BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang, kehidupan dalam keluarga sangat penuh dengan variasi. Ada keluarga yang disebut dengan keluarga besar yang terdiri atas ayah,
ibu, anak dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, paman dan sebagainya. Ada juga yang disebut dengan keluarga inti yang hanya terdiri atas ayah, ibu dan
anak. Ditinjau dari sisi kelengkapan struktur keluarga, terdapat keluarga yang utuh dan yang tidak utuh. Keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu
yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering disebut single parent adalah keluarga yang hanya terdapat satu orangtua saja baik
itu ayah ataupun ibu. DeGenova 2008 mengemukakan single parent family adalah keluarga
yang terdiri atas satu orangtua baik menikah maupun tidak menikah dengan memiliki anak. Sementara single parent itu sendiri adalah orangtua yang merawat
satu anak atau lebih tanpa ada dampingan dari pasangannya. Banyak hal yang
mengakibatkan single parent terjadi seperti bercerai, kematian pasangan, hamil diluar nikah dan ditinggalkan pasangannya.
Penelitian yang dilakukan Kelly 2008 menunjukkan bahwa anak dari single parent
lebih cenderung terkena masalah dalam kehidupannya sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
serta terganggu dalam hal pendidikan dibanding anak yang memiliki orangtua utuh. Mereka juga dilaporkan cenderung lebih rentan terkena substance use
seperti merokok, minum minuman keras, dan menggunakan narkoba karena mereka mencari kesenangan dengan melakukan hal tersebut sebagai pelarian dan
untuk menarik perhatian dari orangtua mereka. Demikian pula halnya pengawasan orangtua single parent cenderung berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak.
Pengawasan yang kurang terhadap anak-anak dalam melakukan aktivitas pekerjannnya sehari-hari dapat membuat mereka bingung dalam menentukan
tindakan karena tidak mempunyai tempat untuk berbagi. Bharat, dkk 1989 menambahkan bahwa anak dari keluarga single parent lebih merasa loneliness,
withdrawal dan anger. Hal ini dikarenakan mereka merasa berbeda dari teman-
temannya yang mempunyai keluarga utuh sehingga membuat mereka menjadi rendah diri. Dapat dikatakan bahwa keluarga single parent lebih memungkinkan
untuk mengalami resiko yang lebih tinggi dibanding dengan keluarga utuh. Sumber seperti pendapatan dan faktor penyebab stres lainnya dapat
menentukan apakah single parent dan anaknya mencerminkan perilaku yang positif atau negatif dalam aspek psikologisnya seperti hubungan anak-orangtua.
Ibu single parent dapat menjadi kurang perhatian pada anak mereka. Hal ini dikarenakan ibu harus mencari nafkah menggantikan ayah dan harus bekerja,
sehingga ibu sering kurang memberikan perhatian pada anaknya. Saat dalam keadaan emosional yang kurang baik akibat lelah bekerja, maka ibu bisa jadi
mengasuh anak dengan cara yang tidak tepat dan proporsional. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
memperbesar kemungkinan anak menunjukkan perilaku bermasalah seperti berkelahi, merokok, minum dan sebagainya.
Begitu juga ketika ayah tunggal yang mengasuh anak, maka si ayah akan merasakan bahwa menjadi ayah itu merupakan proses yang menantang bagi
seorang pria, dimana proses ini dapat menyebabkan berbagai gejolak emosional karena para ayah tidak terbiasa dengan afeksi kompleks yang dimunculkan dalam
hubungan ayah anak, dimana ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, membesarkan, mendidik, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya
Setiawati, 2007. Ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, mendidik, membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Berbeda halnya dengan
ibu yang secara sosial budaya telah dipersiapkan menjadi ibu dan mengasuh anak Partasari dalam Setiawati, 2007.
DeGenova 2008 juga mengatakan bahwa single parent biasanya lebih merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam kekompetenan sebagai orangtua.
Kekompeten orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana si orangtua mengasuh anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan
untuk tempat berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh dalam perkembangan psikologis anak.
Ada orangtua single parent yang mengasuh anaknya terlalu over protective
mengakibatkan anak akan menjadi kurang mandiri karena segala kebutuhan anak sudah ditentukan oleh orangtua sendiri. Akan tetapi ada juga anak
dari orangtua single parent kurang mendapat perhatian karena terlalu sibuk.
Universitas Sumatera Utara
Orangtua single parent tersebut menjadi tidak ada kesempatan untuk mempelajari dan memahami tugas perkembangan anaknya. Kurangnya pemahaman orangtua
untuk menguasai tugas perkembangan tersebut dapat berdampak pada kemandirian si anak. Ketika orangtua kurang mengenali anaknya dan
menyesuaikan sesuai dengan perkembangan sesuai umur si anak maka orangtua tersebut pun akan kesulitan dalam menentukan apa yang terbaik bagi anaknya
Musdalifah, 2007. Berbeda halnya dengan GringlAS dan Weinraub dalam DeGenova 2008
yang mengemukakan bahwa anak single parent tidak akan berbeda dengan anak yang mempunyai orangtua utuh ketika tingkat stresnya yang mereka alami tidak
berbeda. Misalnya ketika menghadapi suatu permasalahan, jika orang tua yang single parent
maupun yang utuh mempunyai penyelesaian yang baik dalam menghadapi masalah tersebut, maka anak yang memiliki orangtua single parent
maupun yang memiliki orangtua utuh akan dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehingga tidak akan mengganggu terhadap perkembangan anak.
Safaria 2006 menyatakan bahwa saat anak memasuki masa remaja, mereka memasuki tahap persiapan, dimana potensi pemisahan mereka dari
peraturan orang tua mulai berkembang. Saat remaja mencapai kemandirian mereka mempunyai perasaan aman, hal ini mendorong remaja untuk bereksplorasi
dan memusatkan tenaga pada tugas serta pemecahan masalah Ausebel dalam Safaria 2006. Namun untuk mencapai kemandirian, remaja memerlukan
bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan
Universitas Sumatera Utara
tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya Yusuf, 2004.
Kemandirian seseorang tidak dapat terbentuk tanpa adanya dukungan dari lingkungan, karena individu tidak mungkin hidup tanpa satu lingkungan sosial
tertentu jika anak itu mau tumbuh normal dan mengalami proses manusiawi atau proses pembudayaan dalam satu lingkungan kultural. Kesulitan untuk menyiapkan
kemandirian anak merupakan masalah yang umum dihadapi sebuah keluarga. Kunci kemandirian anak ada di tangan orangtua. Kemandirian yang
dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orangtua menghasilkan kemandirian yang utuh. Ketidakhadiran orangtua dalam membimbing anaknya, dapat membuat
anak menjadi anak yang tidak mandiri yang selalu bimbang dalam mengambil keputusan dan tidak dapat menentukan apa yang dia inginkan dengan
bertanggungjawab. Untuk dapat mandiri, anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga khususnya pola asuh orangtua serta
lingkungan sekitarnya agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Menurut Stanley Hall dalam Dariyo, 2004 masa remaja itu adalah masa
storm and stress . Remaja berada pada situasi ingin melepaskan diri dari orangtua
dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dan
orangtua. Mereka ingin bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Kalau remaja tersebut mendapat arahan dan bimbingan dengan baik, maka remaja tersebut akan
menjadi seorang individu yang bertanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing
Universitas Sumatera Utara
dengan baik, maka remaja tersebut bisa menjadi seorang yang besar kemungkinan memiliki masalah pada masa dewasanya nanti.
Transisi dari anak-anak menuju ke tahap dewasa, remaja membutuhkan kemandirian dan identitas untuk mengasumsikan peraturan yang dibuat oleh orang
dewasa serta dapat bertanggungjawab. Disaat kemandirian itu tidak dapat dicapai oleh seorang remaja, maka akan menjadi masalah saat remaja tersebut beranjak
menjadi dewasa Rice and Dolgin, 2008. Remaja yang mandiri adalah remaja yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala
konsekuensi dari tindakannya sehingga disertai adanya tanggung jawab Ali dan Asrori, 2009. Remaja yang mandiri diharapkan mampu menyelesaikan masalah,
mampu mempunyai rencana untuk masa depannnya, dan dikendalikan oleh diri sendiri sesuai dengan dorongan hati Breinbauer, 2005.
Menurut Steinberg dalam Lewis, 2009 kemandirian itu apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan keputusan yang dibuat adalah lebih
berdasarkan pada diri sendiri daripada mengikuti apa yang orang percayai Kemandirian tersebut dapat diukur dengan dimensi yang dikemukakan oleh
Steinberg dalam Berzonsky, 2006 yaitu behavioral, cognitive,dan affective. Lukman 2000 mengatakan bahwa proses pembentukan dan
pengembangan pribadi mandiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu baik lingkungan keluarga, sekolah, agama, budaya, maupun media informasi. Untuk
dapat mandiri, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya diperlukan dimana peran orangtua dan respon dari lingkungan sangat
Universitas Sumatera Utara
diperlukan bagi anak sebagai penguat bagi setiap perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock dalam Lukman, 2000 mengenai lima faktor yang
dapat mempengaruhi kemandirian yaitu, keluarga, sekolah, media komunikasi massa, agama, dan pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu dan
pengaruh keluarga. Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri sering kali remaja
mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Disinilah dibutuhkan kehadiran orangtua untuk
membimbing dan mengarahkan anaknya untuk dapat mandiri. Berdasarkan uraian diatas, peneliti hendak mengetahui apakah ada
perbedaan kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
B. Rumusan Masalah