Implementasi Hukum Tidak Tertulis The Living Law di Indonesia

255 dan hukum positif tertulis, yang telah ada maupun yang akan datang, perwujudan kaidah-kaidah moral, tertib hukum yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Pengaruh hukum adat terhadap hukum nasional ditinjau dari segi pembangunan hukum nasional adalah saling melengkapi, sehingga dapat mengisi arah kebijakan hukum nasional baik secara umum maupun secara khusus. Hal ini sangat penting untuk merintis jalan bagi para penegak hukum, dalam arti luas yang mencakup pembuat dirinya dengan pengetahuan hukum yang mendalam dan terarah, sehingga mencakup segala aspek hukum yang terpadu. Sebagai dasar hukum, hukum adat banyak mengandung norma-norma susila atau moral yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama.

D. Implementasi Hukum Tidak Tertulis The Living Law di Indonesia

Sistem hukum menurut ajaran dan kemampuan hukum dasar menunjukan, bahwa Hukum Tidak Tertulis menguasai Hukum Tertulis. Dengan demikian perlu diketahui bagaimana kuncinya menurut logika hukum dasar dalam melaksanakan sistem yang demikian. Kunci pokok dapat dibedakan dalam dua hal, yakni: Pertama, Hukum dasar yang tidak tertulis berpuncak pada Rechtsidee dan kelembagaannya yang terbentuk atas dasar Hukum Dasar tersebut, yakni negara dengan lembaga kenegaraannya. Kedua, para penyelenggara pemerintahan Negara. 291 291 Lihat Moch. Koesnoe, Hukum Dasar Kita dan Hukum Tidak Tertulis, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Bandung: Eresco, 1995, hal. 176-177; Padmo Wahyono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Pidato Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke 33, Jakarta: Rajawali, 1983, hal. 13. Universitas Sumatera Utara 256 Sedangkan hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan, selalu berisikan rumusan kebijakan penguasa serta berfungsi memberi pelayanan, yaitu; merumuskan dan memberikan landasan hukum bagi sah dan berlakunya pelaksanaan kehendak atau kebijakan penguasa yang bersangkutan. Hukum seharusnya menjadi instrumen dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan, sebagaimana yang tercantum dam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kekeliruan dalam menderivasikan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang dicita-citakan pada masa orde baru terjadi tanpa hambatan. Model penataan hukum mengikuti cara sentralisme dan regimentasi, yang secara sepihak memaksakan kehendak dan tidak toleran terhadap orang lain, serta tidak menerima perbedaan atau pluralisme sebagai berkah dan kekayaan. Untuk itu, hukum nasional harus berorientasi kepada pandangan hidup, wawasan politik hukum dan kepentingan nasional, sebagai bangsa yang sedang membangun berdasarkan suatu konsep strategi pengelolaan nasional, dan memperhitungkan dimensi-dimensi nasional, regional, dan global. 292 Mencermati hal yang demikan, perlu dilakukan reformasi hukum terhadap kekeliruan interpretasi dan kembali kepada konsep sejumlah nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun pasal-pasal UUD 1945. Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu 292 Bandingkan Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983, hal. 144-145. Universitas Sumatera Utara 257 mencerminkan dinamika proses interaksi yang berlangsung terus menerus, antara berbagai kenyataan kemasyarakatan dalam bentuk aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradaban dalam batas-batas alamiah, satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan, yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia, sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis. Selanjutnya hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu di mana kita sedang berada, setiap perkembangan sejarah dan sosial, harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum. M. Solly Lubis 293 menyatakan; bahwa melalui pendekatan kultural, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan, lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum nasional. Selanjutnya menurut Yahya Harahap: 294 hukum mengendalikan keadilan law wants justice. Keadilan yang dikendaki hukum harus mencapai nilai; persamaan equality, hak asasi individu individual right, kebenaran truth, kepatuhan fairness, dan melindungi masyarakat protection public interest. Hukum yang mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab keyataan realita yang dihadapi masyarakat yang mampu menciptakan ketertiban to achieve order, yang 293 M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989, hal. 49. 294 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 54-55. Universitas Sumatera Utara 258 hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde yang dikehendaki adalah ketertiban sosial social order yang mampu berperan: a. menjamin penegakan hukum sesuai dengan ketentuan proses beracara yang tertib ensuring due process, b. menjamin tegaknya kepastian hukum ensuring certainty, c. menjamin keseragaman penegakan hukum ensuring unifromity d. menjamin tegaknya prediksi penegakan hukum ensuring predictability. Upaya memahami hukum sebagai institusi sosial, menjadikan hukum diharapkan mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai pemelihara stabilitas, institusi hukum menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh masyarakat. Mencermati hal tersebut di atas, pembangunan hukum tidak terlapas dari kenyataan sosial dan tradisi-tradisi yang terdapat dalam suatu bangsa dan negara di satu pihak, sedangkan dilain pihak sebagai negara dalam keluarga bangsa- bangsa dan negara dunia, politik hukum suatu bangsa dan negara tidak dapat pula dilepaskan dari kenyataan-kenyataan dan politik dunia. Mengadakan suatu perencanaan dalam pembagunan hukum nasional, perlu mengadakan usaha-usaha peningkatan dan atau perbaikan pada hal-hal yang bersifat kepribadian Indonesia yang masih berubah-ubah, supaya benar-benar mengarah kepada kehidupan yang demokratis. Arah kebijakan hukum, bertujuan mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat, untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam Universitas Sumatera Utara 259 kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum, menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat, serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Dengan memperhatikan arah kebijakan tersebut, dan dengan mempertimbangkan masyarakat Indonesia yang pluralistik, yang menghendaki masyarakat berkeseimbangan, tiap-tiap kebijakan hukum perlu dilaksanakan secara seksama, sehingga hal-hal yang terutama menyangkut penyamarataan anggota masyarakat, daerah hukum, bidang hukum dan dihindarkan ketidakadilan dalam implementasinya merupakan hal-hal peka untuk mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. 295 Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengkayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia atau keindonesiaan, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya dan dinamis antara pelaku budaya yang beraneka ragam. Pluralitas Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai yang positif, sebagai rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan melalui pertukaran silang budaya yang beraneka ragam. 295 Roeslan Saleh, “Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Perundang-Undangan R.I. Umumnya Tentang Hak-Hak Azasi Manusia Khususnya”, Makalah, Seminar Akbar 50 tahun pembinaan Hukum, BPHN-DepKeh, Jakarta, hal.76 Universitas Sumatera Utara 260 merupakan kemajemukan yang didasari oleh keunikan dan kekhasan, oleh karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau terbayang keberadaanya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat disematkan kepada situasi cerai berai yang sama sekali tidak memiliki hubungan masing-masing pihak. Dengan demikian, reformasi hukum hendaknya secara bersungguh-sungguh menjadikan eksistensi ke- bhinekaan menjadi agenda dan bagaimana mewujudkannya ke dalam sekalian fundamental hukum. Mengakui kebhinekaan, adalah mengakui konflik sebagai sesuatu yang potensial dan merupakan fungsional bagi berdirinya masyarakat yang pluralistik. Untuk itu, dimasa yang akan datang sebaiknya melakukan rekayasa kemajemukan dalam hukum. Politik kemajemukan dalam hukum itu adalah untuk memajukan persatuan Indonesia dan mengusahakan produktivitas kehidupan. Indonesia yang komunal, lebih mengutamakan kebersamaan daripada individualisme dan liberalisme yang kurang mendapat tempat. Tipe manajemen yang ditonjolkan adalah musyawarah ketimbang penyelesaian konflik, nilai-nilai musyawarah, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan menjadi penting dan perlu digarap secara sungguh-sungguh. Negara Indonesia yang berupaya untuk membangun suatu masyarakat Indonesia dan tatanan sosial baru berdasarkan tata nilai baru, yaitu Pancasila. Sehubungan dengan itu, politik pembangunan hukum semestinya mengikuti hal tersebut melalui grand design, untuk merombak tatanan lama menjadi baru. Disini Universitas Sumatera Utara 261 terjadi tranformasi nilai-nilai, di mana hukum sebagai kekuatan pengintegrasian mengambil peranan yang penting. Sistem hukum Indonesia mengemban tugas besar untuk mentranformasikan, nilai-nilai baru tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi tugas transformasi dan menyusun grand design tersebut, boleh memberanikan diri untuk menggugat asas-asas yang telah mapan dan mengajukan gagasan alternatif, misalnya menggugat kemapanan rule of law untuk digantikan atau setidak-tidaknya ditandingi oleh rule of moral atau rule of justice. Pada sisi lain, perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara modern, dalam suatu rentang waktu tertentu, ternyata dapat ditransformasi dan dikukuhkan sebagai doktrin. Dengan ditransformasikannya praktik hukum modern yang semula dimaksudkan untuk merespons kebutuhan hukum yang berkembang, seiring dengan perubahan zaman menjadi doktrin ini, tidak pernah pula lepas dari kenyataan hidup dan kemajuan budaya serta perkembangan masyarakat. Dalam kenyataannya model hukum yang akan difungsikan untuk kepentingan kehidupan bernegara nasional yang modern itu, adalah juga hasil realisasi cita-cita. Sehubungan dengan hal itu, hukum modern adalah sesungguhnya suatu konstruksi konseptual, yang oleh sebab itu tidak hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi yang terwujud sebagai hasil pengalaman dan perkembangan suatu masyarakat modern, melainkan juga sebagai hasil refleksi, Universitas Sumatera Utara 262 model ideal yang dicita-citakan, bahkan juga sebagai doktrin yang kemudian menjadi semacam ideologi. Hukum itu sangat mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesewenang-wenangan para penguasa otoriter, di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan hukum, para pemikir hukum dan filsafat hukum mengetengahkan dan memperjuangkan ide hukum yang harus berstatus positif, dengan menolak berlakunya kaidah-kaidah sosial yang belum dipositifkan sebagai hukum dalam bentuk produk perundang-undangan. Pola pikir yang demikian ini dikenal dengan pemikiran positivisme, yang menolak segala pemikiran yang serba metafisik dan dalam alam pemikiran dan praktik hukum yang serba meta yuridis. Inilah era tatkala dalam teori maupun dalam praktek hukum yang serba mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum sebagai lege atau lex artinya ius yang telah constitutum, dan bukan ius yang masih berstatus constituendum. Inilah konstruksi dasar hukum modern, yang disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan membukakan peluang luas bagi individu- individu warga negara untuk ikut serta dalam pengembangan hukum, baik diranahnya yang publik maupun diranahnya yang privat. Hal inilah konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuhnya hukum modern dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya. Dalam hal substansinya, hukum modern tidak hanya mengalami bentuk positifnya melainkan juga sistematisasinya sebagaimana dirasionalisasikan melalui pengembangan teori atau doktrin-doktrinnya. Universitas Sumatera Utara 263 Dari segi pembentukannya, lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan langkah hukum, untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana, tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu. Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana, mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum. Atas dasar itu penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis- jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana. Secara teoretis, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem hukum common law maupun eropa kontinental, terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan. 296 296 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik, Bandung: Alumni, 2012, hal. 134. Universitas Sumatera Utara 264 Terlepas dari aspek tersebut, pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, yaitu yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 serta disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. Selain hukum acaranya mengacu kepada KUHAP sebagaimana tersebut di atas, maka ketentuan hukum materiilnya juga mengacu kepada KUHP maupun di luar KUHP. Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana, yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Dilihat dari sudut pandang teori hukum, hal ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materil yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Dengan demikian, asas legalitas dapat dikecualikan dengan memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menganggap suatu perbuatan adalah perbuatan yang dilarang. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini, diberlakukan secara limitatif dengan pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan nilai- Universitas Sumatera Utara 265 nilai Pancasila atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Hukum yang hidup dalam masyarakat, berbeda dengan hukum pidana seperti disebutkan di muka, asas legalitas menghendaki peraturan yang dituliskan, dirumuskan dengan rinci, tidak diberlakukan surut. Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang, lagi pula, pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup, sementara hukum yang hidup dalam masyarakat, mempunyai sifat terbuka sehingga perbuatan jahat yang dimaksudkannya adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu. Dengan demikian, hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah anggapan yang keliru. Praktek pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar pemidanaan, kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang sudah dikenal sejak lama. Jika terjadi tindak pidana maka pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban individu. Sementara dalam hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama hukum adat, pertanggungjawaban pidananya tidak selalu pertanggungjawaban individu, tetapi sanksi dapat pula dijatuhkan pada orang lain yang bukan pelaku, di antaranya kepada keluarga pelaku. Pemberian sanksi dalam hukum adat tidak Universitas Sumatera Utara 266 melihat apakah suatu perbuatan jahat itu sebagai perbuatan yang disengaja atau tidak, melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan, hal ini tentu saja berbeda dengan konsep hukum pidana. Berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang deliknya tidak diatur dalam ketentuan pidana, seseorang dapat dimintai pertanggungjawabannya. Penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat bukan mengakomodasi pluralisme, akan tetapi pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud, tidak lain hanya merupakan suatu bentuk untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini, berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara berdasarkan pertimbangan, bahwa dalam kenyataannya memang masih ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut. Pertimbangan diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini, tidak lain adalah pertimbangan pragmatis untuk mengakomodasi pola kebiasaan dalam kehidupan masyarakat adat Indonesia. Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan sendirinya, melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan pengadilan pidana, oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan dibandingkan hukum yang hidup dalam Universitas Sumatera Utara 267 masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum negara. Di samping itu, hal lain yang perlu dicermati, adalah bahwa dengan dominannya hukum negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, adalah sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara. Hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk juga hukum adat yang masih berlaku di komunitas masyarakat adat. Penegakan hukum adat, tidak terlepas dari unsur-unsur spiritualitas masyarakat adat yang menerapkannya. Hal ini tentu saja berkaitan pula dengan ritual-ritual yang menjadi kebiasaan mereka untuk mengembalikan keseimbangan jika terdapat pelanggaran. Pengakomodasian hukum adat tersebut tidak lain adalah sebagai bentuk penaklukan dan mungkin saja ingin melenyapkan hukum adat itu sendiri, hukum adat yang tidak tertulis itu akan dijadikan hukum yang tertulis dan akhirnya terjadi positivisasi hukum adat, padahal hukum adat sangat berbeda karakternya dengan hukum tertulis. Pemahaman asas kepastian hukum dalam hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak sama dengan asas kepastian hukum yang dipahami dalam sistem hukum negara. Bagi para penggerak sentralisme hukum beranggapan, bahwa upaya membentuk suatu sistem hukum modern yang seragam memerlukan adanya pengecualian-pengecualian melalui pemberlakuan hukum adat tertentu, sampai pada suatu saat nantinya di mana masyarakat primitif Universitas Sumatera Utara 268 heterogen yang masih tersisa melebur menjadi masyarakat yang homogen dan hidup dalam masyarakat modern. Selain itu, penelitian mengenai hukum sebagai sistem pengawasan sosial social control dalam kehidupan masyarakat juga telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi. 297 Anthropologist have focused upon micro processes of legal action and interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of law in society, and the have self consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the necessary conceptual and theoretical conclusion from this choice. Para ahli antropologi juga telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pengembangan konsep hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Donald Black: 298 Dalam konteks ini, para ahli antropologi mempelajari hukum sebagai perilaku sosial. 299 Hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan. Selain itu, hukum dipelajari sebagai produk interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, agama dan lain-lain. 300 Hukum juga dipelajari sebagai proses sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. 301 297 Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, 1976, hlm. 10; Donald Black, Toward a general theory of social control, Academic Press, 1984, hal. 34. 298 John Griffiths, ‘What is legal pluralism’ 1986, 12 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, hal. 2. 299 E.A. Hoebel, The law of primitive man, a study in comparative legal dynamics, Atheneum, 1954, hal. 15; Donald Black and Maureen Milieski, The social organization of law, Seminar Press, 1967, hal. 78; Sally F. Moore, Law as process, 1978; Roger Cotterel, Law’s community, legal theory in sociological perpective, Clarenco Press, 1995, hal. 23. 300 Leopold Pospisil, Anthropology of law, a comparative study, Harper Row Publishers, 1971, hal. 17. 301 Sally F. Moore, Law as process., Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 269 Hukum dari perspektif antropologi, bukan hanya hukum yang diciptakan oleh negara, akan tetapi juga mencakupi peraturan-peraturan lokal yang bersumberkan dari kebiasaan masyarakat termasuk mekanisme-mekanisme peraturan itu sendiri self-regulation mechanism yang berfungsi sebagai instrumen peraturan sosial dalam masyarakat living law. Oleh karena itu, kajian antropologi mengenai hukum dikenal sebagai antropologi hukum legal anthropology yang pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat dan juga bagaimana hukum memainkan peranan sebagai alat pengawasan sosial social control dalam masyarakat. Kajian antropologi mengenai hukum memberi fokus terhadap kebudayaan manusia yang berhubungan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai instrumen untuk menjaga ketertiban sosial dan juga sebagai alat pengawasan sosial. 302 Dengan demikian, antropologi hukum secara khusus adalah bertujuan untuk mempelajari proses sosial, terutama mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirubah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat. 303 Dari satu sisi, hukum dalam pengertian yang sempit dipelajari sebagai suatu sistem pengawasan sosial social control dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, penegakkan hukum oleh: polisi, jaksa, hakim dan lain-lain adalah bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial. 302 Leopold Pospisil, Anthropology of law, a comparative study, hal. x. 303 F. Von Benda-Beckmann, Between kinship and the state, Foris Publication, 1988, hal. 10. Universitas Sumatera Utara 270 Akan tetapi, dari perspektif antropologi hukum, produk kebudayaan yang dikenal sebagai hukum, tidak hanya terdapat dalam suatu organisasi masyarakat yang berbentuk negara, tetapi juga terdapat dalam setiap bentuk komunitas masyarakat. Oleh karena itu, hukum selain implementasi dari bentuk peraturan negara, juga implementasi dari mekanisme pengawasan sosial dalam bentuk norma hukum rakyat folk law. Norma hukum yang berlaku dalam masyarakat secara metodologi dapat dipahami daripada keputusan-keputusan seseorang atau sekumpulan orang yang secara sosial diberi wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang melanggar hukum. Oleh karena itu, penelitian mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: 304 1. Meneliti norma-norma abstrak yang dapat dilihat dari pengetahuan para Ketua Adat, Tokoh Masyarakat, atau pemegang otoritas yang diberi wewenang untuk membuat keputusan hukum. Cara ini disebut ideological method; 2. Meneliti setiap tindakan nyata anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, ketika berinteraksi dalam komunitasnya dengan menggunakan descriptive method; dan 3. Mengkaji kasus-kasus yang pernah atau sedang terjadi dalam masyarakat melalui trouble-cases method. Kasus-kasus yang dipilih dan dikaji secara adil merupakan kaidah yang utama untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat. Data yang diperoleh dari penelitian terhadap kasus-kasus ini sangat meyakinkan, karena dari kasus-kasus tersebut dapat mengungkapkan banyak keterangan mengenai norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Llewellyn dan Hoebel mengatakan: 304 E.A. Hoebel, The law of primitive man, a study in comparative legal dynamics,hal. 29. Universitas Sumatera Utara 271 “The trouble-cases, sought out and examined with care, are thus the safest main road into the discovery of law. Their data are most certain. Their yield is reachest. They are the most revealing.” 305 Pembahasan mengenai kasus-kasus tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengungkap latar belakang terjadinya berbagai kasus tersebut, kaidah-kaidah yang digunakan untuk menyelesaikan pertikaian, mekanisme-mekanisme penyelesaian pertikaian yang diimpelemen-tasikan dan hukuman yang dijatuhkan kepada pihak yang bersalah. Sehingga, ia dapat mengungkapkan prinsip hukum yang berlaku, prosedur-prosedur yang dilaksanakan serta nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian pertikaian tersebut. Pertikaian yang dikaji untuk memahami hukum yang ada dalam masyarakat meliputi berbagai kasus yang dapat dianalisis dari awal hingga pertikaian yang dapat diselesaikan, dokumen keputusan-keputusan pihak yang mempunyai otoritas yang diberi wewenang untuk menyelesaikan berbagai pertikaian dan kasus yang diperoleh dari pengetahuan tokoh masyarakat atau dengan berbagai kasus yang masih bersifat hipotesis. 306 Penelitian terhadap berbagai kasus tersebut merupakan satu kaidah yang sering digunakan sebagai metode untuk meneliti hukum yang ada dalam suatu masyarakat dalam penyelidikan antropologi hukum. Hal ini adalah disebabkan, karena hukum bukanlah semata-mata sebagai suatu produk dari individu atau sekumpulan individu yang mempunyai otoritas untuk membuat hukum. Hukum juga 305 Liewellyn K.N. and E.A. Hoebel, The Cheyenne way, conflict and case law in primitive jurisprudence, Norman, 1941, hal. 29. 306 Laura Nader and Harry F. Tood Jr. ed., The disputing process-law in ten societies, Columbia University Press, hal. 8. Universitas Sumatera Utara 272 tidak tercipta dari suatu lembaga yang terpisah dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Hukum merupakan produk dari suatu realitas sosial dalam sistem kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hukum muncul sebagai suatu fakta khusus yang lebih menekankan pernyataan atau perilaku sosial masyarakat. Penyelesaian pertikaian merupakan pernyataan hukum yang secara nyata berlaku dalam masyarakat. 307 Perlakuan masyarakat yang hidup tanpa sengketa juga boleh dijadikan sebagai wahana sosial untuk menyelidiki norma hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Perlakuan warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang berlangsung secara normal tanpa adanya sengketa juga dapat menjelaskan prinsip hukum yang terkandung dibalik perlakuan warga masyarakat tersebut. Kebiasaan kehidupan masyarakat dalam peristiwa-peristiwa khusus yang memperlihatkan ketaatan secara sukarela terhadap norma-norma sosial sesungguhnya merupakan kasus-kasus konkrit masyarakat yang hidup tanpa sengketa. Perlakuan masyarakat yang memperlihatkan ketaatan terhadap peraturan-peraturan sosial, apabila diteliti dan diamati secara adil merupakan instrumen analisis yang dapat digunakan untuk Sehingga kini studi kasus menjadi kaidah khusus dalam penelitian antropologi tentang hukum dalam masyarakat. Namun demikian, dalam situasi tertentu peneliti sangat sulit untuk menemui kasus yang dapat dianalisis dan digeneralisasi sebagai pernyataan dari hukum dalam suatu masyarakat, kajian terhadap interaksi antara individu atau kelompok dalam masyarakat aman damai tanpa sengketa boleh dilakukan. 307 E.A. Hoebel, The law of primitive man, a study in comparative legal dynamics,hal. 5. Universitas Sumatera Utara 273 menjelaskan prinsip-prinsip dan norma hukum yang mengatur perlakuan warga masyarakat. Kaidah pencarian prinsip-prinsip dan norma-norma peraturan sosial seperti yang dimaksudkan di atas disebut sebagai kaidah studi kasus tanpa sengketa atau trouble-less case method. 308 Selain dari mengkaji kasus-kasus dalam masyarakat, antropologi hukum juga memberi perhatian kepada fenomena pluralisme hukum legal pluralism dalam masyarakat. Roger Cotterel menjelaskan: “We should thing of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law”. 309 Dengan demikian dari perspektif antropologi hukum dapat dijelaskan, bahwa hukum yang secara nyata berlaku dalam masyarakat, selain dalam bentuk hukum negara juga sebagai hukum agama dan hukum adat. Selain itu, hukum juga ada dalam mekanisme-mekanisme peraturan sendiri yang secara nyata berlaku dan berfungsi sebagai instrumen pengawasan sosial dalam masyarakat. 310 308 J.F. Holleman, Trouble cases and trouble-less cases in the study of customary law and legal reform dalam K. von Benda-Beckmann and F. Strijbosch eds, Anthropology of law in the Netherlands, Foris Publication, 1986, hal, 119. 309 Roger Cotterel, Law’s community, legal theory in sociological perspective, hal. 306. 310 Francis G. Snyder, ‘Anthropology, dispute process and law, a critical introduction’ [1981] 82 British Journal of Law Society hal. 178; K. von Benda-Beckmann and F. Strijbosch eds, Between kinship and the state, social security and law in developing countries; Joep Spiertz and Melanie G. Wiber eds, The rale of law in natural resource management, VUGA Uitgeverij B.V.’ s-Gravenhage, 1996. Ini berarti, bahwa hukum negara bukan merupakan satu-satunya hukum yang ada dalam masyarakat. Jika hukum diartikan sebagai instrumen kebudayaan yang berfungsi Universitas Sumatera Utara 274 untuk menjaga ketertiban sosial atau sebagai pengawasan sosial social control, maka selain hukum negara juga terdapat sistem hukum lain seperti hukum adat living law, hukum agama dan juga mekanisme-mekanisme pengawasan sendiri dalam masyarakat. Situasi hukum seperti ini disebut sebagai fakta pluralisme hukum dalam kajian antropologi hukum. Fakta pluralisme hukum secara umum digunakan untuk menjelaskan suatu situasi terhadap dua atau lebih sistem hukum yang berlaku secara berdampingan dalam satu bidang kehidupan sosial atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengawasan sosial dalam masyarakat. 311 Pluralisme hukum juga dapat digunakan untuk menerangkan suatu situasi terhadap dua atau lebih sistem hukum yang berinteraksi dalam satu kehidupan sosial 312 atau suatu keadaan yang berlaku pada satu sistem hukum yang bekerja secara berdampingan dalam aktivitas dan hubungan dalam masyarakat. 313 Ajaran mengenai pluralisme hukum secara umum bertentangan dengan ideologi sentralisme hukum legal centralism. Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki, hanya hukum negara sebagai satu-satunya hukum untuk semua warga masyarakat dengan mengabaikan keberadaan sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum adat dan juga 311 John Griffiths, ‘What is legal pluralism’ 1986 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law 24. 312 M.B. Hooker, Legal Pluralism: Introduction to colonial and neo-colonial law, Oxford University Press, 1975. 313 F. Von Benda-Beckhmann, ‘Social security, natural resources and legal complexity’, Makalah The International SeminarWorkshop on Legal Complexity, Natural Resource Management and Social SecurityInsecurity in Indonesia, Padang 6-9 September 1999, hal. 5. Universitas Sumatera Utara 275 semua bentuk mekanisme-mekanisme pengawasan sendiri yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths menegaskan: The ideologi of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state. 314 Dengan demikian, paradigma sentralisme hukum memiliki kecenderungan untuk mengabaikan keanekaragaman sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi oleh masyarakat. Bahkan ia lebih ditaati daripada hukum yang dibuat oleh negara. Oleh karena itu, keberadaan paradigma sentralisme hukum dalam suatu komunitas yang bersifat multi budaya hanya merupakan sebuah ilusi saja. Griffiths juga mengatakan: “Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group”. 315 Uraian di atas memperlihatkan, bahwa asas hukum berada dalam masyarakat itu sendiri. Untuk memahami hukum dalam masyarakat secara mantap, maka hendaklah dipelajari sebagai bahagian yang tidak terpisahkan daripada aspek- aspek kebudayaan yang lain, seperti sistem politik, sistem ekonomi, organisasi atau struktur sosial, sistem pemerintahan dan sistem agama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Hoebel: “We must have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the total structure. We must have some idea of 314 John Griffiths, ‘What is legal pluralism, hal. 12. 315 Ibid. Universitas Sumatera Utara 276 how society works before we can have a full conception of what law is and how it works”. 316 1. struktur hukum yang meliputi pranata hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan; Oleh karena itu, hukum sebagai suatu sistem dipelajari sebagai produk budaya yang pada dasarnya mempunyai tiga elemen, yaitu: 2. hukum substantif yang meliputi semua produk hukum dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan; dan 3. budaya hukum masyarakat seperti nilai-nilai, idea, persepsi, pendapat, sikap, keyakinan dan perilaku, termasuk harapan masyarakat terhadap hukum. 317 Dari perspektif antropologi hukum, setiap bentuk masyarakat memiliki struktur hukum, hukum substantif dan budaya hukum itu tersendiri. Adakah hukum substantif dan struktur hukum dipatuhi atau sebaliknya atau hukum dapat diberlakukan secara efektif atau tidak adalah tergantung kepada kebiasaan, tradisi atau budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Melalui kajian hukum sebagai suatu sistem adalah berupaya untuk menjelaskan bagaimanakah hukum dilaksanakan dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial tertentu. Dari ketiga sub-sistem dalam hukum tersebut, budaya hukum menjadi bahagian kekuatan sosial yang menentukan keefektifan hukum dalam masyarakat. Sedangkan budaya hukum menjadi motor penggerak yang memberi kesempatan kepada unsur struktur hukum dan hukum 316 E.A. Hoebel, The law of primitive man, a study in comparative legal dynamics, hal. 5. 317 Lawrence M. Friedman, The legal sistem, a social science perspective, Rusel Sage Foundation, 1975, hal. 13. Universitas Sumatera Utara 277 substantif dalam memperkuat sistem hukum. Dengan demikian, dengan mengkaji hukum substantif, struktur hukum dan budaya hukum yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum dapat ditegakkan sebagai suatu sistem dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, secara konvensional tujuan hukum adalah untuk menjaga peraturan dan ketertiban sosial dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial social control. Akan tetapi, dalam masyarakat yang lebih kompleks atau modern, tujuan hukum tersebut telah diperluas sebagai alat untuk membangun kehidupan sosial social engeneering. Oleh karena itu, hukum hendaknya dibangun sebagai bahagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai institusi sosial yang bersifat otonom atau terpisah dari aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti: politik, ekonomi, sistem keagamaan, kekerabatan dan struktur sosial. Sehingga dengan demikian, hukum dari perspektif antropologi dipelajari sebagai sistem pengawasan sosial yang menjaga peraturan dalam masyarakat. Donald Black mengatakan: “Anthropologist have similarly concentrated on what they regards as law-typically the most formal and dramatic aspects of social control in tribal and other simple societies although this often includes non-governmental as well as governmental process”. 318 Hukum dalam fungsinya sebagai alat pengawasan sosial merupakan salah satu alat pengawasan dalam masyarakat. Seiring dengan tuntutan perkembangan masyarakat itu sendiri, terutama dalam masyarakat yang semakin kompleks, peranan 318 Donald Black, Toward a general theory of social control, hal. 35. Universitas Sumatera Utara 278 hukum kemudian ditingkatkan lagi sebagai instrumen untuk merencanakan kehidupan sosial atau untuk melakukan perubahan-perubahan sosial dengan menggunakan instrumen hukum untuk mencapai situasi sosial yang dikehendaki oleh negara. 319 Kaidah hukum pada dasarnya memiliki dua sifat utama, yaitu: bersifat mengatur dan bersifat memaksa. Yang diatur oleh kaidah hukum adalah perilaku masyarakat untuk menciptakan suasana yang teratur, tertib, aman dan damai dalam kehidupan bersama. Manakala sifat memaksa suatu kaidah hukum dicerminkan melalui penerapan hukuman oleh penegak hukum terhadap setiap orang yang Hukum juga berfungsi sebagai kemudahan berinteraksi antara manusia untuk mencapai peraturan dalam kehidupan sosial. Dalam wacana ilmu hukum dijelaskan, bahwa tujuan hukum pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan, yaitu: 1. Untuk mencapai keadilan, 2. Kemanfaatan, dan 3. Kepastian hukum dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, dalam teori hukum dijelaskan, bahwa kaidah hukum memiliki peranan secara filosofis sesuai dengan tujuan hukum yang mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat. Hukum juga berfungsi secara sosiologi yang mana ia dapat diterima dan diakui sebagai norma yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, hukum juga berfungsi secara berstruktur yang mempunyai landasan hukum menurut hirarki perundang-undangan. 319 Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Bandung: Alumni, 1982, hal. 67; Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok filsafat hukum, apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 15. Universitas Sumatera Utara 279 melanggarnya. Persoalan yang timbul ialah dapatkah kaidah hukum digunakan sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkuat integrasi sosial dalam masyarakat yang berbentuk multi budaya? Indonesia adalah suatu negara yang berbentuk multi budaya, termasuk multi sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan terdapatnya sistem hukum adat, hukum agama dan juga mekanisme-mekanisme kontrol yang kuat selain daripada hukum negara dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, jika diteliti secara adil, maka paradigma pembangunan hukum yang dianut pemerintah pada kurun waktu tiga dekade terakhir ini memiliki kecenderungan bersifat sentralisme hukum melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, hukum negara memilik kecenderungan untuk menghapuskan, mengabaikan, dan mendominasi keberadaan sistem hukum yang lain, karena disadari atau tidak hukum berfungsi sebagai governmental social control 320 atau sebagai the servant of repressive power 321 atau sebagai the command of a sovereign backed by sanction. 322 Ini berarti, bahwa dari perspektif antropologi, sumber keberadaan fenomena konflik tersebut adalah disebabkan oleh paradigma pembangunan hukum yang diterapkan oleh pemerintah dan lembaga perundangan, yaitu paradigma pembangunan hukum yang berbentuk sentralisme hukum. Hal ini tidak sesuai 320 Donal Black, The behaviour of law. 321 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and society in transition, toward responsive law, Harper Colophon Books, 1978. 322 H. Mc. Coubrey and Nigel D. White, Textbook on jurisprudence, Blackstone Press Limited, 1996. Universitas Sumatera Utara 280 dengan kehidupan hukum yang majemuk dalam masyarakat multi budaya. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu tingkat masyarakat yang berintegrasi secara budaya, maka penerapan paradigma sentralisme hukum hendaklah diganti dengan penerapan paradigma pluralisme hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut, tindakan yang perlu dilakukan adalah membangun sistem pemerintahan yang memberikan pengakuan dan perlindungan secara mantap terhadap sistem hukum, selain dari hukum negara, seperti hukum adat dan hukum agama termasuk mekanisme-mekanisme peraturan lokal yang ada dalam masyarakat living law. Implikasinya, nilai-nilai, prinsip hukum institusi dan kebiasaan masyarakat hendaklah disesuaikan dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional yang kemudian dimasukkan secara konkrit ke dalam peraturan perundang-undangan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat yang bersifat individu dan juga komunitas. Oleh karena itu, sifat hukum yang harus dikembangkan untuk membina dan memperkuat integrasi bangsa yang multi budaya adalah hukum yang bercorak responsif responsive law. Hukum yang berpengaruh terhadap sistem hukum masyarakat mencerminkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, norma-norma, institusi, dan tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick: “Responsive law presupposes a society that has the political capacity to face its problems, establish its priorities, and make the necessary commitments”. 323 323 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and society in transition, toward responsive law, hal. 113. Dengan demikian, untuk Universitas Sumatera Utara 281 memahami kedudukan dan fungsi hukum dalam struktur masyarakat, maka hendaklah difahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara benar. Oleh karena itu, keberadaan hukum tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Memang faktor- faktor tersebut tidak dapat dinafikan begitu saja. Akan tetapi, pertimbangan- pertimbangan tersebut tidak boleh menyisihkan esensi hukum itu sendiri. Karena pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan sisi eksternal hukum yang memang mendukung keberadaan hukum, namun bukan merupakan sesuatu yang intrinsik dalam hukum. Berbagai pertimbangan tersebut sebenarnya lebih berkaitan dengan pembuatan undang-undang dan proses peradilan. Akan tetapi esensi hukum, yaitu hakikat hukum yang justru menjadi dasar pijakan dalam pembuatan undang-undang maupun pengambilan putusan dalam proses peradilan dan tindakan eksekutif. Hal yang terakhir ini perlu dikemukakan, karena tidak semua tindakan eksekutif harus berdasarkan undang-undang. Karena di dalam hukum administrasi dikenal adanya Freis Ermessen atau discretionary power, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh eksekutif tanpa berdasarkan kepada hukum tertulis. Akan tetapi, karena tujuannya untuk nilai atau kemanfaatan yang lebih tinggi, maka tindakan tersebut harus dilakukan, meskipun tindakan tersebut merugikan kepentingan beberapa orang, guna menyelamatkan banyak orang. 324 324 Lihat KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 282

BAB IV PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM MENERAPKAN