Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Pasien Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK IMS
DI PUSKESMAS KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2009
T E S I S
Oleh
MARDIN PURBA
057012019/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK IMS
DI PUSKESMAS KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2009
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARDIN PURBA
057012019/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN TERHADAP
PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK IMS DI PUSKESMAS KABANJAHE KABUPATEN KARO TAHUN 2009
Nama Mahasiswa : Mardin Purba Nomor Induk Mahasiswa : 057012019
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD,Sp.JP) (Drs.Tukiman, M.K.M) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 31 Desember 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP Anggota : 1. Drs.Tukiman, M.K.M
2. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PASIEN
TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK IMS
DI PUSKESMAS KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2009
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 31 Desember 2009
MARDIN PURBA 057012019/IKM
(6)
ABSTRAK
Penyakit IMS merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, di mana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi HIV. Berdasarkan data Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo pada bulan Maret 2008 sampai dengan Januari 2009, jumlah pasien IMS sebanyak 113 orang. Dibandingkan dengan besarnya risiko yang tertular pada masyarakat, pemanfaatan klinik IMS masih rendah, hal ini ditandai dengan persentase kunjungan pasien berulang ke Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe hanya 25,38%.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh karakteristik dan motivasi pasien terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009. Jenis penelitian ini berbentuk survey explanatory. Populasi adalah penderita IMS sebanyak 98 orang. Sampel penelitian adalah total populasi sebanyak 98 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α = 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe adalah karakteristik demografi (umur, jenis kelamin dan status perkawinan), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) dan motivasi (p<0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 62,7%. Variabel yang paling berpengaruh adalah motivasi dengan koefisien (β) 0,360.
Disarankan kepada Puskesmas Kabanjahe dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk : 1) Memprioritaskan penanggulangan masalah Penyakit IMS kepada kelompok umur dewasa muda, belum kawin, perempuan dan pekerja tidak tetap, 2) Meningkatkan promosi tentang pencegahan penyakit IMS seperti melalui media siaran radio dan brosur/leaflet, 3) Membuat strategi untuk meningkatkan mutu pelayanan sehingga pemanfaatan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe meningkat.
(7)
ABSTRACT
Sexually transmitted disease infections is a major issue in public health in developing countries, where it makes individual vulnerable to HIV infection. Clinical data based on sexually transmitted infection clinic at the health centre Karo District in March 2008 to January 2009 reported the number of patients of sexually transmitted infections as many as 98 people. Compared to the risk of contracting to the community, utilization of sexually transmitted infections clinics is still low, this is indicated by the percentage of repeat visits to sexually transmitted infection clinics in health center Kabanjahe was only 25.38%.
The purpose of this study is to analyze the influence of patient characteristics and motivations on the utilization of clinical services at sexually transmitted infection clinic at the health centre Kabanjahe Karo District in the Year 2009. This research was a survey with explanatory method. The population of this study of sexually transmitted infections as many as 98 people. The sample for this study were total sampling as many as 98 people. Data for this study were obtained through interviews using questionnaires. The data were analyzed through multiple regression at α = 5%.
The results of this study showed statistically that variables which influence on patient utilization of services sexually transmitted infection clinics in health center Kabanjahe of demographic were characteristics (age, gender and marriage status), social structures (education, employment and income) and motivation (p <0.05). The influence of independent variables was simultaneously 62.7%. The most dominant variables influenced on utilization of clinical services at sexually transmitted infection clinic at the health centre Kabanjahe was motivation with (β) 0,360.
The health center Kabanjahe and Karo District Health Office is suggested to : 1) Prioritize disease prevention problems of sexually transmitted infections to young adult age group, unmarried, women and non-permanent workers, 2) Improve campaign on the prevention of sexually transmitted infections diseases through radio broadcast and brochures / leaflets, 3) Create a strategy to improve the quality of service so that the utilization of sexually transmitted infections Clinic Kabanjahe Health Center increased.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Pasien Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof.
dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).
Selanjutnya kepada dr.Ria Masniari Lubis, MSi, selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku
Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof.Dr. Ida Yustina, MSi selaku
sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.dr.Sutomo Kasiman, Sp.PD,Sp.JP,
(9)
pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,
mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal
hingga penulisan tesis selesai.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si dan
Dr. Endang Sulistya Rini, SE, M.Si selaku Komisi Penguji yang telah meluangkan
waktu untuk memberi saran dan masukan kepada penulis.
Terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karo dr. Diana Elita
Ginting, M.Kes yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Selanjutnya terima kasih juga kepada dr. Eminiatte Singarimbun, M.Kes
selaku Kepala Puskesmas Kabanjahe yang telah memberikan motivasi kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus menyelesaikan penelitian ini.
Tak terhingga terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta,
Istri Lismawaty Br.Bangun, putra dan satu putri: Lucky Agung Purba, Tiofani
Br Purba dan Kevin Cornelius Purba serta seluruh keluarga yang telah banyak
memberikan sumbangan moril dan materil dan secara khusus kepada orangtua
tercinta Tetap Purba dan Dame Br.Bangun (alm).
Selanjutnya terima kasih juga para dosen dan staf di lingkungan Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan
(10)
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, 31 Desember 2009 Penulis
(11)
RIWAYAT HIDUP
Mardin Purba, lahir pada tanggal 12 Nopember 1968 di Kubu, anak ke enam dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Tetap Purba dan Ibu Dame Br Bangun (alm).
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Kubu selesai tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kabanjahe selesai tahun 1984, SMA Tunas Kartika I di Medan selesai tahun 1987, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU selesai tahun 1992.
Mulai bekerja sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil sebagai Staf Puskesmas Nanga Tekuai Kabupaten Kapuas Hulu tahun 1993 s/d 1994, tahun 1994 sebagai Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Hulu sampai tahun 1999, kemudian pindah tugas ke Dinas Kesehatan Kabupaten Karo sebagai staf, tahun 2003 sampai 2005 sebagai Kepala Seksi Perencanaan dan Data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, tahun 2005 sampai sekarang sebagai Kepala Bidang Pengendalian dan Peran Serta Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Karo.
Pada tanggal 5 Januari 1995, penulis menikah dengan Lismawaty Br Bangun anak dari Bapak Siwen Bangun dan Ibu Ratna Br Ginting, dan penulis dikaruniai dua orang putra dan satu orang putri.
Tahun 2005 Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di S2 Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Hipotesis ... 11
1.5. Manfaat Penelitian ... 11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS)... 13
2.1.1. Pengertian IMS ... 13
2.1.2. Jenis Penyakit IMS ... 13
2.1.3. Penanggulangan IMS ... 15
2.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 16
2.2.1. Struktur dan Standar Pelayanan ... 17
2.2.2. Petugas Klinik IMS... 18
2.2.3. Pengelolaan Klinik IMS... 19
2.2.4. Strategi Pengendalian IMS ... 20
2.2.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia... 21
2.2.6. Monitoring dan Evaluasi Klink IMS... 23
2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan... 23
2.4. Motivasi ... 26
2.5. Evalusi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan... 28
2.6. Landasan Teori... 28
(13)
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 34
3.1. Jenis Penelitian... 34
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
3.2.1. Lokasi Penelitian... 34
3.2.2. Waktu Penelitian ... 34
3.3. Populasi dan Sampel ... 34
3.3.1. Populasi... 34
3.3.2. Sampel... 35
3.4. Metode Pengumpulan Data... 35
3.4.1. Data Primer ... 36
3.4.2. Data Sekunder ... 37
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 37
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 38
3.6. Metode Pengukuran ... 40
3.6.1. Metode Pengukuran Variabel Bebas... 40
3.6.2. Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 41
3.7. Metode Analisis Data... 42
BAB 4 HASIL PENELITIAN... 44
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 44
4.2. Karakteristik Pasien ... 47
4.2.1. Karakteristik Predisposisi ... 48
4.2.2. Karakteristik Pendukung ... 53
4.2.3. Karakteristik Kebutuhan ... 55
4.3. Motivasi... 57
4.4. Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 60
4.5. Analisis Bivariat (Uji Chi Square) ... 61
4.5.1. Hubungan Faktor Karakteristik Predisposisi dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 62
4.5.2. Hubungan Struktur Sosial dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 63
4.5.3. Hubungan Keyakinan terhadap Pelayanan dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 65
4.5.4. Hubungan Karakteristik Kemampuan dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 66
4.5.5. Hubungan Karakteristik Kebutuhan dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 66
4.5.6. Hubungan Motivasi dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe... 67
(14)
BAB 5 PEMBAHASAN... 71
5.1. Pengaruh Karakteristik Predisposisi terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 71
5.1.1. Pengaruh Umur terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 71
5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 72
5.1.3. Pengaruh Status Perkawinan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 73
5.2. Pengaruh Struktur Sosial terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe... 74
5.2.1. Pengaruh Pendidikan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 74
5.2.2. Pengaruh Pekerjaan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 75
5.2.3. Pengaruh Suku Bangsa terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 75
5.2.4. Pengaruh Pendapatan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 76
5.3. Pengaruh Keyakinan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe... 77
5.4. Pengaruh Karakteristik Pendukung (Kemampuan) terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 78
5.5. Pengaruh Karakteristik Kebutuhan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 78
5.6. Pengaruh Motivasi (Internal dan Eksternal) terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 79
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 82
6.1. Kesimpulan ... 82
6.2. Saran ... 84
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Jumlah Pasien Baru Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Maret tahun 2008
sampai Januari tahun 2009... 7
2.1. Jenis IMS, Gejala dan Cara Pemeriksaan ... 14
3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas... 40
3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 42
4.1. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kabanjahe ... 45
4.2. Distribusi Ciri-ciri Demografi Responden yang Berkunjung ke Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe... 48
4.3. Distribusi Struktur Sosial Responden di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 49
4.4. Distribusi Responden tentang Keyakinan terhadap Pelayanan di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 51
4.5. Distribusi Responden berdasarkan Keyakinan terhadap Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe... 52
4.6. Distribusi Karakteristik Pendukung (Kemampuan) Responden yang Berkunjung ke Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 53
4.7. Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Pendukung (Kemampuan) di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 54
4.8. Distribusi Responden berdasarkan Perasaan Subjektif di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 55
4.9. Distribusi Responden berdasarkan Evaluasi Klinis di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 56
4.10. Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Kebutuhan di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe... 57
4.11. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Internal di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe ... 58
(16)
4.12. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Eksternal di Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe ... 58 4.13. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Internal di Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe ... 59 4.14. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Eksternal di Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe ... 59 4.15. Distribusi Responden berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe ... 60 4.16. Distribusi Responden berdasarkan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe ... 61 4.17. Hubungan Faktor Karakteristik Predisposisi dengan Pemanfaatan
Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 62 4.18. Hubungan Struktur Sosial dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS di
Puskesmas Kabanjahe ... 63 4.19. Hubungan Keyakinan terhadap Pelayanan dengan Pemanfaatan
Pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 65 4.20. Hubungan Karakteristik Kemampuan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 66 4.21. Hubungan Karakteristik Kebutuhan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe ... 67 4.22. Hubungan Motivasi Intrinsik dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS
di Puskesmas Kabanjahe... 67 4.23. Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan Pemanfaatan Pelayanan Klinik
IMS di Puskesmas Kabanjahe... 68 4.24. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik ... 69
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 90
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 95
3. Tabel Frekuensi... 99
4. Hasil Uji Regresi... 117
5. Struktur Organisasi Puskesmas Kabanjahe ... 119
6. Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian ... 120
7. Surat Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana USU Medan ... 131
8. Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir ... 132
(19)
ABSTRAK
Penyakit IMS merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, di mana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi HIV. Berdasarkan data Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo pada bulan Maret 2008 sampai dengan Januari 2009, jumlah pasien IMS sebanyak 113 orang. Dibandingkan dengan besarnya risiko yang tertular pada masyarakat, pemanfaatan klinik IMS masih rendah, hal ini ditandai dengan persentase kunjungan pasien berulang ke Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe hanya 25,38%.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh karakteristik dan motivasi pasien terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009. Jenis penelitian ini berbentuk survey explanatory. Populasi adalah penderita IMS sebanyak 98 orang. Sampel penelitian adalah total populasi sebanyak 98 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α = 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe adalah karakteristik demografi (umur, jenis kelamin dan status perkawinan), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) dan motivasi (p<0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 62,7%. Variabel yang paling berpengaruh adalah motivasi dengan koefisien (β) 0,360.
Disarankan kepada Puskesmas Kabanjahe dan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo untuk : 1) Memprioritaskan penanggulangan masalah Penyakit IMS kepada kelompok umur dewasa muda, belum kawin, perempuan dan pekerja tidak tetap, 2) Meningkatkan promosi tentang pencegahan penyakit IMS seperti melalui media siaran radio dan brosur/leaflet, 3) Membuat strategi untuk meningkatkan mutu pelayanan sehingga pemanfaatan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe meningkat.
(20)
ABSTRACT
Sexually transmitted disease infections is a major issue in public health in developing countries, where it makes individual vulnerable to HIV infection. Clinical data based on sexually transmitted infection clinic at the health centre Karo District in March 2008 to January 2009 reported the number of patients of sexually transmitted infections as many as 98 people. Compared to the risk of contracting to the community, utilization of sexually transmitted infections clinics is still low, this is indicated by the percentage of repeat visits to sexually transmitted infection clinics in health center Kabanjahe was only 25.38%.
The purpose of this study is to analyze the influence of patient characteristics and motivations on the utilization of clinical services at sexually transmitted infection clinic at the health centre Kabanjahe Karo District in the Year 2009. This research was a survey with explanatory method. The population of this study of sexually transmitted infections as many as 98 people. The sample for this study were total sampling as many as 98 people. Data for this study were obtained through interviews using questionnaires. The data were analyzed through multiple regression at α = 5%.
The results of this study showed statistically that variables which influence on patient utilization of services sexually transmitted infection clinics in health center Kabanjahe of demographic were characteristics (age, gender and marriage status), social structures (education, employment and income) and motivation (p <0.05). The influence of independent variables was simultaneously 62.7%. The most dominant variables influenced on utilization of clinical services at sexually transmitted infection clinic at the health centre Kabanjahe was motivation with (β) 0,360.
The health center Kabanjahe and Karo District Health Office is suggested to : 1) Prioritize disease prevention problems of sexually transmitted infections to young adult age group, unmarried, women and non-permanent workers, 2) Improve campaign on the prevention of sexually transmitted infections diseases through radio broadcast and brochures / leaflets, 3) Create a strategy to improve the quality of service so that the utilization of sexually transmitted infections Clinic Kabanjahe Health Center increased.
(21)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit
infeksi dan salah satunya adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu,
pada waktu yang bersamaan juga terjadi peningkatan penyakit tidak menular. Dengan
demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban
ganda pada waktu yang bersamaan (double burdens) (Depkes RI, 2006).
Penyakit IMS merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di
negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi
HIV. Cara penularan penyakit IMS yaitu melalui hubungan seksual dan diikuti
dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko mencapai HIV, seperti
mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten menggunakan
kondom (Badan Narkotika Nasional, 2004).
IMS sering juga disebut penyakit kelamin, yaitu penyakit-penyakit yang
sebagian besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin. Sebelum
dikenal sebagai IMS, jenis penyakit ini sudah cukup lama dikenal dengan sebutan
penyakit kelamin (venereal disease) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta). Saat
itu penyakit kelamin yang dikenal baru sifilis (syphilis) dan gonore (gonorrhea),
sedangkan istilah IMS baru dikenal setelah ditemukannya jenis penyakit kelamin
(22)
Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually Transmitted Diseases (STD) (Dirjen
PPM&PLP Depkes RI, 2003).
Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara seksual dapat tertular
IMS. Namun yang harus diwaspadai adalah kelompok berisiko tinggi terkena IMS
yaitu orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual dan orang yang punya satu
pasangan seksual, tetapi pasangan seksualnya suka berganti-ganti pasangan seksual
(Dirjen PPM&PLP Depkes RI, 2003).
Kelompok yang tergolong risiko tinggi terkena penyakit menular seksual
(PMS), antara lain kelompok umur 20 - 34 tahun pada laki-laki dan usia: 16 - 24
tahun pada wanita. Remaja putri secara biologis tampak lebih mudah terinfeksi PMS
dibandingkan wanita yang lebih dewasa karena secara biologis sel-sel organ
reproduksi belum matang. Hubungan seksual pada remaja meningkatkan kerentanan
terhadap IMS (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).
Meskipun belum ada data yang akurat tentang jumlah penderita penyakit IMS,
beberapa hal yang menunjukkan tingginya kasus IMS adalah jumlah kasus
HIV/AIDS yang berkembang dimasyarakat, khususnya melalui praktek pelacuran,
pergaulan bebas serta perilaku masyarakat lainnya.
Menurut data UNAIDS (United National Joint Program on HIV AIDS ) tahun
2006 menyebutkan jumlah orang yang hidup dengan HIV tercatat 39.5 juta jiwa.
Jumlah ini meningkat lebih dari 2.9 juta jiwa dibandingkan pada tahun 2004. Negara
(23)
terlihat bahwa dari seluruh kasus HIV, 90 % terjadi pada negara berkembang seperti
Thailand, India, Myanmar dan China bagian Selatan, sedangkan negara–negara
industri yang lebih maju telah menekan laju infeksi HIV di negaranya (Depkes RI,
2006)
Untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia, sampai dengan akhir september 2006
telah menyebar ke 32 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dengan jumlah 6.987
orang (KPA Nasional, 2006). Di Sumatera Utara jumlah kumulatif HIV/AIDS sampai
dengan tahun 2007 adalah berjumlah 1.017 kasus, dan berdasarkan jenis kelamin
jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara adalah laki-laki 784 jiwa, perempuan
147 jiwa, dan tidak diketahui 86 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara,
2007).
Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS
di kabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang dilaksanakan yaitu
(1) Program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya Komunikasi
Perubahan Perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC),
(2) Program Kondom 100%, (3) Program penanganan IMS, (4) Program Harm
Reduction, (5) Program Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan
mutu pelayan untuk konseling dan testing sukarela, serta (6) Program perawatan,
pengobatan dan dukungan pada ODHA (KPA Nasional 2006). Salah satu program
tersebut yang juga merupakan kerjasama antara pemerintah dan LSM yang sangat
populer di seluruh Indonesia dan sampai saat ini terus dikembangkan adalah program
(24)
Salah satu kewenangan wajib dalam penyelenggaraan pemberantasan
penyakit menular yang ditetapkan Departemen Kesehatan dan menjadi salah satu
indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah jumlah kasus IMS yang ditangani
atau diobati. Oleh karena itu pengembangan program penanggulangan IMS di setiap
daerah sangat diharapkan (Depkes RI, 2003).
Konsep penanggulangan penyakit IMS pertama kali dikembangkan di
Provinsi Jawa Timur. Pemerintah pusat menunjuk pemerintah Provinsi Jawa Timur
untuk mempelopori dan memperkenalkan Klinik IMS untuk kemudian bisa
diterapkan di daerah atau Provinsi lainnya di Indonesia (Raharjo, 2005).
Kendala yang dialami pemeritah Provinsi Jawa Timur saat pertama kali
mendirikan klinik IMS di daerah Putat Jaya (kompleks lokalisasi) terbesar di
Indonesia Timur adalah penerimaan oleh masyarakat sekitarnya. Banyak tantangan
yang harus dilalui petugas dalam memberikan pelayanan, seperti, pasien yang tidak
membayar biaya pemeriksaan, dianggap menjatuhkan nilai jual pasien yang
berprofesi sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dan berbagai kendala lainnya yang
berkaitan dengan karakteristik masyarakatnya (Lumintang, 2005).
Dibentuknya klinik IMS di daerah, bukan berarti pemerintah melegalkan
keberadaan prostitusi, sehingga harus memfasilitasi pembentukan sebuah klinik.
Akan tetapi lebih didorong atas pesan moral pada individu. Setelah pesan moral
dilakukan, dengan memberikan penyuluhan bahaya penyakit seks, pencegahan, dan
(25)
terkait dengan fungsi sosialnya, yakni menyediakan tempat kesehatan secara khusus,
dan bukan berbentuk klinik umum lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah
mengenali dan terarah. Klinik IMS diharapkan mampu mencegah penularan penyakit
seks di masyarakat dan sekaligus merupakan upaya pemerintah dalam membantu
mencegah penularan penyakit IMS seperti HIV/ AIDS (Raharjo, 2005).
Kabanjahe sebagai ibu kota Kabupaten Karo merupakan salah satu kota yang
sering digunakan sebagai jalur lalulintas menuju ke beberapa kabupaten di wilayah
Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam sehingga kota ini sering
pula dijadikan sebagai tempat persinggahan (transit). Selain itu, kota Berastagi
sebagai daerah tujuan wisata sehingga sering di kunjungi masyarakat dari daerah lain
di Indonesia maupun mancanegara. Dengan masuknya orang luar ke Kabupaten Karo
disamping masyarakat di Kabupaten Karo juga sering berpergian ke daerah lain dan
apabila orang-orang tersebut melakukan hubungan seks yang tidak aman maka
berpeluang terjadinya penularan penyakit IMS maupun HIV/AIDS.
Orang yang mengidap IMS memiliki risiko yang lebih besar untuk terinfeksi
HIV, karena luka yang terbuka memberikan jalan masuk bagi HIV. HIV terutama
ditularkan lewat hubungan seks, karena itu HIV juga termasuk jenis IMS. Menurut
Komisi Penanggulangan AIDS (2007), penderita IMS mempunyai risiko 2-9 kali
lebih besar untuk tertular HIV dibandingkan dengan bukan penderita. Oleh karena itu
program penanggulangan IMS meliputi pengamatan penyakit, penemuan, pengobatan
(26)
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karo (Agustus 2008)
menunjukkan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tercatat sebanyak 74 kasus, di mana
sebagian besar pekerjaan dari penderita adalah supir. Jumlah tersebut merupakan
akumulasi tahun 2007 sampai bulan Agustus 2008, dimana tahun 2007 ditemukan
kasus HIV/AIDS sebanyak 20 orang dan sampai Agustus 2008 sebanyak 74 orang.
Menurut Ramadhan (2008), kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung
es, dimana kasus yang terdata hanya sekitar 10% dari penderita HIV/AIDS yang
sesungguhnya. Dari jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Karo yang terdata
sebanyak 74 orang, maka diperkirakan jumlah penderita yang sebenarnya sebanyak
740 orang. Mengacu Sasongko (2007) bahwa penderita IMS mempunyai resiko 2 – 9
kali lebih besar untuk tertular HIV, maka dari jumlah perkiraan penderita HIV/AIDS
di Kabupaten Karo sebanyak 740 orang dapat diperkirakan jumlah masyarakat yang
menderita IMS sebanyak 1.400 – 6.660 orang.
Dari data profil kesehatan Kabupaten Karo tahun 2007 bahwa jumlah
penderita IMS yang berobat ke seluruh puskesmas sebanyak 135 orang, sedangkan
jumlah penderita IMS yang berobat ke sarana kesehatan lain belum terdata oleh
karena itu jumlah penderita IMS yang sesungguhnya belum dapat diketahui secara
pasti.
Puskesmas Kabanjahe sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan di Kota
Kabanjahe, melaksanakan kegiatan/pelayanan tambahan dengan membentuk Klinik
Infeksi Menular Seksual (IMS). Berdasarkan data Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe
menunjukkan bahwa jumlah pasien baru sejak berdiri pada bulan Maret 2008 sampai
(27)
Tabel 1.1. Jumlah Pasien Baru Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Maret tahun 2008 sampai Januari tahun 2009
No Bulan Jumlah Pasien Baru
1 Maret 4
2 April 6
3 Mei 9
4 Juni 10
5 Juli 12
6 Agustus 10 7 September 11 8 Oktober 13 9 November 11 10 Desember 12
11 Januari 15
Jumlah 113
Sumber: Puskesmas Kabanjahe, 2008
Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa kunjungan pasien ke Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe sebagai sarana pelayanan bagi penderita IMS yang baru
didirikan di tingkat puskesmas sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Walaupun
sampai saat ini terlihat ada respons masyarakat untuk memanfaatkan klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe namun masih rendah apabila dibandingkan dengan besarnya
resiko yang tertular pada masyarakat sebagaimana perkiraan di atas.
Pada awal berdirinya, Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dikunjungi oleh
pasien yang sebagian besar berasal dari wilayah Kecamatan Kabanjahe dan
Kecamatan Berastagi. Namun saat ini sudah ada yang berasal dari wilayah kecamatan
lain, seperti Kecamatan Laubaleng, Kecamatan Merek, Kecamatan Kutabuluh
(28)
Frekuensi kunjungan pasien ke Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe yang paling
banyak hanya kunjungan sekali 74,62%, sedangkan yang melakukan kunjungan ulang
sebanyak 25,38%. Berdasarkan prosedur tetap (protap) pengelolaan klinis IMS
(Depkes RI, Usaid dan FHI, 2007), meliputi (a) anamnesis, (b) pemeriksaan fisik,
(c) pemeriksaan laboratorium, (d) pengobatan segera, langsung dan tepat, konseling
dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien. Dari uraian prosedur tetap tersebut diketahui
bahwa proses pengobatan pasien penyakit IMS harus dilakukan secara berkelanjutan,
dengan demikian harus dilakukan ulang ke sarana kesehatan.
Berdasarkan jenis kelamin pasien Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe
umumnya adalah perempuan 86,5% dan laki-laki 13,5%. Hampir sama dengan jenis
kelamin pasien penderita IMS yang berkunjung ke Puskesmas Berastagi yaitu 84,2%
perempuan dan 15,8% laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
perempuan untuk memeriksakan kesehatannya, dalam hal ini yang terkait dengan
infeksi menular seksual, lebih tinggi daripada tingkat kesadaran laki-laki.
Jenis penyakit yang paling banyak diderita pasien adalah servisitas (44%),
Bacterial Vaginosis (34%), candidiasis (10%), sedangkan sifilis lanjut, uretritis,
procitis dan cancroid masing-masing 3%. Hal ini menunjukkan persentase tertinggi
penyakit IMS yang diderita pasien adalah servisitas.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Karo No.38 tahun 2001
(29)
jalan di puskesmas meliputi: biaya karcis Rp. 1.000, biaya obat standar Rp.5.000, dan
biaya pemeriksaan laboratorium Rp. 5.000 untuk sekali pelayanan.
Menurut Raharjo (2005), faktor-faktor yang memperlambat upaya
mengurangi risiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses penderita IMS ke sarana
pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi klinik yang tidak strategis,
keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotek, toko lain atau klinik,
kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negatif terhadap kegiatan
seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan.
Hasil penelitian Iswarati & Prihyugiarto (2005) menyimpulkan bahwa pasien
berasal dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas lebih banyak
mengetahui tentang penyakit IMS dibanding keluarga miskin. Pasien berumur lebih
tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang
rnengetahui penyakit IMS dibanding pasien berumur lebih muda, tinggal di pedesaan,
dan berpendidikan lebih rendah. Mengacu kepada penelitian tersebut dapat dijelaskan
bahwa karakteristik masyarakat berpengaruh terhadap pengetahuan tentang penyakit
menular serta tingkat pengetahuan masyarakat tersebut akan mendorong atau tidak
untuk melakukan tindakan pencegahan, seperti melakukan pemeriksaan atau
konsultasi ke pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan IMS seperti Klinik
IMS.
Menurut Lewin dalam Notoatmodjo (2005), ada empat variabel kunci yang
terlihat di dalam tindakan seseorang untuk melawan atau mengobati penyakitnya,
(30)
manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan
penyakitnya dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Berdasarkan pendapat
tersebut dibuat suatu model yang disebut model kepercayaan kesehatan (The health
belief model).
Sementara Anderson (1995) menggambarkan model pemanfaatan pelayanan
yang berupa determinan yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan,
dimana pada model ini terdapat tiga katagori utama dalam pelayanan kesehatan,
yakni : karakteristik predisposisi, karakteristik kemampuan dan karakteristik
kebutuhan.
Berdasarkan uraian di atas sehubungan dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit IMS maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik
dan motivasi pasien terhadap memanfaatkan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas
Kabanjahe.
1.2. Perumusan Masalah
Dari besarnya peluang terjadinya penularan penyakit IMS dan telah tingginya
kasus HIV/AIDS pada masyarakat di Kabupaten Karo, maka keberadaan Klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe sangat diharapkan pemanfaatannya oleh masyarakat sebagai
sarana pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit IMS
termasuk HIV/AIDS. Mengingat masih rendahnya pemanfaatan klinik IMS
Puskesmas Kabanjahe dibandingkan dengan besarnya risiko yang diperkirakan
(31)
tersebut yang berpengaruh terhadap pemanfaatan klinik IMS dimaksud, maka
permasalahan penelitian adalah : bagaimana pengaruh karakteristik predisposisi
(demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik kemampuan
dan karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap
pemanfaatan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun
2009?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh karakteristik predisposisi (demografi, struktur
sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik pendukung kemampuan dan
karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap
pemanfaatan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun
2009.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh karakteristik predisposisi (demografi, struktur sosial, keyakinan
terhadap pelayanan), karakteristik kemampuan dan karakteristik kebutuhan serta
motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap pemanfaatan pelayanan Klinik
IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Kabanjahe dalam upaya meningkatkan
(32)
2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Kabanjahe yang
terlibat langsung dalam penanganan penderita IMS untuk dapat memberikan
pelayanan yang optimal.
3. Sebagai sarana dan wahana bagi peneliti dalam mengembangkan pengetahuan
(33)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS) 2.1.1. Pengertian IMS
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar menular
lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini
termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut (oral) atau lewat dubur
(Depkes RI, 2004).
IMS juga disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya
menunjuk pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas maknanya,
karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu ada di alat
kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, mulut, saluran pencernaan,
hati,otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang
menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat
kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya
membawa bibit penyakit-penyakit ini (Depkes RI, 2004).
2.1.2. Jenis Penyakit IMS
IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting
adalah : GO atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau raja singa,
(34)
Tabel 2.1. Jenis IMS, Gejala dan Cara Pemeriksaan
Nama IMS Gejala Umum Gejala Khusus Jenis Tes
Chlamidya (klamidia)
Nyeri saat Kencing
Keluar cairan lendir & bening dari kemaluan, terasa gatal berwarna kuning atau kehijauan dan bau.
Pemeriksaan cairan atau lendir Raja singa (sifilis) Bintil-bintil berair seperti cacar disertai timbulnya luka yang terasa nyeri di sekitar kelamin.
Pada stadium lanjut akan nampak kelamin kulit seperti koreng berwarna merah (luka terbuka)
Tes darah
Kencing Nanah (GO)
Nyeri yang sangat saat kencing
Tampak cairan berupa nanah kental pada kemaluan. Cairan juga bisa keluar dari dubur
Pemeriksaan Nanah
Herpes genital
Badan lemes, nyeri sendi pada daerah terinfeksi, demam
Tampak kelainan kulit yang berbenjol-benjol, bulat atau lonjong kecil sebesar 2-5 mm
Tes darah
Kutil
kelamin/Jengger Ayam
Timbul kutil pada daerah terinfeksi
Dalam kasus lanjut, kutil bergerombol seperti jengger ayam di daerah kemaluan dan daerah anus Pemeriksaan jaringan dan tes darah Hepatitis Badan lemes, kurang gairah dan kadang demam
Pada kasus parah, tampak kulit selaput mata berwarna kuning
Tes darah
HIV / AIDS
Virus walaupun sudah ada di dalam darah tidak
menunjukkan gejala sama sekali
Penderita yang sudah menunjukkan gejala AIDS, nampak gejala yang sangat kompleks, yang sulit dibedakan dengan penderita kanker stadium lanjut.
Tes darah untuk mendeteksi virus HIV :
Elisa dan
Western Blood Sumber: Depkes RI, 2004
(35)
Tidak semua IMS bisa diobati seperti HIV/AIDS, Herpes, Jenger Ayam dan
Hepatitis termasuk jenis-jenis IMS yang tidak bisa disembuhkan. HIV/AIDS
termasuk paling berbahaya. HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan dan merusak
kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apapun. Akibatnya, orang menjadi
sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya. Sementara Herpes, sering
kambuh dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes, yang diobati cuma gejala
luarnya saja, tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup di dalam tubuh selamanya.
Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan. Walau begitu, ada jenis Hepatitis tertentu
yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).
2.1.3. Penanggulangan IMS
Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS ditingkat pelayanan dasar masih
ditujukan kepada kelompok risiko tinggi berupa upaya pencegahan dan
penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini ditemui hambatan
sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidak tuntasan dalam pengobatannya,
sehingga menimbulkan komplikasi IMS yang serius seperti kemandulan, keguguran,
dan kecacatan janin (Depkes RI, 2004).
Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Depkes RI (2004)
tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka
kesembuhan atau kemanjuran tinggi (sekurang-kurangnya 90-95% di wilayahnya),
harga murah, toksisitas dan toleransi yang masih dapat diterima, diberikan dalam
(36)
hamil atau ibu menyusui kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS
sebagai berikut: (a) meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor
termasuk kerjasama internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, (b) meningkatkan desentralisasi dengan
pendekatan pelayanan kesehatan dasar, (c) pencegahan adalah fokus utama,
diintegrasikan dengan perawatan, dukungan dan pengobatan, (d) memperkuat aspek
manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang berkaitan dengan upaya
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, termasuk aspek perlingdungan kerahasiaan dan
aspek pencegahan diskriminasi/stigmatisasi penderita IMS dan HIV/AIDS, dan
(e) mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan penyakit
lainnya antara lain tuberkulosis.
2.2. Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Klinik IMS ini mencakup:
(a) melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks aman,
(b) memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular
IMS, (c) melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS asymptomatic bagi semua
populasi beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga) bulan, (d) memberikan
layanan konseling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klien pekerja
seks melalui sistem partner notification, (e) menjalankan sistem monitoring dan
surveilans, dan (f) memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat –obat
(37)
Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah bertujuan untuk menjalankan
fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, pria, waria,
pelanggan PSK dan pasangan seks tetapnya (KPA Nasional, 2005).
2.2.1. Struktur dan Standar Pelayanan
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Sanitasi IMS yang
dikembangkan melalui kerjasama Depkes RI, Usaid dan Family Health International
(2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi
seperti hal berikut ini: (a) ruang tunggu dan registrasi, (b) ruang pemeriksaan,
(c) laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada
pasien, sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi
dipisahkan dengan sebuah horden atau sekat, (d) ruang pengobatan dan konseling.
Setiap bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan
yang nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan
kliniknya dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal
untuk mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk
mengendalikan infeksi harus diterapkan
Standar Minimum untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan untuk
memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan untuk klinik
IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus melakukan
hal-hal: (a) kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,
(b) pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi;( kelompok “inti” misalnya
(38)
efektif, yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala, (d) program
penapisan, dan pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok
risiko tinggi yang menjadi sasaran, (e) program penatalaksanaan mitra seksual,
(f) sistim monitoring dan surveilans yang efektif. Jika sebagai model klinik untuk
klinik-klinik yang ada disekitarnya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan
klinis IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik
tersebut. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada
pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan
(Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.2.Petugas Klinik IMS
Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak
menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas, serta dapat melakukan fungsi –
fungsi berikut ini dengan baik, meliputi : (a) administrasi klinik, registrasi pasien,
pencatatan dan pelaporan, (b) anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual,
pemeriksaan fisik dan pengobatan, (c) laboratorium berdasarkan tes diagnostik,
(d) konseling, serta (e) memelihara standar klinis untuk penatalaksanaan IMS
(Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.3. Pengelolaan Klinik IMS
a. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic Management).
Semua klinik harus dapat menerapkan “Pengelolaan Syndrom yang
(39)
yang baik, (b) pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat (termasuk spekulum dan
pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi pasien wanita, dan pemeriksaan
rektum jika ada indikasi), (c) pemeriksaan laboratorium yang secepatnya, supaya
hasil pemeriksaan tersedia sebelum pasien meninggalkan klinik, (d) pengobatan
segera, langsung dan tepat, konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien.
b. Standar Pengobatan. Semua klinik harus mengelola IMS menurut “Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual dengan Pendekatan Sindrom
dan Laboratorium’ yang diterbitkan oleh PPM&PLP (2004), atau terbitan revisi
lanjutannya.
c. Obat-obatan dan bahan habis pakai: Semua klinik harus tetap menjaga adanya pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan IMS yang tepat
(seperti dalam ‘standar pengobatan’), atau memiliki akses untuk obat-obatan ini
melalui apotik setempat atau sumber lainnya. Pengadaan obat-obatan ini di klinik
harus dijaga dengan seksama untuk memastikan adanya persediaan yang cukup dan
berkesinambungan. Semua obat-obatan dan bahan habis pakai harus disimpan
dengan tepat dan tidak melampui tanggal kadaluwarsanya. Semua klinik yang
memberikan pengobatan antibiotik, khususnya melalui injeksi.
intramuskular, harus mempunyai perlengkapan yang cukup dan siap untuk
menangani reaksi alergi atau anafilaktik.
d. Peralatan Klinik. Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam keadaan
(40)
2.2.4. Strategi Pengendalian IMS
Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap
penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk
penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang
berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima
pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model
pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko
tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik
yang tepat. Strategi untuk Perubahan Perilaku Berkesinambungan dapat menjelaskan
secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan
gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan,
pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus
dikembangkan dan dilaksanakan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Untuk memilih startegi mana yang akan diterapkan setiap klinik harus
melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani. Ada
beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut:
a. Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana klinik IMS tersebut akan
memberikan pelayanan. Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran
yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk
kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur, setiap bulan
b. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok
ini.Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan adanya dampak terhadap
(41)
tepat untuk pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk
mungurangi waktu infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk
menerapkan masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber
yang mereka miliki, dan tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka
capai.
c. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar
pada hasil penilaian dan analisa.
d. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang dikumpulkan oleh
pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan kebijakan
pencegahan.
e. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji keefektifan
dan cakupannya secara teratur (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).demiologi unt
V
2.2.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia
a. Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan & komplikasi lebih lanjut,
dilakukan (a) deteksi dini (penemuan kasus), (b) pengobatan, (c) penemuan kasus
secara aktif melalui penapisan, pengawasan, dan notifikasi pasangan,
(d) memperbaiki akses yang efektif pada perawatan medis (faktor-faktornya
mencakup biaya, mutu, lokasi dan waktu), (e) meningkatkan kepekaan terhadap
IMS, memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan kebiasaan untuk mencari
perawatan kesehatan, (f) Enhanced Syndromic management’ dari IMS mis.
perpendek atau hilangkan waktu tunggu antara kunjungan ke klinik IMS sampai
(42)
b. Kurangi Intensitas terkena infeksi dari orang yang rentan, jika terpapar: (a) kurangi
efisiensi penularan per paparan, (b) tingkatkan penggunaan kondom, (c) kurangi
praktek seksual yang berisiko mis. hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan,
(d) kurangi faktor pendamping yang kritis mis. obati IMS untuk mengurangi
penularan HIV, (e) kurangi paparan seksual pada tahap kritis infeksi mis. HSV-2
primer, (f) promosi kebersihan alat genital (mis. mencuci sebelum dan sesudah
behubungan seks) (Depkes RI, Usaid dan FHI, 2007).
c. Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi:
(a) modifikasi perilaku dari orang yang rentan, (b) modifikasi perilaku dari orang
yang diketahui terkena infeksi, (c) modifikasi perilaku orang yang berpotensi untuk
terkena infeksi, (d) promosikan penundaan kegiatan seksual, abstinensia,
monogami, atau mengurangi angka pertukaran pasangan, (e) promosikan tes secara
meluas, seperti konseling dan testing HIV secara sukarela, (f) kembangkan dan
promosikan pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensial
terkena infeksi untuk melindungi pasangannya, (g) promosikan kesehatan dan
kebersihan alat genital, (h) kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan
seksual berisiko sangat tinggi (mis. tempat pelacuran) dan ciptakan upaya – upaya
pencegahan di lingkungan tersebut (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).
2.2.6. Monitoring dan Evaluasi Klinik IMS
a. Monitoring merupakan proses metodologi pengumpulan data secara teratur. Ini
dilakukan oleh staf pelayanan klinik IMS dengan tujuan untuk melihat hubungan
pelayanan yang sudah diberikan dengan kegiatan-kegiatan yang mereka
(43)
b. Evaluasi mencakup analisa dan pengkajian sebuah program, atau bagian dari
sebuah program. Hal ini untuk penentuan ukuran keberhasilan atau nilai dari
sebuah program, dan menolong peserta program untuk melakukan evaluasi diri dan
memperbaiki praktek palayanan dan programnya.
2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Dever (1984), faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan atau
pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:
1. Faktor Sosiokultural
a. Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat. Norma, nilai sosial dan
keyakinan yang ada pada masyarakat akan memengaruhi seseorang dalam
bertindak, termasuk dalam menggunakan pelayanan kesehatan.
b. Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. Kemajuan di bidang
teknologi dapat mengurangi atau menurunkan angka kesakitan sehingga
secara tidak langsung dapat mengurangi penggunaan pelayanan kesehatan.
2. Faktor Organisasi.
a. Ketersediaan sumber daya.
Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas,
sangat memengaruhi penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan
kesehatan. Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa
didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudah penggunaannya. Suatu
(44)
b. Keterjangkauan lokasi
Yaitu berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan
tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan.
Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu,
ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pemakaian
pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan penyakit ringan.
c. Keterjangkauan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu dapat diterima dan
terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial dan
budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi.
d. Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan
kesehatan.
Bentuk-bentuk praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek
tunggal, praktek bersama atau yang lainnya membawa pola pemanfaatan
yang berbeda-beda.
3. Faktor yang berhubungan dengan konsumen.
Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan
langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan kesehatan.
Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa
klinis (evaluated need). Perceived need ini dipengaruhi oleh:
a. Faktor sosiodemografi, yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, bangsa,
(45)
b. Faktor sosiopsikologis, yang terdiri dari persepsi sakit, gejala sakit dan
keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter.
c. Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas, dan faktor
resiko.
4. Faktor yang Berhubungan dengan Petugas Kesehatan.
a. Faktor ekonomi.
Konsumen tidak sepenuhnya memiliki prefensi yang cukup akan pelayanan
yang akan diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ke
tangan provider.
b. Karakteristik dari Petugas Kesehatan (Provider).
Yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas, serta
fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan tersebut.
Menurut Sarwono (2007) yang mengutip Mechanic, sebelum seseorang
menentukan untuk mencari upaya pengobatan, terlebih dahulu terjadi proses dalam
diri individu yaitu: (a) dikenalinya atau dirasakannya gejala-gejala/tanda-tanda yang
menyimpang dari keadaan biasa, (b) banyaknya gejala yang dianggap serius dan
diperkirakan menimbulkan bahaya, (c) dampak gejala tersebut terhadap hubungan
dengan keluarga, hubungan kerja, dan kegiatan sosial lainnya, (d) frekuensi dari
gejala dan tanda-tanda yang tampak, (e) nilai ambang dari mereka yang terkena
gejala atau kemungkinan individu untuk diserang penyakit, (f) informasi pengetahuan
(46)
dikenal, (h) adanya kebutuhan untuk bertindak/berperilaku mengatasi gejala sakit,
(i) tersedianya sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana tersebut, tersedianya
biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma dan jarak sosial.
2.4. Motivasi
Gitosudarmo dan Sudita (2000), mendefinisikan motivasi sebagai
faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan perilakunya
untuk memenuhi tujuan tertentu. Selanjutya menurut Widjaja (1996) bahwa motivasi
adalah psikologis tertentu dalam diri seseorang yang muncul oleh karena adanya
dorongan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dari motivasi ini kemudian timbul
tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan tadi. Terdapat perbedaan antara pengertian
motif dan motivasi. Motif adalah sesuatu dorongan yang ada dalam diri seseorang
untuk berbuat sesuatu, baik berupa gerakan maupun ucapan. Motivasi adalah tindak
lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan, baik berupa ucapan maupun tindakan
perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang.
Kata motivasi berasal dari kata latin “movere” yang berarti “menggerakkan”.
Arti kata ini tentunya tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana
perilaku orang teraktualisasi. Untuk memahami proses apa yang terjadi, membuat
orang berperilaku secara aktual, maka perlu beberapa definisi perilaku yang
dinyatakan beberapa pakar. Davis dan Newstrom (1996) mengemukakan bahwa
motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak
(47)
dapat menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak melakukan sesuatu
karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya.
Menurut Gibson, dkk (1996), teori motivasi terbagi kedalam dua kategori
yaitu teori kepuasan dan teori proses. Teori kepuasan memfokuskan pada
faktor-faktor dalam diri seseorang yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan
menghentikan perilaku. Sedangkan teori proses menerangkan dan menganalisa
bagaimana perilaku di dorong, dipertahankan, dan dihentikan.
Motivasi adalah lebih bersifat sebagai suatu proses daripada merupakan satu
produk. Sebagai suatu proses, kita tidak mengamati motivasi secara langsung,
namun kita membuat kesimpulan dari perilaku tertentu dalam wujut tugas, usaha,
dorongan, dan pengungkapan (mis, “saya sangat suka bekerja dalam hal ini “).
Beberapa teori menyatakan bahwa motivasi banyak menjelaskan perilaku manusia
(Pintrich dan Schunk, 1996).
Motivasi melibatkan tujuan yang memberikan dorongan dan arah terhadap
aksi yang dilakukan. Pandangan kognitif mengenai motivasi dipadukan dalam
penekanan yang ada mengenai pentingnya tujuan. Tujuan dalam hal ini tidak
dirumuskan dengan baik dan dapat berubah sesuai dengan pengalaman, namun yang
penting dalam hal ini adalah seseorang memiliki sesuatu untuk dicapai atau
(48)
Motivasi butuh aktivitas, yakni fisik atau mental. Usaha fisik, dorongan dan
keinginan lainnya memunculkan aksi. Aktivitas mental mencakup aksi seperti
perencanaan, usaha pencapaian, pengaturan, motivasi, monitoring, pemecahan
masalah, dan penilaian perkembangan. Aktivitas yang dilakukan mengarah kepada
pencapaian tujuan (Pintrich dan Schunk, 1996).
2.5. Evaluasi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Untuk mengetahui keberhasilan suatu program, kajian output (cakupan)
program yang dibandingkan dengan targetnya adalah salah satu cara sebagai bahan
penilaian. Cakupan program dapat dinilai setelah pelaksanaan kegiatan dari program
tersebut. Perhitungan cakupan ini dapat dilakukan dengan menggunakan statistik
sederhana yaitu jumlah orang yang mendapatkan pelayanan dengan jumlah penduduk
sasaran program dimaksud. Dalam usaha peningkatan efesiensi dan efektifitas
penatalaksanaan program perlu dilatih keterampilan dan kepekaan petugas untuk
mengkaji masalah program dan masalah kesehatan masyarakat di wilayah binaannya.
Efek dari penatalaksanaan program tersebut adalah perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat yang diukur dengan peran serta masyarakat untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang tersedia (Muninjaya,2004).
2.6. Landasan Teori
Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya
dalam suatu kerangka konseptual, maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan
(49)
Peningkatan penderita IMS pada masyarakat menuntut dilakukannya program
pelayanan dan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Klinik IMS Puskesmas
Kabanjahe sebagai unit pelayanan dan penanggulangan masalah penyakit infeksi
menular seksual diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi
jumlah penderita infeksi menular seksual di masyarakat.
Penanganan pasien infeksi menular seksual yang dilakukan di sarana
pelayanan kesehatan seperti Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik dari pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan maupun dari
petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Menurut Anderson (1995), bahwa determinan individu terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan oleh keluarga, tergantung kepada: (a) predisposisi keluarga
untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan, (b) kemampuan mereka untuk
melaksanakannya, (c) kebutuhan mereka terhadap jasa pelayanan kesehatan.
Komponen predisposisi keluarga mencakup karakteristik keluarga sebelum
kejadian penyakit dimana terdapat kecenderungan yang berbeda dalam penggunaan
pelayanan kesehatan, meliputi variabel demografi (seperti: umur, jenis kelamin, status
perkawinan); variabel struktur sosial (seperti: pendidikan, pekerjaan kepala keluarga,
suku bangsa); serta kepercayaan dan sikap terhadap perawatan medis, dokter dan
(50)
Komponen kemampuan melaksanakan pemanfaatan pelayanan kesehatan
adalah suatu kondisi yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan, atau setidak-tidaknya mereka siap memanfaatkannya. Meskipun keluarga
memberikan predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, namun beberapa
faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaannya yaitu faktor: kemampuan,
baik dari keluarga (misalnya: penghasilan dan asuransi kesehatan) dan dari komunitas
(misalnya: tersedianya fasilitas, petugas kesehatan, lamanya menunggu pelayanan
serta lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai fasilitas pelayanan tersebut).
Komponen kebutuhan terhadap jasa pelayanan kesehatan yang dirasakan,
diukur dengan (a) perasaan subjektif terhadap penyakit (meliputi: jumlah hari sakit
yang dilaporkan, jumlah gejala-gejala penyakit yang dialami, dan laporan tentang
keadaan kesehatan umum); dan (b) evaluasi klinis terhadap penyakit (biasanya
didasarkan atas keluhan-keluhan yang mungkin memerlukan pengobatan menurut
kelompok usia.
Sistem pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson (1995) yang
(51)
Sesuai dengan konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson
(1995), bahwa faktor predisposisi penggunaan jasa pelayanan kesehatan, salah
satunya adalah karakteristik pengguna pelayanan kesehatan. Di samping faktor-faktor
yang telah disebutkan Anderson tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor
lain yang turut memengaruhi adalah motivasi (intrinsik dan ekstrinsik) masyarakat
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan
Predisposisi
a. Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan) b. Struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, jumlah
keluarga, suku bangsa, agama, perpindahan tempat tinggal)
c. Keyakinan (penilaian terhadap status sehat/sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit)
PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN Kemampuan
a. Kemampuan keluarga (penghasilan, asuransi kesehatan, sumber lain)
b. Komunitas (jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia, biaya untuk pelayanan kesehatan, karakter penduduk pedesaan/perkotaan)
Kebutuhan
a. Perasaan subjektif terhadap penyakit (jumlah hari sakit, jumlah gejala-gejala penyakit)
b. Evaluasi klinis terhadap penyakit (gejala dan keluhan penyakit berdasarkan aspek klinik dan membutuhkan pengobatan)
(52)
Menurut Widjaja (1996) bahwa motivasi adalah kondisi psikologis dalam diri
seseorang yang muncul karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dari
motivasi ini kemudian timbul tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan tadi. Terdapat
perbedaan antara pengertian motif dan motivasi. Motif adalah sesuatu dorongan yang
ada dalam diri seseorang untuk berbuat sesuatu, baik berupa gerakan maupun ucapan.
Motivasi adalah tindak lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan, baik berupa
ucapan maupun tindakan perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang.
Menurut Herzberg dalam Reksohadiprojo (2000) pengertian motivasi
dibedakan menjadi motivasi internal dan motivasi eksternal sebagai berikut :
a. Motivasi Internal. Kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri seseorang akan
menimbulkan motivasi internalnya. Kekuatan ini akan memengaruhi pikirannya,
yang selanjutnya akan mengarahkan perilaku orang tersebut.
b. Motivasi Eksternal. Teori motivasi eksternal tidak mengabaikan teori motivasi
internal, tetapi justru mengembangkannya. Teori motivasi eksternal menjelaskan
kekuatan – kekuatan yang ada didalam individu yang dipengaruhi faktor eksternal
yang dikendalikan.
Mengacu kepada pendapat Anderson tersebut maka dalam penelitian ini yang
menjadi faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan
kesehatan di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe adalah: umur, jenis kelamin, suku,
(53)
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan mengacu kepada pendapat
Reksohadiprojo (2000) tentang motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
2.7. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.1
Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik Predisposisi
1. Ciri-ciri demografi - Umur
- Jenis Kelamin - Status Perkawinan 2. Struktur sosial
- Pendidikan - Pekerjaan - Suku Bangsa - Pendapatan
3. Keyakinan Terhadap Pelayanan
Motivasi
1. Intrinsik 2. Ekstrinsik
PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK IMS PUSKESMAS KABANJAHE - Kunjungan berulang
- Kunjungan tidak berulang
Karakteristik Kebutuhan
1. Perasaan Subjektif 2. Evaluasi Klinis
(54)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survai dengan tipe explanatory atau
penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kausal faktor predisposing
(demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik kemampuan
dan karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap
pemanfaatan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dengan
pertimbangan bahwa klinik IMS tersebut merupakan satu-satunya klinik IMS yang
ada di seluruh puskesmas di Kabupaten Karo. Dimana pemanfaatannya masih rendah
dibandingkan dengan besarnya perkiraan masyarakat yang tertular penyakit IMS.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksaanakan selama 7 bulan, mulai dari pengumpulan data
sampai seminar hasil, yaitu dari bulan April sampai Oktober 2009.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terdata telah
(55)
orang. Pada waktu penelitian yang dapat ditelusuri kembali dan bersedia untuk
diwawancarai hanya 98 orang sehingga populasinya sebanyak 98 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ditetapkan seluruh populasi (total sampling) yaitu pasien
yang memanfaatkan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe sebanyak 98 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan oleh tenaga pengumpul data (interviewer/surveyor) yang
diketahui oleh penulis sebagai orang yang sudah terlatih dengan jenjang pendidikan
minimal Diploma III. Agar data yang dikumpulkan lebih akurat dan sesuai dengan
yang diinginkan oleh penulis, maka sebelum melakukan pengumpulan data
interviewer/surveyor tersebut dilatih terlebih dahulu tentang cara-cara pengisian
kuesioner dan cara pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder.
3.4.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung
kepada responden dengan berpedoman pada kuesioner semi tertutup yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu, dengan penjelasan kuesioner secara lengkap sebagai
acuan pewawancara dalam melakukan wawancara. Untuk menjamin kerahasiaan dan
keakuratan jawaban, maka sebelum pelaksanaan wawancara, terlebih dahulu
(56)
Sebelum dilakukan pengumpulan data primer, terlebih dahulu dilakukan uji
validitas dan uji reliabilitas terhadap kuesioner yang akan dipergunakan, agar layak
digunakan sebagai alat pengumpulan data primer, yaitu untuk mengetahui atau
mengukur sejauh mana kuesioner dapat dijadikan sebagai alat ukur terhadap
kuesioner yang mewakili variabel terikat dan variabel bebas pada suatu
penelitian.
Uji coba kuisioner penelitian dilakukan kepada orang yang menyerupai
responden yang akan diteliti. Mengingat Klinik IMS di Kabupaten Karo hanya ada di
Puskesmas Kabanjahe, maka uji coba dilakukan di Klinik IMS terdekat, yaitu
Puskesmas Bandar Baru (Kabupaten Deli Serdang), yang dilakukan setelah kuisioner
penelitian disetujui dalam seminar kolokium dan sebelum dilakukan penelitian yang
sebenarnya.
Hasil penelitian dapat dikatakan valid dan reliabel apabila berdasarkan hasil
pengujian terhadap setiap butir pertanyaan kuesioner dinyatakan valid dan reliabel.
Butir pertanyaan dikatakan valid apabila nilai koefisien korelasi > 0,3 dan dikatakan
reliabel apabila nilai alpha cronbach >0,6 (Gozhali, 2005).
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan maupun dokumen-dokumen
resmi lainnya terutama data di Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe, Dinas Kesehatan
(57)
diperoleh, seperti data penyakit IMS, jenis pelayanan kesehatan yang diberikan,
sarana dan tenaga pelayanan kesehatan bagi penderita IMS.
3.4.3. Uji validitas dan reliabilitas
Kelayakan menggunakan instrumen yang akan dipakai untuk penelitian
diperlukan uji validitas dan reliabilitas. Uji dilakukan kepada 20 responden di
Puskesmas Bandar Baru (Kabupaten Deli Serdang), dengan alasan memiliki geografi
yang sama. Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi antara variabel atau
item dengan skor total variabel menggunakan rumus teknik korelasi Pearson Product
Moment Corelation Coeficient (r), dengan ketentuan nilai koefisien korelasi >0,3
(valid) dan nilai alpha cronbach > 0,6 (reliable).
Setelah dilakukan ujicoba kuesioner diketahui bahwa item-item pertanyaan
pada variabel keyakinan, kemampuan, subjektif, motivasi ekstrinsik valid dan reliabel
untuk digunakan pada penelitian ini dengan hasil berikut :
a. Variabel keyakinan dengan 4 item pertanyaan, diperoleh nilai r hitung > 0,3 dan
nilai alpha cronbach 0.7771>0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan).
(lampiran. 2)
b. Variabel kemampuan dengan 4 item pertanyaan, nilai r hitung > 0,3 dan nilai
alpha cronbach 0.9070> 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan) (lampiran.
2).
c. Variabel subjektif dengan 5 item pertanyaan, nilai r hitung > 0,3 dan nilai alpha
(58)
d. Variabel motivasi ekstrinsik dengan 5 item pertanyaan, nilai r hitung > 0,3 dan
nilai alpha cronbach 0.9239> 0,6 (memenuhi syarat yang telah ditetapkan)
(lampiran. 2).
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
Adapun variabel dan definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik predisposisi adalah faktor-faktor yang terdapat dalam pasien
yang membedakan dalam penggunaan pelayanan Klinik IMS Puskesmas
Kabanjahe, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor berikut : ciri-ciri
demografi, struktur sosial dan keyakinan.
- Ciri-ciri demografi adalah faktor-faktor yang melekat dalam setiap pasien
yang membedakan dalam penggunaan pelayanan Klinik IMS Puskesmas
Kabanjahe, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor berikut : umur,
jenis kelamin, status perkawinan.
- Struktur sosial adalah faktor-faktor yang dimiliki atau dipunyai setiap pasien
yang membedakan dalam penggunaan pelayanan Klinik IMS Puskesmas
Kabanjahe, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor berikut :
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa.
- Keyakinan adalah faktor-faktor kepercayaan dan sikap yang dimiliki atau
dipunyai setiap pasien yang membedakan dalam penggunaan pelayanan
(59)
faktor-faktor berikut : keyakinan terhadap perawatan medis, petugas medis
dan keseriusan penyakit yang dirasakan termasuk kecemasan.
b. Karakteristik kemampuan adalah kondisi yang memungkinkan pasien untuk
memanfaatkan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe, atau
setidak-tidaknya mereka siap memanfaatkannya dalam hali ini dibatasi pada biaya,
jarak klinik IMS, waktu buka klinik dan waktu yang tersita.
c. Karakteristik kebutuhan adalah faktor-faktor yang dirasakan pasien sehingga
membutuhkan jasa pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe, dalam
penelitian ini dibatasi pada faktor perasaan subjektif dan evaluasi klinis.
Perasaan subjektif adalah perasaan sakit, banyaknya keluhan gejala penyakit,
lamanya tidak sembuh dan mengganggu aktivitas. Sedangkan evaluasi klinis
adalah hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan menderita IMS.
d. Motivasi adalah hal-hal yang mendorong pasien untuk memenuhi kebutuhan
dalam penyembuhan penyakit IMS yang dideritanya, dalam penelitian ini
dibatasi pada faktor-faktor berikut :
- Motivasi intrinsik adalah dorongan dari diri pasien yang memengaruhi
pikirannya dan selanjutnya mengarahkan perilaku pasien tersebut untuk
memanfaatkan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dalam hal ini dibatasi
oleh kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri pasien.
- Motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar diri pasien yang akan
(60)
tersebut untuk memanfaatkan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe, seperti
Petugas kesehatan, LSM, keluarga dan media massa.
e. Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe adalah tindakan
atau aktivitas yang dilakukan pasien dalam pengobatan penyakit IMS yang
dideritanya, dikategorikan baik apabila kunjungan berulang dan tidak baik
apabila kunjungan tidak berulang.
3.6. Metode Pengukuran
3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas
Pengukuran variabel bebas menggunakan jenis skala nominal, interval dan
ordinal, disesuaikan dengan jenis variabel yang diteliti.
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Variabel Jumlah Pertanyaan
Bobot nilai pertanyaan tertinggi
Kategori Skor Skala ukur
Umur 1 -
- ≤ 30 Tahun - 31- 44 Tahun - > 44 Tahun
- Interval
Jenis
Kelamin 1 -
- Laki-laki
- Perempuan - Nominal
Status
Perkawinan 1 -
- Kawin - Belum Kawin - Duda/Janda
- Nominal
Pendidikan 1 -
- Rendah (SD/ SMP) - Sedang (SMA) - Tinggi (Akademi/PT)
- Ordinal
Pekerjaan 1 -
- Supir - Petani - Buruh - Wirawasta
- Bekerja tidak tetap
(1)
Crosstab
28 10 38
23.3 14.7 38.0
73.7% 26.3% 100.0% 46.7% 26.3% 38.8% 28.6% 10.2% 38.8%
32 28 60
36.7 23.3 60.0
53.3% 46.7% 100.0% 53.3% 73.7% 61.2% 32.7% 28.6% 61.2%
60 38 98
60.0 38.0 98.0
61.2% 38.8% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 61.2% 38.8% 100.0% Count
Expected Count % within Kemampuan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Count
Expected Count % within Kemampuan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Count
Expected Count % within Kemampuan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Tidak mampu
mampu Kemampuan
Total
Tidak
berulang Berulang Pemanfaatan Klinik
IMS
Total
Chi-Square Tests
4.059b 1 .044
3.247 1 .072
4.164 1 .041
.056 .035
4.017 1 .045
98 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.73.
b.
(2)
Crosstab
42 32 74
45.3 28.7 74.0
56.8% 43.2% 100.0% 70.0% 84.2% 75.5% 42.9% 32.7% 75.5%
18 6 24
14.7 9.3 24.0
75.0% 25.0% 100.0% 30.0% 15.8% 24.5%
18.4% 6.1% 24.5%
60 38 98
60.0 38.0 98.0
61.2% 38.8% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 61.2% 38.8% 100.0% Count
Expected Count % within Kebutuhan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Count
Expected Count % within Kebutuhan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Count
Expected Count % within Kebutuhan % within Pemanfaatan Klinik IMS
% of Total Tidak Butuh
Butuh Kebutuhan
Total
Tidak
berulang Berulang Pemanfaatan Klinik
IMS
Total
Chi-Square Tests
2.541b 1 .111
1.830 1 .176
2.653 1 .103
.149 .086
2.515 1 .113
98 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.31.
b.
(3)
Crosstabs
Crosstab
54 14 68
41.6 26.4 68.0
79.4% 20.6% 100.0% 55.1% 14.3% 69.4%
6 24 30
18.4 11.6 30.0
20.0% 80.0% 100.0%
6.1% 24.5% 30.6%
60 38 98
60.0 38.0 98.0
61.2% 38.8% 100.0% 61.2% 38.8% 100.0% Count
Expected Count % within intrinsik % of Total Count
Expected Count % within intrinsik % of Total Count
Expected Count % within intrinsik % of Total Tidak
Ya intrinsik
Total
Tidak
berulang Berulang Pemanfaatan Klinik
IMS
Total
Chi-Square Tests
30.950b 1 .000
28.498 1 .000
31.702 1 .000
.000 .000
30.635 1 .000
98 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.63.
b.
(4)
Crosstab
6 24 30
18.4 11.6 30.0
20.0% 80.0% 100.0%
6.1% 24.5% 30.6%
54 14 68
41.6 26.4 68.0
79.4% 20.6% 100.0% 55.1% 14.3% 69.4%
60 38 98
60.0 38.0 98.0
61.2% 38.8% 100.0% 61.2% 38.8% 100.0% Count
Expected Count % within ekstrinsik % of Total
Count
Expected Count % within ekstrinsik % of Total
Count
Expected Count % within ekstrinsik % of Total
Tidak
Ya ekstrinsik
Total
Tidak
berulang Berulang Pemanfaatan Klinik
IMS
Total
Chi-Square Tests
30.950b 1 .000
28.498 1 .000
31.702 1 .000
.000 .000
30.635 1 .000
98 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.63.
(5)
Regression
Variables Entered/Removedb
Motivasi, Pekerjaan, Keyakinan, Kemampuan, status perkawinan, jenis kelamin, Pendapatan, pendidikan, Suku Bangsa, Kebutuhan, umura
. Enter Model
1
Variables Entered
Variables
Removed Method
All requested variables entered. a.
Dependent Variable: Pemanfaatan Klinik IMS b.
Model Summary
.792a .627 .580 .49
Model 1
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), Motivasi, Pekerjaan, Keyakinan, Kemampuan, status perkawinan, jenis kelamin,
Pendapatan, pendidikan, Suku Bangsa, Kebutuhan, umur
a.
ANOVAb
35.444 11 3.222 13.161 .000a
21.056 86 .245
56.500 97
Regression Residual Total Model 1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Motivasi, Pekerjaan, Keyakinan, Kemampuan, status perkawinan, jenis kelamin, Pendapatan, pendidikan, Suku Bangsa, Kebutuhan, umur
a.
Dependent Variable: Pemanfaatan Klinik IMS b.
(6)
Coefficientsa
-2.036 .431 -4.726 .000
.012 .006 .173 2.038 .045
.262 .114 .161 2.307 .023
.309 .069 .324 4.514 .000
.194 .095 .150 2.049 .043
.136 .042 .225 3.259 .002
.180 .115 .115 1.570 .120
.000 .000 .166 2.267 .026
.003 .033 .008 .102 .919
.067 .030 .158 2.232 .028
-.049 .031 -.134 -1.604 .112
.360 .069 .422 5.202 .000
(Constant) umur jenis kelamin status perkawinan pendidikan Pekerjaan Suku Bangsa Pendapatan Keyakinan Kemampuan Kebutuhan Motivasi Model
1
B Std. Error Unstandardized
Coefficients
Beta Standardi
zed Coefficien
ts
t Sig.
Dependent Variable: Pemanfaatan Klinik IMS a.