Rakhmat 1995 menyatakan ada dua faktor yang memengaruhi persepsi : 1.
Faktor Fungsional Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lain-lain
yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut. 2.
Faktor Struktural Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efek-efek
saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, ketikapun kita tidak
melihatnya tidak secara keseluruhan maka kita yang akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
Dalam Thoha 1999, faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan persepsi seseorang antara lain : psikologi, yaitu bagaimana keadaan psikis seseorang; famili
yaitu keluarga yang merupakan pengaruh paling besar bagi seseorang;kebudayaan yaitu lingkungan masyarakat yang kuat dalam memengaruhi sikap, nilai dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan.
2.4. Persepsi masyarakat tentang kesehatan dan sarana kesehatan
Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman, serta pengalaman masa lalu. Hal ini sangat berpengaruh
dalam pembentukan dan perubahan perilaku. Suatu objek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang. Menurut Jordan dan Sudarti yang
dikutip oleh sarwono dalam Bangun 2008 persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial budaya.
Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik
seseorang. Perbedaan persepsi masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang sering
menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab ia
merasa tidak mengidap penyakit. Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman masa atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang
tersedianya jenis-jenis layanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana kesehatan itu dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana
tersebut.
2.5. HIVAIDS
2.5.1. Definisi HIV
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS Zein, 2006. Ketika
virus ini masuk ke dalam tubuh, tidak timbul gejala apa-apa sehingga orang yang terinfeksi tampak sehat dan segar, walaupun virus tersebut telah berpotensi menular
kepada orang lain. Virus ini membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk menunjukkan gejala-gejalanya seperti batuk, flu dan diare yang sulit untuk disembuhkan, selain itu
tubuh akan mudah terserang penyakit lainnya Lasmadiwati, 2005.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut T-
Limfosit atau “sel T-4” atau disebut juga “sel CD-4” Zein, 2006. Adapun yang menjadi fungsi sel ini adalah seperti saklar yang menghidupkan dan menghentikan
kegiatan sistem kekebalan tubuh Lasmadiwati, 2005. Akibatnya sel darah putih akan semakin berkurang dan lama-kelamaan sistem kekebalan tubuh melemah
Yatim, 2006
2.5.2. Definisi AIDS
AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit, Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau
didapat. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah terserang penyakit-penyakit lain
yang berakibat fatal. AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada Tahun 1981.
Sindrom ini menggambarkan tahap klinis akhir dari infeksi HIV. Beberapa minggu hingga beberapa bulan sesudah terinfeksi, sebagian orang akan mengalami penyakit
self-limited mononucleosis-like akut yang akan berlangsung selama 1 atau 2 minggu. Orang yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda atau simptom selama
beberapa bulan atau tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berat ringannya infeksi opportunistic atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum
terkait langsung dengan derajat kerusakan sistem kekebalan yang diakibatkannya Chin, 2000.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan Tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya
sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS di mana berdasarkan hasil tes Elisa yang tiga
kali diulang menyatakan positif, namun hasil tes Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai
kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-progessor,
artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di
RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 Djoerban, 2010. Prevalensi HIVAIDS di Indonesia secara umum masih rendah, tetapi
Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan tingkat epidemik yang terkonsentrasi concentrated level epidemic yaitu adanya lebih dari 5 pada sub
populasi tertentu misalnya penjaja seks dan penyalahgunaan NAPZA Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainnya. Tingkat epidemik ini menunjukkan tingkat
perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di dalam suatu sub populasi tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemik akan ditentukan oleh jumlah dan sifat
hubungan antara kelompok berisiko dengan populasi umum Depkes RI, 2006.
Menurut Yatim 2006, pada orang dewasa AIDS dapat diduga apabila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan paling sedikit satu gejala minor tanpa
sebab imunosupresi lain yang diketahui seperti kanker, malnutrisi atau penyebab lain. Gejala mayor, antara lain :
a. Penurunan berat badan lebih dari 10 dalam waktu singkat b. Demam lebih dari satu bulan intenmiten atau kontinu
c. Diare kronik lebih dari satu bulan. Gejala minor, antara lain :
a. Batuk lebih dari satu bulan b. Kelainan kulit dan iritasi gatal
c. Herpes simplecs kulit melepuh dan terasa nyeri yang menyebar dan bertambah parah
d. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan e. Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, yang teraba di bawah
telinga, leher, ketiak dan lipat paha. f. Limfadenopati generalisasi
2.5.3. Stadium HIVAIDS
Stadium HIVAIDS di kategorikan oleh Djoerban, dkk 2010 menjadi : 1. Fase Pertama
Beberapa hari atau beberapa minggu sesudah terjadi infeksi HIV untuk pertama kali, seseorang mungkin akan menjadi sakit dengan keluhan dan gejala-gejala mirip
seperti flu, yaitu :
a. Demam. b. Rasa lemah dan lesu.
c. Sendi-sendi terasa nyeri. d. Batuk.
e. Nyeri tenggorokan. 2. Fase Kedua
Fase kedua ini disebut window period yang berlangsung antara 3-6 bulan. Pada fase ini hasil tes untuk mendeteksi antibodi HIV masih menunjukkan hasil
negatif HIV- . Orang yang sudah memasuki tahap ini sudah dapat menularkan kepada orang lain.
3. Fase Ketiga Hasil tes laboratorium pada tahap ini sudah menunjukkan hasil positif HIV+ .
Tahap ini belum dapat disebut dengan gejala AIDS. Fase ini berlangsung selama 2-10 tahun. Mulai timbul gejala-gejala yang mirip dengan penyakit lain, yaitu :
a. Demam berkepanjangan. b. Penurunan berat badan lebih dari 10 dalam waktu 3 bulan .
c. Kelemahan tubuh yang menggangumenurunkan aktivitas fisik sehari-hari. d. Pembengkakan kelenjar di leher, lipatan paha dan ketiak.
e. Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas. f. Batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus menerus, kulit gatal
dan bercak-bercak merah kebiruan.
3. Fase Keempat Pada tahap ini penderita mudah diserang penyakit lain, dan disebut infeksi
oportunistik. Maksudnya adalah penyakit yang disebabkan baik oleh virus lain,
seperti bakteri, jamur atau parasit yang bisa hidup dalam tubuh kita yang bila sistem kekebalan tubuh baik, kuman ini dapat dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini
pengidap HIV+ telah berkembang menjadi penderita AIDS. Infeksi opportunistik yang biasa diderita, yaitu :
a. Radang paru : TBC. b. Radang saluran pencernaan.
c. Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan. d. Kulit : Herpes Simplecs, kanker kulit yang biasa terjadi yaitu Sarkoma caposii.
e. Gangguan susunan saraf : Toxoplasmosis. f. Alat kelamin : Herpes genitalis.
2.5.4. Penularan HIV AIDS
HIV hanya ditularkan dari satu orang kepada yang lainnya melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu. HIVAIDS
ditularkan melalui : 1.
Hubungan seks. 2.
Penggunaan jarum suntik yang pernah dipakai orang lain yang terular HIV. 3.
Transfusi darah yang mengandung HIV. 4.
Transplantasi organ pengidap HIV.
5. Hubungan perinatal, yakni dari ibu hamil kepada janin atau bayi yang disusuinya
Zein, 2006. Penularan HIV melalui hubungan seks mencapai lebih dari 90. Penularan
melalui hubungan seks heteroseksual yang paling dominan. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh seseorang dapat
meningkat jika ada luka pada alat kelamin. Masyarakat dianjurkan untuk berperilaku seksual yang lebih bertanggung jawab lebih berhati-hati agar jangan tertular HIV.
Apalagi karena hubungan seks adalah perilaku sehari-hari dalan kehidupan manusia Zein, 2006.
HIV tidak menular lewat pergaulan sehari-hari, karena HIV bukan virus yang menular seperti virus flu atau kuman penyakit kulit. HIV tidak menular karena kita
berjabatan tangan, bersentuhan atau merangkul orang lain. HIV tidak menular karena makan bersama, minum bersama atau berenang di kolam yang sama. HIV juga tidak
menular melalui gagang telepon atau lewat WC yang habis dipakai penderita AIDS Yatim, 2006. Keterbatasan informasi yang didapat masyarakat Indonesia tentang
penyakit ini, mengakibatkan banyak penderita HIVAIDS yang dikucilkan dari lingkungannya Djoerban, 2010.
Adapun kelompok yang mempunyai risiko untuk tertular HIV menurut Zein 2006 adalah pasangan seksual pengidap HIV, pecandu narkoba suntik dan pasangan
seksualnya, wanita pekerja seks dan pelanggannya, serta pasangan pelanggannya, waria sebagai pekerja seks dan pelanggannya dan pasangan pelanggannya, petugas
kesehatan yang berhubungan dengan darah dan sekret penderita HIV, janin yang dikandung oleh penderita HIV.
2.5.5. Pencegahan dan Pengobatan HIVAIDS
Dewasa ini pencegahan merupakan satu satunya upaya penanggulangan AIDS. 5 langkah untuk mencegah tertular HIVAIDS dalam Noe 2010, yaitu :
A = Abstinence of Sex jauhi seks bebas B = Be Faithful setia pada pasangan
C = use Condom gunakan kondom D = Don’t share a needle jangan berbagi jarum suntik
E = Education pendidikan
Pencegahan dan penanggulangan AIDS mempunyai tiga tujuan antara lain : mencegah infeksi HIV, mengurangi dampak perorangan dan sosial dari infeksi HIV
serta menggerakan dan menyatukan upaya nasional dan internasional melawan AIDS. 1.
Secara seksual. Saling setia dengan mitra seksual merupakan sesuatu yang penting. Tapi jika
bermaksud saling setia, hal yang harus diperhatikan adalah :
a.
Pemilihan mitra seksual anda berkaitan dengan risiko terinfeksi karena hal ini tergantung dari besarnya kemungkinan bahwa mitra anda adalah termasuk
kelompok risiko tinggi.
b.
Jumlah mitra seksual yang makin besar akan memperbesar kemungkinan mendapatkan mitra yang terinfeksi.
c.
Penggunaan kondom yang tepat dan konsisten mulai dari awal hingga akhir untuk semua penetrasi seksual vagina, oral dan anal
d.
Jenis kebiasaan perilaku seksual.
2. Pencegahan Penularan melalui Darah
Untuk pencegahan penularan HIV melalui darah dan produk darah yang terinfeksi, pendekatan yang telah terbukti efektif adalah mengambil donor sukarela,
melakukan skrining darah donor terhadap HIV dan mendidik petugas kesehatan untuk mengurangi transfusi yang tidak perlu. Pencegahan penularan di antara pengguna
narkoba suntik haruslah sejalan dengan usaha pencegahan secara seksual di antara mereka, termasuk menurunkan permintaan akan obat, menurunkan penggunaan obat
suntik dan mensterilkan alat suntik dan jarum dengan memasaknya atau menggunakan pemutih.
4. Pencegahan Penularan dari Ibu kepada Anaknya
Strategi terbaik dalam pencegahan dari ibu kepada anaknya tentu saja dengan mencegah penularan HIV secara seksual kepada wanita usia subur. Pencegahan
sekunder tergantung pada upaya menghindari kehamilan dari wanita usia subur yang diketahui atau dicurigai terinfeksi HIV. Pelayanan konseling dan kontrasepsi harus
tersedia untuk wanita Djoerban, 2010 Infeksi HIVAIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif
sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif,
sehingga pengobatan HIVAIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok Depkes RI, 2006 sebagai berikut :
a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin.
b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIVAIDS. Jenis-jenis
mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa Pneumocystis carinii, Toxoplasma dan Cryptotosporidium, jamur Kandidiasis, virus Herpes,
cytomegalovirusCMV, Papovirus dan bakteri Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dll. Penanganan terhadap
infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus.
c. Pengobatan antiretroviral ARV, ARV bekerja langsung menghambat enzim
reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik
menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIVAIDS
ataupun membunuh HIV.
2.6. Konseling Dan Testing HIVAIDS Sukarela VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIVAIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahaman berbagai masalah terkait dengan HIVAIDS Depkes
RI, 2006. Adapun prinsip pelayanan konseling dan testing HIVAIDS Sukarela VCT :
1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan,dan tanpa tekanan.
2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien.
Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks
kunjungan klien. 3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya
yang disetujui oleh klien. Berdasarkan pedoman pelayanan VCT Depkes RI, 2006, layanan VCT harus
mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih dan kompeten. Petugas pelayanan VCT terdiri dari:
1. Kepala klinik VCT . 2. Dua orang konselor VCT terlatih sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai
dengan kebutuhan. 3. Petugas manajemen kasus.
4. Seorang petugas laboratorium dan atau seorang petugas pengambil darah yang berlatar belakang perawat.
5. Seorang dokter yang bertanggungjawab secara medis dalam penyelenggaraan layanan VCT.
6. Petugas administrasi untuk data entry yang sudah mengenal ruang lingkup pelayanan VCT.
7. Petugas jasa kantor atau pekarya kantor. 8. Petugas keamanan yang sudah mengenal ruang lingkup pelayanan VCT.
9. Tenaga lain sesuai kebutuhan, misalnya relawan. Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas klien.
klien akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang memuat perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian data harus dipersiapkan
secara tepat dan cepat agar memudahkan dalam pelayanan dan rujukan.
2.6.1. Tahapan dalam layanan VCT
1. Konseling Pra Testing Dalam konseling ini didiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat
dan lengkap tentang HIVAIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif. Sesudah melakukan konseling lanjutan,
diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri dan keluarganya dari penyebaran infeksi, dengan cara menggunakan berbagai informasi dan alat prevensi yang tersedia bagi
mereka. Di dalam Konseling pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat
keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan emosi klien Depkes RI, 2006.
2. Testing HIV dalam VCT Prinsip Testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbeda- beda karena perbedaan prinsip metoda yang digunakan. Testing yang digunakan
adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya.
Penggunaan metode testing cepat rapid testing memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu
menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor skrining, untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik
klien. 3. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil testing,
memberikan hasil testing, dan menyediakan informasi selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV. Kunci
utama dalam menyampaikan hasil testing Depkes RI, 2006. - Periksa ulang seluruh hasil klien dalam catatan medik. Lakukan hal ini sebelum
bertemu klien, untuk memastikan kebenarannya.
- Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka. - Berhati-hatilah dalam memanggil klien dari ruang tunggu.
- Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau lainnya secara verbal dan non verbal selagi berada di ruang tunggu.
- Hasil testing tertulis
2.6.2. Model Tahapan VCT
Kerangka model dibawah ini adalah prosedur kunci penyediaan layanan VCT :
Model Standar Emas Pra Test-Test-Pasca Test
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Konseling pra-test mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko dan kondisi psikososial dan penyediaan informasi
faktual tertulis
maupun
Penundaan pengambilan darah Beri waktu berpikir
HIV negatif Mendorong mengubah perilaku ke arah
positif, hilangkan yang negatif. Katakan meski situasinya masih
berisiko rendah tetap harus merawat diri untuk menghindari infeksi dan
kemungkinan penularan HIV Positif
Sampaikan beri hati, menilai kemampuan mengelola berita
hasil, sediakan waktu untuk diskusi, bantu agar adaptasi
dengan situasi dan buat
rencana tepat dan rasional
Berikan konseling berkelanjuta dengan hati –hati termasuk untuk mengurangi penularan; motivasi untuk menurunkan
risiko penularan;jika dibutuhkan kenali sumber dukungan lain, termasuk layanan medik RS,Perawatan rumah
Pengambilan darah
Berikan konseling berkelanjutan yang melibat Sertakan keluarga dan teman;
gerakkan dukungan keluarga dan masyarakat; cari dukungan lainnya;
tumbuhkan perilaku bertanggung jawab
Lakukan periksa ulang adalah pajanan selama 12 bulan setelah tes
atau pajanan sesudah tes. Sarankan tes ulang dan melakukan tes ulang
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi kerangka konsep adalah :
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas dapat dijelaskan defenisis dari konsep yaitu :
1. Pengetahuan tentang penyakit AIDS sebagai variabel bebas independent adalah
hasil tahu penderita HIVAIDS tentang penyakit AIDS. 2.
Persepsi tentang Penyakit AIDS sebagai variabel bebas independent adalah pandangan atau penilaian penderita HIVAIDS tentang penyakit AIDS.
3. Persepsi tentang klinik VCT sebagai variabel bebas independent adalah
pandangan atau penilaian penderita HIVAIDS tentang klinik VCT. 4.
Tingkat pemanfaatan klinik VCT sebagai variabel terikat dependent adalah jumlah kunjungan penderita HIVAIDS ke klinik VCT dalam satu tahun terakhir.
- Pengetahuan tentang penyakit
AIDS -
Persepsi tentang penyakit AIDS
- Persepsi tentang klinik VCT
Tingkat pemanfaatan klinik VCT
2.8. Hipotesis Penelitian