Teori Hukum Pembuktian Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

78 disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. Dalam konteks ini, misalnya, disebutkan bahwa konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum di dalam rechtsstaat sekaligus prinsip keadilan di dalam the rule of law serta nilai spiritual dari hukum agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan proseduralnya rechtstaat diterima di dalam negara hukum Indonesia, tetapi semua itu harus diletakkan dalam rangka menegakkan keadilan the rule of law; ketentuan-ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan. Penguatan dari konsepsi ini adalah penyebutan di dalam fungsi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan seperti tertulis pada Pasal 24 ayat 1 serta penegasan di dalam Pasal 28D ayat 1 tentang hak memperoleh kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H, bahwa hukum harus dibangun berdasarkan keadilan dan kemanfaatan. Dengan demikian, dengan dihilangkannya istilah ”rechtstaat” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hal tersebut menegaskan, bahwa konsepsi negara hukum yang dianut oleh Indonesia adalah konsep negara hukum yang materiel atau konsep negara hukum dalam arti luas, artinya tidak semata-mata mengandalkan kepastian hukum tetapi lebih memperioritaskan kepastian hukum untuk memperoleh keadilan yang sekaligus membuka peluang diterapkannya dalam peradilan pidana hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat living law.

b. Teori Hukum Pembuktian

Universitas Sumatera Utara 79 Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula acara yang dianut oleh negara Indonesia. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karekteristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan. Oleh karena itu, untuk lebih terarahnya penelitian ini, maka dalam hal ini dibatasi pembahasan hukum pembuktian yakni hanya pada Hukum Acara Pidana Saja. Dari perspektif sistem peradilan pidana, aspek pembuktian memegang peranan yang sangat penting atau urgen dalam menentukan terbukti atau tidak terbuktinya pelaku perbuatan pidana. Sehingga ia bisa dipidana atau dibebaskan dari segala dakwaan. Berdasarkan penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh Hakim, terdapat beberapa ajaranteori yang berhubungan dengan sistem pembuktian tersebut, yakni: 1 Conviction-in Time: Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata- mata ditentukan oleh penilaian ”keyakinan” Hakim. Keyakinan Hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan Universitas Sumatera Utara 80 menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat bukt i yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Menurut sistem ini, bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukt i itu diabaikan Hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sehingga dengan demikian, ”keyakinan Hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”. 89 Dalam sistem ini pun dapat dikatakan, bahwa ”keyakinan Hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan Hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan Hakim harus didukung dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Oleh karena itu, dalam sistem ini Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dengan demikian, ”keyakinan Hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar- benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal”. 2 Conviction-Raisonee: 90 89 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Edisi Kedua, hal. 277. 90 Ibid., hal. 277-278. 3 Pembuktian menurut undang-undang secara positif Universitas Sumatera Utara 81 Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, ”keyakinan Hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata- mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan Hakim. Dalam sistem ini, Hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. 4 Pembuktian menurut UU secara negatif Negatief Wettelijk Stelsel: Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu, antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang- Universitas Sumatera Utara 82 undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan Hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. ”Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu ”dibarengi” dengan keyakinan hakim”. 91 1 Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijke bewijstheorie; Prof. Dr. Andi Hamzah mengemukakan, bahwa ada 4empat teori Pembuktian, yaitu: 2 Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu; 3 Teori Pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis in conviction raissonnee; dan 4 Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettelijke. 92 Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijk sebaiknya dipertahankan 91 Ibid., hal. 278-279. 92 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 245-253. Universitas Sumatera Utara 83 berdasarkan dua alasan, yakni: 93 Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana. Oleh karena itu, janganlah Hakim terpaksa memidana orang, sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah, jika ada aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 94 Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dijelaskan pula bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Penjelasan Pasal tersebut juga menegaskan, bahwa yang diprioritaskan pertama untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang itu adalah untuk tegaknya kebenaran, kemudian keadilan dan yang terakhir adalah kepastian hukum. Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijk ini dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia, hal tersebut tercantum dalam, Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP menentukan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 93 Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 235. 94 Ibid. Universitas Sumatera Utara 84 Jika dikaitkan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yang berjudul ”Hukum Tidak Tertulis Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Dalam Putusan Pengadilam Perkara Pidana”, telah sesuailah kerangka teori, khususnya pada middle theory, peneliti menampilkan teori hukum pembuktian, yaitu teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif Negatief Wettelijke Stelsel, karena dalam hal ini untuk menentukan salah tidaknya seorang yang didakwa melakukan tindak pidana, tidak semata-mata beradasarkan asas legalitas, dalam arti tidak semata-mata berdasarkan undang-undang yang ada. Oleh karena itu, kepastian hukum yang selalu menjadi label asas legalitas, ternyata dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, kepastian hukum diposisikan paling belakang, yaitu di belakang kebenaran dan keadilan. Penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tersebut merupakan pintu masuk penerapan melawan hukum materiel, baik fungsi negatif maupun positif. Hal mana disebabkan dalam memutus suatu perkara, hakim tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan yang ada, setidak-tidaknya hakim leluasa untuk menemukan hukum atau menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan yang ada padanya yang termasuk juga di dalamnya adalah keyakinan hakim, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun tidak memenuhi unsur-unsur perundangan-undangan. Akan tetapi, dia meyakini perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela, tidak patut menurut hukum yang hidup masyarakat atau yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Juga di lain pihak ia berkeyakinan Universitas Sumatera Utara 85 walaupun perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur pasal-pasal yang didakwakan, tetapi ia berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak tercela dalam pandangan masyarakat. Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat yang sekaligus penegakan hukum, peranan hakim sangatlah dominan. Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa: ”pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan”. 95 Pandangan tersebut berlainan dengan legal positivisme yang mengajarkan, bahwa cara pandangnya bersifat abstrak dan formal legalis, paradigma yuridis sosiologis atau yuridis empiris, seperti mazhab sejarah yang dipelopori von Savigny, yang telah mulai menarik perhatian banyak orang dari

c. Teori Living Law