REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”).

(1)

REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)

SKRIPSI

Oleh :

DWI APRILIA KRESNAWATI NPM. 0743010105

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2011


(2)

Kekerasan Pada Wanita Dalam Film ”Perempuan Berkalung Sorban”

(Studi Semiotik Kekerasan Pada Wanita Dalam Film

“Perempuan Berkalung Sorban”)

Disusun Oleh :

SUKMA SEJATI NPM. 074 301 0132

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, PEMBIMBING

Ir. H. DIDIEK TRANGGONO, M.Si. NIP. 19580801 198402 1001

Mengetahui, DEKAN

Dra. Hj. SUPARWATI, M.Si NIP. 195507181983022001  


(3)

iii   

KATA PENGANTAR

Bismillahirramanirrahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Dengan mengucap “Alhamdulillahirabbil Alamin”, syukur sebesar-besarnya kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Representasi Imomoral Pada Film “suster keramas” (Studi

Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui Film “Suster Keramas”)”. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad

SAW yang telah menyampaikan Alqur’an sebagai petunjuk dan aturan kepada umat manusia.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT, untuk semua kemudahan yang telah diberikan kepada hamba-Nya

ini.

2. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan

Nasional Veteran Jawa Timur.

3. Dra. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(4)

iv 

4. Bapak Juwito S. Sos. Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Bapak Ir. Didiek Tranggono, Msi, Selaku Dosen pembimbing yang selalu

memberikan bimbingan dan dorongan demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

7. Papa Subandono dan Mama Amin Sri Wahjuni yang selalu memberikan

kesabaran yang luar biasa untuk kebaikan masa depan penulis. Membangun karakter penulis untuk tidak menyerah pada keadaan dan dengan penuh kasih sayang memberikan dorongan motivasi hingga detik terakhir penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini “Jazakumullah Khairun Katsira”.

8. Buat kakakKu Dory Yuniarti, yang udah bantuin aku ngerjain skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatKu Apik, Kiky, Desy, Icha, Sukma, dan Hette yang selalu

mendukung dan memberi masukan semangat untuk mengerjakan skripsi ini .

10. PacarKu Lukman Wahyudi yang tidak bosan mendengarkan keluhan dan

memberikan dukungan bagi penulis.

11. Semua pihak yang memberikan kontribusi dan bantuan langsung maupun tidak Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik dari yang semua anda berikan kepada penulis. Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala


(5)

v   

kesalahan yang diperbuat dan insya allah itu semua merupakan khilaf dari penulis sendiri serta tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi hasil yang lebih baik lagi.

Besar harapan penulis, semoga penulisan laporan magang ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Surabaya, Juni 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR LAMPIRAN...vii

ABSTRAKSI………...……….viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah...11

1.3 Tujuan Penelitian...11

1.4 Manfaat Penelitian...11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...13

2.1.1 Film Sebagai Media Massa...13

2.1.2 Representasi...15

2.1.3 Social Construction of Reality...17

2.1.4 Imoral...18

2.1.5 Film Suster Keramas...20


(7)

vi 

 

2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske...25

2.2 Kerangka Berpikir...32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...33

3.1 Metodologi Penelitian ... 33

3.2 Definisi Operasional ... 34

3.2.1 Film ... 34

3.2.2 Representasi ... 34

3.2.3 Imoral...35

3.3 Korpus...37

3.4 Unit Analisis...37

3.5 Teknik Pengumpulan Data...41

3.6 Teknik Analisis Data...41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...44

4.1 Gambaran Umum dan Objek Penyajian Data……….44

4.1.1 Gambaran Umum Objek……….44

4.1.2 Penyajian Data……….46

4.1.2.1 Tokoh Kayla……….48

4.1.2.2 Tokoh Mitchiko………...48

4.1.2.3 Tokoh Barry dan Ariel……….48

4.2 Analisis Data……….49

4.2.1 Pada Level Realitas………..49

4.2.1.1 Kostum dan Make Up………..49

4.2.1.2 Setting atau Latar……….52


(8)

vii 

4.2.1.3 Dialog………...54

4.2.2 Dalam Level Representasi………...56

4.2.2.1 Teknik Kamera……….56

4.3 Dalam Level Ideology...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...61

5.1 Kesimpulan...61

5.2 Saran...62

DAFTAR PUSTAKA ...64

LAMPIRAN...65

   


(9)

ABSTRAKSI

DWI APRILIA KRESNAWATI. 0743010105. Representasi Immoral Dalam Film “Suster Keramas” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)

Permasalahan dari judul adalah bagaimana perkembangan perfilman di Indonesia yang semakin lama tidak mementingkan nilai edukasi tetapi hanya mementingkan nilai komersial yang digunakan untuk memperbanyak untuk dari produsen itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai immoral dalam film Suster Keramas yang mendatangkan artis porno dari Jepang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif, yang menggunakan analisis semiotik tenteng representasi immoral pada film Suster Keramas. Teori yang digunakan adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level realitas, representasi, dan ideology.

Hasil penelitian bahwa nilai immoral dalam film suster keramas adalah banyaknya anak muda di Indonesia saat ini semakin tergerus nilai immoralnya. Berbagai tayangan yang menyuguhkan pornografi dan seksualitas semakin marak diproduksi di Indonesia. Dengan menyuguhkan artis porno dari Jepang seharusnya film ini tidak perna diproduksi di Indonesia yang sarat akan adat ketimuran. Oleh karena itu dapat disumpulkan bahwa film ini penuh dengan adegan yang vulgar. Adegan yang disajikan justru cenderung berbau immoral yang dibangun melalui level realitas maupun representasi.

Kata kunci : Film Suster Keramas, John Fiske, Immoral.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No. 8 th 1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik. (Dewan Film Nasional, 1994 : 15)

Film adalah salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagai bagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya massa yang popular. Sebagai media, film tidak bersifat netral, pasti ada pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komoditi dagang, karna film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.

Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan


(11)

berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideology dari kebudayaannya. (Sobur, 2003 : 128)

Film juga dianggap sebagai mirror of reality. Yang menurut Victor C. Mambor film merupakan dokumen kehidupan socialbsebuah komunitas. Film menunjukkan kepada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini, dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ”citra bergerak” (moving images), namun juga telah diikuti muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau gaya hidup. (http://kunci.or.id/teks/victor2.html)

Sebagai bagian dari media massa, film sering kali dicurigai sebagai agen perubahan sosial. Akibat dampak pemutaran sebuah film menyebabkan perubahan dalam masyarakat misalnya, secara serentak masyarakat mengikuti gaya berpakain atau dandanan aktor dan aktris yang ada dalam sebuah film usai menontonnya, sehingga terjadi sebuah trend baru karena digemari banyak orang pada waktu tertentu.

Perubahan tersebut tidak hanya sebatas pada munculnya trend baru dalam berpakaian, namun juga pada cara pandang terhadap suatu budaya. Budaya yang dahulu dianggap tabu untuk ditampilkan secara jelas, namun karena ditampilkan dalam sebuah film dan diikuti oleh film-film lain maka nilai tabu itu bisa saja bergeser menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Misalnya, budaya berciuman, life style seks bebas, dan lain-lain.


(12)

Keberadaan film ditengah-tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadkan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupan sebenarnya.

Film Indonesia dilihat dari berbagai segi belum mampu menghasilkan keseluruhan nilai yang ada. Film nasional cenderung terbatas, mengacu pada selera pasar, dan belum mampu menghadirkan nilai perenungan dan pembelajaran bagi penikmatnya. Film nasional cenderung mengarah pada mengejar keuntungan financial daripada tanggung jawab moral. Kondisi ini dapat saja terjadi karena orientasi film Indonesia masih mengarah pada selera rendah pasar, daripada menggugah kesadaran atau pencerahan batin. Memang sebuah film bersifat menghibur namun tentu lebih baik apabila sifat hiburan itu mengarah pada rekreatif (penciptaan kembali), daripada sekedar rekreasi.


(13)

Untuk menumbuh kembangkan budaya intelektual dalam film, memerlukan proses. Proses itu melibatkan sumber daya manusia, sumber dana dan penguasaan teknologi diluar proses pembuatan film itu sendiri. Hal ini bisa terwujud dalam sebuah tema yang diangkat oleh para insan film dan bagaimana mewujudkan tema itu sebagai sebuah film yang bermutu, sehingga penikmat film bisa mendapatkan nilai budaya dan sosial yang tersirat didalamnya.

Industri film Indonesia sering mengalami masa jatuh bangun. Terlepas dari masalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia, minat penonton terhadap film karya sineas negeri sendiri juga kurang disukai. Banyaknya film negeri sendiri yang kurang mempertimbangkan isi film dan mutunya membuat penonton lebih tertarik pada film barat.

Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan seharusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidaka tersampaikan tapi sebaliknya efek negative dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya.

(Http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html)

Perfilman Indonesia mulai bangun dari kerterpurukannya sekitar tahun 2000 dengan munculnya film Petualangan Sherina., yang disambut antusias oleh masyarakat. Kemudian disusul dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta yang bergenre percintaan remaja yang mampu menyedot animo masyarakat. Sebagai tonggak kebangkitan perfilman Indonesa yang sedang lesu ini, AADC mampu


(14)

memberikan nafas baru pada insan film untuk membuat film yang lebih baik, terbukti dengan kemunculan film-film seperti: Andai Ia Tahu, Rumah Ketujuh, Jelangkung, Ca-Bau-Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, Berbagi Suami, dan lain-lain.

Setelah mengenal sosok Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, saat ini geliat film Indonesia mulai terlihat keeksistensinya. Dengan generasi-generasi baru seperti Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Rizal Mantovani, Jose Poernomo, Dimas Jayadiningrat, Hanung Bramantyo hingga deretan para pekerja film perempuan, yang mampu memberi sentuhan baru dalam produksi film di Indonesia belakangan ini seperti Mira Lesmana, Sekar Ayu Asmara, Nan T. Achnas dan Nia Dinata. Mereka membuktikan bahwa prempuan mempunyai sisi lain yang patut untuk dibanggakan dan tidak kalah dengan kaum lelaki. Sederet nama itu turut membangkitkan dan menyumbangkan kemajuan perfilman di Indonesia. Berbagai prestasi juga telah mereka berikan bagi perkembangan perfilman Indonesia saat ini.

Dari banyaknya film yang muncul, sebagian besar mengangkat gaya hidup anak muda masa kini, mengingat remaja sebagai konsumen terbesar dalam industri perfilman di Indonesia. Hal ini ditengarai sebagai usaha untuk mendongkrak minat penonton Indonesia untuk mencintai produk lokal.

Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera public. Singkatnya, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya. (Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex Sobur, 2002 : 127)


(15)

Film Indonesia mengalami banyak revolusi, terkadang banyak film Indonesi yang mengacu pada film tertentu yang cenderung sukses contohnya film horor yang mulai ada pada tahun 2004 yaitu film Suster Ngesot. Kemudian banyak film horor yang mulai bermunculan, karena terlalu banyak film horor yang ada akhirnya film hororpun semakin tahun semakin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Contohnya, menyuguhkan adegan panas yang akhirnya mulai diikuti oleh film horor lainnya.

Menurut Lesmana (1997 : 139) rangsangan imoral yang ditimbulkan oleh gambar imoral pada film jauh lebih tinggi dibandinngkan dengan gambar imoral pada media cetak. Pada film gambar imoral bersifat hidup dan lengkap dengan gerakan-gerakan tubuh yang bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut bersifat statis. Lebih lanjut dikatakan bahwa :

”Gambar yang bergerak tertanam dibenak penonton dalam tempo yang lama sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”

Gambar dan adegan yang berbau imoral bukan merupakan hal baru. Keduanya mudah ditemukan di berbagai macam media, baik di media cetak (Surat Kabar, tabloid, majalah, dan lain-lain) meupun media elektronik (televisi ataupun layar bioskop yang memutarkan film) di Indonesia sendiri kebanyakan film yang dihasilkan tidak jauh temanya dari seks yang bertujuan mengeksploitasi kebutuhan biologis masyarakat. (Mambor,2000:8)


(16)

Salah satu dari film Indonesia yang menampilkan imoral tetapi berhasil lolos dari Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia ini pemutaran perdananya pada 31 Desember 2009 di layar bioskop tanah air adalah : SUSTER KERAMAS.

Film Suster Keramas ini adalah film yang mempunyai certa bergenre horor yang dibalut dengan komedi porno, bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang yang dilakoni oleh bintang porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia mencari saudaranya yang berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya tersebut telah meninggal. Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar meninggalnya saudaranya itu, ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia pun bertemu dengan Zidni Adam dan Rizki Mocil yang ikut membintangi film itu. Dalam film ini, wisatawan asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu banyak menyajikan adegan porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di depan Zidni Adam dan Rizky mocil, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya ditutupi dengan tangannya, memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan telanjang dan lain sebagainya. Film ini berbau komedi karena ulah si Rizky mocil dan Zidni Abad, berbagai ulah mereka lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur bersama dengan bintang porno itu tanpa memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam videonya, film ini menayangkan adegan lesbian. Adapun kandungan film horornya hanya sedikit saja, lebih banyak adegan pornonya daripada horornya.

Salah satu hal yang membuat peneliti tertarik adalah representasi imoral yang ditampilkan pada film ini, hampir disetiap adegan yang membuat film ini tidak hanya pantas untuk dikatakann film horor saja tetapi seks juga, seolah dikatakan bahwa gaya


(17)

hidup masyarakat Indonesia terutama remajanya cenderung melakukan hubungan diluar batas norma-norma agama.

Representasi itu sendiri adalah konsep yang digunakan dalam proposal sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang terdiri dari : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. ( Http://kunci.or.id/esai/04.represetasi.htm)

Aspek psikologis dalam film garapan Helfi Kardit ini adalah karena adanya dorongan imoral seseorang yang cenderung melakukan hal-hal yang walaupun tidak terpuji untuk memenuhi hasrat imoralnya,.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.

Film ini dianggap mengkampanyekan seks bebas. Banyak orang bilang bahwa film Suster Keramas untuk adegan vulgarnya (bukan genre horornya). Karena protes dan keberatan itu, LSF menunda izin penayangan film ini dan memotong lebih banyak lagi adegan yang melanggar norma susila walaupun masih banyak adegan vulgar yang lolos sensor.

Keindahan format penyajian yang sarat kreativitas dan inovasi dari segi teknis adalah factor yang dielu-elukan oleh insan perfilman saat ini. Namun sayangnya, dalam hal tematis dan isi film, masih sangat jauh dan kurang memadai. Bagi sebagian


(18)

pecinta film yang menikmati wajah baru film nasional merasakan ada sesuatu yang hilang dari film nasional dewasa kini. Yakni hilangnya jati diri film nasional yang sesungguhnya. Banyak film nasional saat ini kurang mendidik dan sangat vulgar dalam penyampaian, terutama bagi remaja.

Fenomena film nasional yang mengumbar imoral tampaknya mengalahkan film-film bermutu dan mendidik yang hanya segelintir, bahkan bisa dihitung jari seperti film Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Rumah Tanpa Jendela, Ketika Cinta

Bertasbih. Namun, deretan film komedi dan horor yang terus dikeluarkan para

produser yang mencari keuntungan semata menambah daftar panjang film tak berkualitas yang hanya mengumbar imoral.

Masyarakat terus dicekoki film-film berbau seks. Masyarakat dijajah dengan film-film seks yang meruntuhkan moralitas generasi bangsa. Ini babak baru penjajahan dalam menghegemoni masyarakat. Tentu saja bukan lagi penjajahan dalam arti kolonialisme, namun secara halus namun mematikan moral, imperialism memasuki sendi-sendi kreativitas seperti film yang seharusnya memberikan pendidikan berharga bagi masyarakat. Artis Jepang melakukan invasi ke arena film nasional, bintang film asal Jepang ini sengaja didatangkan oleh produser Maxima Pictures dan K2K Production. Lebih memprihatinkan lagi, bintang film tersebut bukanlah berkualitas dalam akting, melainkan bintang film porno

Sebuah film seharusnya merupakan potret kehidupan di tengah masyarakat. Film-film imoral seperti yang disebutkan di atas tidaklah mewakili kehidupan di masyarakat kita. Film yang di garap oleh Helfi Kardit ini benar-benar berani untuk


(19)

menyajikan tayangan seronok yang tidak sesuai dengan adat ketimuran yang dianut oleh masyarakat kita. Undang-undang no 3 thn 1992 tentang perfilman pasal 29 menyatakan: ”pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam pasl 28 ayat 1 dan ayat 2, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolangan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan, hal ini bertolak belakang dengan apa yang diinginkan pada RUU perfilman tepat pada bulan Maret 1992. RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, pada pasal 36 menonjolkan unsur cabul, imoral, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang dan pada pasal 33 ayat 1 ”Barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan menayangkan film yang tidak disensor akan dikenai denda paling banyak Rp 40.000.000. (Http://www.google.co.id/RUU.perfilman)

Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjukkan atau mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna bersama pada satu lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. (Berger, 200:11-12 dalam Bhirowo,2004:18)

Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikon, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog memandang film, program televisi, poster, iklan dan bentuk lainnya sebagai teks


(20)

semacam dan linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas untuk mempeluas bahasa (Barthes,2001:53)

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dengan analisis semiotik pada layar lebar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi, yang dikemukakan oleh John Fiske. Mempresentasikan imoral dalam film ”suster keramas” dengan menggunakan level realitas dan representasi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana representasi imoral pada film ”Suster Keramas?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi imoral pada film ”suster keramas”.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Kegunaan teoritis

Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang adanya imoral dalam kehidupan bermasyarakat yang dipresentasikan melalui tokoh Zidni adam, Mocil, dan Rin sakuragi sebagai objek penelitian, dan


(21)

12

merupakan cerminan penyimpangan dari moral serta terjadinya pergeseran nilai dari budaya dan moral.

2. Kegunaan praktis

Analisis semiotik imoralitas di film ”suster keramas” ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Dan menjadikan kerangka bagi pembiuat film di Indonesia agar semakin kreatif dalam menyampaikan isi pesan film, tidak menoton serta dapat membuat film yang lebih berbobot.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film sebagai media massa

Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film cerita yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan di produksi secara khusus untuk pertunjukan di gedung-gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan film TV atau sinetron (sinema elektronik) yang khusus dibuat untuk siaran itu. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film TV dibuat secara elektronik. (Efefendy,1993:201). Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis. (Http://www.theceli.com/dokumen/produk/UU8-1992.htm )

Pengertian film UU No.8 tahun 1992, tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang perfilman, pasal 1 Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan atau bukan hasil penemuan lainnya dalam bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau tanpa lainnya. (Http://www.theceli.com/dokumen/produk/UU8-1992.htm )


(23)

Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum.

Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Prespektif yang pertama memandang bahwa apabila dilihat dai isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan (refleksi) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung dan awak produksi yang ada di dalamnya (Jowett,1971:74)

Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat, demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya., tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap prespektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. (Irwanto, 1999 dalam Sobur, 2003:127).

Berdasarkan penelitian yang berjudul pengaruh erotika media massa dan

peer group terhadap sikap seks di kalangan remaja perkotaan. Menyatakan bahwa

media massa elektronik lebih besar pengaruhnya terhadap sikap seks remaja daripada pengaruh media cetak dan peer group (Bungin, 2005:199). Sedangkan menurut Lesmana (1997:139), rangsangan seksual yang ditimbulkan oleh gambar seksual pada film jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gambar seksual pada media cetak. Pada


(24)

film gambar seksual bersifat hidup dan lengkap dengan gerakan-gerakan tubuh yang bersifat provokatif, sedangkan pada media cetak gambar tersebut bersifat statis. Lebih lanjut dikatakan bahwa: ”Gambar yang tertanam dibenak penonton dalam tempo yang lama sekali, makin besar daya pikat atau rangsangan yang ditimbulkan makin dalam pengaruhnya, artinya penonton akan lebih sering teringat dan membayangkannya karena fantasi yang ditimbulkan sangat besar.”

2.1.2 Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang, Yasraf Amir,2006:24)

Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda (Http://kunci.co.id/esai/nws/04/representasi.htm). Melalui representasi, ide0ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk konkretnya. Representasi juga berarti konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. (Http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close-up), pengambilan gambar dua arah (two shot), dan lain-lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup


(25)

kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompplektitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer (berubah-ubah). (Sardar,2001:156 dalam Sobur 2003:130).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan unsur-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebuut dapat diungkap.

Stuart Hall membagi proses representasi menjadi dua. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Proses kedua, mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa (simbol) yang berfungsi mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.


(26)

2.1.3 Social Construction of Reality

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film ini menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak

(moving image) namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik,

kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi sifatnya yang universal meskipun demikian film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif. (Mambor,2000:117)

Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu, dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Teori konstruksi sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang sosiologi interpretatif bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalah teoritis utamanya ”the socialconstruction of reality” (1996). Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Begi Berger, realitas sosial secara obyektif


(27)

memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif (Poloma, 200:299)

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengn menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita, menurut Berger kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari, berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa terhadap realitas berganda hanya suatu realitas tunggal.

2.1.4 Imoral

Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral, untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.

Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly

opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality


(28)

plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih

mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:

 Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)

 Tidak berkaitan dengan masalah moral

 Bebas moral

Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang, walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap melakukannya. Pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Contoh dari tindakan yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:

 Tidak etis

 Jahat

 Tidak bermoral

 Tidak berakhlak

Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan


(29)

melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.

2.1.5 Film Suster Keramas 1. Kronologi

Bercerita tentang seorang wisatawan asal Jepang yang dilakoni oleh bintang porno asal Jepang Rin Sakuragi, datang ke Indonesia mencari saudaranya yang berprofesi sebagi suster, tapi sayangnya saudaranya tersebut telah meninggal. Setibanya di Indonesia dan setelah ia mendengar kabar meninggalnya saudaranya itu, ia pun bingung harus tinggal dimana. Singkat cerita, ia pun bertemu dengan Zidni Adam dan Alex Abad yang ikut membintangi film itu. Dalam film ini, wisatawan asing asal Jepang yang dimainkan oleh bintang porno itu banyak menyajikan adegan


(30)

porno. Seperti ketika ia membuka baju dan BH-nya di depan Zidni Adam dan Alex Abad, memamerkan (maaf) payudaranya yang hanya ditutupi dengan tangannya, memamerkan paha dan tubuhnya, adegan bugil dan telanjang dan lain sebagainya. Film ini berbau komedi karena ulah si Mocil dan Zidni Adam, berbagai ulah mereka lakukan termasuk ketika mereka ingin tidur bersama dengan bintang porno itu tanpa memakai baju. Yang lebih ironisnya, dalam videonya, film ini menayangkan adegan lesbian. Adapun kandungan film horornya hanya sedikit saja, lebih banyak adegan pornonya daripada horornya.

2.Masyarakat Indonesia

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat budaya ketimuran, yaitu tidak pernah memperlihatkan adegan-adegan yang tidak sepantasnya untuk diperlihatkan. Film ini termasuk film yang seharusnya tidak boleh tayang di Indonesia, karena film tersebut masi dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Dalam film Suster keramas ini banyak sekali adegan-adegan yang berbau porno alias tidak pantas untuk ditayangkan.

3.Pengaruh masyarakat Indonesia

Apabila film sudah masuk ke dalam bioskop (sudah lolos dari Lembaga Sensor Film) pasti akan ditonton oleh masyarakat luas dan segi umur yang tidak ditentukan, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa bioskop yang menjual tiket tanpa melihat usia dari si pembeli tiket. Hal ini sangat dikhawatirkan karena bisa jadi yang


(31)

menonton adalah anak dibawah umur. Sedangkan banyak sekali tanda, simbol, dan indeks yang bisa merepresentasikan kegiatan seksual dalam film Suster Keramas ini.

4. Fenomena perfilman horor Indonesia

 Kehadiran bintang porno itu adalah sebuah paradoks bagi bangsa ini. Sekian puluh tahun kita selalu dijejali dengan retorika sebagai negeri yang menjunjung tinggi nilai serta mengajarkannya dalam semua level pendidikan nasional, ternyata di abad ini bangsa kita pada kedatangan bintang film porno. Sebagai bangsa yang berbudaya, kita mesti menata ulang image yang terlanjur hadir seiring dengan kehadiran para bintang film tersebut. Kita tak bisa lagi bersembunyi di balik retorika sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, retorika tentang negeri yang berbudaya dan paling banyak jumlah haji dan ulamanya. Kehadiran para bintang itu justru menunjukkan sisi lain bangsa kita.

 Kehadiran bintang porno tersebut menunjukkan pasar yang amat besar pada penonton film genre horor sensual di negeri ini. Kehadran bintang porno tersebut menunjukkan bahwa yang sebenarnya diincar sebagai pasar adalah generasi muda yang melek internet dan terbiasa mengunduh video para artis tersebut. Selain factor pasar, kehadiran bintang tersebut menunjukkan tingginya persaingan dalam dunia film nasional membuat rumah-rumah produksi memutar otak bagaimana filmnya laris di pasaran tanpa


(32)

memerhatikan pesan moral atau nilai dalam film itu. Segala cara ditempuh demi melariskan film yang dibuatnya.

 Kehadiran Rin Sakuragi dkk memancing atensi yang berkembang serupa bola salju. Para produser bisa saja berlindung di balik pernyataan bahwa film yang dibintangi bintang tersebut bukan jenis film porno melainkan horor, namun tetap saja tidak bisa menahan image yang tumbuh dan bersarang di kepala benak setiap orang bahwa yang dipamerkan dalam film itu adalah sensualitas semata. Para bintang itu tidak membintangi film porno di sini, tapi keingin tahuan tentang bintang tersebut tumbuh bak jamur di dunia maya sehingga video mereka laris manis diunduh anak bangsa. Tampaknya, agen dan produser sama-sama paham bahwa kedatangan artis itu telah memicu rasa penasaran yang kemudian berujung pada larisnya video mereka diunduh yang kemudian memperbanyak kas masuk kocek. Inilah paradoksnya negeri kita.

2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Film

Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna (Sobur,1993:127).


(33)

Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain : mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler, 2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).

Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske, 2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna.


(34)

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil (Berger,1982:37).

2.1.7 Model Semiotik Jhon Fiske

Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide


(35)

analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level yaitu:

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias, lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:

a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada

film ”Suster Keramas”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka gunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural. b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut,

bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam

dialog.


(36)

2. Level Representasi

Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi melalui:

1)Shot

Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak, focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.

Teknik pada shot meliputi :

1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan

a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai


(37)

dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu sebagai fokusnya.

b. Estabilishing shot: biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.

c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk

memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini

memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan sebagaimya).

f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam objek.

g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam

objek.

h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal

untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.


(38)

2. Teknik kamera perpindahan

a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan

untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan

kepada penonton.

b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.

Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.

c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan

penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan

ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television and film).

2)Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai ”painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatic adegan.


(39)

3. Penataan Suara/Musik

a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.

c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional atau adegan.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi dalam film suster keramas.

4). Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.


(40)

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.

3. Level Ideologi

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film suster keramas.

Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology, kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan untuk memperbaruhi, meriviewnya, ia juga diproduksi oleh system-system makna itu.


(41)

32

2.2 Kerangka Berpikir

Sebuah film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Pada sinema atau film layar disertakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi, sehingga analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi Level realitas yang mendefinisikan melalui ekspresi dari penampilan kostum dan make up yang digunakan oleh para pemain dalam film ”suster keramas”, latar belakang atau setting yang ditampilkan dimana lokasi dalam pembuatan film tersebut, dan dialog dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para pemain.

Melalui level representasi menjabarkan tentang gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak dimonitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shooting dalam kegiatan produksi, teknik dalam pengambilan gambar, teknik dari perpindahan kamera, efek dari pencahayaan, penataan suara dan musik dan teknik editing untuk mendapatkan hasil yang dramatis.

Dan yang terakhir adalah level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social

acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme,

kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan analisis semiotik. Semiotik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bagian dari teori sign and meaning, yang mana penggunaan pendekatan tersebut didasarkan pada tulisan Aart Van Zoest yang menyatakan: ”Semiotik adalah ilmu tanda, studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Zoest, 1996:4).

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moelang, 1998;3).

Penelitian yang menggunakan semiotik merupakan penelitian pesan komunikasi yang bersifat eksploratif dengan metode kualitatif. Dengan menggunakan semiotik, penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana immoral direpresentasikan melalui system tanda pda tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin sakuragi pada film ”Suster Keramas”.


(43)

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Film

Film yang dimaksud dalam peneltian ini adalah film tetrikal (Layar lebar) jenis film cerita, yaitu menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop/cinema (Effendy, 1986:222). Film jenis ini berbeda dengan film televise atau sinetron (sinema elektronika) yang khusus dibuat untuk siaran televise. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi dibuat secara elektronik (Effendy, 1993:201). Berkaitan dengan penelitian ini, yang ingin diteliti ialah tentang penokohan dalam sebuah film layar lebar, yaitu penokohan Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi dalam film Suster Keramas mempresentasikan immoral.

3.2.2 Representasi

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris “represent” yang bermakna “stand for” artinya yang berarti atau juga act as delegate for yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Reprresentasi juga dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi immoral melalui tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi dalam film ”Suster Keramas” berarti dalam film ini terdapat sistem tanda baca. Pada tokoh Mocil, Zidni Adam, dan Rin Sakuragi yang memiliki makna tentang perilaku dan sikap yang mengarah kearah immoral.


(44)

3.2.3 Imoral

Seringkali ditemukan pencampuradukan antara dua istilah dalam ranah filsafat moral yaitu amoral dan immoral, dengan itu maka penggunaan istilahnya tentu tidak tepat pula. Juga yang tidak kalah pentingnya. Kedua istilah ini merupakan istilah yang wajib dipahami dengan baik sebagai dasar dalam memahami filsafat moral, untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam memahami literatur baik yang berbahasa Indonesia mau pun berbahasa Inggris.

Dalam website ensiklopedia terbesar, Wikipedia, Amoral didefinisikan sebagai Immoralism is a system that does not accept moral principles and directly

opposes morality, while amoralism does not even consider the existence of morality plausible. Menurut Bertens dalam buku Etika karangannya, bahwa amoral artinya tidak berhubungan dengan konteks moral (2002:7). Untuk memahaminya lebih

mudah lagi, istilah amoral bisa dikaitkan dengan kata berikut:

 Tidak mempunyai relevansi etis (Bertens, 2002:8)

 Tidak berkaitan dengan masalah moral

 Bebas moral

Immoral adalah tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang, walaupun orang tersebut tahu bahwa hal tersebut memang salah dan tetap melakukannya. Pemberontakan atau lawan dari sikap bermoral. Contoh dari tindakan


(45)

yang immoral apabila saya memukul anak kecil yang tidak bersalah. Istilah lain yang menjadi acuan dalam memahami istilah immoral adalah:

 Tidak etis

 Jahat

 Tidak bermoral

 Tidak berakhlak

Moral yang menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Moral sebenarnya memuat segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.

Imoral itu sendiri dapat dibedakan menjadi imoral Verbal dan Non verbal. Imoral Verbal meliputi ucapan-ucapan dan kata-kata yang dapat menimbulkan gairah seksual seseorang, sedangkan Imoral Non verbal meliputi simbol-simbol atau tanda-tanda visual (gesture atau gerakan, peragaan), features vocal (intonasi, volume serta tinggi rendahnya suara) serta faktor-faktor lingkungan seperti penggunaan ruang dan posisi yang sama-sama menimbulkan gairah seksual.


(46)

3.3 Korpus

Dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut korpus. Korpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Korpus juga besifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf waktu (sinkroni).(Kurniawan, 2000:70)

Korpus penelitian ini adalah potongan gambar dari film ”Suster Keramas” yang menunjukkan sikap imoral dari tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi. Film yang mangangkat tema horor yang dibungkus dengan adegan-adegan imoral, film ini dianggap mampu merepresentasikan adanya immoral dalam hubungan percintaan yang merupakan suatu hal tabu sosial dimasyarakat. Tetapi dalam film Suster Keramas immoral tidak digambarkan secara gamblang, namun dengan berbagai adegan yang mewakilinya. Adapun korpus dalam penelitian ini mengacu pada 11 scene dalam 250 frame yang menggambarkan immoral pada tokoh Zidni Adam, Mocil, dan Rin Sakuragi. Tiap-tiap scene yang ada dianggap sudah mampu mempresentasikan immoral pada film ”suster keramas”.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah paradigma-paradigma yang terdapat dalam scene pada level realitas, representasi, dan ideologi. Menurut Anton Kaes (Kaes, 1994: www.artalpha.anu.edu.au) dalam penelitian representasi imoral dalam film Suster Keramas.


(47)

Level realitas sebagai berikut: 1. Latar (setting)

Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya paradigma dari setting terdiri dari :

a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out

door/eksternal). Pada film Suster keramas ini bertempat lokasi pada daerah pegunungan / villa puncak.

b. Penggambaran setting.

c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:

2. Kostum dan Make up (costume dan make up)

Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:

a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi 3. Dialog/Diam (dialogue/silence)

Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti

a. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi

b. Karakter yang berbeda mempengaruhi bahasa yang digunakan

c. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu (kiasan)

d. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam


(48)

Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian, ekspresi wajah, perilaku, dsb.

Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Teknik kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu.

b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,

maka dapat diatur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS) gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada


(49)

penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan sebagainya)

2. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya

informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).

Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh

television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional.

Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana

penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan, musik, casting, editing dan narasi.


(50)

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi imoral dam film suster keramas.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu:

1. Teknik dokumentasi, yaitu melalui VCD film ”Suster Keramas” dengan

mengamati simbol-simbol yang ditampakkan, dialog yang diucapkan oleh tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi.

2. Studi kepustakaan, sebagai acuan dalam menganalisa tanda yang

ditampilkan pada tokoh Mocil, Zidni adam, dan Rin sakuragi untuk melengkapi data-data atau bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.

3.6 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, sesuai dengan pendapat Fiske, analisis semiotika pada film dibagi menjadi beberapa elemen yaitu level realitas, level representasi, dan level ideology.


(51)

Pada studi semiotik, terdapat tiga elemen sebagai wilayah studinya (Fiske,1996:40):

1. The signs, wilayah ini terdiri atas studi yang mempelajari tentang tanda-tanda (signs) yang sangat beragam, cara-cara signs tersebut memberikan makna, serta cara-cara signs berhubungan dengan orang-oranng yang menggunakan signs tersebut. Dalam hal ini signs merupakan konstruksi manusia dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang menciptakannya.

2. The codes, wilayah ini mempelajari tentang cara-cara yang ditempuh untuk mengembangkan kode-kode yang beraneka ragam agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau budaya, atau untuk mengeksploitasi media komunikasi yang sesuai untuk transmisi pesan-pesan mereka.

3. The culturue (budaya), wilayah ini merupakan ”lingkungan” dimana signs dan codes digunakan.

Berkaitan dengan penelitian ini, maka yang digunakan sebagai wilayah studi adalah elemen the sign, karena didalam penelitian ini nantinya hanya akan mengalisis signs/system tanda yang derepresentasikan melalui tokoh Zidni adam, Mocil, dan Rin sakuragi dalam film ”suster keramas”.


(52)

43

Untuk menganalisis film dengan metode semiotik maka Fiske (1987) menyodorkan analisis tiga levelnya:

1. Level realitas (reality)

Pada level ini, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Dalam bahasa tulis seperti dokomen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian yang dikenakan oleh pemain, make up, lingkungan, perilaku gesture, ekspresi, suara, ucapan, dan sebagainya.

2. Level representasi (representation)

Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar alat itu berupa kamera, pencahayaan editing, musiik, dan sebagainya.

3. Level Ideologi

Level ideologi dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social

acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas,

matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film suster keramas


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Objek

Film Suster Keramas diproduksi oleh Maxima Pictures, suatu perusahaan yang awalnya dikembangkan dengan core bisnis di perdagangan perangkat telekomunikasi. Berdiri sejak Agustus 2002, dan memiliki akte pendirian CV pada awal tahun 2003. pada perkembangan selanjutnya, perusahaan ini mengepakkan sayapnya untuk memperluas bidang layanan yang lebih memfokuskan diri pada berbagai layanan bisnis yang utamanya berbasis multimedia/ videografi/ cinematografi, serta software development.

Pada bidang ini, unit akivitas usaha yang ditangani adalah jasa pembuatan video/ cd profil/ dokumentasi, spot iklan, cd multimedia (profil lembaga/ perusahaan,cd [resentasi, pustaka elektronik, tutorial pendidikan, katalog produk), multi zone window tv. Selain unit aktifitas usaha sebagaimana terpaparkan diatas, maxima juga aktif dalam pengerjaan project-project yang sifatnya costum, khususnya yang terkait dengan bidang usaha yang dijalankan, yakni telekomunikasi dan multimedia service, seperti misalnya aplikasi sistem informasi multimedia, jasa pembuatan berbagai program/ software dan sebagainya.

Suster keramas merupakan film kesekian kalinya dari Maxima Pictures. Film yang bergenre horor ini diawali disebuah hutan. Tiba-tiba ada kegaduhan, ternyata ada seorang perawat yang dituduh telah berselingkuh dengan pasien yang sedang dirawatnya. Scene berikutnya menceritakan tentang 3 orang anak remaja yang sedang dalam


(54)

perjalanan menuju ke sebuah villa untuk mengerjakan suatu tugas kampus. Adapun 3 orang tersebut adalah 1 perempuan yaitu Harfiza Nofianti yang berpera menjadi Kayla. Dan 2 orang temannya yaitu Rizky Mocil (Barry) dan Zidni Adam (Ariel). Sebelum sampai ke villa tersebut mereka mampir ke sebuah pemakaman untuk berdoa disalah satu kerabat dari Kayla. Di saat Kayla sudah selesai berdoa ada seorang nenek-nenek yang menghampirinya dan berkata,” sudah menjelang maghrib, dilarang berada ditengah-tengah kuburan”. Setelah beberapa saat kemudian Kayla menoleh ke arah nenek tersebut, dan tiba-tiba nenek tersebut hilang. Selang berapa lama ada beberapa rombongan yang akan memakamkan seorang nenek tua, dan Kayla melihat foto yang dibawa oleh seorang kerabat, dan ternyata adalah nenek-nenek tadi yang mengajaknya mengobrol. Selang berapa lama kemudian Kayla dan kawan-kawan pergi untuk meninggalkan pemakaman tersebut untuk menuju ke villa. Disepanjang perjalanan yang dibicarakan oleh Barry dan Ariel adalah tentang sex.

Sesampainya di villa tersebut semua teman-teman Kayla menurunkan barang, ada beberapa barang yang belum terambil oleh Barry dan Ariel, akhirnya Kayla lah yang mengambil barang tersebut di mobil, saat Kayla membuka bagasi ada seorang suster yang muncul dan ada seorang nenek tua yang tadi ditemuinya saat di pemakaman. Lalu Kaylapun jatuh pingsan, sebelum jatuh pingsan nenek itupun berkata,” jangan mengucapkan kata-kata suster keramas”.

Berbagai peristiwa horor dikemas dengan sajian yang tidak sesuai dengan moral orang Indonesia. Film yang adegannya banyak tidak lolos Lembaga Sensor Film (LSF)


(55)

ini sebelum diputar di bioskop pada Januari 2010, telah ditayangkan perdana diseluruh kota-kota.

4.1.2 Penyajian Data

Suster keramas merupakan film horor yang cukup menuai kritik, dikarenakan cerita yang bergenre horor ini ternyata banyak sekali dibalut oleh sajian imoralitas dan dapat lolos sensor dari LSF padahal ada film terdahulunya yang tidak dapat lolos sensor yaitu ”buruan cium gue” karena terlalu banyak menyajikan adegan imoral yaitu bukan adat ketimuran, pada film Suster keramas ini justru adegan imoralnya yang disajikan lebih banyak daripada film buruan cium gue.

Disinyalir saat ini telah terjadi proses pencekokan konsep hidup individualistik negara-negara Barat ke dalam masyarakat Indonesia. Sayangnya, penularan yang dilakukan hanya pada hal-hal yang bersifat negatif saja, bukan sebaliknya. Masyarakat terus dicekoki film-film berbau seks. Masyarakat dijajah dengan film-film seks yang dapat meruntuhkan moralitas generasi bangsa. Ini babak baru penjajahan dalam pembelajaran masyarakat. Tentu saja bukan lagi penjajahan dalam arti kolonialisme, namun secara halus mematikan moral, imperialism memasuki sendi-sendi kreativitas seperti film yang seharusnya memberikan pendidikan berharga bagi masyarakat. Artis Jepang melakukan invasi ke arena film nasional, bintang film asal Jepang ini sengaja didatangkan oleh produser Maxima Pictures. Lebih memprihatinkan lagi, bintang film tersebut bukanlah berkualitas dalam akting, melainkan bintang film porno.


(56)

Seperti film Menculik Miyabi yang dibintangi Maria Ozawa, artis porno nomor satu di Jepang dan Suster Keramas yang dibintangi Rin Sakuragi, kedua film tersebut diproduksi Maxima Pictures. Ditambah Rayuan Arwah Penasaran dengan artis porno Leah Yuzuki produksi K2K Production yang menambah daftar film nasional porno yang dibintangi artis Jepang. Meski film-film dengan bintang film porno Jepang itu menuai protes, Ody Mulya, produser Maxima Pictures, dan KK Dheraj, produser K2K Production, tidak ambil pusing. Ibarat anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Berbagai kalangan profesional pun menyesalkan fenomena ini. Produser film seperti ini jelas tidak memperhatikan kaidah mutu dan pesan moral film nasional, hanya menjual keseksian wanita untuk meraup rating tertinggi. Seharusnya, artis yang didatangkan memiliki kemampuan akting yang murni, bukan artis film porno yang melecehkan perfilman nasional.

Film yang dibintangi oleh Rin Sakuragi ini banyak mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat pada saat dirilis dan saat beredarnya film ini. Film suster keramas ini menyuguhkan suatu bentuk tampilan imoral yang dipandang sebagai suatu fenomena tabu di masyarakat Indonesia.. Nilai kehidupan jiwa muda yang rentan, rapuh, bergejolak dan penuh idealisme diperlihatkan Helfi Kardit sebagai sutradara dengan lugas dan berani

Imoral dianggap masih memiliki nilai jual yang tinggi untuk menarik minat penonton, suster keramas merupakan drama imoral yang coba ditampilkan oleh Helfi Kardit. Tampil sebagai rentetan potret tanpa penilaian, namun sekaligus tanpa perenungan. Kamera dengan lincah, ditimpali dengan musik yang menggeliat, menguntit Barry, Ariel, Mang Odong, dan Rin Sakuragi sampai ke bagian imoral yang mereka


(57)

lakukan, namun tak cukup untuk menyelami adegan yang mereka lakukan. Dialog merekapun terasa hidup dan wajar.

4.1.2.1 Tokoh Kayla

Tokoh Kayla, diperankan oleh Herfiza Nofianti adalah seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun yang menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Kayla merupakan seorang perempuan yang cantik dan pandai serta banyak dikagumi oleh para laki laki, Kayla juga sosok seorang perempuan yang mempunyai rasa keingin tahuan yang sangat tinggi terhadap apa yang dirasakan asing baginya atau sesuatu yang belum ia ketahui.

4.1.2.2 Tokoh Michiko

Tokoh Michiko yang di perankan oleh Rin Sakuragi yang disini tidak cakap dalam berbahasa indonesia karena berasal dari Jepang ini merupakan sosok yang periang dan juga mempunyai rasa humor yang tinggi, serta suka memakai pakaian yang sangat minim sehingga menyebabkan orang lain disekitarnya khususnya laki laki menjadi salah tingkah atau lebih tepatnya berfantasi dan tergila gila padanya.

4.1.2.3 Tokoh Barry dan Ariel

Tokoh Barry yang diperankan oleh Rizky Moccil dan Ariel yang diperankan oleh Zidny Adam merupakan sosok yang kocak, humoris dan malas serta tingkah meraka yang


(58)

memuja film porno serta melakukan segala sesuatunya tanpa berpikir panjang akan dampak dari segala perbuatanya.

4.2 Analisis Data 4.2.1 Pada Level Realitas

Fiske (1990:189) Level realitas terdiri dari Latar (setting), kostum dan make up, dialog / diam. Tidak semua dialog dalam film ini akan dibahas, melainkan hanya beberapa penggalan scene, adegan yang menampilkan representasi imoral pada film ”Suster Keramas”. Dalam menganalisis dialog, ditampilkan per-scene secara keseluruhan agar dapat sekaligus memahami konteks pada dialog.

4.2.1.1 Kostum dan Make up

Visual : dalam villa

Gambar 4.1 Jeng Dolly di depan teras villa. Analisis:

Pakaian yang digunakan oleh Jeng Dolly adalah pakaian yang sexy dengan memperlihatkan setengah dada dan paha. Sebagai asumsi penandaan masyarakat bahwa wanita yang menyukai kebebasan dalam bergaul dan berperilaku


(59)

cenderung tidak khawatir akan pandangan masyarakat terhadap pakaian yang digunakannya. Dari gaya berpakaian terbuka dapat dilihat bagaimana seorang wanita dapat tampil lebih menantang dan berani. Dengan gaya berpakaian terbuka yang memperlihatkan lekuk tubuh serta bagian dada yang terbuka karena pakaian yang minim menunjukkan imoral seorang wanita yang cenderung berbau seksualitas.

Cara berpakaian merupakan wujud dari ekspresi diri, bagaimana seorang mengkonstruksikan dirinya terhadap orang lain. Dengan tampilan Jeng Dolly yang cuek, terbuka, dan menonjolkan bagian-bagian tubuh yang memancing hasrat, maka Jeng Dolly ingin menampilkan dirinya sebagai sosok yang berkesan seksi, liar. Pemilihan fashion Jeng Dolly menekankan imoral dirinya. Mengingat bahwa fashion dan pakaian merupakan instrument dalam proses sosialisasi peran berdasarkan jenis kelamin, gender, dan tubuh. Penampilan dengan menggunakan lingerie dapat mengubah sosok Jeng Dolly menjadi wanita penggoda dengan menarik perhatian melalui tubuh serta pakaian minimnya. Fashion yang memamerkan kemolekan tubuh sebagai bentuk prinsip godaan yang mengacu pada kebutuhan wanita untuk memikat lawan jenisnya. Pemilihan baju yang digunakan adalah pakaian sexy dapat menimbulkan gairah seksual laki-laki yang melihatnya, kerena pemilihan bahan yang tipis dan minim memperlihatkan dan mempertegas lekuk tubuh. Make up yang digunakan oleh Jeng Dolly tidak terlalu mencolok perhatian para penonton.


(60)

Visual : kamar tidur

Analisis :

Scene tersebut menunujukan sebuah ruangan yang bersetting didalam villa tepatnya didalam kamar tidur. Mitchiko yang sedang tertidur pulas dengan menggunakan baju yang sangat minim sehingga dapat terlihat lekuk tubuhnya. Mang Odong, Baryy, dan Ariel diam-diam memasuki kamar Mitchiko karena ingin berfoto karena tergoda dengan penampilan Mitchiko yang seksi.

Shot yang diambil adalah bagian atas tubuh sehingga terlihat bagian atas dada Mitchiko.

Visual : air terjun


(61)

Analisis :

Dari shot yang diambil adalah dari belakang tubuh Michiko. Terlihat bagaimana cara Michiko menggoda Barry dengan menggunakan kain jarik yang berbahan tipis sehingga menampilkan bagian dari punggung Michiko. Dengan menggunakan aksen air terjun dengan rambut dan badan yang basah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, seperti halnya Michiko yang sexy dan wajahnya yang cantik mampu menarik perhatian dari Barry. Meskipun Michiko tidak menggoda sekalipun, Barry pasti tergoda karena lekuk tubuh Michiko yang seksi sangat jelas terlihat. Selain Michiko memiliki body yang seksi, michiko juga memiliki sex a pill yang tinggi yang bisa membuat Barry ataupun pria lain tergoda. Apalagi ketika Michiko hanya mengenakan sehalai kain tipis, tidak diragukan lagi pasti barry ataupun pria lain yang melihat akan memunculkan fantasi seksnya dan pasti birahi mereka naik.

4.2.1.2 Setting atau Latar

Visual : dalam villa

Gambar 4.3 Michiko sedang memperlihatkan bagian tubuh.


(62)

Analisis :

Scene tersebut menunujukan sebuah ruangan yang bersetting didalam villa yang biasanya terdapat kursi tamu dan meja. Ruangan yang cukup besar dapat dipergunakan sebagai tempat bertemunya antara pemilik rumah dan tamu. Bukan sebagai ajang untuk memperlihatkan bagian lekuk tubuh dari seseorang.

Dalam gambar tersebut terlihat bahwa Michiko yang tengah asyik membuka satu persatu bajunya didepan Barry dan Ariel. Barry dan Ariel yang melihat michiko tidak mengenakan baju merasa tergugah hati dan hasratnya. Penggambaran setting ruang tamu tidak seharusnya menjadi ajang untuk memperlihatkan bagian lekuk tubuh dari seseorang. Dengan Michiko membuka bajunya didepan Barry dan Ariel dalam adegan ini membuat para penonton yang menyaksikan terkesima akan adegan yang cukup berani ini. Penggambaran latar yang ditunjukkan menggambarkan imoral dengan fisik yang terbuka didepan laki-laki.

Visual : kamar mandi


(63)

Analisis :

Scene tersebut menunjukan sebuah ruangan yang bersetting didalam kamar mandi yang terdapat bath up dan closet. Ruangan yang sebenarnya digunakan untuk membasuh tubuh atau mandi ini dibuat untuk memancing hasrat dari Barry yang sedang mengintipnya untuk mandi.

Dalam gambar tersebut terlihat bahwa Jeng Dolly sedang mencoba merayu Barry untuk mengoleskan body lotion ke badan bagian belakang (punggung) tubuhnya. Dengan pakaian yan dikenakan oleh Jeng Dolly dalam adegan ini membuat Barry tidak bisa menolak apa yang diperintah oleh Jeng Dolly, dan Barrypun melakukannya walau dengan mata tertutup.

Dalam adegan ini memperlihatkan Bahwa Jeng Dolly sangat suka untuk menggoda lawan jenisnya sehingga Barrypun tidak dapat menolak godaan tersebut.

4.2.1.3 Dialog

Bahasa yang digunakan dalam film ini adalah bahasa yang tidak baku. Menggunakan bahasa sehari-hari dalam pergaulan. Pemilihan bahasa disesuaikan dengan usia tokoh dan budaya dimana tempat tinggal tokoh yaitu puncak. Penggunaan bahasa tidak baku bertujuan untuk lebih mengakrabkan dengan remaja sebagai segmentasi film ini.


(64)

Visual : dalam mobil Kayla

Gambar 4.5 ariel berbicara mengenai CD bokep. Dialog :

Barry : Mana CD-CD bokep gue..? Kayla : Uda gue buang..

Barry : Knp loe buang..?? Analisis :

Dari dialog diatas dapat dirasakan bahwa seorang laki-laki tidak dapat lepas tanpa melihat video-video porno yang sekarang ini banyak bermunculan melalui internet, cd, maupun telpon seluler (HP) yamg sangat mudah diakses. Adanya perkataan seperti ini menimbulkan relasi imoral yang biasa dilakukan oleh anak muda dizaman sekarang ini. Pendapat seorang laki-laki dan perempuan tentang video porno sangat bertolak belakang. Kebanyakan laki-laki lebih menyukai melihat video-video porno dibandingkan wanita, karena menurut mereka dengan melihat video-videoo porno tersebut dapat memaskan nafsu birahinya, sedangkan wanita sangat tidak menyukai melihat hal-hal porno seperti itu.

Kecenderungan laki-laki melihat hal yan seperti itudikarenakan fantasi seks yang aada dalam pikiran mereka dan rasa ingin tahu serta selalu penasaran akan hal yang


(65)

terbaru didalam adegan film porno. Dibandingkan dengan perempuan, laki-laki lebih tinggi tingkat ingin tahunya tentang hal yang berbau seks. Selain hanya sebagai hiburan, melihat video porno sudah menjadi hal yan biasa buat mereka.

4.2.2 Dalam Level Representasi

Level representasi yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi kode-kode dari teknik kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditonjolkan oleh film maker. Selanjutnya kode-kode tersebut akan ditransmisikan dengan ideology yang digunakan dalam penelitian ini.

4.2.2.1 Teknik Kamera

Teknik kamera yang digunakan pembuat film dapat digunakan untuk membantu penonton mendeskripsikan cerita, perilaku, setting, action dan lain-lainnya. Ada 3 jenis shot gambar yang palingdasar yaitu meliputi:

1. Long shot (LS),

Long shot yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia makadapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan menginformasikan kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan, dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu.

Contoh:


(66)

Gambar 4.6 Ariel dan Barry sedang memperagakan adegan yang tidak senonok. Shot pada gambar diatas menunjukkan adegan Barry dan Ariel sedang melakukan hal yang tidak senonoh didepan Kayla. Dengan pengambilan gambar Long shot seperti ini penonton sudah dapat informasi mengenai penampilan Barry dan Ariel. Teknik pengambilan gambar long shot menunjukkan bagaimana kelakuan Barry dan Ariel saat mendengar bahwa tokoh porno asal Jepang akan datang ke Indonesia. Barry dan Ariel merupakan symbol yang menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak muda lebih cenderung kepada laki-laki bahwa suka sekali terhadap hal-hal yang berbau porno. Dengan karakter seperti itu menunjukkan bahwa mereka berdua sangat senang sekali bila ada artis porno Jepang yang akan datang ke Indonesia, sehingga memperagakan sebagian kecil gaya-gaya dari perbuatan seks.

Gairah imoral yang ditimbulkan oleh Barry dan Ariel tidak secara eksplisit dijelaskan, namun pembuat film menyampaikan gairah itu berupa ekspresi wajah Barry dan Ariel dengan gerakan-gerakan yang ditimbulkan setelah melihat berita di televisi.


(67)

2. Medium shot (MS),

Medium shot yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang diatas kepala. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

Contohnya:

Gambar 4.7 Michiko sedang makan es dan Mang Odong yang memperhatikan. Pengambilan gambar secara medium shot ini menampilkan Michiko yang sedang memakan es dengan gaya-gaya yang tidak biasa dengan mimik muka atau ekspresi muka yang tidak wajar membuat Mang Odong memperhatikan dan berdecak ngilu melihatnya. Mang odo ternganga setiap melihat mimik muka atau ekspresi wajah yang cenderung menggoda mang Odong merasakan gairah seksualnya.

3. Close up,

Close up yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar Close


(1)

up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

Contohnya:

Gambar 4.8 Barry membantu mengoleskan bedak di punggung Jeng Dolly.

Dalam shot ini menunjukkan Barry yang sedang mengoleskan bedak di punggung Jeng Dolly dan didapati Barry yang sedang memejamkan mata dan menikmati suasana tersebut. Dengan close up pembuat film ingin menunjukkan ekspresi wajah yang ditimbulkan dari keduanya. Ekspresi wajah dianggap sebagai kunci penting dalam menentukan kepribadian dan kondisi emosi seseorang, kita cenderung menentukan atau menduga perasaan atau emosi seseorang dengan memperhatikan ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah yang terjadi merupakan sebuah element imoral yang dapat berubah menjadi suatu aktivitas seksual. Tatapan mata atau kontak mata yang dalam dapat dijadikan symbol sebuah gairah seksualitas.


(2)

60

patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme,dan lainnya.

Dalam level ini peneliti tidak menemukan adegan-adegan yang mengandung unsur ideology.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi imoral dalam film “suster keramas” melalui tokoh Barry, Ariel, dan Michiko peneliti meanarik kesimpulan bahwa film ini penuh dengan adegan yang vulgar. Adegan yang disajikan justru cenderung berbau imoral yang dibangun melalui level realitas maupun representasi.

1. Representasi ini hadir melalui satu kesatuan adegan-adegan dalam film yang membentuk sebuah makna. Dari setiap adegan peneliti melihat tanda-tanda yang ingin menyampaikan pesan akan adanya tampilan imoral yang merupakan sebuah fenomena imoral, karena ada norma-norma dan peraturan-peraturan yang mengatur dalam kehidupan masyarakat. Dalam film ini tampilan imoral digambarkan melalui aktivitas-aktivitas yang bermakna simbolik. Penggambaran adegan diambil hanya beberapa scene dalam film tersebut dapat menjadi sebuah penegasan akan adanya tampilan imoral dalam film tersebut.

2. Dalam scene-scene tersebut divisualisasikan bagaimana imoral tersebut ditampilkan melalui tokoh Barry, Ariel, dan Michiko. Penampilan Michiko yang suka sekali mengenakan pakaian minim menimbulkan gairah seksual pada diri Barry dan Ariel. Selain gaya berpakaian, ucapan, gesture atau


(4)

Dari urain singkat di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa film tersebut menampilkan sebuah tampilan imoral. Tokoh-tokoh dalam film ini dengan karakter yang dimainkan, melalui aktivitas-aktivitas imoral menjadi representasi imoral yang berhasil menyamampaikan maksud kepada khalayak.

5.2 Saran

Representasi imporal dalam film Suster Keramas ini, beberapa scenenya menggunakan bahasa simbolik. Film maker ingin memberikan ruang berpikir bagi khalayaknya untuk memahami makna yang ingin disampaikan dalam film tersebut, lebih melalui ekspresi wajah dan sikap yang ditonjolkan melaui beberapab scene yang diambil dengan close up shot. Peneliti juga melihat tampilan cerita mengenai imoral tidak hanya dipaparkan sebagai sajian kontak fisik atau hubungan intim namun dapat berupa verbal atau non verbal yang disajikan dengan fenomena yang ada di masyarakat. Hal ini sesuai dengan kenyataan di masyarakat yang tidak bisa menerima dan mempertentangkan hubungan imoral.


(5)

  63 Untuk para produser film diharapkan dapat mensensor film yang akan dikomersialkan di masyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan film yang berkualitas dan mendidik, selain itu hendaknya pihak produser dapat mengurangi produksi film yang bertema imoral.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dewan Film Nasional, 1994, Apresiasi Film Indonesia, Jakarta : Dewan Film Nasional. Fiske, John, 2006, Cultural and Communication Studies, Yogyakrta : Jalansutra.

Hall Calvins S, Lindzey Gardner, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta : Kanisius.

Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosdakarya.

NON BUKU http://kunci.or.id/teks/victor2.html Http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html Http://kunci.or.id/esai/04.represetasi.htm Http://www.google.co.id/RUU.perfilman Http://www.theceli.com/dokumen/produk/UU8-1992.htn Chandler, 2002: www.aber.ac.uk

www.aber.ac.uk/’grammar’ of television and film

http://daynishurnal.wordpress.com/2011/03/28/komersialitas-film-nasional-mengabaikan-esensi-dan-pesan-moral/

http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/05/02/bersiaplah-artis-porno-segera-memasuki-rumah-kita/


Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN Eksploitasi Tubuh Perempuan Yang Berperan Sebagai Suster Dalam Film-Film Horor Indonesia (Analisis Isi Eksploitasi Tubuh Perempuan yang Berperan Sebagai Suster dalam Film Horor Indonesia Suster Keramas II dan Bangkitnya Suster Gepeng).

1 3 28

EKSPLOITASI SUSTER DALAM FILM-FILM HOROR INDONESIA (Analisis Isi Eksploitasi Tubuh Suster dalam Film Horor Indonesia Suster Eksploitasi Tubuh Perempuan Yang Berperan Sebagai Suster Dalam Film-Film Horor Indonesia (Analisis Isi Eksploitasi Tubuh Perempua

0 1 16

Resepsi Khalayak terhadap Artis JAV dalam Film Suster Keramas.

0 10 2

REPRESENTASI TINDAKAN IMMORAL DALAM NOVEL “MY SISTER KEEPER” (Studi Semiologi Representasi Tindakan Immoral Dalam Novel “MY SISTER KEEPER” Karya Jodi Picoult).

0 17 97

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”).

17 29 125

REPRESENTASI KEKERASAN SEKSUAL PADA FILM VIRGIN 2 ( STUDI ANALISIS SEMIOTIK REPRESENTASI KEKERASAN SEKSUAL PADA FILM VIRGIN 2 ).

0 3 94

Interpretasi Khalayak Terhadap Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Film Horor Suster Keramas - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 11

REPRESENTASI IMMORAL PADA FILM “SUSTER KERAMAS” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Immoral Melalui film “Suster Keramas”)

0 1 21

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)

0 0 19

REPRESENTASI TINDAKAN IMMORAL DALAM NOVEL “MY SISTER KEEPER” (Studi Semiologi Representasi Tindakan Immoral Dalam Novel “MY SISTER KEEPER” Karya Jodi Picoult)

0 1 19