107
Selanjutnya Shidarta mengatakan, bahwa: ”namun, keyakinan seperti di atas sebenarnya hanya sebatas asumsi. Het recht hinkt achter de feiten aan:
hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang peristiwa konkrit. Oleh sebab itu, cepat atau lambat, undang-undang akan tertinggal oleh fakta”.
119
a. Hukum Tidak Tertulis
Jurang ketertinggalan itu kian melebar seiring dengan berubahnya tatanan sosial tempat hukum itu hidup di dalam kenyataannya. Di sinilah terjadi
legal gap antara hukum di atas kertas law in the books dan hukum yang hidup dalam kenyataan law in actionthe living law.
2. Kerangka Konsepsi
Untuk melakukan penelitian ini agar lebih terarah, maka dibutuhkan penjelasan beberapa definisi atau pengertian dari judul yang diajukan sebagai kerangka
konsepsi. Hal tersebut dilakukan guna menghindari penafsiran ganda yang tidak mengacu kepada topik pembahasan.
Definisi-definisi yang perlu dijelaskan tersebut antara lain yaitu, Hukum Tidak Tertulis, Sumber Hukum dan Putusan Pengadilan sebagai berikut:
”Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan,
perkembangan dan pertumbuhan tersebut pada gilirannnya menyebabkan, bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar
susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara”.
120
119
Ibid., hal. 2.
120
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, cet.ke-3, 1991, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
108
Satjipto Rahardjo mengatakan, ”apabila kita ingin membuat suatu penggolongan besar, maka kita bisa melakukannya dalam bentuk hukum
tertulis di satu pihak dan hukum tidak tertulis di lain pihak”.
121
Oleh karena itu, sesungguhnya bisa dibicarakan tentang berjalannya dua bentuk tatanan secara berdampingan, yaitu bentuk yang tertulis dan tidak
tertulis. Kebiasaan dan lain-lain itu bisa bekerja secara diam-diam, di bawah Hukum tertulis sekarang sudah menjadi padanan bagi hukum
perundang-undangan serta menjadi tanda ciri dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern. Kehidupan yang makin
kompleks, bidang-bidang yang makin beraneka ragam, serta perkembangan masyarakat dunia yang makin menjadi suatu masyarakat yang tersusun
secara organisatoris organized society, hubungan antar manusia yang makin kompleks pula, memang tidak bisa hanya mengandalkan pada
pengaturan tradisi, kebiasaan, kepercayaan atau budaya ingatan. Sekalipun penggunaan hukum tertulis telah menjadi hal yang sangat
umum, tetapi ia tidak sekaligus bisa disamakan dengan meningkatnya kualitas keadilan, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Di samping itu,
penggunaan hukum tertulis juga tidak serta-merta menghilangkan bekerjanya ”hukum” yang tidak tertulis begitu saja, seperti tradisi, kebiasaan atau
praktek-praktek tertentu.
121
Ibid., hal. 71-73.
Universitas Sumatera Utara
109
permukaan hukum tertulis yang bersifat resmi. Ancangan atau pendekatan sosiologis tersebut dimungkinkan untuk mengamati kejadian tersebut.
Walaupun tidak dapat dibuat suatu definisi tentang apa hukum itu,
122
1. Hukum undang-undang wettenrecht, yaitu hukum yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. karena banyaknya segi dan lapangannya luas sekali, masih juga dapat dibagi
dalam beberapa golongan berdasarkan beberapa ukuran maatstaven. Oleh karena sumbernya bermacam-macam, maka hukum dapat
dibagi dalam:
2. Hukum kebiasaan dan hukum adat gewoonte en adatrecht, yaitu hukum
yang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau peraturan adat istiadat, dan yang mendapat perhatian dari para penguasa masyarakat perhatian ini
ternyata dari keputusan para penguasa masyarakat itu. 3.
Hukum traktat tractaten recht, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara yang bersama-sama mengadakan suatu perjanjian traktat.
4. Hukum yurisprudensi jurisprudentie-recht, yaitu hukum yang terbentuk
karena keputusan hakim. 5.
Hukum ilmu wetenschapsrecht yaitu hukum sebetulnya saran-saran yang dibuat oleh ilmu hukum dan yang berkuasa dalam pergaulan hukum.
Jadi, hukum yang terdapat dalam pandangan-pandangan ahli-ahli hukum yang terkenal dan yang sangat berpengaruhi doktrin.
122
E. Utrecht, Op. Cit., hal. 89-90.
Universitas Sumatera Utara
110
Hukum undang-undang dan hukum traktat disebut juga hukum tertulis geschreven recht. Hukum undang-undang ini hukum tertulis nasional,
sedangkan hukum traktat hukum tertulis internasional. ”Sedangkan hukum kebiasaan, hukum adat, hukum jurisprudensi dan hukum ilmu doktrin disebut
juga hukum tidak tertulis ongeschreven recht”.
123
R. Subekti mengatakan, ”undang-undang kodifikasi peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yurisprudensi, hukum tidak tertulis dan hukum
adat merupakan bahan-bahan ”bouwesteenen” yang dapat dipakai dalam pembangunan Hukum Nasional”.
124
Selanjutnya R. Subekti mengatakan, jika meneliti tentang ”hukum tidak tertulis”, maka sebenarnya juga termasuk di dalamnya hukum yurisprudensi dan
sebagian besar dari Hukum Adat Indonesia. Dikatakan ”sebagian besar”, karena juga ada unsur Hukum Adat dalam bentuk tertulis, misalnya ”Awig-Awig Desa”
di Bali”.
125
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ”sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus
Dengan demikian, hukum tidak tertulis adalah tidak sama dengan Hukum Adat, karena hukum tidak tidak tertulis adalah hukum yang hidup dan ditaati
oleh suatu masyarakat. Sehingga hukum tidak tertulis lebih luas cakupannya dari Hukum Adat.
b. Sumber hukum
123
E. Utrecht, Ibid.
124
R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, cet.ke-III, 1992, hal. 118.
125
Ibid., hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
111
perkara”.
126
Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian.
127
Masing-masing disiplin mengartikannya dari perspektifnya terhadap hukum. Sejarawan, sosiolog, filsuf, dan yuris melihat hukum dari masing-masing
sudut pandangnya. Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekadar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah.
Istilah itu dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filosofis, dan ilmu hukum.
128
Dari perspektif sosiologis, sumber hukum berarti faktor-faktor yang benar- benar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Faktor-faktor tersebut adalah
fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang menjadi tuntutan sosial untuk menciptakan hukum. Sedangkan dari perspektif filosofis istilah sumber hukum
juga mempunyai arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian ini, sumber hukum menetapkan kriterium
untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness.
Filsuf dan yuris, sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan
sistem nilai.
129
126
Peter Mahmud Marzuki, dalam Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, Ed-1. cet.1, 2008, hal. 301. Cf. John Chipman Gray yang membedakan antara hukum dan sumber-
sumber hukum yang olehnya diartikan sebagai bahan-bahan hukum dan non hukum tetentu yang digunakan oleh Hakim karena tidak tersedianya aturan sehingga putusan itu menjadi
hukum. Edgar Bodenheimer, Op. Cit., hal. 270.
127
G.W. Paton, A. Texbook of Jurisprudence, English Language Book Society, Oxford University Press, London, 1972, hal. 188.
128
P. van Dijk et al., Van Apeldoorn’s Inleiding Tot de Studie van het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk-Willijnk, 1985, hal. 65.
129
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 303.
Menurut Ehrlich ada dua sumber hukum vital yang komplementer, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
112
a Legal history and jurisprudence, that is, useful precedents and
written commentaries; and b
”Living Law derived from current custom within society and, in particular, from the norm-creating activities of the numerous
groupings in which members of society were involved.
130
Terjemahannya: a
Sejarah perundang-undangan dan yurisprudensi, yakni uraian-uraian tertulis dan pemula, serta:
b ”Undang-undang yang masih hidup” living law berasal dari adat
terbaru dalam masyarakat dan pada khususnya, dari aktivitas- akitivitas yang menciptakan norma beberapa kelompok di mana
anggota-anggota masyarakat terlibat. Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa: ”sumber-sumber yang
melahirkan hukum bisa digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu: sumber- sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat sosial”.
131
130
Eugen Ehrlich dalam L.B. Curzon, Jurisprudence, M E Hanbooks, 1979, hal . 144-145.
131
Satjipto Rahardjo mengutip Fitzgerald, 1966: 109 dalam, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 81-82.
Yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara
langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh
hukum, sehingga tidak secara langsung bisa diterima sebagai hukum. Apabila kita melihatnya secara demikian, maka yang kita jadikan tolok ukur adalah
keabsahan secara hukum dari substansi yang dikeluarkan oleh masing-masing sumber tersebut. Substansi yang dihasilkan oleh sumber hukum adalah iposo
Universitas Sumatera Utara
113
jure yang dengan sendirinya sah, sedang yang lain tidak, dengan demikian hanya bisa disebut sebagai sumber-sumber kesejahteraan saja. Sebagai
demikian, maka sumber sosial ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya tidak otoritatif melainkan hanya persuasif.
c. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan adalah ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
132
Sehubungan dengan itu, berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 2 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
secara tegas dan limitatif, bahwa: ”Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum”. Walaupun demikian berdasarkan Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga
menentukan, bahwa: ”Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili perkaranya”. Pasal 17 ayat 2 menentukan, bahwa: ”Hak
Putusan pengadilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan perkara pidana umum dan pidana khusus tindak pidana korupsi. Hal
ini perlu dipertegas agar terlihat batasan penelitiannya tidak mencakup semua putusan pengadilan perkara pidana yang ada di luar KUHP.
132
Lihat Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
114
ingkar yang dimaksud pada ayat 1 adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang Hakim yang
mengadili perkaranya”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut
menentukan, bahwa: ”Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Sedangkan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga menentukan, bahwa: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak
yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang”. Akan tetapi berdasarkan Pasal 24 ayat 2-nya menentukan, bahwa: ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali”.
E. Keaslian Penelitian