semacam dan linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas untuk mempeluas bahasa Barthes,2001:53
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan analisis semiotik pada layar lebar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi,
yang dikemukakan oleh John Fiske. Mempresentasikan imoral dalam film ”suster keramas” dengan menggunakan level realitas dan representasi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana representasi imoral pada film ”Suster
Keramas?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi imoral pada film ”suster keramas”.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1.
Kegunaan teoritis Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang
adanya imoral dalam kehidupan bermasyarakat yang dipresentasikan melalui tokoh Zidni adam, Mocil, dan Rin sakuragi sebagai objek penelitian, dan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
merupakan cerminan penyimpangan dari moral serta terjadinya pergeseran nilai dari budaya dan moral.
2. Kegunaan praktis
Analisis semiotik imoralitas di film ”suster keramas” ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Dan menjadikan
kerangka bagi pembiuat film di Indonesia agar semakin kreatif dalam menyampaikan isi pesan film, tidak menoton serta dapat membuat film yang
lebih berbobot.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Film sebagai media massa
Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film cerita yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan di produksi secara khusus untuk
pertunjukan di gedung-gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan film TV atau sinetron sinema elektronik yang khusus dibuat untuk siaran itu. Film
teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film TV dibuat secara elektronik. Efefendy,1993:201. Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk
seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis. Http:www.theceli.comdokumenprodukUU8-1992.htm
Pengertian film UU No.8 tahun 1992, tanggal 30 Maret 1992 Jakarta tentang perfilman, pasal 1 Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan atau bukan hasil penemuan
lainnya dalam bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau
tanpa lainnya. Http:www.theceli.comdokumenprodukUU8-1992.htm
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa,
musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat
memandang sebuah film sebagai media massa. Prespektif yang pertama memandang bahwa apabila dilihat dai isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan
refleksi dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung dan awak produksi yang ada di dalamnya
Jowett,1971:74 Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat,
demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan message dibaliknya., tanpa pernah berlaku sebaliknya.
Kritik yang muncul terhadap prespektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam
realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Irwanto, 1999 dalam Sobur, 2003:127.
Berdasarkan penelitian yang berjudul pengaruh erotika media massa dan peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja perkotaan. Menyatakan bahwa
media massa elektronik lebih besar pengaruhnya terhadap sikap seks remaja daripada pengaruh media cetak dan peer group Bungin, 2005:199. Sedangkan menurut
Lesmana 1997:139, rangsangan seksual yang ditimbulkan oleh gambar seksual pada film jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gambar seksual pada media cetak. Pada
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
film gambar seksual bersifat hidup dan lengkap dengan gerakan-gerakan tubuh yang bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut bersifat statis. Lebih
lanjut dikatakan bahwa: ”Gambar yang tertanam dibenak penonton dalam tempo yang lama sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam
pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”
2.1.2 Representasi
Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol Piliang, Yasraf
Amir,2006:24 Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda
Http:kunci.co.idesainws04representasi.htm. Melalui representasi, ide0ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk konkretnya. Representasi juga berarti konsep
yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Http:kunci.or.idesainws04representasi.htm
Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab,
seperti pemotongan cut, pengambilan gambar jarak dekat close-up, pengambilan gambar dua arah two shot, dan lain-lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompplektitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan
arbitrer berubah-ubah. Sardar,2001:156 dalam Sobur 2003:130. Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang
ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda- tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film.
Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan unsur-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik
tanda tersebuut dapat diungkap. Stuart Hall membagi proses representasi menjadi dua. Pertama, representasi
mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang
berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol- simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta
konseptual kita. Proses kedua, mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa simbol yang berfungsi mempresentasikan
konsep-konsep kita tentang sesuatu.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2.1.3 Social Construction of Reality
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film ini menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa
kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak
moving image namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga dianggap bisa mewakili
citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi sifatnya yang universal meskipun demikian film juga bukan tidak
menimbulkan dampak negatif. Mambor,2000:117 Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi dan eksternalisasi
merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk
individu-individu, dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan norma-
norma sosial. Teori konstruksi sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang sosiologi interpretatif bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalah teoritis
utamanya ”the socialconstruction of reality” 1996. Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial bergantung pada
manusia yang menjadi subyeknya. Begi Berger, realitas sosial secara obyektif
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif individu dengan dunia obyektif Poloma, 200:299
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengn menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif dengan membatasi realitas
sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita, menurut Berger kita semua mencari pengetahuan atau kepastian
bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari, berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa
terhadap realitas berganda hanya suatu realitas tunggal.
2.1.4 Imoral
Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat
moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak
tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral,
untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.
Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly
opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya tidak berhubungan dengan konteks moral 2002:7. Untuk memahaminya lebih
mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:
Tidak mempunyai relevansi etis Bertens, 2002:8
Tidak berkaitan dengan masalah moral
Bebas moral
Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang, walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap
melakukannya. Pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Contoh dari tindakan
yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang
menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:
Tidak etis
Jahat
Tidak bermoral
Tidak berakhlak
Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang
bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik
baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.
Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual
seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda visual gesture atau gerakan, peragaan, features vocal intonasi, volume serta tinggi
rendahnya suara serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.
2.1.5 Film Suster Keramas
1. Kronologi
Bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang yang dilakoni oleh bintang porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia mencari saudaranya yang
berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya tersebut telah meninggal. Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar meninggalnya saudaranya itu,
ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia pun bertemu dengan Zidni Adam dan Alex Abad yang ikut membintangi film itu. Dalam film ini, wisatawan
asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu banyak menyajikan adegan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di depan Zidni Adam dan Alex Abad, memamerkan maaf payudaranya yang hanya ditutupi dengan tangannya,
memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan telanjang dan lain sebagainya. Film ini berbau komedi karena ulah si Mocil dan Zidni Adam, berbagai ulah mereka
lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur bersama dengan bintang porno itu tanpa memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam videonya, film ini menayangkan adegan
lesbian. Adapun kandungan film horornya hanya sedikit saja, lebih banyak adegan pornonya daripada horornya.
2. Masyarakat Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat budaya ketimuran, yaitu tidak pernah memperlihatkan adegan-adegan yang tidak
sepantasnya untuk diperlihatkan. Film ini termasuk film yang seharusnya tidak boleh tayang di Indonesia, karena film tersebut masi dianggap tabu oleh masyarakat
Indonesia. Dalam film Suster keramas ini banyak sekali adegan-adegan yang berbau porno alias tidak pantas untuk ditayangkan.
3. Pengaruh masyarakat Indonesia
Apabila film sudah masuk ke dalam bioskop sudah lolos dari Lembaga Sensor Film pasti akan ditonton oleh masyarakat luas dan segi umur yang tidak
ditentukan, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa bioskop yang menjual tiket tanpa melihat usia dari si pembeli tiket. Hal ini sangat dikhawatirkan karena bisa jadi yang
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
menonton adalah anak dibawah umur. Sedangkan banyak sekali tanda, simbol, dan indeks yang bisa merepresentasikan kegiatan seksual dalam film Suster Keramas ini.
4. Fenomena perfilman horor Indonesia
Kehadiran bintang porno itu adalah sebuah paradoks bagi bangsa ini. Sekian puluh tahun kita selalu dijejali dengan retorika sebagai negeri yang
menjunjung tinggi nilai serta mengajarkannya dalam semua level pendidikan nasional, ternyata di abad ini bangsa kita pada kedatangan bintang film porno.
Sebagai bangsa yang berbudaya, kita mesti menata ulang image yang terlanjur hadir seiring dengan kehadiran para bintang film tersebut. Kita tak bisa lagi
bersembunyi di balik retorika sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, retorika tentang negeri yang berbudaya dan paling banyak jumlah
haji dan ulamanya. Kehadiran para bintang itu justru menunjukkan sisi lain bangsa kita.
Kehadiran bintang porno tersebut menunjukkan pasar yang amat besar pada
penonton film genre horor sensual di negeri ini. Kehadran bintang porno tersebut menunjukkan bahwa yang sebenarnya diincar sebagai pasar adalah
generasi muda yang melek internet dan terbiasa mengunduh video para artis tersebut. Selain factor pasar, kehadiran bintang tersebut menunjukkan
tingginya persaingan dalam dunia film nasional membuat rumah-rumah produksi memutar otak bagaimana filmnya laris di pasaran tanpa
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
memerhatikan pesan moral atau nilai dalam film itu. Segala cara ditempuh demi melariskan film yang dibuatnya.
Kehadiran Rin Sakuragi dkk memancing atensi yang berkembang serupa bola
salju. Para produser bisa saja berlindung di balik pernyataan bahwa film yang dibintangi bintang tersebut bukan jenis film porno melainkan horor, namun
tetap saja tidak bisa menahan image yang tumbuh dan bersarang di kepala benak setiap orang bahwa yang dipamerkan dalam film itu adalah sensualitas
semata. Para bintang itu tidak membintangi film porno di sini, tapi keingin tahuan tentang bintang tersebut tumbuh bak jamur di dunia maya sehingga
video mereka laris manis diunduh anak bangsa. Tampaknya, agen dan produser sama-sama paham bahwa kedatangan artis itu telah memicu rasa
penasaran yang kemudian berujung pada larisnya video mereka diunduh yang kemudian memperbanyak kas masuk kocek. Inilah paradoksnya negeri kita.
2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Film
Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film
memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan
budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna Sobur,1993:127.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana gambaran- gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol
yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain :
mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang
kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya. Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda Chandler,
2002: www.aber.ac.uk. Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-
bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-
tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah
makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda
tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode Chandler, 2001: www.aber.ac.uk. Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies Fiske,
2006:9 komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat
membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95. Pengertian lain juga dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda sign dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.
Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini
jenis pengambilan kamera selanjutnya disebut shot dan kerja kamera camera work. Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan
bagaimana maknanya. Misalnya, Close up CU shot berati ambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari CU shot adalah keintiman dan
sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak
kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil
Berger,1982:37.
2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske
Menurut Fiske 1994:5 analisis semiotik pada sinema atau film layar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise, sehingga
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level yaitu:
1. Level Realitas Reality Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias,
lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.
Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:
a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada
film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka
gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.
b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,
bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.
c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam
dialog.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2. Level Representasi
Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Level representasi melalui: 1Shot
Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisivideo yang tampak di monitorlayar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm
kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang berhubungan dengan shot. Dalam
faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak, focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full
shot shot keseluruhan, shot tiga per empat, shot menengah medium shot. Shot
memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan
potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa
berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.
Teknik pada shot meliputi : 1.
Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan
a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objekpengambilan
gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu sebagai fokusnya.
b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.
c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk
memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat. d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda
dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini
memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.
e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan
sebagaimya. f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam
objek. g.
Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam objek.
h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal
untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2. Teknik kamera perpindahan
a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan
untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan kepada
penonton. b.
Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang
menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya. c.
Tracking dolling: perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi objek berbeda dengan zoom. Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan
penonton, jika dengan cepat utamanya trackung in menunjukkan ketertarikan, demikian sebaliknya. www.aber.ac.uk’grammar’ of television
and film.
2 Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang
membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai ”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur
dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang
dramatic adegan.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
3. Penataan SuaraMusik
a. Comentarvoice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan
bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu
sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.
b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu
adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional atau adegan.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi dalam film suster keramas.
4. Teknik Editing a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau
lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau
membentuk kesan terhadap image atau ide. b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
3. Level Ideologi Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam
suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability, seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,
status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film
suster keramas. Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology,
kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh
dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta
budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan untuk memperbaruhi, meriviewnya, ia juga diproduksi oleh system-system makna itu.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2.2 Kerangka Berpikir
Sebuah film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Pada sinema atau film layar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi, sehingga analisis yang dilakukan pada film suster keramas
terbagi menjadi Level realitas yang mendefinisikan melalui ekspresi dari penampilan kostum dan make up yang digunakan oleh para pemain dalam film ”suster keramas”,
latar belakang atau setting yang ditampilkan dimana lokasi dalam pembuatan film tersebut, dan dialog dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para pemain.
Melalui level representasi menjabarkan tentang gambaran atau aspek visual dari suatu program televisivideo yang tampak dimonitorlayar adalah hasil dari
serangkaian pengambilan gambar atau shooting dalam kegiatan produksi, teknik dalam pengambilan gambar, teknik dari perpindahan kamera, efek dari pencahayaan,
penataan suara dan musik dan teknik editing untuk mendapatkan hasil yang dramatis. Dan yang terakhir adalah level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode
tersebut terdapat dalam suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability, seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme,
kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian