Eksistensi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Hukum di Indonesia

203 Retroaktif yang berkaitan dengan asas Lex Talionis, maka persyaratannya harus diikuti dengan cara rigid-limitatif, sebagaimana telah ditentukan secara tegas melalui Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yaitu untuk menentukan suatu ”peristiwa tertentu” yang dianggap sebagai gross viaolation of human rights perlu ada keputusan Politis antara DPR dengan Presiden, bukan badan lain. Hal ini dapat dibenarkan mengingat asumsi klasik yang mengikat bahwa penerapan Asas Legalitas merupakan cerminan pengakuan dari Asas Lex Talionis, sehingga dapat dianggap bahwa Hukum Pidana hanyalah sarana dari kekuasaan politik, dan akhirnya hanya dijadikan sub-ordinasi kekuasaan politik yang luas.

D. Eksistensi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Hukum di Indonesia

Dalam berbagai literatur ilmu hukum dijelaskan bahwa sumber hukum terdiri sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Zevenbergen 225 “menyebutkan sumber hukum merupakan sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal”. Sedangkan Utrecht 226 225 Lilik Mulyadi, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspektif Teoretis dan Praktik Peradilan, Jakarta: Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 7. 226 Ibid., hal. 8. menyebutkan sumber hukum materiil yaitu perasaan hukum keyakinan hukum individu dan pendapat umum public opinion yang menjadi determinan materiil membentuk hukum, menentukan isi hukum sedangkan sumber hukum formal yaitu menjadi determinan formil membentuk hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri dari Undang-Undang, Kebiasaan dan Adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, Universitas Sumatera Utara 204 traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang terkenal. Polarisasi pemikiran doktrina di atas, hampir identik dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat 1, 2 Ketetapan MPR-RI Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan di mana disebutkan sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Begitu pula halnya dengan sumber hukum pidana Indonesia. Apabila dijabarkan lebih lanjut, maka sumber hukum pidana Indonesia dapat terdiri atas hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Sumber hukum pidana tertulis sumber utamanya bertitik tolak kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP sedangkan sumber hukum pidana tidak tertulis adalah ketentuan- ketetuan pidana adat yang berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat adat. Konsekuensi logis dimensi konteks di atas, dapat dijabarkan bahwa pada kurun waktu itu secara formal hukum pidana adat tidak diperlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi secara materiil tetap diterapkan dan berlaku dalam praktik peradilan. Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana 227 227 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 76. cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah, hukum yang hidup dalam masyarakat, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Universitas Sumatera Utara 205 hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan, dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Berbeda halnya dengan penganut paham etatis, yang mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud sentralisme hukum, paham ini dipengaruhi positivisme hukum dan teori hukum murni, maka secara struktural dan sistimatik ujud hukum adalah bersumber dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh tempat yang memadai. Etatis hukum timbul yang didasarkan pada teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem huku m nasional, 228 228 Sistem Huku m nasional Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak ‘diintervensi’ norma hukum. sejak timbulnya negara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme hukum, dimaknai hukum sebagai Universitas Sumatera Utara 206 hukum negara yang berlaku seragam untuk semua pribadi yang berada di wilayah jurisdiksi negara tersebut. Paham ini menempatkan kaedah hukum negara berada di atas kaedah hukum lain, dan karenanya harus tunduk kepada negara beserta lembaga hukum negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum adalah sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku seragam, serta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa, hal ini sesuai dengan ajaran Jean Bodin, Thomas Hobbes dan John Austin, atau kedua dari bawah ke atas di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama seperti diajarkan Hans Kelsen dengan teori hukum murninya. Sistem hukum yang dipengaruhi idiologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan hukum jika sesuai dengan lapisan norma atau kaedah yang di atasnya. 229 229 Berdasarkan pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. ShordeVoich Jr., Bachsan Mustofa 2003: 5-6 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen sistemnya yang berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan. Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen struktural, komponen substansial, dan komponen budaya hukum. Akan tetapi, Suherman 2004: 10-11 tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini Khusus kaedah utama Universitas Sumatera Utara 207 yang berada di puncak lapisan disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yang sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Untuk itu hukum dan penalaran hukum yang berlangsung adalah sebagai proses tertutup. Apa yang merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam bentuk rumusan yang abstrak untuk kemudian melalui proses kongkritisasi secara bertingkat dari atas ke bawah, sehingga akhirnya hukum yang semula abstrak menjadi kongkrit. Sebaliknya yang berlawanan dengan paham sentralisme hukum adalah paham pluralisme hukum. Paham pluralisme hukum menempatkan sistem hukum yang satu berada sama dengan sistem hukum lain. Menurut berbagai literatur sejak saat timbulnya hukum modern yang sentral dari negara, maka mulai tergusurnya jenis hukum lain seperti hukum adat dan kebiasaan lainnya. Dilihat dari jenisnya terdapat beberapa tipe pluralisme hukum. Tipe pertama disebut dengan Puralisme hukum negara yang menunjuk pada kontruksi hukum yang di dalamnya aturan hukum yang dominan memberi ruang baik secara implisit atau eksplisit, bagi jenis hukum lain, misalnya hukum adat atau hukum agama. Hukum negara mengesahkan dan mengakui adanya hukum lain dan memasukkannya dalam sistem hukum ada suatu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan Perserikatan Bangsa- bangsa. Bagaimanapun juga, sebagai suatu sistem, sistem hukum seharusnya: terdiri dari bagian-bagian, bagian-bagian tersebut saling berhubungan, masing-masing bagian dapat dibedakan tetapi saling mendukung, semuanya ditujukan pada tujuan yang sama, dan berada dalam lingkungan yang kompleks pendapat ini dihubungkan dengan pendapat Shrode dan Voich dalam Amirin, 1987: 11. Universitas Sumatera Utara 208 negara. 230 Studi hukum adat dalam perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang perkembanganya di dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat akan dikaji secara positif dan secara negatif. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai hukum yang bersumber dari alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya. Secara negatif hukum adat dilihat dari luar, dari hubungannya dengan hukum lain baik yang menguatkan maupun yang Tipe kedua, yang disebut dengan Pluralisme hukum menunjuk situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan, dengan masing-masing dasar legitimasi dan keabsahannya. Paradigma pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas. Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan. Pemahaman hukum adat sebagai hukum tidak tertulis tidak hanya memahami hukum adat yang berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu. Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal. Dengan pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat akan dapat dipahami dengan memadai. 230 Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang dikemukakan oleh Friedman selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali 2003: 7-dst, yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum. Universitas Sumatera Utara 209 melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan. Perkembangan hukum secara positif artinya hukum adat akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negatif bagaimana hukum adat dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya hukum positif yang direpresentasikan oleh negara baik dalam perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Atas dasar itu hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian- bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah- kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula. Konklusi dasar dari apa yang telah diterangkan pada konteks di atas dapat disebutkan bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat. Paralel dengan konteks di atas I Made Widnyana 231 231 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: P.T. Eresco, 1993, hal. 3-4 menyebutkan ada lima sifat hukum pidana adat yaitu: Universitas Sumatera Utara 210 1 menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata; 2 ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin terjadi; 3 membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda; 4 peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil; 5 tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadlian berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang Pasal 5. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya Pasal 16 ayat 1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili Pasal 25 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004. Hakim mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi hakim bukan Universitas Sumatera Utara 211 corong undang-undang. Hakim harus mengikuti, memahami hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum kebiasaanhukum adat atau hukum tidak tertulis. Secara sosiologis, hukum tidak tertulis senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat. Berbagai asumsi yang mendukung hal tersebut sebagai berikut: a. Hukum tidak tertulis pasti ada karena hukum tertulis tidak akan mungkin mengatur semua kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dengan hukum; b. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial yang cepat peranan hukum tidak tertulis lebih menonjol dari hukum tertulis; c. Yang menjadi masalah adalah mana yang merupakan hukum tidak tertulis yang dianggap adil; d. Untuk menjamin kepastian hukum memang perlu sebanyak mungkin menyusun hukum tertulis, namun bukan berarti bahwa keadaannya pasti demikian sebab dalam bidang kehidupan yang bersifat publik, maka hukum tertulis terutama dibuat untuk mencegak kesewenang-wenangan penguasa. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut ilmu hukum dan filsafat Universitas Sumatera Utara 212 hukum, usaha pembaharuan hukum dapat dikatakan. bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan pragmatic jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan aliran pragmatic jurisprudence adalah menghendaki bahwa dalam pembaharuan hukum itu di samping memperhatikan keadaan hukum nyata, berpegangan juga pada suatu ide tentang hukum ideal. Jika dihubungkan dengan fungsi hukum, maka dalam pembaharuan hukum fungsi hukum dapat dibedakan atas dua macam yakni sebagai sosial kontrol yaitu sebagai alat social engineering yakni alat untuk melakukan perubahanperombakan masyarakat. Paham pertama adalah paham Carl Freidrich Von Savigny yang terkenal dengan konsepsinya bahwa hukum itu tidak dibuat-buat melainkan ia ada dan tumbuh bersama dengan rakyat. Paham yang kedua dikembangkan oleh Roscoe Pound dari aliran American Legal Realism yang terkenal dengan konsepsinya “law as a tool of social engineering”. Dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis, bahwa dalam penegakan hukum penegak hukum atau aparat hukum seperti hakim, berupaya menarik hukum tidak tertulis menjadi berperan sebagaimana layaknya hukum formal. Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan Universitas Sumatera Utara 213 dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi pemikiran pada saat menerapkan hukum tidak tertulis tersebut, bertitik tolak pada pemikiran adanya keseimbangan monodualistik yang hidup di dalam masyarakat, yaitu asas keseimbangan antara kepentingan perlindungan individu dengan kepentingan perlindungan masyarakat, keseimbangan antara kretaria formal dan materiil, dan keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Nilai keseimbangan dalam ide hukum tidak tertulis, diwujudkan dalam menentukan suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman adalah perbuatan yang bersipat melawan hukum. Suatu perbuatan, untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman atau dalam bahasa hukum formal dikenal dengan istilah tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, jadi setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. 232 232 Secara umum antara Sistem Hukum Eropah Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan mana yang dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui peraturan perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan. Mengingat kekurangan dan kelebihan antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis ketegangan satu sama lain. Pola pikir dan argumentasi hukum yang demikian merupakan pangkal tolak pemikiran bagi hakim Universitas Sumatera Utara 214 sebagai pembentuk undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Atas dasar itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan yang diakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat, hal inilah yang wajib dipertimbangkan oleh hakim sebagai pembentuk hukum dalam putusannya. Dengan berpegang pada prinsip berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat itu sendiri, dengan sendirinya akan membuat hukum yang tidak tertulis itu, menjadi hidup dan dapat dijadikan sebagai pedoman atau kretaria dalam menetapkan, sumber hukum materiil yang hidup dalam masyarakat yang nantinya dapat dijadikan sebagai sumber hukum legalitas materiil. Konkritmya, apabila dijabarkan lebih lanjut, prinsip ini sesuai dengan nilai atau paradigma moral religius, nilai kemanusiaan atau humanisme, nilai kebangsaan, Universitas Sumatera Utara 215 nilai demokrasi kerakyatan dan nilai keadilan sosial yang merupakan landasan dalam pembentukan hukum tertulis. Kemudian makna yang terkandung dalam pemahaman, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa bersumber pada ketentuan Pasal 15 ayat 2 Convensi Internasional tentang hak-hak civil dan politik. Adanya ketentuan tersebut, mengandung arti, bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum tidak tertulis, mendapat landasan hukum agar hakim dapat mengadili maupun menjatuhkan sanksi dengan berdasar pada ketentuan hukum tidak tertulis, hal ini sesuai dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional. 233 233 Di antara sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi dihimpun secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60 dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini. KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hal. 68-89. Dengan pola pikir yang demikian, tentunya pembatasan yang menentukan bahwa penjatuhan hukuman, harus berdasarkan asas legalitas formal tidaklah diterapkan secara absolut, demikian juga dengan adanya asas keseimbangan monodualistik sebagaimana diuraikan di atas, berarti polarisasi pemikiran hakim sebagai pembentuk hukum, menganut pula secara implisit ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi positif. Universitas Sumatera Utara 216 Dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan, ajaran sifat melawan huku m materil dalam fungsi positif, diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. 234 Berdasarkan pemahaman yang demikian, terlihat dengan jelas eksistensi hukum tidak tertulis dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, Esmi Warasih 235 234 Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum, maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain, selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang- undang menurut Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex Pasal 1 ayat 2 KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 N.J. 1922 hal. 239 yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”. 235 Esmi Warasih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 14 April 2001. dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya pada Universitas Diponegoro Semarang, menjelaskan, Universitas Sumatera Utara 217 bahwa: Penerapan suatu Sistem hukum yang tidak berasal atau tidak ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono, 236 a. Hukum Nasional harus merupakan lanjutan inklusif modernisasi dari hukum adat dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang; merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian, yaitu: b. Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula; c. Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban 236 Lihat Sunarjati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembentukan Hukum Nasional dan lihat pula Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia Kekuatan Moral Hukum Progresif Sebagai Das Sollen. Universitas Sumatera Utara 218 yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

BAB III IMPLEMENTASI KONSEP