Plan-Do-Check-Act PDCASiklus Deming Seven Tools

3. Membentuk suatu tim proyek yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan setiap proyek perbaikan. 4. Memberikan tim-tim tersebut apa yang mereka butuhkan agar dapat mendiagnosis masalah guan menentukan sumber penyebab utama, memberikan solusi, dan melakukan pengendalian yang akan mempertahankan keuntungan yang diperoleh.

2.3.6 Metode-metode Manajemen Kualitas

Dalam melakukan perbaikan kualitas, metode-metode yang dapat digunakan antara lain :

a. Plan-Do-Check-Act PDCASiklus Deming

Ada banyak “model perbaikan” yang diterapkan pada proses selama bertahun-tahun sejak gerakan kualitas dimulai. Sebagian besar dari model terseut didasarkan pada langkah-langkah yang diperkenalkan oleh W. Edwards Deming. Plan-Do-Check-Act atau PDCA menggambarkan logika dasar dari perbaikan proses berbasis data dimana siklus deming ini dikembangkan untuk menghubungkan antara produksi suatu produk dengan kebutuhan pelanggan, dan memfokuskan sumber daya semua departemen riset, desain, produksi, pemasaran dala suatu usaha kerja sama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Siklus PDCA siklus deming dapat digambarkan sebagai berikut : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Action A Bertindak Check C Memeriksa Plan P Merencanakan Do D Melaksanakan A P C D Gambar 2.4 Siklus PDCA Dimana : P Plan : Mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk. D Do : Melaksanakan sesuai dengan rencana untuk menghasilkan produk. C Check : Memeriksa produk yang dihasilkan, apakah telah sesuai dengan rencana. A Action : Memasarkan produk tersebut.

2.4 Pengertian Data

Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.4.1 Jenis-jenis Data

Berdasarkan data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan yang tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu : 1. Data Atribut Attributes Data Merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit nonkonformansketidaksesuian atau cacatkegagalan terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan. 2. Data Variabel Variables Data Merupakan data kuantitatif yang diukurmenggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah diameter pipa, ketebalan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam semen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, lebar, tinggi, volume merupakan data variabel. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.5 Konsep Dasar

Six Sigma Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk barang danatau jasa diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan DPMO atau mengharapkan bahwa 99,99966 dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok industri dan pelanggan pasar. Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Sehingga Six Sigma dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses process capability.

2.5.1 Sigma

Sigma adalah abjad Yunani  yang yang menotasikan standart deviasi suatu proses pada statistik yang menunjukkan jumlah variasi atau ketidaktepatan suatu proses. Dengan kata lain, sigma merupakan unit pengukuran statistikal yang mendeskripsikan distribusi tentang nilai rata-rata mean dari setiap proses atau prosedur. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.5.2 Six Sigma

Six sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan DPMO untuk setiap transaksi produk barang danatau jasa. Upaya giat menuju kesempurnaan zero defect-kegagalan nol. . Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.9, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002. Simbol Sigma  sendiri seringkali dihubungkan dengan kemampuan proses yang terjadi terhadap produk yang diukur dengan defect per million opportunities DPMO. Sumber dari defect atau cacat hampir selalu dihubungkan dengan variasi, misalnya variasi material, prosedur, perlakuan proses. Dengan demikian Six Sigma sendiri telah mengalami pertambahan lingkup seperti keterlambatan deadline, variabilitas lead time, dan lain-lain. Maka perhatian utama dari Six Sigma ini adalah variasi karena dengan adanya variasi maka kurang memenuhi spesifikasi dengan demikian mempengaruhi potensi pasar bahkan juga pertumbuhan pendapatan. Tingkat kualitas sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan variasi dari suatu proses. Semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan dan semakin tinggi kemampuan proses. Sehingga variasi yang dihasilkan semakin rendah dan dapat mengurangi frekuensi munculnya defect, biaya-biaya proses, waktu siklus proses mengalami penurunan dan kepuasan konsumen meningkat. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tingkat six sigma sering dihubungkan dengan kapabilitas proses yang dihitung dalam Defect per Million Opportunities DPMO. Beberapa tingkat pencapaian six sigma sebagai berikut : Tabel 2.1 Pencapaian Tingkat Six Sigma Gaspersz, 2002 Tingkat Pencapaian Sigma DPMO Hasil Keterangan 1 691.462 31 Sangat tidak kompetitif 2 308.538 69,2 Rata-rata industri Indonesia 3 66.807 93,32 Rata-rata industri Indonesia 4 6.210 99,379 Rata-rata industri USA 5 233 99,977 Rata-rata industri USA 6 3,4 99,9997 Industri kelas mapandunia Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok industri dan pelanggan pasar. Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses process capability. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.9, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dari TQM dan program-program kualitas sebelumnya : Tabel 2.2 Kelemahan TQM dan solusi Six Sigma No Kelemahan TQM Solusi Six Sigma 1 Kurangnya integrasi Link Hubungan ke “lini dasar” bisnis dan personal 2 Kepemimpinan yang apatis Kepemimpinan di barisan depan 3 Konsep yang tidak jelas tentang kualitas Pesan sederhana yang diulang – ulang 4 Gagal untuk menghancurkan penghalang– penghalang internal Prioritas terhadap fungsi manajemen proses lintas fungsi 5 Pelatihan yang tidak efektif Blackbelts, Greenbelts, Master Blackbelts 6 Fokus pada kualitas produk Perhatian pada semua proses bisnis Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.46, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002. a. Menurut Gaspersz 2002 dalam aplikasi konsep six sigma terdapat 6 aspek kunci yaitu : 1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk. 3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses. 5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan yang terjadi. 6. Meningkatkan proses secara terus menerus menuju target yang telah ditetapkan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. b. Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam penerapan Six Sigma dibidang manufakturing, yaitu : 1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ Critical To Quality individual. Critical To Quality adalah atribut-atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. 3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses-proses kerja, dll. 4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ. 5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ menentukan nilai maksimum standart deviasi untuk setiap CTQ. 6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.9, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam six sigma akan diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi rujukan nilai sigma proses. Kita juga akan diperkenalkan dengan variasi proses konsep untuk data kontinyu. Bukan berarti di dalam TQM hal tersebut tidak ada, hanya saja TQM tidak terlalu mementingkan pembahasan tersebut. Namun apabila ingin lebih mengenal proses, kita lebih mengetahui bagaimana variasi prosesproduk kita, artinya juga berapa sigma dari prosesproduk kita, maka Six Sigma lebih memadai dalam hal ini. Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dengan TQM dan program-program kualitas sebelumnya : a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas. b. Six Sigma menghasilkan Returns of investement yang besar contohnya pada general electrics. c. Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk menghasilkan hasil yang baik. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.5.3 Faktor Penentu Dalam Six Sigma

Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain : a. Costumer centric Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan : 1 Voice of coctumer VOC, menyatakan keinginan pelanggan. 2 Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan elemen yang dapat diukur. 3 Critical to quality CTQ, permintaan yang paling penting bagi pelanggan. 4 Defect, bagian yang kurang memenuhi spesifikasi. b. Financial Result Total Quality Management TQM dikenal lebih dahulu dari pada Six Sigma. Pada TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan prioritas utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghasilkan banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. c. Management Engagement Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerjasama pada semua lini manajemen perusahaan. d. Resources Commitment Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini. e. Execution Infrastructure Six sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang-orang dari top management sampai operasional dimana keseluruhannya memiliki fokus yang sama yaitu kepuasan pelanggan. Sumber : “Lean Six Sigma”, McGraw-Hill Companies, Inc George, Michael L, 2002.

2.6 DMAIC Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.8, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Gambar 2.5 Proses DMAIC 2.6.1 Define D Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas, dan tujuan organisasi yang sekarang. Secara umum setiap proyek Six Sigma yang terpilih harus mampu memenuhi kategori : 1. Memberikan hasil-hasil dan manfaat bisnis 2. Kelayakan Control C Define D Improve I Analyze A Measure M Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 3. Memberikan dampak positif kepada organisasi Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.33, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.2 Measure M

Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu : 1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas CTQ kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan. 2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada tingkat proses, output danatau outcome. 3. Mengukur kinerja sekarang current performance pada tingkat proses, output, danatau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja performance baseline pada awal proyek Six Sigma. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.72, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.2.1 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut

Kapabilitas proses merupakan kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. Sebuah proyek Six Sigma dikatakan berhasil dalam peningkatan kualitas apabila terjadi peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. kegagalan mencapai nol Zero Defect. Dengan demikian konsep perhitungan kapabilitas proses sangat penting dalam implementasi konsep perbaikan dalam fase improve. Data atribut adalah data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan, banyaknya jenis cacat pada produk, dan lain-lain. Langkah-langkah untuk menentukan kapabilitas proses untuk data atribut menurut Gaspersz 2002 adalah sebagai berikut : 1. Menentukan proses yang ingin diketahui kapabilitasnya 2. Menghitung banyak unit transaksi yang dikerjakan melalui proses 3. Menghitung banyak unit transaksi yang gagal 4. Menghitung tingkat cacat kesalahan berdasarkan langkah 3 dengan membagi langkah 3 dengan langkah 2 5. Menentukan banyaknya karakteristik kualitas CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat kesalahan 6. Menghitung peluang tingkat cacat kesalahan per karakteristik kualitas CTQ dengan membagi langkah 4 dengan langkah 5 7. Menghitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan DPMO dengan mengalikan langkah 6 dengan 1 juta 8. Mengkonversikan cacat per satu juta kesempatan DPMO ke dalam nilai sigma, kemudian membuat kesimpulan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Membahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target sigma untuk data atribut data yang diperoleh melalui perhitungan-bukan pengukuran langsung, misalnya : persentase kesalahan, banyaknya keluhan pelanggan, dll. Pada umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK, seperti : sesuai atau tidak sesuai, puas atau tidak puas, berhasil atau tidak berhasil, terlambat atau tidak terlambat, dll. Data ini dapat dihitung untuk keperluan pencatatan dan analisis. Tabel 2.3 Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut Langkah Tindakan Persamaan Hasil Perhitungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Proses apa yang ingin anda ketahui? Berapa banyak unit transaksi yang dikerjakan melalui proses? Berapa banyak unit transaksi yang gagal? Hitung tingkat cacat kesalahan berdasarkan pada langkah 3 Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat kesalahan Hitung peluang tingkat cacat kesalahan per karakteristik CTQ Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan DPMO Konversi DPMO langkah 7 ke dalam nilai sigma Buat kesimpulan - - - = langkah 3 langkah 2 = banyaknya karakteristik CTQ = langkah 4 langkah 5 = langkah 6 x 1.000.000 - - Billing and charging 1.283 145 0,113 24 0,004708 4.708 4,09 – 4.10 Kapasitas sigma adalah 4,10 rata – rata kinerja industri di Amerika Serikat Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Catatan : CTQ = critical-to-quality; DPMO = defect per milion opportunities Contoh CTQ : Kesalahan pengisian formulir, ketiadaan bukti-bukti keuangan, kesalahan pemasukan input ke dalam komputer, keterlambatan pemrosesan, dll. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.23, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.2.2 Pengukuran Baseline Kinerja performance baseline

Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma sigma level. Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.112, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.2.2. 1 DPO Defects Per Opportunities

Defect cacat adalah kecacatan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Defects Per Opportunity DPO merupakan ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan, dihitung dengan menggunakan formula DPO. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Dimana formula DPO adalah banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu.   potensial CTQ Banyaknya diperiksa yang unit Banyaknya cacat Banyaknya DPO _ _ _ _ _ _   Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.6, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.2.2.2 DPMO Defects Per Million Opportunities

DPMO Defects Per Million Opportunities merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian Six Sigma Motorola sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ critical to quality adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan DPMO. Atau dengan kata lain hampir seluruh 99,99966 bagian pada produk tunggal tidak terjadi kegagalan. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.7, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Besaran DPO apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities DPMO. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.   000 . 000 . 1 _ _ _ _ _ _    potensial CTQ Banyaknya diperiksa yang unit Banyaknya cacat Banyaknya DPMO Jika pembaca ingin memiliki kalkulator Six Sigma yang di-download secara gratis dari www.spcwizard.com, maka penentuan kapabilitas proses untuk data atribut dapat dilakukan sebagai berikut : Pilih defect Defects : 145 masukkan banyaknya unit yang gagal cacat Unit Inspected : 1283 masukkan banyaknya unit yang diperiksa Opportunities per Unit : 24 masukkan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan kegagalan kecacatan Pilih Calculate Process Sigma = 4.1 dihitung sendiri oleh kalkulator DPMO : 4709 dihitung sendiri oleh kalkulator Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.24, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.3 Analyze A

Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut : 1. Menentukan kapabilitas kemampuan dari proses. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 2. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram cause and effect diagram. Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma” , hal.200, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Setelah akar-akar penyebab dari masalah ditemukan, maka dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1 Manpower Tenaga Kerja . 2 Machines Mesin-mesin . 3 Methods Metode Kerja . 4 Material Bahan Baku dan Bahan Penolong . 5 Media Surat Kabar. 6 Motivation Motivasi . 7 Money Keuangan . Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.6.4 Improve I

Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan action Plan untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA Failure Mode and Effect Analysis. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.282, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002.

2.6.4.1 Failure Mode Effect Analysis FMEA

FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk mengidentifikasi dan mendahulukan masalah-masalah potensial kegagalan. Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.402, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002. Definisi FMEA yang lain yaitu suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Mode kegagalan ini meliputi apa saja yang termasuk dalam kecacatan desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu. Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses telah dijalankan. Dengan menggunakan FMEA maka akan meningkatkan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. keandalan dari suatu produk dan pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk dan pelayanan tersebut. Tahapan FMEA sendiri adalah : 1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap define dari proses DMAIC. 2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa. 3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan defect potensial pada proses. 4. Mengidentifikasi potensial cause penyebab dari kesalahan defect yang terjadi. 5. Mengidentifikasikan akibat effect yang ditimbulkan. 6. Menetapkan nilai-nilai dengan jalan brainstorming dalam point : - Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap konsumen severity. - Frekuensi terjadinya kesalahan occurance. - Alat kontrol akibat potential cause detection. 7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan 3 kriteria yang telah dibuat sebelumnya. 8. Dapatkan nilai RPN Risk Potential Number dengan jalan mengalikan nilai SOD Severity, Occurance, Detection. 9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang diakibatkan. 10. Buat implementation action plan, lalu terapkan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 11. Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah-langkah yang sama diatas. 12. Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan.

2.6.4.1.1 Severity

Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang bagaimana pengaruh buruk yang dirasakan akibat kegagalan dalam proses produk atau jasa. Adapun skala yang menggambarkan severity dapat diinterpretasikan pada tabel 2.4 berikut. Tabel 2.4. Skala Penilaian Severity Rating Kriteria Deskripsi 1 Negligible severity Pengaruh buruk yang dapat diabaikan 2 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit 3 Mild severity Pengaruh yang ringan atau sedikit 4 Moderat severity Pengaruh buruk yang moderat masih berada dalam batas toleransi 5 Moderat severity Pengaruh buruk yang moderat masih berada dalam batas toleransi 6 Moderat severity Pengaruh buruk yang moderat masih berada dalam batas toleransi 7 High severity Pengaruh buruk yang tinggi berada di luar batas toleransi 8 High severity Pengaruh buruk yang tinggi berada di luar batas toleransi 9 Potential safety problem Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya berkaitan dengan keselamatan atau keamanan potensial Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.6.4.1.2 Occurrence

Occurrence menunjukkan nilai keseringan suatu masalah terjadi karena potensial cause. Adapun skala yang menggambarkan occurrence dapat diinterpretasikan pada tabel 2.5 berikut : Tabel 2.5. Skala Penilaian Occurrence Rating Tingkat Kegagalan Deskripsi 1 1 dalam 1.000.000 Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang menyebabkan mode kegagalan 2 1 dalam 20.000 Kegagalan akan jarang terjadi 3 1 dalam 4.000 Kegagalan akan jarang terjadi 4 1 dalam 1.000 Kegagalan agak mungkin terjadi 5 1 dalam 400 Kegagalan agak mungkin terjadi 6 1 dalam 80 Kegagalan agak mungkin terjadi 7 1 dalam 40 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 8 1 dalam 20 Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi 9 1 dalam 8 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi 10 1 dalam 2 Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi

2.6.4.1.3 Detection

Detection merupakan alat kontrol yang digunakan untuk mendeteksi potential cause. Adapun skala yang menggambarkan detection dapat diinterpretasikan dalam tabel 2.6 berikut : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tabel 2.6. Skala Penilaian Detection Rating Degree Deskripsi 1 Very high Otomatis proses dapat mendeteksi kesalahan yang terjadi komputerisasi 2 Very high Hampir semua kesalahan dapat dideteksi oleh alat kontrol visual pada bentuk barang dan double checking 3 High Alat kontrol cukup andal untuk mendeteksi kesalahan visual pada bentuk barang 4 High Alat kontrol relatif andal untuk mendeteksi kesalahan visual pada bentuk barang 5 Moderate Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan visual pada susunan barang 6 Moderate Alat kontrol cukup bisa mendeteksi kesalahan visual pada susunan barang 7 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan rendah pengamatan fisik 8 Low Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan sangat rendah perubahan warna 9 Very low Alat kontrol tidak bisa diandalkan untuk mendeteksi kesalahan feeling berdasar pengalaman masa lalu 10 Very low Tidak ada alat kontrol yang bisa digunakan untuk mendeteksi kesalahan

2.6.5 Control C

Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarkan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau praktek-praktek lama terulang kembali. Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.293, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002.

2.7 Seven Tools

Tidak mungkin untuk memeriksa atau menguji kualitas kedalam suatu produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi. Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan dan mengansumsi, tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standar. Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal Sumber : “Pengantar PKS”, Gajahmada University Press, Jogyakarta, Montgomery, Douglas C, 1993. Terdapat alat-alat pengendalian kualitas yang memiliki tujuan yang sama, atau yang biasa lebih dikenal dengan nama Seven tools, Seven tools adalah 7 alat yang dipakai untuk mengendalikan kualitas dengan macam kegunaan dan fungsi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Seven tools tersebut antara lain : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

A. Histogram

Histogram mempunyai bentuk seperti diagram batang yang dapat digunakan untuk mengetahui harga rata-rata atau central tendency dari nilai data yang terkumpul, harga maksimum dan minimum data, range data, besar penyimpangan atau dispersi terhadap harga rata-rata, bentuk distribusi data yang terkumpul.

B. Check Sheet

Adalah alat bantu untuk memudahkan proses pengumpulan data. Berupa lembaran dengan tabel-tabel untuk pengisian data. Informasi dari lembar pengecekan dipakai untuk menyelidiki trend masalah setiap saat.

C. Diagram Pareto

Diagram ini berguna untuk menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi dengan suatu grafik yang meranking klasifikasi data dalam urutan terbesar ke terkecil dari kiri ke kanan.

D. Defect Concentration Diagram

Merupakan salah satu alat pengendalian kualitas yang digunakan sebagai alat untuk memastikan lokasi defect yang dapat memberikan informasi tentang penyebab potensial defect. Konsep utama adalah menunjukkan secara langsung letak cacat yang terjadi pada spesimen dengan memberi tanda khusus pada gambar spesimen.

E. Cause-Effect Diagram

Diagram ini disebut juga dengan diagram tulang ikan karena bentuknya seperti ikan. Selain itu disebut juga dengan diagram Ishikawa karena yang Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. menemukan adalah Prof. Ishikawa yang berasal dari Jepang. Diagram ini digunakan untuk menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja, mencari penyebab-penyebab yang sesungguhnya dari suatu masalah. Ada 4 faktor penyebab utama yang signifikan yang perlu diperhatikan yaitu : metode kerja, mesin peralatan lain, bahan baku, dan pengukuran kerja. Mengapa hanya diklasifikasikan pada 4 point, karena menurut Dr. Kaoru Ishikawa dalam bukunya teknik pengendalian mutu menyatakan hampir separuh kasus yang terjadi di lantai produksi disebabkan oleh bahan mentah, pengukuran, mesin atau peralatan dan metode kerja. Yang kemudian keempat penyebab tersebut mengakibatkan dispersi produk pada histogram bertambah besar. Menurut Vincent, akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui ” Mengapa” beberapa kali kepada staf produksi dan pihak manajemen, maka dimasukkan ke dalam diagram sebab-akibat yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1. Manpower tenaga kerja : berkaitan dengan kekurangan dalam pengetahuan tidak terlatih, tidak berpengalaman, kekurangan dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian, dll. 2. Machines mesin-mesin dan peralatan : berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dll. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 3. Methods metode kerja : berkaitan dengan tidak ada prosedur dan metode kerja yang benar, tidak diketahui, tidak terstandarisasi, tidak cocok, dll. 4. Materials beban baku dan bahan penolong : berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi kualitas bahan baku dan bahan penolong yang ditetapakan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu, dll. 5. Media : berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan, dan lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan dalam lampu penerangan, ventilasi yang buruk, kebisingan yang berlebihan, dll. 6. Motivation motivasi : berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan profesional tidak kreatif, bersikap reaktif, tidak mampu bekerja sama dalam tim, dll, yang dalam hal ini disebabkan oleh sistem balas jasa dan penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja. 7. Money keuangan : berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial keuangan yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang akan diterapkan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. A KIBAT M anpower Machines M ethods Materials Media Motivation Money Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Gambar 2.6 Fishbone diagram Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002.

F. Scatter Diagram Diagram Pencar

Diagram ini digunakan untuk menemukan atau melihat korelasi dari suatu faktor penyebab yang berkesinambungan terhadap faktor lain. Dari penyebaran Scatter dapat dianalisa hubungan faktor sebab akibat.

G. Control Chart Peta kontrol

Peta kontrol pada dasarnya merupakan alat analisa yang dibuat mengikuti metode statistik dimana data yang berkaitan dengan kualitas produk atau proses diplot dalam sebuah peta dengan batas kontrol atas BKA dan batas kontrol bawah BKB. Prosedur pengendalian proses Statistik pada jalur yang paling sederhana dapat dilakukan dengan grafik pengendali. Adapun 3 kegunaan pokok grafik pengendali : 1. Pemantauan dan pengawasan suatu proses. 2. Pengurangan variabilitas proses. 3. Penaksiran parameter produk atau proses. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PT. Union Metal,yang terletak di Jl.Lebak Timur 9 24 Surabaya. Penelitian ini dilakukan pada produk velg mobil jenis davino. Adapun sebagai objek penelitian yang diobservasi pada perusahaan ini adalah kecacatan produk dan pemborosan yang sering terjadi yang berakibat kegagalan pencapaian target produksi dan mengurangi kepuasan pelanggan. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Januari 2011 sampai dengan data telah tercukupi.

3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Dalam identifikasi variabel terdapat variable-variabel yang didapatkan berdasarkan data dari perusahaan yang digunakan dalam perhitungan. Pada penelitian ini, data yang diambil adalah data atribut. Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut :

3.2.1 Variabel Terikat

Variabel terikat yaitu variabel yang nilainya tergantung dari variasi perubahan variable bebas. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.