Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95. Pengertian lain juga dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda sign dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini
jenis pengambilan kamera selanjutnya disebut shot dan kerja kamera camera work. Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan
bagaimana maknanya. Misalnya, Close up CU shot berati ambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari CU shot adalah keintiman dan
sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak
kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil
Berger,1982:37.
2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske
Menurut Fiske 1994:5 analisis semiotik pada sinema atau film layar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise, sehingga
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level yaitu:
1. Level Realitas Reality Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,
lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.
Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:
a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada
film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka
gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.
b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,
bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.
c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam
dialog.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2. Level Representasi
Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Level representasi melalui: 1Shot
Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisivideo yang tampak di monitorlayar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm
kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang berhubungan dengan shot. Dalam
faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak, focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full
shot shot keseluruhan, shot tiga per empat, shot menengah medium shot. Shot
memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan
potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa
berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.
Teknik pada shot meliputi : 1.
Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan
a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objekpengambilan
gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu sebagai fokusnya.
b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.
c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk
memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat. d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda
dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini
memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.
e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan
sebagaimya. f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam
objek. g.
Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam objek.
h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal
untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2. Teknik kamera perpindahan
a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan
untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan kepada
penonton. b.
Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang
menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya. c.
Tracking dolling: perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi objek berbeda dengan zoom. Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan
penonton, jika dengan cepat utamanya trackung in menunjukkan ketertarikan, demikian sebaliknya. www.aber.ac.uk’grammar’ of television
and film.
2 Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang
membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai ”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur
dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang
dramatic adegan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3. Penataan SuaraMusik
a. Comentarvoice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan
bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu
sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.
b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu
adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional atau adegan.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi dalam film suster keramas.
4. Teknik Editing a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau
lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau
membentuk kesan terhadap image atau ide. b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
3. Level Ideologi Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam
suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability, seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,
status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film
suster keramas. Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,
kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh
dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta
budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan untuk memperbaruhi, meriviewnya, ia juga diproduksi oleh system-system makna itu.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2.2 Kerangka Berpikir
Sebuah film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Pada sinema atau film layar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi, sehingga analisis yang dilakukan pada film suster keramas
terbagi menjadi Level realitas yang mendefinisikan melalui ekspresi dari penampilan kostum dan make up yang digunakan oleh para pemain dalam film ”suster keramas”,
latar belakang atau setting yang ditampilkan dimana lokasi dalam pembuatan film tersebut, dan dialog dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para pemain.
Melalui level representasi menjabarkan tentang gambaran atau aspek visual dari suatu program televisivideo yang tampak dimonitorlayar adalah hasil dari
serangkaian pengambilan gambar atau shooting dalam kegiatan produksi, teknik dalam pengambilan gambar, teknik dari perpindahan kamera, efek dari pencahayaan,
penataan suara dan musik dan teknik editing untuk mendapatkan hasil yang dramatis. Dan yang terakhir adalah level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode
tersebut terdapat dalam suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability, seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme,
kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.