144
B. Implikasi Konsepsi Barat Terhadap Hukum Adat Indonesia
Pada saat ini, konsep Hukum Adat yang dipakai oleh sebahagian besar ahli hukum di Indonesia masih mengacu dan berpedoman kepada ilmu pengetahuan
Barat tentang Hukum Adat. Sehingga yang muncul adalah paham tentang Hukum Adat dalam konsepsi Barat. Meskipun hasilnya telah mampu menyajikan Hukum
Adat secara sistematis, akan tetapi belum menyentuh aspek esoteris dari Hukum Adat tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya introdusir tentang pengkajian Hukum
Adat menuju konsepsi Hukum Nasional. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka Hukum Adat akan semakin suram dan berkemungkinan besar akan terasing
teraliensi dari kalangan masyarakat akademis di masa mendatang.
166
166
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press Press, 2004, hal.
142.
Permasalahan yang muncul dalam berbagai kajian Hukum Adat diduga disebabkan karena kurangnya atau membekunya bahan-bahan yang ada atau belum adanya
kesatuan tema dan orientasinya. Sehingga dengan demikian, peninjauan kembali terhadap paradigma dan teori-teori Hukum Adat adalah merupakan keharusan bagi
ahli-ahli hukum Indonesia, sebab pengertian tentang apa itu Hukum Adat dari para ahli hukum di Indonesia masih banyak berpedoman kepada Ilmu Pengetahuan
Barat mengenai Hukum Adat yang dimulai pada tahun 1894 M oleh salah seorang kebangsaan Belanda dan ahli sastera Timur yang bernama Snouck Hurgronje.
Universitas Sumatera Utara
145
Usaha ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sarjana Sastera dan sekaligus Sarjana Huku m bernama van Vollenhoven, seorang Guru Besar dari Universitas
Leiden di Belanda.
167
Jauh sebelumnya sebenarnya juga sudah ada hasil dari pemikiran pujangga- pujangga Indonesia asli atau ahli-ahli Hukum Adat setempat, tetapi dengan adanya
usaha dari kalangan ilmiah Barat untuk mempelajari secara ilmiah dengan memakai dasar-dasar dan ukuran Ilmu Sosial Barat, maka Hukum Adat yang telah dirintis
sebelumnya menjadi tersisih. Lambat-laun hasil-hasil itu tidak diperhatikan oleh kalangan ahli dan peminat Ilmu Pengetahuan Hukum di Indonesia. Pada hal pada
tahun 1920-an Van Vollenhoven sendiri pernah memperingatkan bahwa pengetahuan Hukum Adat yang sebenarnya ialah pengetahuan yang dihasilkan oleh
putera-putera bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, maka itulah yang harus ditunggu- tunggu.
Sebagai puncaknya adalah studi hukum adat yang dilakukan oleh Ter Haar yang memberikan warna positif terhadap Hukum Adat.
168
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Modern tentang Hukum Adat dibangun di atas reruntuhan Ilmu Hukum Indonesia, yang sebelum
orang Barat datang sudah ada dan berkembang.
169
Konsep hukum adat yang dikembangkan dan disajikan oleh Barat dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini dirasakan sebagai suatu hal yang kurang
memadai kebutuhan hukum rakyat Indonesia yang dalam cita rasanya adalah
167
M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian 1 Bandung, Mandar Maju, 1992, hal. 35.
168
Lihat C. Van Vollenhoven, de Ontdekking van het Adatrecht, Leiden 1928, hal. 173- 174, yang dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Dewasa ini, FH-UII, Yogyakarta, 1983, hal. 4.
169
Lihat C. Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid III, Leiden, 1993, hal. 791, dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 1992, hal 35.
Universitas Sumatera Utara
146
berdasar dan bersumber pada cita rasa nilai-nilai budaya Indonesia. Keadaan ini kemudian timbul suatu kelompok ahli hukum dari kalangan putra Indonesia yang
berusaha mengawinkan kedua konsep tersebut sesuai dengan pandangan hidup yang diyakininya yang kemudian menghasilkan konsep hukum adat yang bercorak
nasional. Sehubungan dengan itu, pengertian atau konsep apa itu adat Hukum Adat
sebenarnya sudah mulai dirumuskan jauh sebelum kedatangan orang-orang Barat di Indonesia. Karena konsep Adat mula-mula diperkenalkan dari istilah Arab yaitu
ketika bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan orang-orang Arab dalam hubungan dengan pengembangan agama Islam di Indonesia.
170
Adat adalah istilah Arab dari perkataan “adah”
171
yaitu untuk menunjukkan apa yang hidup dalam kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan
dalam pergaulan sehari-hari yang merupakan keseluruhan kaidah tingkah laku yang diterima dan dihormati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Istilah adat yang
berasal dari bahasa Arab itu bersifat abstrak, tetapi di masyarakat lebih dikenal daripada istilah “urf” yang juga berasal dari bahasa Arab yang sering diartikan
kebiasaan atau adat juga.
172
170
M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 37.
171
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 8.
172
Koesnoe memberi catatan mengapa istilah adat itu lebih dikenal di masyarakat dari pada istilah urf, karena diduga bahwa istilah adat itu bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari
Bahasa Sansekerta “adhi” yang artinya “dari masa yang tak dapat diingat lagi”. Istilah adhi itu masih dikenal di masyarakat Bali yang menganut agama Hindu yaitu menyebut kitab
Adhigama.
Universitas Sumatera Utara
147
Di dalam mempergunakan istilah adat yang berasal dari bahasa Arab itu membawa pengertian yang masih kabur di kalangan masyarakat awam, sehingga
ada usaha dari kalangan ahli dan tokoh pemikir yang bertanggung jawab di masyarakat untuk memberikan pandangan yang lebih bersih dan konsisten.
173
Usaha yang dilakukan oleh ahli fiqh antara lain dilakukan oleh Jalaludin bin Syeh Muhammad Kamaluddin anak Kadhi Baginda Khatib dari Negeri Trusan di
Aceh atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah 1781-1795. Tulisannya berjudul “Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam” Bahtera bagi semua hakim dalam
menyelesaikan semua orang yang berkesumat. Konsep adat kemudian menjadi bahan pemikiran para ahli adat untuk menyusun
konsep yang lebih jelas dan mantap. Usaha-usaha ini nampak dilakukan oleh kalangan para terpelajar dalam fiqh dan dari kalangan ahli adat yang muslim yang
dinyatakan dalam forum-forum yang membahas penyelesaian sesuatu soal yang timbul di dalam masyarakat yang bersangkutan.
174
173
Koesnoe, Op. Cit., hal. 39.
174
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 9, dijelaskan bahwa dalam muqadimah kitab hukum acara tersebut dikemukakan bahwa dalam memeriksa perkara maka hakim harus
memperhatikan hukum syara’, hukum adat, adat dan resam.
Disitu dikemukakan bahwa “Hukum Adat itu persambungan antara yang dahulu dan yang kemudian pada pihak
adanya atau tiadanya dengan ditilik kepada berulang-ulangnya pada halnya. Tiada boleh di dalamnya penglihatan, seperti:
api menunukan bagi yang menyentuhnya, dan yang tajam melukai bagi yang kenanya, dan makanan mengenyang bagi yang
Universitas Sumatera Utara
148
memakannya, dan cahaya menerangkan bagi yang kelam, dengan sebab ada pertambatan pertemuan di dalamnya”.
175
Pada akhir abad ke-19, studi hukum adat memasuki tahap baru yang kajiannya lain sama sekali dari sebelumnya. Usaha untuk memberikan definisi
hukum adat adalah baru sama sekali. Usaha ini dirintis oleh Snouck Hurgronje, yang kemudian dilanjutkan oleh van Vollenhoven. Usaha ini sebetulnya merupakan
reaksi terhadap golongan yang ingin mengesampingkan bahkan mengganti hukum rakyat Indonesia hukum adat dengan hukum barat. Karena hukum adat
dianggapnya seolah-olah hanyalah peraturan-peraturan ajaib yang sebagian besar bersimpang siur dan oleh penguasa dianggap rendah.
176
Dalam menyusun pandangannya tentang hukum adat, penulis ini berpangkal pada pikiran ilmiah barat dengan mempergunakan bahan-bahan empiris yang cara
175
Koesnoe memberikan penjelasan lebih lanjut tentang rumusan Jalaludin di atas yaitu bahwa apa yang dimaksud Hukum adat adalah pertama-tama adanya unsur “persambungan”
antara yang dahulu dengan yang kemudian. Artinya bahwa hukum adat bukan terletak pada peristiwanya, tetapi kepada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa itu. Dan yang tidak
tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntut terpautnya sesuatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Unsur yang kedua adalah ada tidaknya
sambungan itu ditilik dari “berulang-ulangnya hal” yang bersangkutan. Maksudnya bahwa hukum adat yang dapat diketahui sebagai “sambungan” dari dua peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang berlainan, tetapi peristiwa itu ternyata memiliki perwujudan yang bersamaan, seolah-olah itu pengulangan dari yang silam. Jadi hukum adat bagi Jalaluddin tidak terletak
pada hal yang terlihat, yang dibedakannya dari pengertian urf, adat dan resam. Urf adalah segala pekerjaan yang telah ditetapkan oleh para ulama; Adat dijelaskan sebagai “dan adat itu
mengulang hukum seperti tabiat yang dahulu kala, tiada berkekalan di dalamnya”, artinya adat tidak terletak pada bidang pengalaman yang nyata, akan tetapi sebagaimana tabiat terletak pada
dunia yang lain dari kenyataan yang dapat dilihat. Sedangkan resam dijelaskan “dan makna resam yaitu bekas yang berlaku hukumnya pada sekalian negeri, tiada berkehendak kepada
bicara lagi sebab karena lahirnya yang masyur”. Jadi resam itu adalah bekas, yaitu apa yang sudah terjadi, berada dalam alam kenyataan empiris dan dapat dilihat. Bekas yang dimaksud
adalah bekas dari ketetapan yang telah dijalankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kosnoe, Loc. Cit.
176
R.H. Soedarso, Studi Hukum Adat, Makalah Seminar Masa Depan Hukum Adat, FH-
UII Yogyakarta, 1988.
Universitas Sumatera Utara
149
dan ukuran pengumpulannya dipergunakan cara dan ukuran ilmiah barat yaitu Ilmu Sosial. Dari kacamata ilmu sosial itu dicoba menetapkan isi istilah hukum adat,
yang pada waktu Snouck Hurgronje berada di Aceh sudah ada dan hidup serta dipergunakana secara luas oleh masyarakat umum maupun oleh kalangan ilmu
pengetahuan di Aceh. Snouck Hurgronje terkenal karena penelitian-penelitiannya di Aceh dan
Gayo dan pengetahuannya tentang Islama secara teori dan praktek, juga caranya ia belajar Islam di Mekkah. Hasil penelitiannya membedakan antara hukum adat dan
hukum agama, hukum rakyat dan hukum raja-raja, hukum hidup dan hukum tertulis.
Snouck mengkritik teori “receptio in complexu” yang dipertahankan oleh Van Den Berg. Dengan kritik ini maka gugurlah anggapan bahwa sumber pokok hukum
adat adalah hukum fiqh.
177
177
Ibid.
Definisi hukum adat oleh Snouck Hurgronje diterjemahkan menjadi “Adatrecht”, merupakan introduksi dan permulaan tentang
pengakuan eksistensi hukum adat sebagai hukum orang Indonesia pribumi di dalam lingkungan perhatian Ilmu Pengetahuan Hukum Barat. Adatrecht diartikan sebagai
adat yang mempunyai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang menjadi ukuran sentral definisi Snouck. Dari definisi ini dapat ditarik pengertian bahwa kebiasaan
dan tingkah laku yang ada di dalam masyarakat Aceh yang dilihat mempunyai
Universitas Sumatera Utara
150
akibat, maka dikualifikasi sebagai hukum. Olehnya kemudian diberi nama hukum adat yaitu adat yang mempunyai akibat hukum.
178
Dalam memberikan penjelasan kepada kalangan ilmu pengetahuan barat, penulis ini antara lain menyatakan: barang siapa sebagai seorang yuris memasuki
alam hukum Indonesia, maka ia akan dihadapkan kepada suatu alam hukum yang sangat berlainan dengan apa yang dijumpainya dinegeri Belanda. Dalam
masyarakat Indonesia hukum tidak tertulis yang dinamakan hukum adat dan apa yang merupakan hukum tersebut adatrecht hukum adat yaitu adat tidak tertulis
yang mempunyai sanksi karena itu hukum. Pemikiran Snouck Hurgronje di atas menimbulkan rangsangan bagi kalangan
ilmu hukum barat untuk mengkaji lebih lanjut, terutama bagian adat yang mempunyai akibat hukum. Tampilah seorang sarjana hukum sekaligus sarjana
sastera timur yaitu van Vollenhoven.
179
Dengan pandangan van Vollenhoven ini, maka dimulailah tahap yang sebenarnya dari pemikiran dan penggarapan Hukum Adat secara Ilmu Pengetahuan
yang modern. Dia berpangkal dari kenyataan-kenyataan dengan bukti yang sangat
178
Terhadap definisi ini M. Koesnoe, mengajukan pertanyaan; pertama tentang pengertian apa itu adat. Bahwa yang dinamakan adat menurut Snouck adalah apa yang
dilihatnya dalam alam empiris mengenai apa yang terjadi secara berulang-ulang dalam tata waktu yang berurutan. Ringkasnya mengenai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam
masyarakat. Yang kedua tentang akibat hukum. Hukum yang dimaksud itu hukum apa? Hukum Barat atau Hukum Syariat, sebab lokasi penelitiannya Aceh yang menerapkan hukum Syariat
al-Quran dan Hadits. Bilamana yang dimaksud hukum adalah “recht” sebagai konsep Barat, maka maksudnya adalah seperangkat kaidah-kaidah yang memaksa atau yang dapat dipisahkan
yang dibuat oleh masyarakat. Apabila itu yang dimaksudkan oleh Snouck, maka definisinya masih sulit dipahami dan tidak jelas. M. Koesnoe. Loc. Cit.
179
Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlands Indie, Jilid I, Leiden, 1925 hal 3; dikutip M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1992,
hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
151
kuat. Kemudian dilanjutkan dengan usaha menemukan kesimpulan dalam pelbagai bidang hukum beserta soal-soal baik pokok maupun detail.
Hasil penelitiannya tentang hukum adat ini diberi judul “Het Adatrech van Nederlandsch-Indie”, terdiri dari tiga jilid tebal, yang dikumpulkan sejak tahun
1919-1931. Jilid pertama merupakan studi oreintasi tentang dunia hukum adat di Indonesia, yang menunjukkan masalah dasar dan pengenalan tentang hukum adat.
Jilid kedua merupakan pendasar tentang Ilmu hukum adat, yang menunjukkan persoalannya di masing-masing tempat. Jilid ketiga mengenai pengembangan ilmu
hukum adat dimana ditunjukkan studi-studi yang perlu tentang hukum adat. Pendirian van Vollenhoven ini kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya
antara lain: Ter Haar. Ilmu Hukum sebagaimana dikembangkan oleh Ter Haar dasar-dasarnya tidak terlepas dari pendasaran yang diberikan oleh Van
Vollenhoven. Tetapi yang diberikannya merupakan suatu pengembangan dan peningkatan lebih lanjut dan mengarah kepada studi Ilmu Hukum positif.
Menurut ter Haar untuk dapat mengetahui hukum adat, maka hanya dapat diketemukan dalam keputusan-keputusan para petugas hukum terhadap persoalan
yang diselesaikan di dalam maupun di luar persengketaan yang berpegangan pertama-tama pada ikatan-ikatan strukturil yang dianut oleh masyarakat, kedua
berpegangan pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat itu.
180
180
Terhadap pandangan ter Haar tersebut, Iman Sudiyat mengatakan bahwa ter Haar mempunyai pandangan yang sangat mendalam terhadap hukum adat, terbukti dari kata-katanya
bahwa setiap hakim harus mengambil keputusan menurut Adat, harus menginsyafi sedalam- dalamnya tentang sistem atau stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan
kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ini berarti ter Haar tidak melupakan
Universitas Sumatera Utara
152
Bagi ter Haar dalam mempelajari hukum adat yang ilmiah, maka keputusan para petugas hukum adat menjadi sangat penting. Sehingga persoalan lama apakah
hukum adat itu kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum atau adat yang ada sanksinya, atau sesuatu yang berada di alam normatif, mendapat suatu
penegasan yang lain. Keputusan sebagai dasar untuk mengetahui hukum adat sebagaimana
diajarkan ter Haar membawa konsekuensi dalam usaha mengetahui hukum adat. Konsekuensi itu adalah bahwa untuk menemukan hukum adat, perlu dikumpulkan
keputusan-keputusan petugas hukum yang sudah tetap. Hal ini guna mendapatkan kesimpulan umum yang terdapat dalam keputusan yang bersangkutan agar dapat
mengetahui bagaimana bunyi garis hukum adat tentang persoalan hukum yang tersirat dalam keputusan-keputusan itu. Hal ini nampaknya ter Haar terpengaruh
oleh ajaran ilmu hukum barat tentang “yurisprudensi yang tetap” untuk menangkap bunyi suatu garis aturan hukum adat yang subtantif.
Dengan ajaran Ter Haar ini studi hukum adat memperoleh bentuknya sebagai ilmu hukum positif mengenai adat. Dengan berpedoman pada disiplin Ilmu Barat
tentang studi hukum tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat, hukum adat oleh Ter Haar dibawa kepada pandangan bahwa itu ada pada studi kepustakaan
para petugas hukum adat. Berkat Ter Haar inilah hukum adat mendapatkan perkembangan
konseptualisasi ilmu hukum positif yang digarap secara ilmu hukum positif model
kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia dan alam pikiran yang khas yang harus dipakai oleh seorang hakim yang bijaksana sebagai pangkal haluan.
Universitas Sumatera Utara
153
barat. Ter Haar adalah “systeembouwer van het adatrecht”, artinya ter Haar telah membangun “afsluitsel van het verleden en een bouwsteen voor de teokomst” atau
“penutup bagi masa yang silam dan batu bangun untuk masa yang akan datang”, kata Djokosutono dalam kuliah-kuliahnya pada tahun 1953-1954.
181
Sehubungan dengan itu, perkawinan konsepsi hukum adat menurut para ahli adat dan Ilmu Pengetahuan Barat pada perkembangan berikutnya melahirkan
konsepsi baru tentang hukum adat yaitu konsepsi nasional. Konsepsi ini muncul dan dilatarbelakangi oleh gerakan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, sehingga
kesan pertama yang muncul adalah konsepsi yang bersifat ideologis. Pada tahun 1924 didirikanlah Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Jakarta.
Hukum adat, yang telah mendapatkan dasar-dasar teori yang disusun oleh van Vollenhoven diajarkan sebagai mata kuliah. Ilmu Hukum ini dibawah asuhan ter
Haar sebagai guru besarnya. Melalui ter Haar inilah para mahasiswa kaum terpelajar Indonesia terlihat ada suatu babak pemikiran baru tentang konsep hukum
adat yang membawa lahirnya konsep hukum adat yang baru yaitu sebagai ideologi nasional pada tahun 1928.
182
181
M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 55.
182
Namun Adat pada zaman Hindia Belanda memainkan peranannya yang patriotik dan oleh karena itu sangat dapat dimengerti para pejuang kemerdekaan yang waktu itu merasa perlu
mencantumkan dalam Sumpah Pemuda 1928. Dengan adanya ketentuan yang mengatur pluralisme hukum dapat dikatakan bahwa justru dengan pengaturan itu para pejuang
memperoleh senjata untuk mengkonsolidasikan dari melalui hukum adat sebagai lambang pengintegras. Lihat Satjipto Rahardjo, Pendekatan Baru Terhadap Hukum Adat, dalam
Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1977, hal. 143.
Artinya pendefinisian hukum adat dilakukan dalam kerangka ideologi kebangsaan, yaitu
Universitas Sumatera Utara
154
sebagai suatu keyakinan kebenaran bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang benar-benar hukum dari rakyat Indonesia.
Pandangan ideologis tentang hukum adat ini diperkenalkan sebagai ide mulai tahun 1926 dalam Kongres Pemuda Indonesia pertama. Walaupun pada
waktu Kongres I belum dapat dirumuskan keputusan yang pasti, kemudian dilanjutkan pada Kongres kedua pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Kongres
tersebut ditegaskan dalam bentuk keputusan kongres tentang keyakinan kongres mengenai faham persatuan Indonesia. Keputusan kongres itu antara lain dijelaskan
sebagai berikut: Mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan
memperhatikan dasar persatuan yaitu: kemaoean, sejarah, bahasa, hoekoem adat,
pendidikan dan kepandoean.
183
Isi keputusan ini dijelaskan oleh Koesnoe tentang apa fungsi dan peranan hukum adat dalam konsep ideologi tersebut yaitu bahwa hukum adat berperan
sebagai salah satu dasar persatuan Indonesia. Dalam pernyataan itu hukum adat diterima sebagai hukum yang merupakan nilai hukum bersama dari seluruh rakyat
dan mengikat seluruh bangsa Indonesia menjadi satu bangsa. Pikiran demikian adalah sesuai dengan pandangna yang hidup pada masa itu di kalangan ilmu politik
yaitu bahwa bangsa hanya dapat disebut bangsa apabila mempunyai hukumnya sendiri yang lain dari hukum bangsa lain. Sebagai pengikat persatuan seluruh
183
M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 56, Juga lihat teks lengkap Keputusan Kongres Pemuda 1928.
Universitas Sumatera Utara
155
bangsa Indonesia, maka hukum adat tidak dilihat pada pernyataannya yang beraneka ragam pada suatu daerah yang berlainan dengan daerah lainnya.
184
Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1945 sekitar bulan Juni-Agustus 1945, pandangan Hukum Adat secara ideologis memperoleh perumusannya dalam
bentuk pandangan yang lebih pasti yang meliputi: filsafat hukum adat kenegaraan, teori kenegaraan adat, dan hukum dasar negara.
Kelahiran pendirian dan keyakinan mengenai soal hukum Indonesia tersebut jelas ada kaitannya dengan pendidikan yang pernah dijalani oleh sementara
anggota-anggota peserta kongres yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Tinggi Hukum yang berdiri pada tahun 1924 di Jakarta yang sudah memberikan mata
kuliah hukum adat. Diantara tokoh yang merumuskan keputusan itu adalah Mohammad Yamin.
185
Ketiga perumusan tersebut dapat diperiksa dalam laporan persidangan- persidangan BPUPKI di bawah pimpinan dr. Rajiman Widyodiningrat. Soekarno
mengucapkan apa filsafat negara Indonesia yang berdasar kepada filsafat adat tentang kenegaraan yang diberi nama “Pancasila”. Intinya dijelaskan bahwa tidak
184
Konsep Hukum Adat yang ideologis, yang menekankan pandangannya mengenai hukum kepada segi “semangat”, yang menjelma Filsafat dan Hukum Dasar Indonesia, secara
teori dijelaskan oleh Koesnoe sebagai berikut: Hukum terdiri dari dua faktor yaitu faktor idiil, dan kedua faktor riil. Faktor idiil teridir dari bahan yang termasuk dalam alam susila, jadi
irasional dan bahan yang termasuk bahan rasional. Sedangkan faktor riilnya terdiri dari bahan manusia, alam dan tradisi. Bahan susila diantaranya ialah hal-hal yang berhubungan dengan
pandangan baik-buruk, tujuan-tujuan ynag ingin dicapai. Bagian yang termasuk bahan rasionil terdiri atas hal-hal yang berhubungan dengan pengertian, tehnik, dan sistem yang terdapat
dalam setiap hukum. Soal faktor riil yang terdiri dari tiga bahan merupakan hal-hal yang memberikan wujud nyata kepada hukum. Sebagai bahan nyata, bahan-bahan riil ini memberikan
wujud yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya di Indonesia. Dalam keputusan Kongres Pemuda 1928 pandangan mengenai hukum adat secara ideologi merupakan
kesadaran dan cita-cita hukum yang bersumber kepada semangat bangsa Indonesia.
185
Khudzaifah Dimyati, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
156
lain adalah negara gotong-royong. Demikian juga M. Yamin mengemukakan filsafat ini yang dalam intinya mengandung unsur-unsur yang sama sebagaimana
dikemukakan Soekarno. Soepomo pakar hukum adat dalam membahas mengenai teori kenegaraan
mengemukakan pendapatnya bahwa negara dan rakyat adalah tunggal. Atas dasar pikiran ini maka kedaulatan rakyat, menurut teori hukum adat, melahirkan negara
yang integralistik, yaitu negara dan rakyat adalah satu dimana kedaulatan ada ditangan rakyat.
Konsepsi hukum adat yang dilukiskan sampai dengan bulan Juli 1945, merupakan pematangan idiologi tentang pandangan hukum adat sebagaimana
dicetuskan pada tahun 1928. Kesemuanya itu masih merupakan usaha merumuskan secara lebih jelas tentang isi idiologi yang diyakini dan harus dihayati serta
diperjuangkan menjadi kenyataan politik di Indonesia. Pematangan perumusan hukum adat secara ideologis ini pula pada waktu itu juga telah melahirkan
rancangan dasar rumusan yuridis yaitu dalam bentuk dokumen sejarah negara yang terkenal dengan Piagam Jakarta.
Di dalam Piagam Jakarta itu dirumuskan pula hal-hal yang berhubungan dengan soal dasar filsafat hukum yang harus dianut oleh rakyat Indonesia tentang
teori negara dan tujuan-tujuannya. Hukum adat dalam konsepsinya yang ideologis ini sebagaimana yang terdapat dalam keputusan kongres pemuda 1928 sampai
tahun 1945 untuk pertama kalinya dikaitkan dengan filsafat hukum dan hukum dasar kebangsaan Indonesia. Hukum adat dilihat sebagai suatu nilai hukum dari
Universitas Sumatera Utara
157
budaya rakyat Indonesia, hukum yang mengatur tata hukum bangsa Indonesia seluruhnya, sebagai kaidah hukum yang menjadi dasar persatuan Indonesia.
Dari konsepsi ideologis tentang hukum adat pada perkembangan berikutnya yaitu tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 hukum adat benar-benar merupakan
konsep nasional yang mewujud dalam negara Indonesia yang merdeka menurut hukum adat.
186
186
Namun setelah Indonesia merdeka kenyataannya jadi lain, yaitu bahwa peranan hukum adat telah diambil alih Hukum Nasional yang dasarnya terdapat dalam UUD 1945.
Konfigurasi yang bersifat pluralistik menjadi berakhir. Apa yang dahulu disebut sebagai Hukum Adat, Sekarang berubah menjadi kompleks nilai-nilai yang berpengaruh terhadap bekerjanya
Hukum Nasional. Lihat Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hal. 143.
Perbedaan antara pandangan hukum adat sejak 17 Agustus 1945 dengan sebelumnya adalah bahwa sebelumnya pandangan itu belum merupakan
pandangan resmi dari negara Indonesia, hanya merupakan pandangan sekelompok tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin rakyat Indonesia yang duduk dalam PPKI
yang dibentuk oleh pemerintah tentang pendudukan Jepang. Sedangkan sejak 17 Agustus 1945 sekalipun dari kebanyakan orang-orangnya sama, kelompok tokoh-
tokoh tersebut mempunyai kedudukan dan kualitas yang lain yaitu sebagai pembentuk UUD 1945 dari negara yang merdeka.
Dalam kedudukan dan kualitas yang demikian, maka pandangan yang dijiwai dan dibimbing oleh hukum adat, merupakan pandangan resmi para pembentuk
negara Indonesia dan tidak lagi hanya sekedar sebagai suatu semangat atau ideologi golongan atau perorangan. Pendapat mereka menjadi pendapat badan resmi negara
dan merupakan pandangan dan pendirian negara mengenai apa hukum positif dalam negara Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
158
Dalam konsepsi nasional tentang hukum adat ini dijabarkan bidang-bidang antara lain: filsafat hukum adat nasional, teori negara hukum menurut adat yang
diangkat secara nasional dan Dasar-Dasar Tata Hukum Nasional sesuai dengan filsafat dan teori tersebut.
187
Menurut Koesnoe,
188
Hukum adat sebagaimana dinyatakan oleh pelbagai kalangan barat maupun kalangan adat, adalah merupakan suatu hal yang mengatur dan menertibkan ini
dalam kehidupan sehari-hari jika dibandingkan dengan praktek hukum barat sangat berlainan keadaan dan bekerjanya. Selain itu, karena hukum selalu lahir dari cita
pandangan Hukum Adat Nasional itu tercermin dalam tiga dokumen yang terdapat dalam Pembukaan UUD
1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan Penjelasannya. Yang pertama mengenai Hukum dan wujudnya, yang kedua sistemnya, dan ketiga merupakan dasar-
dasarnya. Koesnoe, lebih lanjut mengajukan beberapa catatan tentang apa yang
dinamakan Hukum Adat dalam kerangka paham nasional yaitu: tentang kriterium hukum yang perlu untuk menentukan apakah dari adat yang dapat tergolong
hukum. Di sini perlu diperhatikan bahwa definisi hukum sebagaimana lazim dipergunakan dalam alam pikiran hukum adat, tidak dapat dipergunakan. Untuk
hukum adat tidak dapat dipergunakan sanksi sebagai kriterium pokoknya. Demikian pula kepentingan pribadi yang harus didahulukan.
187
M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 65.
188
Lihat M. Koesnoe, Ibid., hal. 81, dijelaskan bahwa ketiga dokumen itu merupakan penyempurnaan konsep hukum adat dalam tahap keempat Ia membagi lima tahap
konseptualisasi Hukum Adat. Hal ini dapat diperiksa dalam rumusan penjelasan UUD 1945 dimana dapat diketemukan bagaimana “rechtidee” nasional yang mengikat bangsa dan negara
Indonesia. Rechtidee tersebut merupakan pengangkatan secara modern ide hukum rakyat Indonesia yang bersumber kepada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yaitu Hukum Adat.
Universitas Sumatera Utara
159
rasa hukum masyarakat yang bersangkutan, definisi hukum adat, segi cita rasa hukum masyarakat perlu mendapat perhatian. Cita rasa hukum adalah cita rasa
hukum yang merupakan pancaran nilai budaya rakyat Indonesia. Hal selanjutnya yang perlu mendapatkan perhatian ialah tanda pengenal secara lahir bagi hukum
adat umumnya tidak tertuang dalam bentuk hukum tertulis. Dalam hal ini pengisian huku m adat dalam rangka nasional di atas
menunjukkan suatu perkembangan yang bertahap. Tahapan-tahapan itu dijelaskan oleh Koesnoe sebagai berikut:
Pertama, unsur dasar konsep hukum adat dalam kerangka nasional adalah yang menyangkut Jiwa Nasional. Unsur tersebut diletakkan sebagai pernyataan
nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia yang mengenai bidang yang dinamakan hukum.
Kedua, bahwa hukum adat selalu dihubungkan dengan rakyat Indonesia seluruhnya, terutama golongan aslinya. Dalam hal ini, hukum adat tidak merupakan
hasil pemikiran dari suatu kelompok elite dari masyarakat bangsa Indonesia, misalnya kalangan Juris, oleh karenanya sumbernya bukan hukum tertulis akan
tetapi pernyataan langsung cita rasa hukum rakyat Indonesia yang berkebudayaan Indonesia.
Ketiga, bahwa cita rasa hukum adat diantaranya ada yang mempunyai sifat universal kemanusiaan. Hal ini berarti bahwa hukum adat dilihat sebagai suatu asas
yang bersifat normatif, karenanya bersifat abstrak dan tidak dalam wujudnya yang nyata dan empiris.
Universitas Sumatera Utara
160
Keempat, bahwa hukum adat dilihat sebagai perwujudan tingkah laku yang nyata dalam masyarakat baik dalam perbuatanyang berlangsung sekali saja
einmalig maupun dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, atau dalam bentuk keputusan-keputusan dengan tidak menutup kemungkinan berbentuk tertulis.
Kelima, bahwa dalam memberikan definisi hukum adat perlu adanya definisi ganda. Yaitu definisi formil dan definisi materiil atau substansiil. Perkembangan
konsep Hukum Adat dalam hal ini dikaitkan dengan UUD 1945. Dari sini Hukum Adat dapat dilihat sebagai apa yang disebut oleh UUD 1945 sebagai hukum yang
tidak tertulis, yaitu meliputi hukum dasar sampai kepada pelaksanaan atau perinciannya. Pandangan ini memberikan suatu konsekuensi dan kelanjutan
pandangan yaitu:
189
Dalam hubungannya dengan UUD 1945 pandangan ini akan melihat UUD 1945 sebagai penjelmaan dalam bentuk tertulis dari hukum rakyat yang tidak
tertulis. Pandangan seperti ini tidak menyimpang dari pandangan yang berkembang. Dan, secara terang-terangan UUD 1945 tidak metutup kemungkinan penjelmaan
“semangat” menjadi dan menguasai hukum tertulis. Selain itu, di dalam UUD 1945 hal ini juga telah dijelaskan dengan tegas, bahwa gejala peraturan tertulis
ditentukan oleh “semangat” yang menjiwai para pelaksananya. Semangat yang bahwa Hukum Adat dapat berwujud sebagai hukum tertulis,
asal saja itu merupakan cita rasa hukum rakyat yang tidak tertulis.
189
Pandangan Hukum Adat dapat melahirkan hukum yang tertulis bukan merupakan hal yang baru. Di masa silam sudah ada bibit-bibit itu. Hukum Adat diberi bentuk tertulis pada
masa dahulu dinyatakan dalam bentuk: Angger-angger Jawa, awig-awig Bali. Belum jelas apakah dalam soal ini dapat pula disebut “Undang-Undang” sebagaimana terkenal dalam
masyarakat Minangkabau dan Melayu. Angger-angger, Awig-awig bentuknya tertulis dan berujud dalam bentuk susunan yang mirip pasal-pasal dari undang-undang yang modern. Lihat
Koesnoe, Op. Cit., hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
161
dimaksud dalam sistem UUD 1945 ialah cita rasa hukum rakyat Hukum Adat. Pokok-pokok asasnya digambarkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945 yang dasar-dasar asasinya yaitu nilai-nilai yang ada dalam budaya bangsa. Dari hukum tertulis dalam bentuk undang-undang ini sumbernya yang disebut
hukum dasar yang tidak tertulis atau “semangat” menurut M.Koesnoe, tidak lain adalah Hukum Adat.
C. Implikasi Hukum Tidak Tertulis Terhadap Konsistensi Asas Legalitas Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Untuk memahami bagaimana implikasi hukum tidak tertulis terhadap asas
legalitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, maka pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu posisi hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis.
Pemahaman tersebut berawal dari posisi hukum adat sebagai hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah, hukum adat
merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, namun ia mempunyai
daya mengikat yang kuat dalam masyarakat, ada sanksi tersendiri dari masyarakat, jika melanggar aturan hukum adat. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-
hari juga sering diterapkan oleh masyarakat, bahkan seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara dan apabila hakim tersebut tidak dapat menemukan
hukumnya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat, itu artinya hakim juga harus mengerti dan
Universitas Sumatera Utara
162
menguasai hukum adat dan hal ini membuktikan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis mempunyai pengaruh terhadap asas legalitas.
Dalam suatu komunitas masyarakat di wilayah manapun masyarakat itu berada, mereka pasti memiliki aturan yang menggariskan perilaku anggota
masyarakat tersebut. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang disertai dengan sanksi, sebab aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia, karena fungsi sanksi adalah
untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan tersebut. Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan
hukum mencerminkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Artinya semakin tinggi kesadaran masyarakat maka semakin rendah tingkat pelanggaran
hukumnya. Aturan hukum akan ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat apabila aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka akan hak dan kewajiban secara
proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu aturan yang melingkupinya memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan tunduk dan patuh pada
aturan hukum tersebut, dengan tanpa mempersoalkan apakah aturan itu tertulis atau tidak, sebab dalam kenyataan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat hidup aturan
yang tidak tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum adat, walaupun aturan tersebut tidak tertulis tetapi masyarakat mematuhinya.
Berbicara mengenai hukum yang tidak tertulis sangat erat kaitannya dengan sejarah kehidupan dan keberadaan suatu masyarakat, karena hukum yang tidak
tertulis lahir dan terbentuk dalam masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai macam individu yang menempati suatu wilayah tertentu di
Universitas Sumatera Utara
163
mana di dalamnya terdapat berbagai macam fungsi-fungsi dan tugas-tugas tertentu. Masyarakat dapat terbentuk akibat kesamaan genealogis, kultur, budaya, agama,
atau karena hidup dan mendiami suatu teritori yang sama, salah satu di antara sekian banyak kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan tersebut dikenal dengan
masyarakat adat. Banyak literatur maupun pandangan para ahli yang mengartikan atau memberi
definisi tentang masyarakat adat, anatara lain masyarakat adat dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun, di
wilayah geografis tertentu serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Bagi kelompok ini berlaku aturan-aturan yang mereka
tetapkan sendiri dan digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan-aturan itu dipatuhi secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan yang
hidup di tengah-tengah masyarakat yang dikenal dengan hukum adat. Jadi keterikatan masyarakat akan hukum adat berarti bahwa hukum adat itu masih hidup
dan dipatuhi dan ada lembaga adat yang masih berfungsi antara lain untuk mengawasi bahwa hukum adat memang dipatuhi.
Secara historis dapat ditelusuri, bahwa hukum adat selalu dipatuhi oleh warga masyarakat, karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati
warganya, sehingga mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Di samping itu juga secara materil dan formal,
hukum adat berasal dari masyarakat itu sendiri, atau merupakan kehendak dari suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, kepatuhan hukum itu akan tetap ada selama
Universitas Sumatera Utara
164
kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi secara bersama, kehendak kelompok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral
warga masyarakat untuk mematuhi hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Masalahnya sekarang, aturan tidak tertulis itu sering dianggap tidak menjamim
kepastian hukum karena dalam menyelesaikan suatu masalah aturan yang dipakai dapat diterapkan berbeda karena tidak ada norma yang baku yang harus diterapkan
atas suatu persoalan hukum, lain halnya dengan undang-undang sebagai hukum tertulis yang memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum. Selain itu
hukum tidak tertulis sering dianggap tidak konsisten karena dalam penerapannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kepentingan yang menghendakinya.
Anggapan yang demikian adalah sangat keliru, sebab dalam kenyataannya hukum tertulis selama ini selalu tertinggal dari fenomena yang muncul dalam
masyarakat, untuk itu hukum tidak tertulis melakukan back up terhadap undang- undang sebagai hukum tertulis. Dalam kaitannya dengan kesadaran dan kepatuhan
hukum, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kepatuhan hukum masyarakat, terhadap hukum adat sebagai hukum tidak tertulis dengan undang-
undang sebagai hukum tertulis, kesadaran masyarakat adat terhadap norma-norma baik dan buruk adalah secara sukarela sebagai akibat adanya kewajiban moral,
sedangkan kesadaran hukum manusia modern adalah karena adanya sifat memaksa dari hukum tersebut. Dengan demikian, kepatuhan hukum masyarakat modern pun
bukan karena di junjung tingginya aturan-aturan hukum, tetapi lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap sanksi atau ancaman yang diberikan oleh hukum.
Universitas Sumatera Utara
165
Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini
tidak dapat dipungkiri. Dengan demikian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan
memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan
kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-
ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan.
190
Pemahaman seperti ini mencakup juga pemahaman terhadap hukum pidana adat, yang bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau
keadilan. Sejauhmana hukum pidana adat tercakup atau berperan mempengaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung
kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat setempat, masih atau tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara,
maupun kepada sejauh mana hukum pidana adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan
yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum pidana adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut
atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat
190
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hal. 15-16.
Universitas Sumatera Utara
166
pertentangan antara hukum pidana adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian atau perkara
banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum, hakim wajib mencari dan menemukan hukum, Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak
memberi keadilan.
191
Implikasi hukum tidak tertulis terhadap konsistensi asas legalitas harus dipahami dengan mengacu pada penerapan asas legalitas itu sendiri. Selain itu, pada
dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto
laws”. Ketentuan asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia yang menentukan: “Tiada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran
voorafgegane wetteljke strafbepaling. P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat
dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.
192
191
Ibid., hal. 16.
192
A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1.
Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan feit yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
Universitas Sumatera Utara
167
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
193
Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”.
194
Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essential, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law”
konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif
atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip
“legality”.
195
Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya
undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu
undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum
pidana dan sanksi pidana nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions.
196
193
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif Watampone, 2005, hlm. 41 dan Andi Hamzah, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Paper Panel Diskusi 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri- La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hal. 12.
194
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001, hal. 3.
195
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980, hal. 21.
196
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
168
Selain itu, seperti yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP,
yang berisi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya”. Ketentuan ini merupakan terjemahan dari kata aslinya:
197
“Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaran voorafgegane wettelijk starfbepaling”. Pasal ini oleh Engelbrecht diterjemahkan
menjadi “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang mendahului perbuatan itu.” Kemudian
oleh Tim penerjemah Badan Pengembangan Hukum Nasional BPHN diterjemahkan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada“. Asas legalitas tersebut, dalam ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah “nullum delictum nulla
poena sine pravia lege poenali.
198
Asas nulla poena mula-mula diperkenalkan oleh Montesquieu, kemudian Rousseau, dan Beccaria. Selanjutnya oleh Paul Johann Anseln von Feurbach,
dirumuskan dalam bahasa latin “nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali
199
197
Secara harfiah banyak ahli hukum Indonesia yang memberikan terjemahan dengan kalimat yang berbeda tapi pengertiannya tetap sama, antara lain: P.A.F.
Lamintang dan Djisman Samosir dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Yarsif
Watampone, 2005, hal. 41. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001, hal. 3.
198
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal. 183.
199
P. A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia., Bandung: Sinar Baru, 1984, hal. 118-128.
. Asas tersebut, saat ini sudah diterima di banyak negara dengan
Universitas Sumatera Utara
169
mencantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negaranya masing- masing. Di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon,
200
asas Legalitas diterima dalam doktrin:
201
Substansi asas legalitas yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu
terjadinya tidak pidana. Actus non facit renum nisi means sit rea an act does not
itself contitute guilt unless the mind is guity, sebagai hukum tidak tertulis, dan terwujud dalam praktek pengadilan.
202
Dalam konteks pengkajian asas legalitas, jika mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP, berarti bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana kalau
Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur
sebelum perbuatan dilakukan. Dalam asas legalitas undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang
terkandung di dalamnya.
200
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi putusan hakim-
hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada kecuali Provinsi Quebec dan Amerika Serikat walaupun negara
bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon.
201
Bambang Purnomo, Op. Cit., hal. 184.
202
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya, atau nulla poena sine lege tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang, nulla poena sine
crimine tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana, nullum crimen sine lege tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang atau nullum crimen sine poena
legali tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya atau nullum crimen sine lege stricta tidak ada perbuatan pidana tanpa
ketentuan yang tegas. Bandingkan dengan KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., hal. 68-69.
Universitas Sumatera Utara
170
perbuatan itu termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Ketentuan
pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh
karena itu, ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya. Ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP yang menentukan;
Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Dalam pasal ini tegas
disampaikan, hanya membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.
203
Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru meskipun berlaku surut dapat
dilaksanakan.
204
203
J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty,1995, hal. 4.
204
Dari perspektif perbandingan hukum comparative law maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal
Court ICC asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article 24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat 1 menyebutkan, “A person shall not
be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”, dan ayat 2
menyebutkan, “The definition of a crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition shall be intepreted in favour of the person being investigated,
prosecuted, or convicted”, dan ayat 3, “This article shll not affect the characterization of any conduct as criminal under international law independently of the Statute”.
Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat 1 selengkapnya berbunyi bahwa,
“No person shall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat 2 berbunyi bahwa, “In the event of change in
the applicable to a given case prior to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or convicted shall apply”. Kemudian dalam Pasal 9 Konvensi
Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Juli 1978 asas legalitas
Universitas Sumatera Utara
171
Pemikiran penafsiran yang terkandung dalam ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1, fokus penekanannya diletakkan pada perkataan
sebelumnya,
205
Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk
memperlakukan undang-undang secara surut atau yang dikenal dengan asas ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat berlaku surut,
namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak, karena terdapat pengecualian dalam Pasal 1 ayat 2 yang menentukan: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No one shall be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence, under applicable law, at the time
when it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence. If subsequent to the commission of the
offense that law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A III tanggal 10 Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat 2 disebutkan asas legalitas dengan
redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international
law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed”. Selain itu, asas legalitas
juga dikenal dalam Pasal 7 ayat 2 African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi, Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang
menyebutkan bahwa, “No one may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally punishable offence for which no provision was made at the time it
was committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender”. Muladi, HAM Dalam Perspektif Hukum Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal.
102.
205
Lihat Pasal 1 ayat 1 menentukan;“Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.
Universitas Sumatera Utara
172
retroaktif,
206
sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan tersangka ataupun terdakwa. Untuk memahami aturan Pasal 1 ayat 2 ini, pertama-
tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam undang- undang. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi setelah seseorang
melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan daripada
undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus diperlakukan kepadanya. Secara teoretis asas legalitas mempunyai makna antara lain:
207
a Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. b
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian yang pertama tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang- undang jadi harus ada aturan hukum tertulis terlebih dahulu, hal ini jelas tampak
dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu yang mengharuskan adanya aturan pidana dalam perundangan. Sehubungan dengan itu dengan adanya ketentuan yang
demikian ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.
Pengertian yang kedua dimaknakan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Di Indonesia dan di Belanda pada
umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak
206
Asas retroaktif dikenal dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
207
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
173
dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata
diperbolehkan. Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma
yang lebih tinggi lebih umum atau lebih abstrak daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi ini berarti penerapan suatu
ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya.
208
Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak
diragukan patut dipidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya, demikian Pasal 1 ayat 1 KUHP sementara ayat 2 pasal tersebut memberikan pengecualian
sebagaimana telah diuraikan diatas.
209
208
Ibid., hal. 24-25.
Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses
209
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal Pasal 1 ayat 1 KUHP maupun asas
legalitas materiil Pasal 1 ayat 3 RUU KUHP Tahun 2008. Akan tetapi, Utrecht sangat berkeberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah
banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana strafwaardig tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat
yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa: “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan.
Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif collectieve belangen. Akibat azas nullum delictum
itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum =peraturan yang telah ada disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban
umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu
pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu
Universitas Sumatera Utara
174
perkara.
210
perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan Pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang
dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.” Lihat Utrecht, Rangkaian Sari
Kuliah Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1958, hal. 195-198.
210
Ibid., hal. 12.
Dengan kata lain, kalau dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan kasasi terjadi perubahan undang-
undang, untuk kepentingan terdakwa, Pengadilan harus menerapkan ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana. Undang-undang pidana melindungi
masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas. Inilah yang dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi
melindungi tersebut, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan
kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas mempunyai hubungannya dengan fungsi instrumental dari
undang-undang pidana tersebut. Maksudnya, undang-undang pidana diperlukan untuk memaksa masyarakat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan
pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh
dipidana.
Universitas Sumatera Utara
175
Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya
bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut: 1 Bentuk pelunakanpenghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri,
yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat 2 KUHP; 2 Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya
ajaran sifat melawan hukum yang materiel; 3 Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia dalam
Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru, asas legalitas tidak semata- mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai
“nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui
hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;
4 Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembanganpengakuan ke arah asas legalitas materiel lihat Pasal 15
ayat 2 International Convention on Civil and Political Right ICCPR dan KUHP Kanada di atas;
5 Di beberapa KUHP negara lain antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal ada ketentuan mengenai “pemaafan pengampunan hakim”
dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”
yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle”;
6 Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975 yang
menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” “the declaration of guilt without imposing a
penalty”;
7 Perkembanganperubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas
“lex certa”, karena dunia maya cyber-space bukan dunia rielrealitanyatapasti.
211
Selain itu, memaknai Asas Legalitas seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP seperti yang telah diuraikan di atas, maka secara redaksionalitas kata-
katanya asli dalam bahasa Belanda, jika disalin ke dalam bahasa Indonesia, maka
211
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
176
rumusannya akan berbunyi: ”Tiada suatu perbuatan feit yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Menurut
Moeljatno istilah feit itu juga dapat diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar
sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya Hukum Pidana menurut
waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Hazewinkel-Suringa berpendapat, jika suatu perbuatan feit yang memenuhi rumusan delik yang
dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut, akan tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak
dapat dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang.
Akan tetapi, jika makna Asas Legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine
praevia legi poenali”, yang dapat diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda ”Geen delict, geen
Universitas Sumatera Utara
177
straf zonder een voorfgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan kedua.
Dengan demikian ada dua hal yang dapat ditarik dari rumusan tersebut, yaitu: a. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan
diancam dengan pidana, maka perbatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana. b. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut,
dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP. Moelyatno menulis, bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian: a.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. b. Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
212
Adagium dari von Feuerbach itu dapat dirumuskan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A. van der Donk, yaitu: nulla poena sine lege, nulla poena
Meskipun rumusan tersebut dalam bahasa Latin, akan tetapi ketentuan itu, menurut Andi Hamzah, tidaklah berasal dari hukum Romawi, karena Hukum
Romawi tidak mengenal Asas Legalitas, baik pada masa republik maupun sesudahnya. Rumusan itu dibuat oleh Paul Johann Aslem von Feuerbech 1775-
1833, seorang pakar hukum pidana Jerman di dalam bukunya yang berjudul: ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada tahun 1801. Dengan demikian, asas legalitas
tersebut merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas.
212
Moelyatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1978, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
178
sine crimine, nullum crimen sine poena legali. Ternyata pengaplikasian adagium ini memiliki berbagai pandangan tentang ”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar
yang sama itu disatu pihak lebih menitikberatkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang Monstesquieu dan
Rousseau, dan di lain pihak menitikberatkan kepada asas hukum yang terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan ditetapkan lebih
dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat pada peraturan itu, dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitikberatkan pada
hukum pidana materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu didasarkan pada undang-undang yang ada Beccaria dan von
Feurbach. Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam rumusan
tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana, pembuat
undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebagai norma-norma sebelum perbuatan.
Manifestasi pertama kali di dalam Konstitusi Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration Desdroits De L’Homme Et
Du Citoyen tahun 1789. Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal
2.
213
213
D. Hazewinkel-Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, 1983, hal. 380.
Universitas Sumatera Utara
179
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia yang berasal dari WvS. Belanda ini sebenarnya merupakan peraturan
yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan
undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan ini dibawa oleh Lafayette dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca dan mempelajari Bill of Rights
Virginia tahun 1776 Bill of Rights = Piagam Hak Asasi Manusia. Dalam Bill of Rights hanya ditentukan, bahwa tidak ada orang yang boleh
dituntut atau ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas ini memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan
penangkapan sewenang-wenang. Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 UU. Inggris yang menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap harus
diperiksa dalam waktu singkat, yang pada gilirannya berasal dari Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan,
penahanan, penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum atau undang-undang vogelvrij, selain dari jika dijatuhkan putusan
pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang bebas dituntut itu.
Diketahui dalam perjalanan sejarah, bahwa Belanda juga menganut asas legalitas itu di dalam KUHP, akan tetapi di dalam situasi yang darurat, pernah
meninggalkan asas itu, yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London saat dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana S.d 61, mengenai
Universitas Sumatera Utara
180
beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak dikenal di dalam KUHP Belanda
dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan darurat, sebagaimana dikenal dengan istilah “abnormal recht voor abnormal tijden”.
Bagi Andi Hamzah dan Loebby Loqman, walaupun menurut Pasal 1 ayat 1 KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, akan tetapi dahulu sewaktu masih
adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang- undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat 3 nurit b, hakim menjatuhkan pidana
penjara maksimum 3 tiga bulan danatau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap delik yang belum
ada padanannya di dalam KUHP. Begitu pula di dalam Rancangan Buku I KUHP yang telah melalui
lokakarya yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum nasional pada tahun 1982, tercantum asas legalitas pada Pasal 1 ayat 1, namun pada ayat 4 dimungkinkan
penjatuhan pidana terhadap delik adat setempat yang belum ada padanannya di dalam KUHP Rancangan KUHP Tahun 2000 tercantum pada Pasal 1 ayat 3 KUHP.
Mungkin ada kalangan yang merisaukan ketentuan semacam ini yang merupakan penyimpangan dari asas legalitas. Oleh karena itu, Tim Pengkajian Hukum Pidana
sebagai penyusun Rancangan KUHP baru, memikirkan untuk membatasi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap delik adat setempat itu dengan denda saja, yaitu yang
paling ringan menurut kategori I dari Rancangan KUHP Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
181
Di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dipakai kata-kata “perundang-undangan pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undang-undang dalam arti
formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan peraturan perundang-undangan seperti: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam lingkup Hukum
Perdata maupun Hukum Administrasi Civil Penal Law dan Administrative Penal Law.
Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pendapat para ahli hukum yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam KUHP
Indonesia. Hampir semua penulis yang disebut di dalam tulisan ini dapat digolongkan pro dianutnya asas legalitas, dan khusus untuk Indonesia, dapat disebut
seorang penulis, yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana strafwaardig
tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup di Indonesia.
Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti
digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan
antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar
Universitas Sumatera Utara
182
dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas tiu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim
masih sering dipandang kurang sempurna sehingga dikuatirkan jika asas itu ditinggalkan.
Sehubungan dengan itu, International Commission of Jurists telah mencanangkan pengakuan asas legalitas sebagai suatu wacana bagi setiap negara
yang benar mengakui hukum sebagai fundamental operasionalisasi ketatanegaraan. Asas Legalitas sangat dibutuhkan untuk menjamin terhadap setiap tindakan
pencegahan atas perbuatan sewenang-wenang yang akan dilakukan oleh penguasa. Penguasa yang absolute, anarchies dan otoriter biasanya berkehendak membentuk
peraturan untuk melakukan pemidanaan terhadap perbuatan lawan politiknya yang tidak ada aturan tertulisnya. Diciptakanlah suatu produk hukum positif dan kemudian
diberlakukan suatu asas yang berlaku surut retroaktif untuk menjangkau perbuatan lawan politik atau opposannya agar dapat dikenakan pemidanaan. Memang, tragislah
apabila Hukum Pidana hanya dipergunakan sebagai sarana kepuasan atau pemuasan kepentingan politik saja. Eksplisitas dari salah satu pandangan
International Commission of Jurists adalah tidak diperkenankannya berlaku asas retroaktif yang sangat merugikan pihak pencari keadilan, dengan tetap
memperhatikan secara fundamental dan essensiel asas legalitas dalam kehidupan bernegara yang mengakui adanya hukum sebagai suatu supremasi. Pandangan ini
searah dengan sejarah berjalannya Hukum Pidana Indonesia yang memberlakukan
Universitas Sumatera Utara
183
asas retroaktif, kecuali oleh pemerintahan Hindia Belanda yang akan diuraikan di bawah ini.
Era Pra Kemerdekaaan, sejak tahun 1915 tidak pernah diberlakukan asas retroaktif, kecuali saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia,
saat pemerintahan Hindia Belanda harus menyingkir dari bumi Indonesia karena pendudukan Jepang. Setelah kemenangan pasukan sekutu terhadap bala tentara
Jepang di Asia, Pemerintah Pengasingan Hindia Belanda telah menerbitkan suatu aturan yang dinamakan sebagai Brisbane Ordonnantie 1945 mengenai penerapan
delik terhadap keamanan negara. Tujuannya adalah melakukan pemidanaan terhadap pihak yang secara politis mengalami kekelahan perang, yaitu bala tentara Jepang
beserta para kolaboratornya. Demikian kuatnya keinginan memberlakukan asas retroaktif, nyatanya bertujuan untuk melakukan suatu dominasi politis secara luas
terhadap pihak-pihak lain yang dianggap sebagai opposannya. Menurut Andi Hamzah seorang pakar Hukum Pidana, bahwa dari tinjauan historis, penetapan asas
retroaktif hanyalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi dari asas Lex Talionis pembalasan. Hukuman mati terhadap Naomi merupakan salah satu buktinya.
Naomi adalah seorang bintara Angkatan Laut Jepang yang bertanggung jawab sebagai Kepala Dapur Kamp. Tawanan Sekutu di Makassar, sedangkan Komandan
Garnisun yang secara militer bertanggung jawab pidana secara indivisualistik telah melakukan hara-kiri, sehingga secara hierarkis Naomi dijatuhkan pidana tersebut.
Sifat pembalasan politis sebagai sikap dari Lex Talionis ini tercermin dari pertimbangan putusan peradilan militer yang menyatakan antara lain :”……..karena
Universitas Sumatera Utara
184
kekuatan angkatan perang Sekutu akan mengejarnya sampai ke ujung langit untuk pada akhirnya akan diserahkan kepada instasi penutut karena hukum akan
ditegakkan”.
214
Bagi pemerintahan Hindia Belanda saat itu dalam pengasingan, adanya Asas Retroaktif hanya dalam keadaan negara yang darurat sifatnya, dan diberlakukan
dalam wilayah yang limitatif dan temporer berlakunya. Pada era Orla, Bung Karno sangat menentang diberlakukannya prinsip retroaktif dalam wacana sistem hukum
pidana Indonesia, begitu pula pada saat era Orba. Saat itu era Orba, asas retroaktif, dengan segala bentuk dan alasan apapun juga, tidak dikehendaki karena
dianggap akan menimbulkan suatu bias hukum, tidak ada kepastian hukum dan akan menimbulkan kesewenang-wenangan dari para pelaksana hukum dan politik, dan
Diberlakukan asas retroaktif ini sangat dikritik oleh pakar-pakar hukum pidana di Indonesia maupun di Belanda, karena para akademisi hukum pidana
serempak menghendaki adanya suatu revisi yang lurus terhadap Sistem Hukum Pidana ini. Hal ini harus diartikan, bahwa diberlakukannya Asas Retroaktif ini
haruslah memiliki identitas dengan kondisi suatu Negara, artinya harus memiliki suatu korelasi ketat antara berlakunya Staatsnoodrecht Hukum Tata Negara Darurat
dengan Hukum Pidana. Asas Retroaktif merupakan suatu pengecualian yang sangat restriktif dan limitatif, bahkan setidak-tidaknya menghindari adanya asas ini
retroaktif dalam wacana Sistem Hukum Pidana Indonesia.
214
Andi Hamzah. Hukum Pidana Politik. cet. Keempat. Jakarta: Pradnya Paramita. 1992, hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
185
akhirnya akan menimbulkan apa yang dinamakan suatu “political revenge” balas dendam politis.
Apabila mencermati pendekatan historiis ini, sistem hukum pidana Indonesia yang tidak eksis terhadap asas retroaktif, maka agak terasa janggal rasanya
di era reformasi yang serba transparansi terhadap pengakuan dan penghargaan HAM ini ada semangat menimbulkan Asas Retroaktif. Pandangan komparasinya dapat
terlihat sewaktu Stalin memberlakukan asas retroaktif yang secara jelas-jelas menyingkirkan asas legalitas sebagai ciri fundamental dan prima sifatnya dalam
Hukum Pidana Rusia, tujuannya tentulah untuk melakukan suatu pembalasan politik terhadap kekuasaan absolut yang berkuasa sebelumnya. Namun demikian, saat
Kruschev berkuasa menggantikan Stalin, asas legalitas dikembalikan lagi sebagai sumber primaritas dalam wacana Hukum Pidana Rusia. Semangat untuk melakukan
eksistensi asas rektroaktif justru dianggap kemunduran dan menimbulkan suatu destruktif terhadap sistem hukum pidana yang ada, bahkan meletakkan asas Lex
Talionis sebagai sumber primaritas. Dari pendakatan historis tersebut, khususnya kehendak Pemerintahan
Hindia Belanda, baik doktrin maupun ilmu hukum pidana, keberadaan Asas Retroaktif haruslah memenuhi criteria yang rigid dan limitatif, antara lain: a. adanya
korelasi antara Hukum Tata Negara Darurat Staatsnoodrecht dengan Hukum Pidana, artinya asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila Negara dalam
keadaan darurat abnormal dengan prinsip-prinsip hukum darurat abnormal recht, karena sifat penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum
Universitas Sumatera Utara
186
yang sangat limitatif, dengan diberikan suatu kriteria yang jelas masa berlakunya dan sifat penanganan kasusnya berdasarkan case by case basis kasuistis, b. asas
retroaktif tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat 2 KUHP Pidana yang imperatif sifatnya, artinya sifat darurat keberlakuan asas retroaktif yang
dibenarkan perundang-undangan dengan alasan eksepsionalitas ini tidak berada dalam keadaan yang merugikan seorang tersangkaterdakwa, dan c. substansial dari
suatu aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan Asas Lex Certa, yaitu penempatan substansial suatu aturan secara tegas dan tidak menimbulkan
multi-interpretatif, sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai menyalahgunakan wewenang abuse of
power. Berkaitan dengan semangat penegakan Hak Asasi Manusia HAM dan
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tentunya suatu UU menghendaki adanya Pengadilan HAM dan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bersifat
permanent, sehingga agaklah terasa absurd apabila pengaturan prinsip retroaktif tentang Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat intra pada UU Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM dan UU Nomor 15 dan Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Pengadilan HAM maupun Terorisme
yang bersifat permanen seharusnyalah tidak mengenal prinsip retroaktif. Permasalahan yang timbul adalah penyelesaian hukum terhadap berbagai perbuatan
yang dikategorisir sebagai gross violation of human rights di masa lalu. Pendapat Hendardi bahwa perlu dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc yang tempore dan terpisah
Universitas Sumatera Utara
187
dari Pengadilan HAM yang permanen dengan sedikit keleluasan dari asas legalitasnya, patut menjadi perhatian. Pembentukan suatu Pengadilan HAM Ad Hoc
yang akan memeriksa dan mengadili pelanggaran gross violation of human rights di masa lalu haruslah bersifat temporer sementara dengan diberikan suatu kriteria
yang jelas masa berlakunya dan sifatnya yang case by case basis kasuistis, tentunya ini untuk menghindari suatu bentuk pelanggaran gaya baru terhadap HAM. Agaklah
menimbulkan resume yang deskriptif, bahkan menimbulkan suatu sigma dalam Sistem Hukum Pidana, apabila UU Pengadilan HAM dan UU Terorisme yang
bersifat permanen memuat secara intra kodifikatif ketentuan-ketentuan tentang Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Gross Violation of Human Rights yang bersifat
temporer. Kesannya, UU Pengadilan HAM dan UU Terorisme akan bersifat “overloading law”. Namun demikian, andai kata pun dipaksakan, penerapan Asas
Retroaktif melalui ketentuan UU Pengadilan HAM Ad Hoc yang temporer ini pun tidak berarti tidak akan menemui kejanggalan-kejanggalan yang berpolisme saja,
mengingat pendekatan historis terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal Asas Retroaktif yang rentan dengan sifat primaritas Lex Talionis tersebut.
Sepanjang pengetahuan penulis, ketentuan tentang ”crimes of genocide” maupun ”crimes against humanity”, termasuk masalah “torture” adalah intra dari
Rancangan KUHP Pidana Nasional dengan cara melakukan adopsi terhadap Konvensi International mengenai Human Rights. Bandingkan saja dengan Stuta
tentang International Criminal Court dimana United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on The Establishments of an International Criminal Court di
Universitas Sumatera Utara
188
Roma Italia telah mensahkan Statute for International Criminal Court melalui voting dengan perbandingan suara 120 setuju, 7 menolak, dan 21 abstain termasuk
Indonesia. Statuta tersebut telah dinyatakan berlaku setelah diratifikasi oleh setidak-
tidaknya 60 Negara yang tersimpan pada Sekjen PBB. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5 Statuta tersebut menyangkut pelanggaran berat HAM gross
violation of human rights, yaitu kejahatan yang dinamakan “The Crime of Genocide” dan “Crimes Against Humanity”, selain “War Crimes” dan “The Crimes
of Aggression”. Meskipun sebagai institusi peradilan yang bersifat pelengkap Complementer Principle, yaitu dalam hal Peradilan Nasional dianggap melakukan
keengganan unwillingness atau ketidakmampuan inability, nyatanya institusi ini International Criminal Court sebagai pengadilan permanent memberlakukan Asas
Legalitas atau Non-Retroaktif Pasal 24 dengan titik berat pada pertanggungjawaban Hukum Pidana yang universal, yaitu individual criminal
responsibility Pasal 25.
215
215
H. Suwardi Martowirono. International Criminal Court. Edisi No. 175. April. 2000. Jakarta: Varia Peradilan, hal. 97-113.
Jadi secara tegas memang dinyatakan bahwa Asas Retroaktif tidak berlaku dalam Statuta International Criminal Court tersebut.
Kehendak eksistensi Asas Retroaktif nyatanya justru dapat menimbulkan preseden buruk dalam Sistem Hukum Pidana, setidak-tidaknya sarat akan wacana politis.
Dahulu Hukum Pidana melalui Asas Retroaktif ini digunakan oleh para raja dengan dengan kekuasaan yang absolute, otoriter dan anarkis untuk melakukan pembalasan
dendam terhadap pemberontakan rakyat yang menghendaki suasana ketatanegaraan
Universitas Sumatera Utara
189
yang demokratis. Selain itu pada era awal Abad 20 sebagai arena balas dendam seperti dari pihak yang menang perang sekutu terhadap Jerman, Jepang dan para
kolaboratornya, sedangkan dalam awal Abad 21 dengan wacana demokrasi modern seperti Indonesia sekarang ini justru dikhawatirkan akan menjadi sarana bagi
“political revenge” secara rutinitas terhadap para opposannya di setiap era peralihan kekuasaan. Pepatah hukum menyatakan bahwa “Asas Retroaktif adalah cermin dari
Lex Talionis”, akibat lebih jauh akan teridentifisir dari ungkapan Prof. Dr. Dimjati Hartono, S.H. bahwa “Politiae Legibus Non Leges Polities Adoptandae” atau
“Politics are to be adopted to the Laws, and not the Laws to Politics”. Bahkan, indikasinya, Asas Retroaktif hanyalah sarana untuk mencapai tujuan politik tertentu,
bukan kehendak murni bagi pembaharuan hukum pidana Selain itu, dalam kehidupan hukum di Indonesia yang tidak saja mengenal
pengertian hukum secara tertulis, tetapi mencakup ketentuan-ketentuan hukum tidak tertulis yang masih hidup dalam masyarakat adat, maka keberadaan hukum adat
masih sangat memegang peranan tinggi, apalagi masih terdapatnya keharusan bagi hakim untuk menilai norma-norma dari perbuatan tercela dalam suatu masyarakat
adat, meskipun perbuatan tersebut tidak ada pengaturannya dalam ketentuan formil tertulis. Kadangkala ditemuinya suatu perbuatan yang menurut masyarakat adat
tertentu adalah tercela sifatnya, tetapi tidak ada pengaturannya dalam KUHP atau bahkan sebaliknya suatu perbuatan yang menurut KUHP dalam melawan hukum atau
tercela sifatnya, tetapi menurut ukuran masyarakat adat tertentu justru tidak dianggap sebagai hal yang tercela. Kewajiban hakim untuk mengikuti gerak
Universitas Sumatera Utara
190
dinamika hukum, tidak saja dalam pengertian hukum tertulis saja tetapi mencakup artian hukum tidak tertulis dalam masyarakat, telah ditegaskan melalui Pasal 27
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sebgaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Tegasnya
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan:
216
Penilaian terhadap adat atau tidaknya perbuatan tercela dari pelaku dalam masyarakat adat ini erat kaitannya dengan persoalan ekuivalensi atau padanannya
dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP. Seperti contoh kasus adanya suatu “hidup bersama tanpa nikah” dari pria dan wanita dewasa yang tidak terikat
perkawinan atau dikenal dengan istilah “kumpul kebo”. Perbuatan itu sering ditemukan pada kehidupan masyarakat kota metropolitan ini dan dianggap sebagai
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat”. Tidak saja permasalahan hukum perdata adat yang harus menjadi perhatian hakim, tetapi segala hal yang menyangkut hukum pidana
adat materilsubstansi mendapat tempat bagi perhatian Hakim di Indonesia ini, termasuk soal yang berkaitan dengan “perbuatan tercela” atau sifat perbuatan
melawan hukum secara materil dalam masyarakat adat di Indonesia, karenanya diperlukan suatu sikap ketelitian yang akurat, bahkan kehati-hatian untuk
menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tercela menurut ukuran masyarakat Indonesia.
216
Loebby Loqman b, Kapita Selekta Hukum: Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, S.H., cet. 1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hal. 246.
Universitas Sumatera Utara
191
sesuatu yang wajar, tetapi bagi masyarakat adat tertentu yang jauh dari kehidupan terangbenderang metropolitan seperti halnya Jakarta, Surabaya, maupun kota besar
propinsi lainnya di Indonesia, maka perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan tercela. Perbuatan “kumpul kebo” itu tidak ada peraturan undang-undang yang
mengaturnya, sehingga perbuatannya itu formil tidak melawan hukum, meskipun perbuatan itu dipandang sangat tercela materil adalah melawan hukum, karenanya
bagi para pelakunya tidak dapat dikenakan sanksi pidana, mengingat berlakunya asas legalitas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia. Bagi masyarakat adat tertentu di
Indonesia, meskipun perbuatan “kumpul kebo” tidak melawan hukum secara formil tidak ada peraturan tertulis yang melarang perbuatan itu namun perbuatan itu
dianggap tercela bagi masyarakatnya. Perbuatan “kumpul kebo” bagi priawanita yang dianggap dewasa sebenarnya sebagai perbuatan yang tidak ada padanannya
atau ekuivalensinya dengan KUHP, sehingga menjadi kewajiban hakim untuk memeriksa perkara pidana adat itu.
Selain itu, di Indonesia yang masih mengakui secara ketat eksistensi dan kehidupan hukum adat, dalam arti terdapatnya beberapa perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana adat delik adat, persoalan ada tidaknya suatu perbuatan tercela bagi suatu masyarakat masih menjadi pusat pembicaraan dan
perhatian ahli hukum pidana Indonesia, sehingga sebagian besar berpendapat masih berlakunya keberadaan substansi hukum pidana adat menurut Undang-Undang
Darurat Nomor 1DRT1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Pengadilan-pengadilan Sipil,
Universitas Sumatera Utara
192
meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP menyatakan pencabutan Undang-undang Darurat tersebut. Pencabutan Undang-undang Darurat hanyalah
sepanjang mengenai ketentuan proseduralnya saja, tidak terhadap subtansi. Sehingga dengan eksistensinya hukum adat Indonesia, termasuk tindak pidana adat delik
adat, suatu perbuatan yang dipandang tercela melawan hukum materil menurut masyarakat adat setempat, meskipun perbuatan pelaku adalah formil tidak
“wederrechtelijk”, tidaklah dengan begitu saja pelaku dapat dikatakan tidak dapat dipidana. Sehubungan dengan ada tidaknya ekuivalensi suatu tindak pidana adat
dengan perbuatan dalam KUHP, disebutkan pada Pasal 5 ayat 3 sub b, yaitu: ... , bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam KUHP sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari 3 tiga bulan
penjara danatau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh Hakim dengan kesalahan yang terhukum ... .
217
Dari ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1DRT1951 adalah jelas suatu perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan pidana
adat atau materil perbuatannya adalah “wederrechtelijk” tercela, tetapi perbuatan dari pelaku itu ternyata tidak ada pengaturannya dalam KUHP tidak ada
ekuivalensipendananbandingan atau perbuatannya adalah formil tidak “wederrechtelijk”, wajib bagi hakim untuk menjatuhkan pidana untuk maksimum 3
tiga bulan penjara dan denda lima ratus rupiah. Pelaku tidak begitu saja tidak dapat dipidana dengan alasan asas legalitas, mengingat eksistensi hukum adat, setidak-
217
Loebby Loqman a, Op. Cit., hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
193
tidaknya substansi dari tindak pidana delik adat itu, hingga kini masih berlaku di Indonesia.
Sehingga ada dua kategori Hukum Adat Pidana dikatakan dalam Undang- undang tersebut “Hukum yang Hidup” ialah Hukum Adat Pidana yang mempunyai
bandingan, padanannya ataupun ekuivalensi dalam KUHP dan tidak memiliki bandingnya dengan KUHP. Maka dikatakan, bahwa Hukum Adat Pidana yang
mempunyai padanannya dalam KUHP diancam dengan sanksi di KUHP itu sendiri yang mirip dengan suatu reaksi adat yang mirip dengan padanannya tersebut.
Daripada itu, terdapat dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-undang tersebut diterapkannya Hukum Adat Pidana yang tidak mempunyai padanannya banding dalam KUHP,
sedangkan sanksi yang dipergunakan yang tidak melebihi 3 bulan penjara danatau denda Rp. 500,-.
218
218
Oemar Seno Adji d, Hukum Pidana Pengembangan. Cetakan Pertama, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 115-116. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, S.H. bahwa
posisi Hukum Adat Pidana hingga sekarang telah dimantapkan dalam perundang- undangan dan menjadi yurisprudensi konstan dalam beberapa putusan Pengadilan dan
Mahkamah Agung di Indonesia. Ini pulalah yang pernah dikemukakan oleh Panitia Ahli dalam sumbangan pikiran dan pandangan tersebut, yang kelak mendapat tempat dan
Rencana Rancangan KUHP Buku Kesatu dalam Asas Legalitas. Dalam Panitian Penyusunan Rencana Rancangan KUHP 19911992 yang disempurnakan oleh Tim
Kecil sampai dengan tanggal 13 Maret 1993 disebutkan pada Pasal 1 ayat 3 Rancangan KUHP, yaitu: “Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa adanya suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah di tanah air kita masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis,
tetapi hidup dan diakui sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian juga dapat dihadapi dalam lapangan hukum pidana, yaitu apa yang biasanya disebut dengan tindak
pidana adat. Sebelum KUHP ini, berlaku tindak pidana adat diatur dalam Pasal 5 ayat 3b Undang-undang Darurat No. 1 DRT. Tahun 1951, yaitu bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai tindak pidana, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
194
Meskipun demikian, apabila suatu tindak pidana adat yang tidak ada ekuivalensi dalam KUHP ternyata sanksi adatnya jauh lebih tinggi daripada sekedar
3 bulan atau denda Rp. 500,-, maka terhadap pelaku dapat dikenakan ancaman hukum maksimum 10 tahun penjara. Jadi ada 3 hal pokok yang menjadi catatan
penulis terhadap substansi Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang Darurat Nomor 1DRT.1951, yaitu:
1. Terhadap suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana adat, namun tidak ada ekuivalensinya dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP, maka hakim
dapat menjatuhkan hukuman dengan maksimum penjara 3 tiga bulan danatau denda Rp. 500,-.
2. Apabila perbuatan itu yang tidak ada akuivalensinya dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP mempunyai sanksi adat yang justru lebih tinggi daripada
yang ditentukan lebih tinggi dari sekedar hukuman 3 bulan penjara danatau denda Rp. 500,-, maka hakim Pengadilan dapat menjatuhkan pelaku tindak
pidana adat dengan ancaman maksimum 10 sepuluh tahun penjara.
tidak ada bandingnya dalam KUHP, maka dianggap diancam dengan pidana yang tidak lebih dari tiga bulan dan atau denda seribu lima ratus rupiah. Untuk memberikan dasar
hukum yang mantap, maka asas berlakunya hukum pidana adat diletakkan dalam KUHP. Asas ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur
dalam peraturan perundang-undangan, jadi merupakan hukum tertulis. Diakunya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.
Universitas Sumatera Utara
195
3. Terhadap suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana adat namun ada ekuivalensinya dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP, maka pelaku tindak
pidana adat dapat dikenakan hukuman yang mirip pengaturannya dalam KUHP. Hakim akan menilai perbuatan pelaku itu ada ekuivalensinya atau tidak dengan
pengaturannya yang ada dalam peraturan perundang-undangan KUHP tertulis, artinya apabila perbuatan itu tidak ada ekuivalensinya dalam KUHP, maka sudah
menjadi kewajiban hakim untuk memutuskan terbukti atau tidaknya pelaku melakukan tindak pidana adat. Di sini, ada pengecualian terhadap penerapan asas
legalitas sebagai pengakuan legislatif mengingat eksistensi hukum adat yang berlaku bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat adat tersebut, sehingga di satu
sisi perbuatan pelaku ini dipandang tercela “materiele wederrechtelijk” oleh masyarakat adat, meskipun pada sisi lainnya perbuatannya formil tidak
“wederrechtelijk” perbuatannya dianggap oleh masyarakat adat tertentu sebagai tindak pidana, tetapi tidak ada peraturannya dalam KUHP, oleh karenannya pelaku
tindak pidana adat dapat dijatuhkan pidana adat sesuai Pasal 5 ayat 3b Undang- undang Nomor 1DRT1951. Adanya pengakuan yudikatif melalui yurisprudensi
terhadap eksistensi hukum adat, termasuk hukum pidana adat, inilah yang menempatkan suatu pergeseran untuk memberlakukan adanya sifat melawan materil
dari suatu perbuatan dengan fungsi positifnya dalam hukum pidana di Indonesia, meskipun dalam lingkup tindak pidana adat yang restriktif sifatnya.
Sebagai contohnya, di daerah Bali terdapat suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana adat yang dikenal sebagai “Logika
Universitas Sumatera Utara
196
Sanggraha”, yang kemungkinan dijumpai pula pada beberapa daerah lainnya di Indonesia dengan sedikit perbedaan dari segi bentuk dan sifat perbuatannya antara
daerah satu dengan daerah lainnya itu, sehingga kadangkala banyak perbuatan itu tidak sampai diteruskan pemeriksaannya pada Pengadilan, apalagi jika ditinjau lebih
jauh terhadap ketentuan normatif dari KUHP Indonesia tentang kejahatan kesusilaan yang sama sekali tidak menjangkau perbuatan-perbuatan seperti halnya tindak pidana
adat “Logika Sanggraha” hal mana mengkibatkan ketidakadilan bagi masyarakat Bali yang menganggap perbuatn itu adalah tercela. Pengertian “Logika Sanggraha”
dapat ditemukan melalui Pasal 359 Kitab Adi Agama yang menurut terjemahan dari Prof. I Made Widnyana, S.H. adalah sebagai berikut:
219
219
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Cetakan Pertama, Bandung: Eresco, 1993, hal. 37. Selain itu, menurut Prof. I Made Widnyana dalam
praktek peradilan pidana adat terdapat penambahan syarat unsur kehamilan dengan pertimbangan bahwa: 1 kalau kita hanya mendasar atas adanya hubungan
persetubuhan saja seperti yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Adi Agama, maka akan mengalami kesulitan di dalam pembuktiannya, 2 seorang perempuan baru akan
mengadukan permasalahannya pada umumnya setelah adanya akibat, yaitu kehamilan dan atau bahkan setelah lahirnya anak. Pengertian hubungan cinta antara
pria dan wanita disyaratkan bahwa si wanita belum terikat perkawinan, artinya, lanjut Prof. I Made Widnyana, S.H., apabila si wanita telah terikat suatu perkawinan,
maka yang terjadi bukanlah tindak pidana adat “logika sanggraha”, tetapi tindak pidana adat “Drati Krama” yang ada ekuivalensinya dengan Pasal 248 KUHP
tentang “overspel”. Juga dari literatur yang ada, tidaklah jelas usia laki maupun wanita yang disyaratkan untuk dapat memenuhi suatu tindak pidana adat “logika
sanggraha”, apakah usia lelaki dan wanita dalam pengertian dewasa atau di bawah umur.
Logika Sanggraha misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan cintanya karena takut akan dipermasalahkan, maka dia mencari daya upaya
syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku telah memperkosa
si wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000
uang keeping”.
Universitas Sumatera Utara
197
Karena itu kesimpulan pengertian dari unsur-unsur “Logika Sanggraha” menurut Pasal 359 Kitab di Agama maupun praktek yang timbul dari peradilan adat adalah
sebagai berikut:
220
Kasus klasik yang dikenal “Logika Sanggraha” sebagai tindak pidana adat dan diadili di Pengadilan Negeri Gianyar Bali adalah mengenai hubungan seksual
antara pria IWS dan wanita NKS yang kedua-duanya sudah dewasa dan belum menikah menurut hukum. Akibat hubungan intim layaknya suami-isteri di antara
tahun 1971 sampai dengan tahun 1975 di tempat kediaman NKS yang kosong kala itu, berakibat hamilnya NKS, sedangkan IWS tidak mau bertanggung jawab dan
tidak bersedia menikahi NKS atas perbuatannya itu, padahal selama hubungan intimnya itu IWS selalu berjanji untuk menikahi NKS, juga sebelum kehamilan NKS
itu terjadi. 1. Adanya hubungan cinta pacaran antara seorang pria dengan seorang wanita yang
sama-sama belum terikat perkawinan. 2. Antara pria dan wanita yang sedang bercinta tersebut terjadi hubungan seksual
yang didasarkan suka sama suka. 3. Si pria telah berjanji akan mengawini si wanita.
4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi hamil. 5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita.
221
220
Ibid. hal. 10.
Perbuatan atau hubungan intim NKS dan IWS yang sudah dewasa itu
221
Oemar Seno Adji d, Op. Cit., hal. 118. Perhatikan pula pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro,S.H.,M.A. pada buku beliau yang berjudul ‘Pembaharuan
Hukum Pidana” hal. 105, 106 dan 108,109 dimana terdapat pula perkara perdata adat
Universitas Sumatera Utara
198
tidak ada ekuivalensipadanannya bandingannya dalam KUHP, sedangkan perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana adat yang dapat dihukum, karena melanggar
hukum adat setempat. Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 195 KKr
tanggal 8 Oktober 1979 telah menolak permohonan kasasi dari IWS dan menghukum IWS melakukan tindak pidana adat “logika sanggraha” yang tunduk pada Undang-
undang Darurat No.1Drt1951 Pasal 5 ayat 3b. Begitu pula halnya kasus yang ditemui di daerah Lo’nga dalam kompetensi
Pengadilan Negeri Banda Aceh, dimana para pelaku laki dan wanita yang sudah dewasa menurut hukum melakukan hubungan intim layaknya suami-isteri di suatu
kandang kerbau dan di kebun cengkeh pada tahun 1971 yang mengakibatkan kehamilan pada si wanita. Perbuatan mereka itu dipandang sebagai bertentangan
dengan hukum adat dan hukum agama setempat. Dan ternyata perbuatan kedua lelaki dan wanita yang belum menikah dan layaknya hubungan suami-istri itu tidak ada
bandingnyapadanannya ekuivalensinya dengan KUHP, hanya memiliki kemiripan dengan tindak pidana “zina” menurut Pasal 284 KUHP, sehingga berdasarkan
“tatam fani benas” di Timor Timur yang tidak ada ekuivalensinya dengan KUHP, dimana seorang lelaki menghamili wanita yang dijanjikan untuk dinikahinya, ternyata si
wanita ditinggal pergi begitu saja. Mahkamah Agung dengan putusannya No. 3898 KPdt1989 telah menghukum si lelaki dengan ganti rugi sejumlah ekor sapi dan
sejumlah uang, sayangnya perkara ini tidak dilanjutkan sebagai tindak pidana adat bagi bahan untuk melengkapi literatur hukum pidana adat di Indonesia. Lebih lanjut Prof.
Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. memberikan komentar mengenai keterbatasan perkara tindak pidana adat dengan menyatakan bahwa ketujuh delik adat yang dikutip
diatas tidak memberikan pencerminan yang baik tentang bagaimana hakim Indonesia telah menggali nilai-nilai hukum yang hidup selama lebih dari empat puluh tahun
berlakunya UU No. 1Drt1951 tersebut. Sebaiknya dilakukan usaha yang sungguh- sungguh untuk meneliti keputusan-keputusan pengadilan dalam perkara-perkara pidana
yang telah memuat pengaruh hukum adat maupun hukum pidana adat.
Universitas Sumatera Utara
199
putusan Mahakamah Agung Nomor 93 KKr1976 tanggal 19 Nopember 1977 kedua pelakunya laki dan wanita itu terbukti melakukan tindak pidana adat: “zina” dan
dapat diberlakukan sesuai Pasal 5 ayat 3b Undang-undang Darurat Nomor 1Drt1951.
222
Menurut Oemar Seno Adji Putusan pengadilan-pengadilan hingga Mahkamah Agung memberikan
tempat dan posisi tersendiri bagi Hukum Adat Pidana yang sejak tahun 1951 tersebut beralih ke dan dapat diterapkan oleh pengadilan-pengadilan negeri yang berpuncak
pada Mahkamah Agung. Beberapa lingkungan hukum adat, seperti Banda Aceh maupun Bali serta daerah-daerah lainnya, umumnya mengenal tindak pidana adat
”zina” ataupun ”Logika Sanggraha” yang memidanakan tindak pidana adat oleh mereka yang tidak memiliki status perkawinan.
Dalam hubungannya dengan kata ”zina” dalam Pasal 284 KUHP, ia agak berbeda dalam arti, bahwa Pasal 284 KUHP mengenai ”zina” mensyaratkan adanya
status perkawinan dari kedua belah pihak ataupun salah satu pihak ataupun salah satu peserta dalam perbuatan atau tindak pidana tersebut. Pengertian yuridis dari Pasal
284 KUHP mengenai ”zina” bagi ”overspel”, ”adultery” karenanya agak berlainan dengan pengertian delik adat ”zina” ataupun ”Logika Sanggraha”.
223
222
Ibid., hal. 117. umumnya meliputi perbuatan seksual di luar
perkawinan yang mengakibatkan timbulnya kehamilan, yang disertai dengan janji
223
Oemar Seno Adji c, Hukum Pidana Tidak Tertulis, Cetakan Pertama. Jakarta: Tri Grafika, 1992, hal. 30-31. Prof. Oemar Seno Adji,S.H. juga
mengemukakan suatu tindak pidana adat “zinah” yang terjadi di Sumatera Barat melalui tesis yang diajukan oleh Narullah Dt. Perpatih Nan Tua, SH yang berjudul
Universitas Sumatera Utara
200
untuk mengawininya, sedangkan janji tersebut kemudian tidak dipenuhi ataupun tidak dilaksanakan. Ia tidak membenarkan adanya ”pre-marital” ataupun ”extra-
marital intercourse”, sehingga timbul kehamilan sebagai akibat hubungan tersebut. Dengan demikian, kadang kala adanya eksistensi hukum pidana adat
menimbulkan pertanyaan lebih jauh, yaitu apakah hal itu justru tidak menempatkan hukum adat bertentangan dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Positif
Indonesia? Jawabannya, sudah barang tentu ”tidak”, mengingat kehidupan hukum bagi bangsa Indonesia tidak sekedar mengenal hukum dalam pengertian tertulis saja,
tetapi tetap mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat yang pluralistis tersebut, karenanya dalam menerapkan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana
adat dan tercela serta yang tidak ada padananekuivalensibandingnya dalam KUHP, berlakunya suatu asas legalitas hanyalah suatu pengecualian saja, sehingga tetap saja
pelaku dikenakan pidana meskipun perbuatannya tidak ada pengaturannya dalam KUHP. Diberlakukannya asas legalitas dalam tindak pidana adat hanya sebagai
eksepsionalitas saja sifatnya, karena banyak perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adat dan tercela sifatnya, tetapi tidak ada ekuivalensi dalam
KUHP, sehingga apabila tetap tidak dihukum terhadap pelakunya tentunya akan
“Penanganan Delik Adat Melalui Perundang-undangan Studi Kasus di Sumatera Barat”. Seorang suami melakukan hubungan seksual dengan kemenakan istri,
sehingga mengakibatkan kelahiran seorang anak dari hubungan seksual itu. Pengadilan Negeri Padang menyatakan bahwa si suami dan kemenakan istrinya
terbukti melakukan tindak pidana adat “zina” Pasal 5 ayat 3b Undang-undang Darurat No. 1Drt1951 dengan menghukum si suami dengan 7 bulan dan kemenakan
istri dengan 4 bulan penjara. Hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan ini melebihi dari 3 bulan, karena perbuatan tindak pidana adat “zina” ini dianggap ada
ekuivalensinya dengan Pasal 284 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
201
menimbulkan rasa ketidakadilan sebagai reaksi adat, keadaan mana mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelakunya, meskipun perbuatannya adalah
formil tidak ”wederrechtelijk”. Kembali pada contoh kasus di atas, yaitu tindak pidana adat ”Logika
Sanggraha” di Bali, dimana perbuatan si lelaki yang janji mengawini wanita yang dihamili adalah jelas sebagai perbuatan ”tercela” atau materiel perbuatannya adalah
”wederrechtelijk”, namun perbuatan lelaki dan wanita itu layaknya hubungan suami dan istri itu tidak ada pengaturannya dalam KUHP perbuatannya formil adalah tidak
”wederrechtelijk”, sehingga si lelaki itu tidak dapat dikenakan pidana apabila kita menoleh secara ketat pada asas legalitas. Hal ini dirasakan tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat, oleh karena itu Pasal 5 ayat 3b Undang-undang Darurat No.1Drt1951 memberikan suatu kewajiban bagi hakim untuk memidana pelaku itu
atas dasar bahwa tindak pidana adat ”Logika Sanggraha” yang dianggap tercela itu tidak ada ekuivalensinya dalam KUHP. Untuk itu, menurut Mardjono
Reksodiputro,
224
224
Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Buku Keempat. Cetakan Pertama, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum da
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995, hal. 108. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputra, S.H., M.A., bahwa dimungkinkannya hukum pidana adat
delik adat mempengaruhi hukum pidana tertulis, seharusnya dapat pula memperkuat rasa kepastian hukum, karena mendekatkan hukum pidana tertulis
dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hakim sebagai “penegak keadilan” mempunyai tugas dan kewajiban untuk “menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup” menurut adat setempat. bahwa pembenaran dari menjadikan hukum adat yang hidup
tersebut sehingga menjadi sumber hukum pidana Indonesia dapat juga dicari dalam tugas seorang hakim yang berkewajiban mencari keadilan. Untuk upaya ini, maka
Universitas Sumatera Utara
202
hakim harus menjaga bahwa seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dicela oleh masyarakat dan patut dipidana memang mendapatkan pidananya. Ukuran
perbuatan apa yang ”tercela” dan ”patut dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat undang-undang, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum adat yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan. Kewajiban hakim mencari keadilan itu dapat terlihat pula dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yakni
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, terakhir telah dirubah dengan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang melarang
hakim menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan seorang ”korban”, serta kewajibannya untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup.
Dengan demikian, Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu
kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Dalam
konsepsi Negara Hukum, eksistensi Asas Legalitas adalah primaritas sifatnya, meskipun dinamis waktu menempatkan Asas Legalitas ini nyatanya memiliki sifat
eksepsionalitas terhadap delik adat yang tidak ada padanannya dalam hukum pidana positif, seperti di Bali dan daerah Long’a di Aceh mengenai hubungan seksual di
antara pelaku yang telah dewasa. Asas Retroaktif yang implisitas pengaturannya dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP tetap dalam status yang tidak merugikan posisi
tersangkaterdakwa, karenanya dihindari adanya suatu pelanggaran terhadap asas Legalitas itu sendiri. Selain itu, mengingat adanya kehendak penerapan Asas
Universitas Sumatera Utara
203
Retroaktif yang berkaitan dengan asas Lex Talionis, maka persyaratannya harus diikuti dengan cara rigid-limitatif, sebagaimana telah ditentukan secara tegas melalui
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yaitu untuk menentukan suatu ”peristiwa tertentu” yang dianggap sebagai gross viaolation
of human rights perlu ada keputusan Politis antara DPR dengan Presiden, bukan badan lain. Hal ini dapat dibenarkan mengingat asumsi klasik yang mengikat bahwa
penerapan Asas Legalitas merupakan cerminan pengakuan dari Asas Lex Talionis, sehingga dapat dianggap bahwa Hukum Pidana hanyalah sarana dari kekuasaan
politik, dan akhirnya hanya dijadikan sub-ordinasi kekuasaan politik yang luas.
D. Eksistensi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Hukum di Indonesia