yang pada mulanya dilakukan oleh negara, yang kemudian dilakukan oleh swasta kapitalis. Oleh karena itu, antara 1830-1850 dapat dilihat sebagai suatu bagian yang sangat didominasi kebijakan-kebijakan kolonial yang menganut garis kebijakan politis etis. Politik etis ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan taraf keterpelajaran penduduk, sehingga dalam kebijakan ini pendidikan untuk anak-anak pribumi mulai diadakan, diselenggarakan dan dikembangkan. Sehingga, kondisi ini telah melahirkan sekelompok elit pribumi baru yang disebut kaum intelektual nasionalis yang tentunya telah mampu berperan serta untuk mendengarkan pendapat dan kemauannya menurut cita-cita politik sendiri. 243 Pada tahun 1904, P.J. Idenburg yang menjabat sebagai menteri koloni mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mengkodifikasi hukum perdata materiil untuk seluruh golongan penduduk Hindia Belanda, 243 Perkembangan ini dipengaruhi oleh perkembangan liberalisme di Belanda yang mengingatkan bahwa tidak layak Belanda yang menganut liberalisme melancarkan penghisapan tanah jajahan. Lihat Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, SH, MBA., Op. Cit., hal. 15-19. Universitas Sumatera Utara 223 berdasarkan Burgerlijk Wetboek Negeri Belanda. Akan tetapi, walaupun rancangan undang-undang Idenburg tersebut telah disetujui parlemen dan bahkan telah diumumkan oleh pemerintah, akan tetapi hasil kerja Idenburg tersebut tidak pernah diimplementasikan dan dioperasikan dalam praktek. Menanggapi hal tersebut C.Th. Van Deventer dalam tulisannya “Een Ereschuld” tanpa ragu mendukung rancangan undang-undang Idenburg dan dalam tulisannya ia mengutip apa yang pernah diucapkan oleh Th. B. Macaulay “uniformity when you can have it; diversity when you have it, but in all cases certainty”. 244 Dalam tatanan hukum modern yang cenderung diwarnai hukum yang mengakomodasikan perkembangan ekonomi yang sudah mendunia dan perdagangan bebas, maka di Indonesia terjadi perkembangan hukum nasional yang diwarnai oleh Van Deventer mengakui bahwa sekalipun kenyataan-kenyataan setempat memang memerlukan adanya keragaman hukum, akan tetapi sesungguhnya keragaman itu tidak seyogyanya dipertahankan demikian. Di sini terjadi penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut dari C. Van Vollenhoven. Sebab menurut pendapatnya, bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, sebab hukum tersebut sama dengan hukum Romawi yang dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda, sehingga tidak memungkinkan untuk diterapkan di tanah Hindia yang berbhinneka, kondisi inilah yang dianggap sebagai permulaan dari perjuangan adat di tanah Hindia Belanda. 244 Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, London-Sydney, Cavendish Publishing Limited, 1999, hal. 67. Universitas Sumatera Utara 224 Civil Law melalui sejarah hukum yang menganut asas konkordansi dengan system Cuvil Law dari Belanda dan Common Law melalui leteratur dan para Sarjana Hukum yang mengikuti studi di Amerika dan Inggris serta diwarnai praktek hukum internasional dengan kontrak standarnya. Melalui asas konkordansi atau penyamaan hukum Belanda di Hindia Belanda yang pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi Indonesia. Indonesia mewarisi KUHP WvS, KUHPerdata BW, KUHD WvK dan Hukum Acara HIR. Melalui Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945 hukum warisan Hindia Belanda tersebut masih berlaku hingga saat ini, kecuali sebagian dari HIR yaitu bagian Hukum Acara Pidana yang telah diganti dengan KUHAP. Dalam praktek, seiring dengan perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum civil law di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Pergeseran ini terlihat, terutama sekali setelah adanya akademisi, maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-negara yang menganut sistem common law seperti Inggris dan Amerika. Dari sini timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, tentang sistem hukum yang ada di dunia secara global, guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan hukum nasional, maupun manfaat eksternal yaitu dapat Universitas Sumatera Utara 225 mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara lain yang berbeda sistem hukumnya. 245 Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya sumber hukum jurisprudensi, 246 yaitu putusan hakim judge made law yang telah berkekuatan hukum tetap oleh hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut sistem civil law, sumber hukum utama adalah undang-undang dan hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya, meskipun dalam perkara yang sama. Dari sekian banyak putusan contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang diperbolehkannya Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam kasus Joko S. Candra. Padahal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP secara tegas menyatakan, upaya hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang diikuti oleh hakim sesudahnya sebagai stare decisis adalah putusan MA No.55PKPID1996 dalam perkara Mochtar Pakpahan dan putusan MA No.3PKPID2001 dalam perkara Ghandi Memorial School. 247 Hal tersebut dapat dimaklumi, karena hukum adalah perintah dari penguasa, dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang 245 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 19. 246 Menurut Peter Mahmud Marzuki, kata jurisprudence dalam bahasa Inggris tidak sama artinya dengan kata jurisprudence dalam bahasa Perancis atau kata jurisprudentie dalam bahasa Belanda. Arti jurisprudence dalam bahasa Perancis dan jurisprudentie dalam bahasa Belanda adalah putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 1. 247 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana bagi Korban Kejahatan, Jakarta: Refika Aditama, 2007, hal. 124. Universitas Sumatera Utara 226 memegang kedaulatan. 248 Menurut John Austin, 249 hukum adalah perintah kaum yang berdaulat, Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan- ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya, mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi, yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara, lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin, 250 Dalam tradisi civil law, aspek pertama yang sangat penting adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang harus mengatur mengenai tingkah laku atau perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak dibolehkannya kebiasaan menjadi hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup closed logical system dan hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. 248 John Austin dalam Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 58. 249 John Austin dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Jakarta: Penerbit Gunung Agung, 2002, hal. 267. 250 Austin dalam Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Op. Cit., hal. 58. Universitas Sumatera Utara 227 dasar penghukuman, bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana, bahkan hukum kebiasaan itu, menjadi penting dalam menafsirkan unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang- undang tersebut. Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis sebagai karakter dari sistem hukum civil law, pembuat undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci, mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas, tanpa samar-samar perbuatan yang disebut dengan pidana, sehingga tidak ada perumusan yang samar-samar mengenai perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit, hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidana, karena masyarakat selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu, tidak berguna sebagai pedoman perilaku. 251 Pada sisi lain ketentuan pidana mengharuskan penggunaan asas legalitas dalam sistem hukum civil law, dengan asas ini berarti ketentuan peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai tindak pidana, tidak dapat Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang- undang dapat memenuhi persyaratan dimaksud, tidak jarang perumusan undang- undang, diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat, apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan. 251 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia, 2003, hal. 358. Universitas Sumatera Utara 228 diberlakukan secara surut berdasarkan asas retroaktif. Pemberlakuan secara surut merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan, karena tindakan yang demikian merupakan bentuk kesewenang-wenangan, yang berarti hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut, walaupun dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. 252 Asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana, namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi 253 Dalam kaitannya dengan negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu asas yang fundamental. Asas legalitas merupakan suatu penghubung antara rule of law dari hukum pidana yang penyampingannya hanya dapat dibenarkan dalam keadaan memaksa. Melalui asas legalitas diharapkan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia, yang melindungi dari kesewenang-wenangan penuntutan dan penghukuman. Kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari yang ditentukan oleh undang- terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut. 252 Penyimpangan ini terutama sekali dapat dilihat pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diperiksa berdasakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat asas legalitas disimpangi dengan menggunakan asas retroaktif. penerapan asas retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus pelanggaran HAM berat yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa. 253 Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. Universitas Sumatera Utara 229 undang. Ketentuan pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 I ayat 1 yang menentukan bahwa “Hak untuk hidup, … dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Demikian juga halnya dalam Amandemen IV UUD Tahun 1945 ditentukan, bahwa: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan sebagai hukum positif yang dibuat oleh negara sebagaimana pandangan penganut aliran positivisme. Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh Auguste Comte yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum- hukum yang mengatur roh manusia dan semua gejala hidup bersama secara mutlak, itulah sebabnya Auguste Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. 254 254 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Jakarta: PT. Gunung Agung, 2002, hal. 265. Penganut Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum, karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa fokus mengenai norma hukum, sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam Universitas Sumatera Utara 230 sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum. Dari kalangan penganut sistem hukum civil law, Hans Kelsen yang dikenal dengan ajaran hukum murninya, selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme. Dalam kaitannya dengan penulisan disertasi ini, ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan: 255 255 Lili Rasyidi Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, Bandung: P.T. Citra Adtya Bakti, 2001, hal. 60. Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni yang dikenal dengan pure theorie, dan kedua apa yang disebut dengan stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen, adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan, dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya hukum adat sebagai hukum yang tidak terulis. Bagi Kelsen, hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein atau kenyataan sosial. Ajaran stufentheorie berpendapat, bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu, bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Dalam ajaran stufentheorie ketentuan yang paling tanggi disebut dengan Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis, sedang ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara 231 Menurut Daniel S. Lev, 256 yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya, seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat, yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri. Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga institutions dan proses process yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan. 257 Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang terbuka sebagai peluang, masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua masalah yang akan dikaji lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup 256 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, Jakarta: LP3S, 1990, hal. xii. 257 Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Bandung: Alumni, 2002, hal. 91. Universitas Sumatera Utara 232 kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Sebagaimana diuraikan dalam bagian terdahulu, bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia, adalah teori hukum positivisme yang bersumber dari sistem civil law. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional. 258 Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and Demikian pula dalam praktek hukum di tengah masyarakat, pengaruh sistem civil law sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut. 258 Lili Rasidy, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, Bandung: CV Mandar Maju, 2003, hal.181. Universitas Sumatera Utara 233 balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara, adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi masing-masing. Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya, menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, mengatur adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 96 dimana memberi kesempatan kepada masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang. Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu Universitas Sumatera Utara 234 luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam hal ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, 259 Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat dengan jelas bahwa sistem hukum hukum civil law atau yang dikenal dengan sistem hukum eropa kontinental, adalah sistem hukum yang banyak dianut di eropah daratan termasuk di Belanda yang kemudian diwariskan ke Indonesia. Walaupun banyak ahli hukum memandang, bahwa sistem ini kurang cocok untuk masyarakat Indonesia yang bersipat heterogen, namun dalam perjalanannya hukum ini sangat berpengaruh di Indonesia. Politik bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan, yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati. Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum, dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu, karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum, akan memicu efek opini yang bergulir dan membahayakan, jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. 259 Walter Lippman,. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 21. Universitas Sumatera Utara 235 hukum nasional yang berkembang sejak kemerdekaan, selalu mengarah pada sistem kodefikasi sebagaiman dianut dan merupakan karakter utama dalam sistem civil law. Hal ini merupakan suatu kondisi kelemahan hukum tertulis, yang selalu tidak bisa membuat rumusan hukum yang sempurna, yang sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat yang dinamik, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang susunan masyarakatnya bersipat heterogen. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan masyarakat, dalam kenyataan-kenyataan sosial di tengah-tengah masyarakat, hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru yang akan diberlakukan sebagai hukum positif. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religius magis, kontan dan konkrit, sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser keberadaannya, eksistensi hukum adat ini sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat, pelan-pelan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh paham positivis dari konsep hukum civil law, dan dalam pelaksanaannya juga dipengaruhi oleh konsep common law system. 260

B. Implikasi Common Law System Terhadap Sistem Hukum di Indonesia