Perbedaan Kemandirian Antara Remaja Yang Memiliki Orangtua Single Parent Dengan Remaja Yang Memiliki Orangtua Utuh.
SKRIPSI
PERBEDAAN KEMANDIRIAN ANTARA REMAJA YANG MEMILIKI ORANGTUASINGLE PARENT DENGAN REMAJA YANG
MEMILIKI ORANGTUA UTUH
Guna memenuhi persyaratan Sarjana Psikologi
oleh:
JUNITA MELIANA SINAGA 061301058
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN GANJIL 2010/2011
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Perbedaan Kemandirian Antara Remaja yang Memiliki OrangtuaSingle Parentdengan Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Desember 2010
JUNITA MELIANA SINAGA 061301058
(3)
Perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki orangtuasingle parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh
Junita Meliana Sinaga dan Debby. A. Daulay, M. Psi, Psikolog
ABSTRAK
Kemandirian remaja adalah apa yang dirasakan, dipikirkan dan keputusan yang diambil berdasarkan pada diri sendiri sehingga menjalankan aktivitas hidup sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang lain serta dapat mempertanggungjawabkannnya, ketika menghadapi masalah dapat mengatasinya. Pada umumnya kemandirian ini berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja salah satunya adalah struktur keluarga. Pada penelitian ini struktur keluarga yang digunakan adalahsingle parentdan keluarga utuh yang masih mempunyai ibu dan ayah.
Penelitian ini bertujan untuk melihat perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari struktur keluarga yaitu keluarga single parent dan keluarga utuh. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 104 orang remaja berusia 16-18 tahun yang berasal dari 8 sekolah dari 4 kecamatan di Medan. Teknik sampling penelitian ini adalah multistage sampling. Data diperoleh dengan menggunakan alat ukur berupa skala Likert. Reliabilitas alat ukur yang diperoleh untuk kemandirian remaja adalah 0.903. Adapun teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data penelitian ini adalah dengan menggunakan uji parametric independent t-test.
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan kemandirian remaja yang signifikan ditinjau dari struktur keluarga (t = 2.706) dengan signifikansi 0.008. Remaja yang memiliki orangtua single parent memiliki mean skor 114.33, sementara mean skor untuk remaja yang memiliki orangtua utuh adalah 119.31. Hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua utuh lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang memiliki orangtuasingle parent.
Kata kunci: Kemandirian Remaja, Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh dan Remaja yang Memiliki OrangtuaSingle Parent
(4)
The difference of autonomy for adolescence with single parent and adolescence with two parents
Junita Meliana Sinaga dan Debby. A. Daulay, M. Psi, Psikolog
ABSTRACT
Autonomy of adolescents is what they felt, what they think, and got decision making from their self so they can do their activity without depend to another and responsibility, when have the problem they can to solve that. Autonomy generally develops in early adolescence and peaked towards the late of adolescence. There is much to influence autonomy of adolescent, the one is structure of family. This study used family of single parent and two parents which have mother and father.
The purpose of this research is to investigate the difference autonomy of adolescent based on structure of family single parent and two parent. The number of the sample in this research are 104 adolescences from 16-18 ages in Senior High School from 8 schools from 4 kecamatan at Medan. Sampling technique that used in this study is multistage sampling. Data collected by using the questionnaire with Likert Scale. The reliability of each instruments are 0.903 for autonomy adolescences. Statistic technique that used in this research is parametric independent t-test.
Based on the out come of this research, there is a significancy autonomy in adolescence based on structure of family single parent and two parent (t = 2.706) and significancy 0.008. Adolescence with single parent have mean score 114.33 and the mean score adolescence with two parents is 119.31. It means that adolescence with two parents more autonomy than adolescence with single parent.
Keywords: Autonomy of adolescence, adolescence with single parent, adolescence with two parents
(5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah penyelamat dan sumber kekuatan bagiku yang telah memberi kekuatan, kebijaksanaan, dan menjadi penolong hingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Kemandirian Antara Remaja yang Memiliki Orangtua Single Parent dengan Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh ” sebagai syarat untuk menjadi sarjana psikologi. Saya sangat bersyukur atas berkat Tuhan yang selalu melimpah dalam hidupku yang tak ternilai harganya hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, memampukan saya melewati setiap tantangan dan rintangan ditengah keterbatasan saya sebagai manusia biasa.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, melainkan juga berkat bantuan berbagai pihak. Terkhusus bagi kedua orang tua, saya sangat berterima kasih bagi mereka yang selama ini sangat memberikan motivasi, dukungan doa, semangat, dan bantuan materi yang juga tak ternilai harganya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K). Terima kasih buat keberadaan Bapak.
2. Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Irmawati, Psikolog. Terima kasih buat saran, ilmu, nasehat, dan
(6)
pelajaran kode etika dan yang juga pernah memberikan ajaran beberapa mata kuliah di Psikologi.
3. Kepada dosen pembimbing saya, Debby. A. Daulay, M. Psi, Psikolog yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama ini buat saya. 4. Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog selaku dosen penguji pada saat saya sedang
seminar proposal dan skripsi yang telah banyak memberikan masukan – masukan bagi penelitian saya.
5. Dosen pembimbing akademis saya Rahma Yurliani, M.Psi yang selalu memberikan motivasi kepada saya mulai dari semester satu hingga penyelesaian skripsi ini. Saya sangat berterima kasih kepada Kakak dimana telah membimbing kami satu kelompok anak bimbingan Kakak (Maya Rea, Devi Lestari, Rini Sipahutar, Helva, Vivi, Nova) dengan sangat baik.
6. Seluruh dosen di Departemen Perkembangan. Ibu Eka, Ibu Elvi, Ibu Ayu, Ibu Wiwiek, Kak Ade, Kak Liza, Kak Silvi. Saya sangat berterima kasih kepada Kakak dan Ibu.
7. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang mungkin tidak semuanya saya sebutkan satu per satu. Terima kasih Bapak dan Ibu yang selama ini telah memberikan pengajaran, membagi ilmu, dan menjadi inspirasi juga bagi saya pribadi.
8. Etty Rahmawati, M.Si, yang banyak memberikan masukan pada penelitian ini terutama mengenai alat ukur dan metodologi penelitian.
(7)
9. Kepada Pak Aswan, Pak Iskandar, Kak Devi, Kak Ari, dan Bu Rini di bagian pendidikan. Selama ini telah bersedia membuatkan surat – surat untuk kami dan juga kebaikan dan keramahan dalam melayani mahasiswa di Psikologi USU. Kak Erna yang sabar melayani kami minjam buku – buku diPsychoLibdan juga atas keramahannya.
10. Buat keluarga tercinta. Ibu saya tercinta, Alm ayah yang selalu saya kenang serta kakak adik yang saya sayangi. Ibu tercinta yang selalu mendoakan saya anaknya agar cepat dapat menyelesaikan studi ini, terimakasih ibu. Buat alm ayah, saya yakin ayah akan senang melihat anaknya akhirnya dapat menyelesai studinya. Ini saya persembahkan buat ayah ibu saya tercinta. Buat kakak saya Minar, Agustina, Kristina, abang Ridwan, adik Diana dan Roy, terimakasih buat kasih sayang kalian yang selalu mendukung saya.
11. Buat kekasih saya Kurnia Baren, terima kasih buat semangat dan bantuannya yang selalu sedia menemani saya untuk menyelesaikan studi ini.
12. Buat teman saya Ria dan Natalia terimakasih sudah bantu selama ini dan saya sudah banyak merepotkan kalian.
13. Teman – teman Psikologi stambuk 2006. Saya mungkin tidak bisa menyebutkan semuanya satu per satu Yani Monica, Sondang, Indra, Janter, Yessika, Wira, Ingrid, Prinstvaninta, Mita, Helva, Yenni, Jerry, Nuraini, Titien, Yenni, Mitha, Wira, Indah, Yanda, Herna, Devi. Semua teman – temanku anak 2006.
(8)
14. Buat pihak sekolah yang menjadi tempat penelitian, saya mengucapkan banyak terima kasih. Buat guru – guru dan terutama siswa yang telah rela dan mau memberikan hati dan waktu untuk mengisi skala.
Akhirnya penulis berharap semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua agar dapat menambah wawasannya terutama di bidang psikologi perkembangan dan psikologi kepribadian. Akhir kata, masih banyak kekurangan yang mungkin didapati dalam skripsi ini. Oleh sebab itu, peneliti sangat menerima masukan dari siapapun yang melihat kelemahan dalam skripsi ini. Terima kasih.
Medan, Desember 2010
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR DIAGRAM ... xv
DAFTAR GRAFIK ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI... 10
A. Kemandirian Pada Remaja ... 10
1. Definisi Kemandirian Pada Remaja ... 10
2. Dimensi Kemandirian ... 14
3. Terbentuknya Kemandirian ... 17
(10)
B. Keluarga ... 24
1. Bentuk atau pola keluarga ... 24
2. Pengertiansingle parentand orangtua utuh ... 25
3. Fungsi keluarga... 26
C. Remaja ... 29
1. Pengertian remaja ... 29
2. Ciri-ciri remaja ... 30
3. Tugas perkembangan remaja ... 34
4. Minat pada kemandirian ... 36
D. Perbedaan Kemandirian Remaja Pada Remaja Single Parent dengan Remaja yang Mempunyai Orangtua Utuh ... 38
E. Hipotesa ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 43
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 43
B. Definisi Operasional ... 44
1. Kemandirian remaja ... 44
2.Single parent dan orangtua utuh ... 44
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 45
1. Populasi dan sampel ... 45
2. Jumlah sampel penelitian . ... 45
(11)
D. Metode Pengumpulan Data ... 46
1. Skala kemandirian remaja ... 47
E. Prosedur Penelitian ... 45
1. Tahap persiapan penelitian ... 45
2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 51
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52
1. Validitas ... 52
2. Reliabilitas ... 54
G. Metode Analisis Data ... 54
1. Uji normalitas ... 55
2. Uji homogenitas ... 55
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 56
A. Gambaran umum subjek penelitian ... 56
1. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 56
2. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 57
B. Hasil penelitian ... 60
1. Hasil uji asumsi ... 64
a. Uji normalitas. ... 64
b. Uji homogenitas ... 66
2. Hasil utama penelitian ... 67
Uji komparasi ... 67
(12)
a. Kategorisasi data penelitian kemandirian remaja ... 68
b. Gambaran kemandirian remaja yang single parent dan remaja yang memiliki orangtua utuh . ... 69
c.Gambaran kemandirian remaja berdasarkan aspek-aspek kemandirian remaja . ... 69
C. Pembahasan ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
1. Saran metodologis ... 79
2. Saran praktis ... 80
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cara Penilaian Skala Kemandirian Remaja Tabel 2. Blueprint Skala Kemandirian SebelumUjicoba
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Kemandirian Remaja Setelah Uji Coba
Tabel 4. Perubahan Nomor Aitem Skala Kemandirian Remaja Setelah Uji Coba Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 7. Uji Normalitas
Tabel 8. Hasil Uji Homogenitas
Tabel 9. Hasil Analisa t-test Kemandirian Remaja
Tabel10. Hasil Analisa Perbedaan Skor Empirik dan Hipotetik Kemandirian Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh dengan RemajaSingle Parent Tabel 11. Pengkategorian Skor Subjek Penelitian
Tabel 12. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum,Mean,dan Standar Deviasi Skor Kemandirian Remaja
Tabel 13. Kategorisasi Norma Skor Kemandirian Remaja
Tabel 14. Gambaran Kemandirian Remaja yang Memiliki Orangtua Single Parent dan Orangtua Utuh
(14)
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Diagram 2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Diagram 3. Kategori Kemandirian Remaja
(15)
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Normalitas Kemandirian Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh Grafik 2. Normalitas Kemandirian Remaja yang Memiliki OrangtuaSingle
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Kemandirian Remaja Lampiran 2. Skor Data Mentah Uji Coba
Lampiran 3. Reliabilitas dan Uji Daya Beda Aitem Lampiran 4. Skor Data Mentah Penelitian
Lampiran 5. Hasil Analisa Data
Lampiran 6. Perbedaan Setiap Aspek Kemandirian Remaja Yang Memiliki Orangtua Utuh dengan RemajaSingle Parent
(17)
Perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki orangtuasingle parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh
Junita Meliana Sinaga dan Debby. A. Daulay, M. Psi, Psikolog
ABSTRAK
Kemandirian remaja adalah apa yang dirasakan, dipikirkan dan keputusan yang diambil berdasarkan pada diri sendiri sehingga menjalankan aktivitas hidup sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang lain serta dapat mempertanggungjawabkannnya, ketika menghadapi masalah dapat mengatasinya. Pada umumnya kemandirian ini berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja salah satunya adalah struktur keluarga. Pada penelitian ini struktur keluarga yang digunakan adalahsingle parentdan keluarga utuh yang masih mempunyai ibu dan ayah.
Penelitian ini bertujan untuk melihat perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari struktur keluarga yaitu keluarga single parent dan keluarga utuh. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 104 orang remaja berusia 16-18 tahun yang berasal dari 8 sekolah dari 4 kecamatan di Medan. Teknik sampling penelitian ini adalah multistage sampling. Data diperoleh dengan menggunakan alat ukur berupa skala Likert. Reliabilitas alat ukur yang diperoleh untuk kemandirian remaja adalah 0.903. Adapun teknik statistik yang digunakan untuk mengolah data penelitian ini adalah dengan menggunakan uji parametric independent t-test.
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa terdapat perbedaan kemandirian remaja yang signifikan ditinjau dari struktur keluarga (t = 2.706) dengan signifikansi 0.008. Remaja yang memiliki orangtua single parent memiliki mean skor 114.33, sementara mean skor untuk remaja yang memiliki orangtua utuh adalah 119.31. Hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua utuh lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang memiliki orangtuasingle parent.
Kata kunci: Kemandirian Remaja, Remaja yang Memiliki Orangtua Utuh dan Remaja yang Memiliki OrangtuaSingle Parent
(18)
The difference of autonomy for adolescence with single parent and adolescence with two parents
Junita Meliana Sinaga dan Debby. A. Daulay, M. Psi, Psikolog
ABSTRACT
Autonomy of adolescents is what they felt, what they think, and got decision making from their self so they can do their activity without depend to another and responsibility, when have the problem they can to solve that. Autonomy generally develops in early adolescence and peaked towards the late of adolescence. There is much to influence autonomy of adolescent, the one is structure of family. This study used family of single parent and two parents which have mother and father.
The purpose of this research is to investigate the difference autonomy of adolescent based on structure of family single parent and two parent. The number of the sample in this research are 104 adolescences from 16-18 ages in Senior High School from 8 schools from 4 kecamatan at Medan. Sampling technique that used in this study is multistage sampling. Data collected by using the questionnaire with Likert Scale. The reliability of each instruments are 0.903 for autonomy adolescences. Statistic technique that used in this research is parametric independent t-test.
Based on the out come of this research, there is a significancy autonomy in adolescence based on structure of family single parent and two parent (t = 2.706) and significancy 0.008. Adolescence with single parent have mean score 114.33 and the mean score adolescence with two parents is 119.31. It means that adolescence with two parents more autonomy than adolescence with single parent.
Keywords: Autonomy of adolescence, adolescence with single parent, adolescence with two parents
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang, kehidupan dalam keluarga sangat penuh dengan variasi. Ada keluarga yang disebut dengan keluarga besar yang terdiri atas ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, paman dan sebagainya. Ada juga yang disebut dengan keluarga inti yang hanya terdiri atas ayah, ibu dan anak. Ditinjau dari sisi kelengkapan struktur keluarga, terdapat keluarga yang utuh dan yang tidak utuh. Keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering disebutsingle parent adalah keluarga yang hanya terdapat satu orangtua saja baik itu ayah ataupun ibu.
DeGenova (2008) mengemukakan single parent family adalah keluarga yang terdiri atas satu orangtua baik menikah maupun tidak menikah dengan memiliki anak. Sementara single parent itu sendiri adalah orangtua yang merawat satu anak atau lebih tanpa ada dampingan dari pasangannya. Banyak hal yang mengakibatkan single parent terjadi seperti bercerai, kematian pasangan, hamil diluar nikah dan ditinggalkan pasangannya.
Penelitian yang dilakukan Kelly (2008) menunjukkan bahwa anak dari single parent lebih cenderung terkena masalah dalam kehidupannya sehari-hari
(20)
serta terganggu dalam hal pendidikan dibanding anak yang memiliki orangtua utuh. Mereka juga dilaporkan cenderung lebih rentan terkena substance use seperti merokok, minum minuman keras, dan menggunakan narkoba karena mereka mencari kesenangan dengan melakukan hal tersebut sebagai pelarian dan untuk menarik perhatian dari orangtua mereka. Demikian pula halnya pengawasan orangtua single parent cenderung berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak. Pengawasan yang kurang terhadap anak-anak dalam melakukan aktivitas pekerjannnya sehari-hari dapat membuat mereka bingung dalam menentukan tindakan karena tidak mempunyai tempat untuk berbagi. Bharat, dkk (1989) menambahkan bahwa anak dari keluarga single parent lebih merasa loneliness, withdrawal dan anger. Hal ini dikarenakan mereka merasa berbeda dari teman-temannya yang mempunyai keluarga utuh sehingga membuat mereka menjadi rendah diri. Dapat dikatakan bahwa keluarga single parent lebih memungkinkan untuk mengalami resiko yang lebih tinggi dibanding dengan keluarga utuh.
Sumber seperti pendapatan dan faktor penyebab stres lainnya dapat menentukan apakah single parent dan anaknya mencerminkan perilaku yang positif atau negatif dalam aspek psikologisnya seperti hubungan anak-orangtua. Ibu single parent dapat menjadi kurang perhatian pada anak mereka. Hal ini dikarenakan ibu harus mencari nafkah menggantikan ayah dan harus bekerja, sehingga ibu sering kurang memberikan perhatian pada anaknya. Saat dalam keadaan emosional yang kurang baik akibat lelah bekerja, maka ibu bisa jadi mengasuh anak dengan cara yang tidak tepat dan proporsional. Hal ini dapat
(21)
memperbesar kemungkinan anak menunjukkan perilaku bermasalah seperti berkelahi, merokok, minum dan sebagainya.
Begitu juga ketika ayah tunggal yang mengasuh anak, maka si ayah akan merasakan bahwa menjadi ayah itu merupakan proses yang menantang bagi seorang pria, dimana proses ini dapat menyebabkan berbagai gejolak emosional karena para ayah tidak terbiasa dengan afeksi kompleks yang dimunculkan dalam hubungan ayah anak, dimana ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, membesarkan, mendidik, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Setiawati, 2007). Ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, mendidik, membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Berbeda halnya dengan ibu yang secara sosial budaya telah dipersiapkan menjadi ibu dan mengasuh anak (Partasari dalam Setiawati, 2007).
DeGenova (2008) juga mengatakan bahwa single parent biasanya lebih merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam kekompetenan sebagai orangtua. Kekompeten orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana si orangtua mengasuh anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh dalam perkembangan psikologis anak.
Ada orangtua single parent yang mengasuh anaknya terlalu over protective mengakibatkan anak akan menjadi kurang mandiri karena segala kebutuhan anak sudah ditentukan oleh orangtua sendiri. Akan tetapi ada juga anak dari orangtua single parent kurang mendapat perhatian karena terlalu sibuk.
(22)
Orangtuasingle parenttersebut menjadi tidak ada kesempatan untuk mempelajari dan memahami tugas perkembangan anaknya. Kurangnya pemahaman orangtua untuk menguasai tugas perkembangan tersebut dapat berdampak pada kemandirian si anak. Ketika orangtua kurang mengenali anaknya dan menyesuaikan sesuai dengan perkembangan sesuai umur si anak maka orangtua tersebut pun akan kesulitan dalam menentukan apa yang terbaik bagi anaknya (Musdalifah, 2007).
Berbeda halnya dengan GringlAS dan Weinraub dalam DeGenova (2008) yang mengemukakan bahwa anak single parent tidak akan berbeda dengan anak yang mempunyai orangtua utuh ketika tingkat stresnya yang mereka alami tidak berbeda. Misalnya ketika menghadapi suatu permasalahan, jika orang tua yang single parent maupun yang utuh mempunyai penyelesaian yang baik dalam menghadapi masalah tersebut, maka anak yang memiliki orangtua single parent maupun yang memiliki orangtua utuh akan dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehingga tidak akan mengganggu terhadap perkembangan anak.
Safaria (2006) menyatakan bahwa saat anak memasuki masa remaja, mereka memasuki tahap persiapan, dimana potensi pemisahan mereka dari peraturan orang tua mulai berkembang. Saat remaja mencapai kemandirian mereka mempunyai perasaan aman, hal ini mendorong remaja untuk bereksplorasi dan memusatkan tenaga pada tugas serta pemecahan masalah (Ausebel dalam Safaria 2006). Namun untuk mencapai kemandirian, remaja memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan
(23)
tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya (Yusuf, 2004).
Kemandirian seseorang tidak dapat terbentuk tanpa adanya dukungan dari lingkungan, karena individu tidak mungkin hidup tanpa satu lingkungan sosial tertentu jika anak itu mau tumbuh normal dan mengalami proses manusiawi atau proses pembudayaan dalam satu lingkungan kultural. Kesulitan untuk menyiapkan kemandirian anak merupakan masalah yang umum dihadapi sebuah keluarga.
Kunci kemandirian anak ada di tangan orangtua. Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orangtua menghasilkan kemandirian yang utuh. Ketidakhadiran orangtua dalam membimbing anaknya, dapat membuat anak menjadi anak yang tidak mandiri yang selalu bimbang dalam mengambil keputusan dan tidak dapat menentukan apa yang dia inginkan dengan bertanggungjawab. Untuk dapat mandiri, anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga khususnya pola asuh orangtua serta lingkungan sekitarnya agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri.
Menurut Stanley Hall (dalam Dariyo, 2004) masa remaja itu adalah masa storm and stress. Remaja berada pada situasi ingin melepaskan diri dari orangtua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dan orangtua. Mereka ingin bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Kalau remaja tersebut mendapat arahan dan bimbingan dengan baik, maka remaja tersebut akan menjadi seorang individu yang bertanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing
(24)
dengan baik, maka remaja tersebut bisa menjadi seorang yang besar kemungkinan memiliki masalah pada masa dewasanya nanti.
Transisi dari anak-anak menuju ke tahap dewasa, remaja membutuhkan kemandirian dan identitas untuk mengasumsikan peraturan yang dibuat oleh orang dewasa serta dapat bertanggungjawab. Disaat kemandirian itu tidak dapat dicapai oleh seorang remaja, maka akan menjadi masalah saat remaja tersebut beranjak menjadi dewasa (Rice and Dolgin, 2008). Remaja yang mandiri adalah remaja yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya sehingga disertai adanya tanggung jawab (Ali dan Asrori, 2009). Remaja yang mandiri diharapkan mampu menyelesaikan masalah, mampu mempunyai rencana untuk masa depannnya, dan dikendalikan oleh diri sendiri sesuai dengan dorongan hati (Breinbauer, 2005).
Menurut Steinberg (dalam Lewis, 2009) kemandirian itu apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan keputusan yang dibuat adalah lebih berdasarkan pada diri sendiri daripada mengikuti apa yang orang percayai Kemandirian tersebut dapat diukur dengan dimensi yang dikemukakan oleh Steinberg (dalam Berzonsky, 2006) yaitubehavioral, cognitive,dan affective.
Lukman (2000) mengatakan bahwa proses pembentukan dan pengembangan pribadi mandiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu baik lingkungan keluarga, sekolah, agama, budaya, maupun media informasi. Untuk dapat mandiri, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya diperlukan dimana peran orangtua dan respon dari lingkungan sangat
(25)
diperlukan bagi anak sebagai penguat bagi setiap perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (dalam Lukman, 2000) mengenai lima faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian yaitu, keluarga, sekolah, media komunikasi massa, agama, dan pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu dan pengaruh keluarga.
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri sering kali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Disinilah dibutuhkan kehadiran orangtua untuk membimbing dan mengarahkan anaknya untuk dapat mandiri.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti hendak mengetahui apakah ada perbedaan kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini ingin membahas bagaimana perbedaan kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
(26)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemandirian pada remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Perkembangan yaitu memperkaya teori tentang perbedaan kemandirian pada remaja yang mempunyai orangtuasingle parent dengan remaja yang mempunyai orangtua utuh.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dapat berguna bagi beberapa pihak seperti:
a. Pada Remaja
Diharapkan remaja dari keluarga single parent dapat lebih mengembangkan sikap kemandirian seperti dapat mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas konsekuensi keputusan yang diambil. Komunikasi dan hubungan dengan orangtua tetap terjalin sehingga remaja tersebut dapat mencapai kemandiriannya melalui bimbingan dan arahan dari orangtuanya.
(27)
b. Pada Orangtua
Orangtua single parent diharapkan dapat lebih memperhatikan perkembangan anak mereka. Orangtua single parent diharapkan dapat mendidik anak menjadi mandiri walau mereka hanya sendiri dalam mengasuh anak. Walaupun orangtua single parent telah berpisah, kedua orangtua diharapkan tetap berpartisipasi dalam mendidik dan mengarahkan anak mereka sehingga anak tidak kehilangan figur identifikasi ayah atau ibu.
Orangtua yang utuh juga diharapakan dapat membimbing anak mereka untuk mandiri. Kedua orangtua diharapkan dapat saling melengkapi dan tetap berpartisipasi dalam menunjang kemandirian anak.
c. Konselor
Sebagai referensi panduan bagi konselor mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja itu banyak, salah satunya adalah sruktur keluarga.
(28)
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, tujuan penelitian,manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Berisikan tentang teori-teori penyusunan variabel yang diteliti, hubungan antara variabel dan hipotesa.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel, defenisi operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data serta metode analisa data.
BAB IV ANALISA DATA
(29)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kemandirian Pada Remaja
Hurlock (1980) menyatakan minat pada kemandirian berkembang pada masa awal remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir.
1. Definisi Kemandirian Pada Remaja
Istilah kemandirian digunakan secara luas untuk menjelaskan isu psikososial yang merupakan hal penting selama masa remaja. Pengertian dari kemandirian ini sering sukar untuk dispesifikkan. Istilah “autonomy” dalam kajian mengenai remaja sering disejajarartikan secara silih berganti dengan kata “independence”, meskipun sesungguhnya ada perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya (Steinberg, 2002). Independence, “secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk ‘menjalankan’ atau ‘melakukan sendiri’ aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain”. Sedangkan istilahautonomy, mempunyai komponenemotional dan cognitive sama baiknya seperti komponen behavioral. Menjadi orang yang mandiri yaitu dapat mengatur diri sendiri yang menjadi salah satu tugas perkembangan pada masa remaja (Steinberg, 2002).
Menurut Steinberg (dalam Lewis, 2009) kemandirian itu apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan keputusan yang dibuat adalah lebih berdasarkan pada diri sendiri daripada mengikuti apa yang orang lain percayai. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Steinberg (dalam
(30)
Newman, 2006) dimana kemandirian itu adalah kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu melakukannya tanpa terlalu tergantung pada orangtua. Memberikan kemandirian pada remaja bukan berarti orangtua menolak, mengabaikan atau memisahan fisik dari anak mereka, melainkan lebih pada kebebasan psikologis dimana orangtua dan remaja menerima perbedaan masing-masing namun remaja dan orangtua tetap merasakan cinta kasih sayang, saling pengertian dan tetap menjalin hubungan dan komunikasi yang baik.
Rice dan Dolgin (2008) menyatakan bahwa kemandirian itu adalah sebagai independence atau freedom. Salah satu tujuan setiap remaja adalah ingin diterima seperti orang dewasa yang mandiri. Remaja tetap menjadi seorang yang individu dan juga tetap yang berhubungan dengan orangtua pada waktu yang sama (Grotevant dan Cooper dalam Rice, 2008). Remaja tetap menjalin hubungan dengan orangtuanya. Anak mengembangkan dirinya tetapi tetap berkomunikasi dengan orangtuanya sehingga orangtua mengerti apa yang dirasakan anaknya dan memberikan rasa percaya pada anak untuk bertindak (Quintana dan Lapsley dalam Rice dan Dolgin, 2008). Sebagai contoh, mereka mengembangkan minat baru, nilai dan tujuan yang berbeda dari orangtua, tetapi remaja tersebut tetap bagian dari keluarga.
Individuation merupakan prinsip dasar dalam pertumbuhan manusia (Gavazzi dan Sabatelli dalam Rice dan Dolgin, 2008). Hal ini termasuk sebagai usaha individu untuk membangun pemahaman dan identitas akan diri sendiri dalam berhubungan dengan yang lain. Menurut Lerner (2001) kemandirian itu adalah “berdiri pada kedua kaki”. Kemandirian merupakan konsep pusat dalam teori perkembangan remaja. Orangtua diharapkan dapat memberikan anaknya kebebasan untuk mandiri disaat si anak remaja tersebut menunjukkan pribadi yang bertanggungjawab. Mengembangkan kapasitas fungsi kemandirian dapat dilakukan
(31)
dengan mempertahankan hubungan dan mencari suportif dari orang lain ketika dibutuhkan. Orangtua memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan kemandirian si remaja seperti orangtua tetap berinteraksi dengan anaknya untuk bernegosiasi dan memutuskan keputusan., menumbuhkan kosep diri yang positif, menumbuhkan rasa percaya diri dan membantu anak mampu mengontrol diri.
Kemandirian remaja menurut Ryan, dkk (dalam Berzonsky, 2006 ) adalah sebagai kualitas individual, dimana tindakan seseorang itu berasal dan diatur oleh diri sendiri. Menurut LaFreniere (2000), kemandirian pada remaja adalah kemampuan meningkatkan self reliance, inisiatif, bertahan pada tekanan kelompok dan bertanggung jawab pada keputusan dan tindakan yang diambil. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dengan bebas dan mengatur hidupnya tanpa tergantung berlebihan pada orang lain (Rider dkk, 2003).
Menurut Nashori (1999) kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia untuk menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian mendorong orang untuk berkreasi dan berprestasi karena kemandirian mengantarkan seseorang menjadi makhluk yang produktif dan efisien serta membawa dirinya kearah kemajuan. Hetherington (dalam Afiatin, 1993) mengatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan menyelesaikan masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Menurut Dariyo (2004) kemandirian remaja adalah sifat yang tidak tergantung pada diri orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalah dalam hidupnya sendiri. Menurut Youniss dkk (dalam Kenny, 1997) menyatakan bahwa kemandirian yang sehat adalah dipromosikan oleh
(32)
hubungan orangtua anak positif dan suportif. Mereka mengizinkan anak anak mereka untuk mengekpresikan perasaan positif dan negatif yang mereka rasakan, hal ini membantu mengembangkan kemampuan sosial dan kemandirian yang bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemandirian pada remaja adalah apa yang dirasakan, dipikirkan dan keputusan yang diambil berdasarkan pada diri sendiri dan dapat mempertanggungjawabkannya, ketika menghadapi masalah dapat mengatasinya.
2. Dimensi Kemandirian
Menurut Steinberg (2002), ada tiga dimensi kemandirian yaitu:
a. Emotional
Kemandirian emosional menurut merupakan aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional antara remaja dengan ibunya dan hubungan emosional antara remaja dengan ayahnya. Steinberg dan Silverberg, (1986), membagi kemandirian emosional menjadi empat komponen, yaitu:
1. de-idealized yaitu remaja mampu memandang orangtuanya sebagaimana adanya, maksudnya tidak memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna yang dapat melakukan kesalahan,
2.seeing parents as people yaitu remaja mampu memandang orangtua mereka seperti orang dewasa lainnya yang dapat menempatkan posisinya sesuai situasi dan kondisi.
(33)
3. non dependency, atau suatu tingkat dimana remaja lebih bersandar pada kemampuan dirinya sendiri, daripada membutuhkan bantuan pada orangtua mereka tetapi tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh orangtuanya,
4. individuated, mampu dan memiliki kelebihan secara pribadi untuk mengatasi masalah didalam hubungannya dengan orang tua. Remaja percaya bahwa ada sesuatu tentang remaja tersebut yang tidak diketahui oleh orangtuanya.
b. Behavioral
Kemandirian perilaku berarti “bebas” untuk berbuat atau bertindak sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika diperlukan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Steinberg, (2002) menyatakan bahwa ada tiga domain kemandirian perilaku pada remaja, yaitu:
1. changes in decision-making abilities yaitu perubahan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan, dengan indikator meliputi: (a) remaja menyadari resiko yang timbul; (b) remaja menyadari konsekuensi yang muncul kemudian; (c) remaja dapat menggunakan orangtua, teman, atau ahli seagai konsultan; (d) remaja dapat merubah pendapatnya karena ada informasi baru yang dianggap sesuai; (e) remaja menghargai dan berhati-hati terhadap saran yang diterimanya
(34)
menghabiskan banyak waktu diluar keluarga sehingga nasehat dan pendapat dari teman dan orang dewasa lainnya sangat penting, remaja mampu mempertimbangkan alternatif dari tindakannya secara bertanggung jawab, remaja mengetahui secara tepat kapan harus meminta saran dari orang lain
3.changes in feelings of self-relianceyaitu perubahan dalam rasa percaya diri, remaja mencapai kesimpulan dengan rasa percaya diri, remaja mampu mengekspresikan rasa percaya diri dalam tindakan-tindakannya.
c. Value
Value autonomy menunjuk kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya, daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Dengan kata lain bahwa value autonomy menggambarkan kemampuan remaja untuk bertahan pada tekanan apakah akan mengikuti seperti permintaan orang lain yang dalam arti ia memiliki seperangkat prinsip tentang benar atau salah, tentang apa yang penting dan tidak penting. Perkembangan value autonomy dapat dilihat dari moral development, political thinking dan religious belief pada masa remaja.
1. Moral development berkaitan dengan bagaimana individu berpikir tentang dilema moral yang sedang terjadi dan bagaimana mereka bertindak dalam situasi tersebut. Apabila dikaitkan dengan perilaku menolong, individu bersedia menolong sesama. Pada tahap perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Steinberg, 2002), remaja berada pada tahap postconventional moral reasoning
(35)
dimana peraturan pada masyarakat dipandang lebih pada subjektif dan relatif bukan yang absolut dan terdefenisi. Postconventional thinking itu lebih luas tidak sebatas berorientasi pada peraturan yang berlaku pada masyarakat dan prinsip lebih abstrak. Menyadari adanya konflik dengan moral standard yang berlaku dan dapat membuat penilaian berdasarkan pada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Tingkah laku moral lebih dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri, misalnya seorang istri yang sakit kanker dan dapat ditolong dengan obat seharga $2000 tetapi sang suami hanya dapat mengumpulkan duit sebanyak $1000, dia minta keringanan kepada dokter tetapi dokter tidak bersedia menjual lebih murah. Tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya suami pun mencuri obat tersebut. Sebagian orang mungkin akan merespon bahwa sikap suaminya itu salah melanggar peraturan karena mencuri, tetapi sebagian pihak akan menerima perbuatan sikap suaminya karena istrinya butuh dan melindungi hidup itu lebih penting.
2. Political Thinking, berkaitan dengan bagaimana remaja menjadi mampu berpikir lebih abstrak (misalnya pada saat ditanya apa tujuan hukum, remaja mungkin akan menjawab untuk memberi kenyamanan, untuk menuntun orang sehingga tidak sebatas pada untuk membuat orang untuk tidak membunuh, mencuri), berkurangnya otoritas dan tidak kaku pada pihak yang berkuasa sehingga lebih bersifat fleksibel (ketika ditanya apa yang harus dilakukan saat hukum tidak bekerja sesuai dengan yang direncanakan, maka remaja akan menjawab bahwa hukum tersebut butuh kaji ulang dan jika perlu untuk diamanden tidak sebatas memaksa dengan keras pada hukum tersebut), serta
(36)
meningkatnya penggunaan prinsip (seperti kebebasan mengemukakan pendapat, persamaan hak, dan memberi kebebasan).
3. Religious belief, sama seperti moral dan political belief menjadi lebih abstrak, lebih prinsip dan lebih bebas. Kepercayaan remaja menjadi lebih berorientasi pada spiritual dan ideologis tidak sebatas pada ritual biasa dan bukan hanya mengamati kebiasaan pada agama.
Berdasarkan uraian diatas maka dimensi- dimensi kemandirian itu adalah emotional autonomy yaitu kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional antara remaja dengan ibunya dan hubungan emosional antara remaja dengan ayahnya,behavioral autonomy yaitu “bebas” untuk berbuat atau bertindak sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat orang lain jika diperlukan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi bukan berarti lepas dari pengaruh orang lain, sedangkan value autonomy yaitu kemampuan remaja untuk bertahan pada tekanan apakah sesuai dengan permintaan maupun ajakan orang lain; dalam arti ia memiliki seperangkat prinsip tentang benar atau salah, tentang apa yang penting dan tidak penting yang dilihat dari moral development, political thinkingdanreligious belef.
(37)
3. Terbentuknya Kemandirian
Kemandirian bukanlah kemampuan yang dibawa anak sejak lahir, melainkan hasil dari proses belajar. Sebagai hasil belajar, kemandirian pada diri seseorang tidak terlepas dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Tentang hal tersebut Ali dan Asrori (2004) menyatakan perkembangan kemandirian juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungannya selain oleh potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orang tuanya. Proses belajar tersebut diawali dari lingkungan terdekat yaitu keluarga, dan pengalaman yang diperoleh dari berbagai lingkungan di luar rumah. Kemandirian semakin berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia dan pertambahan kemampuan.
Lie & Prasasti (2004) memberikan gambaran perkembangan kemandirian dalam beberapa tahapan usia. Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6 tahun; usia 6 – 12 tahun; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun. Tahap perkembangan kemandirian pada gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Usia 0 sampai 2 tahun
Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
b. Usia 2 sampai 6 tahun
Pada masa ini anak mulai belajar untuk menajdi manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai kemampuan
(38)
dan keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar.
c. Usia 6 sampai 12 tahun
Menurut Erikson (dalam Lie & Prasasti, 2004) pada masa ini anak belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
d. Usia 12 sampai 15 tahun
Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
e. Usia 15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Dan pada masa ini mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa terlalu tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa depan, berani membuat
(39)
keputusan sendiri dan memperoleh kebebasan perilaku sesuai dengan keinginannya, tentunya dengan disertai tanggung jawab.
4. Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Kemandirian
Menurut Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kemandirian yaitu:
1. Jenis Kelamin
Anak laki-laki lebih berperan aktif dalam membentuk kemandirian dan dituntut untuk lebih mandiri, sedangkan anak perempuan mempunyai ketergantungan yang lebih stabil karena memang dimungkinkan untuk bergantung lebih lama.
2. Usia
Pada setiap tahap perkembangan mempengaruhi kemandirian seseorang. Beberapa sifat yang ada pada remaja awal menunjukkan masih ada pengaruh dari masa kanak-kanaknya, misalnya emosional, belum mandiri, belum memiliki pendirian sendiri. Sedangkan pada remaja akhir sudah diharapkan lebih menunjukkan kedewasaan seperti menerima keadaan fisiknya, bertanggungjawab.
3. Struktur keluarga
Keluarga sekarang sangat bervariasi, tidak hanya keluarga tradisional seperti dulu lagi. Perubahan dalam perkawinan ini membawa dampak pada perkembangan kemandirian anak. Banyak keluarga yang sekarang menjadi single parent dan hal ini mempunyai dampak pada perkembangan kemandirian anak.
(40)
4. Budaya
Setiap daerah, setiap negara mempunyai adat istiadat dan cara tertentu dalam mendidik anak. Pada budaya barat, anak sangat dituntut lebih cepat mandiri. Anak pada budaya barat banyak yang kerja part time dan banyak yang sudah mulai tinggal sendiri tidak bersama orangtua lagi.
5. Lingkungan
Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan manusia lain dan juga lingkungan tempat tinggal individu tersebut. Lingkungan yang baik, dapat mendukung anak untuk mandiri.
6. Keinginan individu untuk bebas
Setiap individu berbeda, ada individu yang memang ingin melakukan sesuatu dengan bebas dan tanpa harus dikekang oleh orang lain. Perbedaan setiap individu ini juga mempengaruhi keinginan setiap orang untuk mandiri.
Menurut Hurlock (dalam Lukman, 2000) terdapat lima faktor yang mempengaruhi kemandirian yaitu:
1. Keluarga
Setiap orang tua berbeda-beda dalam menerapkan disiplin pada anaknya. Penerapan disiplin ini identik dengan pola asuh. Setiap tipe pola asuh mengakibatkan efek yang berbeda. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal
(41)
perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Di dalam keluarga, orangtualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri.
2.Sekolah
Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Perlakuan guru, teman dapat juga mempengaruhi kemandirian seorang anak.
3. Media komunikasi massa
Jenis-jenis media komunikasi masa sekarang sangat bervariasi, salah satu contohnya adalah majalah, koran. Dari pencarian info dan yang terjadi di dunia melalui media dapat menambah wawasan para anak. Anak dapat mencari pengetahuan dan info dari kecanggihan teknologi sekarang.
4. Agama
Agama dapat mempengaruhi kemandirian seseorang misalnya sikap terhadap agama yang kuat. Dikatakan bahwa dengan anak yang mempunyai agama yang kuat dapat membantu anak dalam bersikap dan menjadikan anak lebih mandiri.
5. Pekerjaan atau tugas yang menuntut sikap pribadi tertentu
Pekerjaaan seperti mengurus keperluan diri sendiri, menuntut sikap kita untuk mandiri dan dapat melakukannya sendiri. Tugas harian yang sederhana dapat diselesaikan sendiri tanpa harus ada bantuan. Pekerjaan atau tugas akan membiasakan seseorang untuk
(42)
bertanggung jawab termasuk tugas yang menuntut tanggung jawab dalam mengambil keputusan.
B. Keluarga
Keluarga dapat diartikan dalam dua macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan ”marga”; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orangtua dan anak (Brown dalam Yusuf, 2004). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 Bab I ayat 1 keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan menurut WHO (1969) keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah adaptasi atau perkawinan.
1. Bentuk atau Pola Keluarga
Menurut Yusuf (2004), terdapat dua pola keluarga yaitu:
a. Keluarga Inti (Nuclear Family)
Keluarga yang terdiri dari atas suami/istri, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara keduanya dan yang belum berkeluarga termasuk anak tiri jika ada.
b. Keluarga Luas (Extended Family)
Keluarga yang keanggotaanya tidak hanya meliputi suami istri, dan anak-anak yang belum menikah, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal
(43)
dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua, adik, kakak ipar dan yang lainnnya yang tinggal menumpang.
2. Pengertian Single Parent dan Orangtua Utuh
DeGenova (2008) mengatakansingle parent family adalah keluarga yang terdiri atas satu orangtua baik menikah maupun tidak menikah dengan memiliki anak. Menurut Sager dkk (dalam Setiawati, 2007) single parent adalah orangtua yang memelihara dan membesarkan anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya. Single parent merupakan keluarga yang orantuanya hanya terdiri dari ayah atau ibu yang bertanggung jawab mengurus anak setelah perceraian, meninggal, atau kelahiran diluar nikah (Yusuf, 2004). Sedangkan keluarga utuh keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap keduanya dan anaknya.
Gaya pengasuhan antarasingle fatherdan single mothermungkin dapat berbeda.Faktor demografik seperti pendidikan dan sosia ekonomi mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua antarasingle fatherdan single mother (Christofferson dalam Borstein, 2008). Menurut Downey (dalam Nord dkk, 1997), single father lebih pada menyediakan kebutuhan ekonomi, sehingga biasanya keadaan ekonomi nya lebih baik dibanding single mother. Pada single mother lebih pada ’interpersonal’ seperti bagaimana sekolah anaknya, berteman dengan siapa dan sebagainya. Ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, mendidik, membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak dan tidak biasa dengan afeksi yang kompleks. Ibu yang secara sosial budaya telah dipersiapkan menjadi ibu dan mengasuh anak (Partasari dalam Setiawati, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa single parent hanya terdapat satu orangtua baik itu ayah maupun ibu untuk mendidik, mengasuh dan membesarkan
(44)
anaknya. Sedangkan orangtua utuh adalah dalam keluarga itu terdapat ayah dan ibu yang mendidik, mengasuh dan membesarkan anaknya.
3. Fungsi Keluarga
Menurut Yusuf (2004), dari sudut pandang sosiologis ada tujuh fungsi keluarga , yaitu:
a. Fungsi Biologis
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Kebutuhan itu meliputi pangan, sandang, papan, hubungan seksual bagi suami istri, dan pengembangan keturunan atau reproduksi.
b. Fungsi Ekonomis
Keluarga dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota keluarganya, melengkapi kebutuhan mereka.
c. Fungsi Pendidikan
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai ”transmiter budaya atau mediator” sosial budaya bagi anak. Dalam hal ini menyangkut penanaman, pembingbingan, atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.
d. Fungsi Sosialisasi
Keluarga merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat masa depan, dan lingkungan keluarga merupakan faktor penentu yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang
(45)
mensosialisasikan nilai-nilai atau peran hidup dalam masyrakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya. Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan kemampuan anak untuk menaati peraturan, mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap toleran, menghargai pendapat gagasan orang lain, mau bertanggung jawab dan bersikap matang dalam kehidupan yang heterogen (etnis, ras, budaya, dan agama).
e. Fungsi Perlindungan
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan, ancaman, atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyaman (fisik-psikologis) para anggotanya.
f. Fungsi Rekreatif
Untuk melaksanakan fungsi ini, keluarga harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan penuh semangat bagi para anggotanya. Sehubungan dengan hal ini, maka keluarga harus ditata sedemikian rupa, seperti menyangkut aspek dekorasi interior rumah, hubungan komunikasi yang tidak kaku, bercengkrama dan sebagainya.
g. Fungsi Agama
Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.keluarga berkewajiban mengajar, membimbing, atau membiasakan anggota keluarganya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
(46)
Menurut Friedman (dalam Littleton,2002), fungsi keluarga ada lima yaitu:
a. Affective Function
Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota keluarga, membantu anggota keluarga dalam membentuk identitas. Dalam fungsi afeksi baik orangtua ke anak maupun anak ke anak saling menyanyangi, saling menyokong dan saling membantu.
b. Socialization and Social Placement Function
Keluarga menyiapkan anggota keluarganya untuk mengambil bagian pada masyarakat nantinya. Keluarga juga memberikan status pada anggota keluarga.
c. Reproductive Function
Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan
d. Economic Function
Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya sehingga anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhannya.
e. Health Care Function
Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari sakit
Berdasarkan uraian diatas maka keluarga mempunyai fungsi yaitu, fungsi biologis, fungsi perlindungan, fungsi rekreatif, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan.
(47)
Menurut Friedman keluarga mempunyai fungsi sebagai affective function, socialization and social placement function, reproduktif function, economic function, health care function.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Hurlock (1980) istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Remaja berkisar antara 12/13-17/18 tahun. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.
Menurut Mappiare dalam Ali dan Asrori (2009), masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Menurut Papalia (2007) mengatakan remaja adalah pada saat perkembangan transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan perubahan pada fisik, kognitif dan psikososial. Masa remaja akan dimulai pada saat terjadi pubertas yaitu proses menuju matangnya alat reproduksi, dan mampu berreproduksi.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah anak laki-laki maupun perempuan yang sudah mengalami pubertas dan berusia sekitar 13-18 tahun.
(48)
2.. Ciri-Ciri Masa Remaja
a. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting
Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadarnya berbeda-beda. Ada periode penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama sama penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti putus atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.
c. Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan
Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Perubahan fisik pada masa pubertas seperti perubahan proporsi tubuh misalnya alat-alat sexual berkembang, tubuh bertambah tinggi dan sebagainya, dan ini yang akan membawa dampak berpenampilan pada remaja, yang bisa membuat dia semakin percaya diri atau semakin minder dengan keadaannya. Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi
(49)
yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh oleh kelompok sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai dia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang pada masa kanak-kanak penting, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi. Keempat, sebagian besar remaja bersifat ambivalen terhadap perubahan. Mereka mengiginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibat dan meragukan kemampuan untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
d. Masa Remaja Sebagai PeriodeStorm and Stress
Masa remaja sering menjadi masalah sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Remaja berada pada situasi ingin melepaskan diri dari orangtua namun perasaan masih merasa belum mampu untuk mandiri. Remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dan orangtua. Mereka ingin bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah mereka sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru sehingga menyebabakan mereka kurang berpengalaman. Kedua, karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja menemukan penyelesaiannya tidak sesuai dengan harapan mereka.
(50)
e. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari identitas
Pada tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri. Salah satu cara nya adalah dengan mengangkat diri sendiri dengan menggunakan simbol status seperti pakaian dan barang-barang lain yang bagus. Dengan cara ini remaja menarik perhatian diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama dia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.
f. Masa Remaja Sebagai Masa yang Tidak Realistik
Mereka melihat diri mereka sendiri dan orang lain sebagaimana yang remaja inginkan. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin remaja tersebut marah bahkan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau ketika remaja tersebut tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya.
g. Masa Remaja Sebagai Ambang Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan mereka telah dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa. Bahkan mereka mulai mulai merokok, minum-minuman keras, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa perilaku itu akan memberikan citra yang mereka inginkan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masa remaja itu adalah masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai periode storm and stress, masa remaja sebagai
(51)
masa mencari identitas, masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan masa remaja sebagai ambang dewasa.
3. Tugas – Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Dariyo (2004), tugas-tugas perkembangan adalah kewajiban atau yang harus dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu sendiri. Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) ada beberapa, yaitu sebagai berikut.
a.Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis
Perubahan fisiologis yang dialami oleh individu mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, dia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis, namun apabila dipenuhi hal tersebut akan melanggar norma, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itu, remaja mengalami dilema.
b.Belajar bersosialisasi dengan seorang laki-laki maupun wanita
Dalam hal ini, seorang remaja diharapkan dapat bergaul dan menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang didasarkan atas saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain.
c.Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
Ketika sudah menginjak remaja , individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman tetanggga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkkan
(52)
remaja tidak lagi sepenuhnya bergantung pada orang tua, bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya bergaul dengan teman- temannya.
d.Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab
Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal dan non-formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/ keahlian yang profesional. Oleh Schaie (dalam Dariyo, 2004) masa tersebut diistilahkan sebagai masa aquisitif yakni masa di mana remaja berusaha untuk mencari bekal pengetahuan dan keterampilan guna mewujudkan cita-citanya agar menjadi seorang ahli yang profesional di bidangnya. Karena itu adalah hal wajar agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri secara matang dan sebaik-baiknya.
e.Memperoleh kemandirian
Salah satu tugas perkembangan remaja untuk mandiri merupakan tugas yang sulit untuk dicapai. Banyak remaja ingin mandiri dan membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ketergantungan emosi pada orangtua atau dewasa lainnya. Remaja mempersiapkan diri untuk menguasai ilmu dan keahlian untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang sehingga remaja tersebut dapat menghidupi diri sendiri nantinya sehingga. Remaja itu sendiri yang menentukan pendidikannnya dan membuat keputusan sendiri.
Kemandirian itu dicapai dengan mulai memisahkan diri dari keluarga tetapi bukan berarti menolak keluarganya. Disini remaja bertanggungjawab dengan perbuatannnya tetapi tetap menjaga hubungan dengan orangtua dan anggota keluarganya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan remaja itu adalah menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis, belajar bersosialisasi dengan
(53)
seorang laki-laki maupun wanita, memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, dan memperoleh kemandirian.
3. Minat Pada Kemandirian
Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Hal ini menimbulkan banyak banyak perselisihan dengan orangtua dan orang dewasa lainnya. Remaja yang mandiri adalah individu yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya sehingga disertai dengan tanggung jawab (Ali dan Asrori, 2009). Orangtua sebaiknya tidak membiasakan menggambil alih tanggung jawab anak. Orangtua bisa mendukung dan mendampinginya, tapi tidak sampai mengambil alih permasalahan anak (Lie dan Prasasti, 2004).
Perkembangan kemandirian sangat berhubungan dengan perubahan biologis, kognitif dan perubahan sosial. Perubahan biologis merupakan dampak dari masa puber. Pada masa puber ini banyak perubahan sikap dan perilaku remaja. Banyak remaja ingin menyendiri, mempunyai emosi yang tinggi, hilangnya kepercayaan diri, dan sebagainya. Pada masa remaja awal memicu terjadinya perubahan hubungan emosional pada orangtua. Remaja mulai menyukai untuk mencari dukungan dari teman sebaya. Pada masa puber ini, remaja mulai mengurangi keterikatan secara emosional dari orangtua. Perubahan kognitif juga sangat berperan penting pada perkembangan kemandirian remaja, dimana remaja mulai mampu mengambil keputusan sendiri, mulai dapat meminta pendapat orang lain dan mengetahui konsekuensi dari keputusan yang
(54)
terlalu berpatokan pada figur orangtua atau figur orang dewasa lainnya. Pada perubahan sosial, remaja sudah dapat bertanggung jawab dan meningkatnya rasa percaya diri (Steinberg, 2002).
Remaja mulai mempertanyakan pandangan orangtuanya dan mulai mengembangkan gagasan sendiri. Remaja tidak lagi memandang orangtuanya sebagai orang yang tahu segalanya. Remaja mulai matang dan realistis sesuai dengan bakat, skill dan pengetahuannnya walau kadang masih bisa melakukan kesalahan (Kenny and Dacey, 1997).
Remaja yang mandiri bukan saja sadar akan berbagai alternatif yang dapat dipilih secara seksama dan dialami sendiri, tetapi juga mampu bersikap realistis dan memecahkan konflik secara objektif dengan tetap mempertimbangkan arahan dari orang lain (Ali dan Asrori, 2009).
(55)
D. Kerangka Berpikir Perbedaan Kemandirian Pada Remaja Single Parent Dengan
Remaja Yang Mempunyai Orangtua Utuh
Dilihat dari struktur kelengkapan keluarga, ada keluarga yang utuh dan yang tidak utuh. Keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering disebut single parent adalah keluarga yang hanya terdapat satu orangtua baik itu ayah maupun ibu. Banyak hal yang mengakibatkan single parent terjadi seperti bercerai, kematian pasangan, hamil diluar nikah dan ditinggalkan pasangannya
Penelitian yang dilakukan Kelly (2008) menunjukkan bahwa anak dari single parent cenderung lebih rentan terkena masalah dalam kehidupannya sehari-hari serta terganggu dalam hal pendidikan dibanding anak yang memiliki orangtua utuh. Menurut Bharat, dkk (1989) mengatakan bahwa anak keluarga single parent lebih merasaloneliness,withdrawal dananger. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Hansen, dkk (1980) dimana terdapat perbedaan konsep diri, prestasi di sekolah, vocational maturity, occupational aspiration dan persepsi terhadap orangtua mereka pada anak dengan orangtua single parent dan yang memiliki orangtua utuh.
DeGenova (2008) juga mengatakan bahwa single parent biasanya lebih merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam kekompetenan sebagai orangtua. Kekompeten orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana si orangtua mengasuh anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, salah satunya dalam hal kemandirian anak. Ada orangtua single parent yang mengasuh anaknya terlalu over protective
(56)
mengakibatkan si anak akan menjadi kurang mandiri karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh orangtua. Begitu juga dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua single parent akibat terlalu sibuk sehingga tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas perkembangan atau kurangnya bimbingan untuk menguasai tugas perkembangan tersebut (Musdalifah, 2007). Kekurangkompetannya sebagai single parent dapat mengakibatkan anak kurang mandiri dimana anak menjadi bingung dalam mengambil keputusan dan susah mempertanggungjawabkannnya.
Keadaan keluarga yang tidak lengkap dapat membuat ikatan keluarga dan suasana keluarga tidak dapat memberi rasa aman. Anak tidak mencari perlindungan dan tempat bernaung di keluarga melainkan mencari tempat curahan hati pada teman dekatnya. Sedangkan keluarga sebenarnya justru harus memberikan rasa aman itu (Gunarsa, 2003).
Ditinjau dari sisi peran, terlihat adanya perbedaan single mother dan single father. Ibu single parent dapat menjadi kurang perhatian pada anak mereka. Hal ini dikarenakan ibu harus mencari nafkah menggantikan ayah dan harus bekerja, sehingga ibu sering kurang memberikan perhatian pada anaknya. Begitu juga ketika ayah tunggal yang mengasuh anak, maka si ayah akan merasakan bahwa menjadi ayah itu merupakan proses yang menantang bagi seorang pria, dimana proses ini dapat menyebabkan berbagai gejolak emosional karena para ayah tidak terbiasa dengan afeksi kompleks yang dimunculkan dalam hubungan ayah anak, dimana ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, membesarkan, mendidik, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Setiawati, 2007). Berbeda halnya dengan ibu yang secara sosial budaya telah dipersiapkan menjadi ibu dan mengasuh anak (Partasari dalam Setiawati, 2007). Menurut Downey (dalam Nord dkk, 1997), single father lebih pada menyediakan kebutuhan ekonomi, sehingga biasanya keadaan ekonomi nya lebih baik dibanding single mother. Pada
(57)
single mother lebih pada ’interpersonal’ seperti bagaimana sekolah anaknya, berteman dengan siapa dan sebagainya.
Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua didalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi mandiri (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Menurut Allen (dalam Kulbok, 1980) terdapat lima faktor yang mempengaruhi kemandirian yaitu, jenis kelamin, usia, struktur keluarga, lingkungan, budaya, dan keinginan individu untuk mandiri.
Menurut Stanley Hall (dalam Dariyo, 2004) masa remaja itu adalah masa storm and stress. Remaja berada pada situasi ingin melepaskan diri dari orangtua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dan orangtua. Mereka ingin bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Kalau remaja tersebut mendapat arahan dan bimbingan dengan baik, maka remaja tersebut akan menjadi seorang individu yang bertanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing dengan baik, maka remaja tersebut bisa menjadi seorang yang memiliki masalah pada masa dewasanya nanti.
Istilah “autonomy” dalam kajian mengenai remaja sering disejajarartikan secara silih berganti dengan kata “independence”, meskipun sesungguhnya ada perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya (Steinberg, 2002). Independence, “secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk ‘menjalankan’ atau ‘melakukan sendiri’ aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain”. Sedangkan istilahautonomy, mempunyai komponenemotional dancognitive sama baiknya seperti komponen behavioral. Menjadi orang yang mandiri yaitu dapat mengatur diri sendiri yang menjadi salah satu tugas perkembangan pada masa remaja (Steinberg, 2002).
(58)
Menurut Steinberg (dalam Lewis, 2009) kemandirian itu apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan keputusan yang dibuat adalah lebih berdasarkan pada diri sendiri daripada mengikuti apa yang orang percayai. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Steinberg (dalam Newman, 2006) dimana kemandirian itu adalah kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri dan melakukannya tanpa terlalu dikontrol dan tanpa terlalu tergantung pada orangtua. Memberikan kemandirian tersebut pada remaja bukan berarti orangtua menolak, mengabaikan atau memisahan fisik dari anak mereka, melainkan lebih pada kebebasan psikologis dimana orangtua dan remaja menerima perbedaan masing-masing dimana remaja dan orangtua tetap merasakan cinta kasih sayang, saling pengertian dan tetap menjalin hubungan dan komunikasi yang baik. Menurut Steinberg ( 2002) ada tiga dimensi kemandirian yaitubehavioral, valuedanemotional.
Transisi dari anak-anak menuju ke tahap dewasa, remaja membutuhkan kemandirian dan identitas untuk mengasumsikan peraturan yang dibuat oleh orang dewasa serta dapat bertanggungjawab. Remaja yang mandiri adalah remaja yang berani mengambil keputusan dilandasi oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya sehingga disertai dengan tanggung jawab (Ali dan Asrori, 2009). Remaja meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, mampu mempunyai rencana untuk masa depannya, dan dikendalikan oleh diri sendiri sesuai dengan dorongan hati (Breinbauer, 2005).
Remaja yang memiliki kemandirian akan dapat menentukan pilihannya sendiri tanpa dibingungkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar dirinya, dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Sedangkan remaja yang tidak mandiri tidak dapat menentukan pilihannya sendiri dan belum dapat bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
(59)
E. Hipotesa
Berdasarkan uraian di atas, diperoleh jawaban sementara tentang perbedaan kemandirian remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh sebagai berikut : Ada perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
(60)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian komparasi. Penelitian komparasi adalah penelitian yang berusaha untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide, dan kritik terhadap orang atau kelompok. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penelitian komparasi adalah penelitian yang ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihat penyebabnya (Sudijono, 2000). Jadi dalam penelitian ini akan melihat perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki orangtua single parent dengan remaja yang memiliki orangtua utuh.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian, adalah apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 1996). Variabel dapat pula didefinisikan sebagai gejala yang bervariasi, seperti yang dinyatakan Sutrsisno Hadi (dalam Arikunto, 1996); gejala adalah objek penelitian yang bervariasi. Secara singkat Arikunto (1998) menyatakan bahwa variabel adalah gejala yang menunjukkan variasi baik dalam jenis maupun tingkatannya.
Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, terlebih dahulu dilakukan identifikasi variabel yang ada dalam penelitian.
(61)
Variabel terikatnya adalah yaitu variabel yang dianggap dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kemandirian
Variabel bebas adalah variabel yang dianggap menyebabkan perubahan terhadap variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah adalah struktur keluarga : single parent dan orangtua utuh.
B. Definisi Operasional
Definisi operasional dari variabel kemandirian dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Kemandirian
Kemandirian adalah apa yang dirasakan, dipikirkan dan keputusan yang diambil berdasarkan pada diri sendiri sehingga menjalankan aktivitas hidup sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang lain serta dapat mempertanggungjawabkannnya, ketika menghadapi masalah dapat mengatasinya. Kemandirian akan diukur dengan menggunakan skala kemandirian yang disusun berdasarkan dimensi kemandirian dari Steinberg (dalam Berzonsky,2006) yaitu behavioral,emotional, cognitive.
(62)
2. Single Parent dan Orangtua utuh
Single parent adalah orangtua yang memelihara dan membesarkan anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya. Dalam penelitian ini single parent tersebut adalah ayah saja yang bertanggung jawab mengurus anaknya.
Keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih lengkap keduanya dan bertanggungjawab untuk mengurus anaknya tersebut.
C. Populasi, Sampel Penelitian, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi dan Sampel
Menurut Hadi (2000), yang dimaksud dengan populasi adalah semua individu untuk siapa kenyatan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu hendak digeneralisasikan. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang dikenakan langsung dalam penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja di kota Medan yang mempunyai orangtua utuh dan remaja yang memiliki orangtuasingle parent. Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, maka peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
(63)
Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah sumber utama data penelitian yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitasnya. Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah:
a. Remaja yang memiliki ayahsingle parentdan remaja yang memiliki orangtua utuh.
b. Ayah bekerjafull time
c. Remaja laki-laki dan perempuan
d. Remaja berusia 16-18 tahun
Keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya pada masa remaja akhir ( dalam Hurlock,1980).
2. Jumlah Sampel Penelitian
Menurut Azwar (2005), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Sugiarto (2003) juga berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 104 orang.
(64)
3. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk memperoleh sampel yang representatif diperlukan teknik pengambilan sampel yang sesuai. Teknik sampling adalah suatu proses yang dilakukan untuk dan mengambil sampel secara “benar” dari suatu populasi sehingga dapat digunakan sebagai “wakil” yang sahih (dapat mewakili) bagian populasi tersebut (Sugiarto, dkk 2003). Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah multi stage sampling dimana membagi daerah- daerah populasi ke dalam sub-sub daerah, dan sub-sub daerah ini dibagi dalam daerah kecil, dan seterusnya sehingga dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan, dan pada saat pengambilan sampel bertahap ini anggota kelompok tidak harus seluruhnya dijadikan sampel. Pada kota Medan terdapat 22 kecamatan, yang kemudian di random 4 kecamatan (Medan Petisah, Medan Polononia, Medan Tuntungan dan Medan Labuhan). Pengambilan sekolah dari 4 kecamatan ini dilakukan secara random dan terpilih 8 sekolah (SMA Negeri 4, SMA Santo Thomas 1, SMA Santo Thomas 2, SMA Negeri 2, SMA Immanuel, SMA Negeri 17, SMA Santo Yoseph, dan SMA negeri 9).
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala kemandirian. Skala ini akan disusun berdasarkan aspek-aspek kemandirian.
Skala ini berupa skala Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Pada pernyataan yang favorable, diberikan nilai 4 pada jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 pada jawaban Setuju (S),
(65)
nilai 2 pada jawaban Tidak Setuju (TS), dan nilai 1 pada jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Dan sebaliknya pada pernyataan yang unfavorable, diberikan nilai 1 pada jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 2 pada jawaban Setuju (S), nilai 3 pada jawaban Tidak Setuju (TS), dan nilai 4 pada jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Semakin tinggi nilai skala, maka semakin tinggi kemandirian remaja tersebut. Demikian pula sebaliknya, jika semakin rendah nilai skala, maka semakin rendah kemandirian remaja tersebut.
Tabel 1. Cara Penilaian Skala Kemandirian Remaja
BENTUK PERNYATAAN
SKOR
1 2 3 4
Favourabel (tipe A) STS TS S SS
Unfavourabel(tipe B) SS S TS STS
Blueprint skala kemandirian akan disajikan dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut yang diukur, proporsi item dalam masing-masing komponen, serta memuat indikator-indikator perilaku dalam setiap komponen. Dalam penulisan item, blueprint akan memberikan gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk tetap berada dalam lingkup ukur yang benar (Azwar, 1999).
(66)
Tabel 2Blueprint Skala Kemandirian Sebelum Uji Coba
No. Aspek – aspek Favourabel Unfavourabel Jumlah
(%) 1 Emotional
a. De-idealized b. Seeing parents as
people
c. Non dependency d. Individuated 1,32,73,45 59,50,11,62 16,42,40,89 44,65,26,83 74,66,7,38 33,14,55 80,51,48,23 88,29,43 30 (33,3) 2 Behavioral a. Changes in
decision
making abilities b. Changes in
susceptibility to the influence c. Changes in
feelings of self reliance 31,60,13,3,70 41,77,90,24,5 21,78,68,49,15 61,37,8,79,18 82,47,22,54,71 56,75,84,9,2 30 (33,3) 3 Value a. Moral development b. Political thinking c. Religious belief
36,12,63,86,25 10,72,34,4,57 81,46,67,58,85 6,27,53,69,30 76,17,52,39,20 64,87,28,19,35 30 (33,3) TOTAL 46 (51,1%) 44 (48,8%) 90
(67)
E. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah tahap persiapan penelitian yang meliputi persiapan alat ukur, perizinan, uji coba alat ukur, dan hasil uji coba alat ukur. Tahap kedua adalah pelaksanaan penelitian. Berikut akan dipaparkan lebih lanjut mengenai prosedur yang dilakukan dalam penelitian.
1. Tahap Persiapan Penelitian
a. Persiapan alat ukur
Pada tahap ini yang dilakukan adalah membuat alat ukur dan melakukan uji coba alat ukur tersebut. Penelitian ini menggunakan satu skala yang disusun oleh peneliti yaitu skala kemandirian. Penyusunan skala ini didahului dengan membuat blue print yang kemudian dilanjutkan dengan operasionalisasinya dalam bentuk aitem – aitem pernyataan. Jumlah aitem skala kemandirian sebanyak 90 item.
b. Perizinan
Untuk melakukan penelitian ini, maka terlebih dahulu yang dilakukan adalah proses persiapan dalam hal perizinan untuk melakukan penelitian. Proses perizinan dimulai dari Fakultas Psikologi yang dalam hal ini pihak Fakultas Psikologi atas nama koordinator pendidikan Fakultas Psikologi dengan membuat surat permohonan izin penelitian kepada pihak sekolah.
c. Uji coba alat ukur
Sebelum skala kenalakan remaja dan skala tipe kepribadian diberikan kepada subjek yang akan diteliti, maka terlebih dahulu harus diujicobakan kepada sejumlah remaja. Setelah diujicobakan maka data tersebut diolah untuk menentukan aitem – aitem mana saja yang
(1)
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
VA R00008
Equal variances assumed
.061 .806
-1.782
102 .078 -.712 .399 -1.503 .080
Equal variances not assumed
-1.782
101. 997
.078 -.712 .399 -1.503 .080
INFLUENCE
Group Statistics
VA
R00004 N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
VAR000 09
1 52 14.13 1.879 .261
2 52 14.75 1.999 .277
(2)
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
VA R00009
Equal variances assumed
.526 .470
-1.618
102 .109 -.615 .380 -1.370 .139
Equal variances not assumed
-1.618
101.61 3
.109 -.615 .380 -1.370 .139
RELIANCE
Group Statistics
VA
R00004 N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
VAR000 10
1 52 14.37 2.352 .326
(3)
Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
V AR000 10
Equal variances assumed
.47 8
.491 -1.352 102 .180 -.596 .441 -1.471 .279
Equal variances not assumed
-1.352 101.12 0
.180 -.596 .441 -1.471 .279
M ORAL
Group Statistics
VA
R00004 N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
VAR000 11
1 52 15.85 2.200 .305
2 52 16.29 2.492 .346
(4)
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper VA
R00011
Equal variances assumed
1.307 .256 -.960 102 .340 -.442 .461 -1.357 .472
Equal variances not assumed
-.960 100.45 4
.340 -.442 .461 -1.357 .472
POLITICAL
Group Statistics
VA
R00004 N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
VAR000 12
1 52 14.15 1.474 .204
(5)
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Lowe r
Uppe r VA
R00012
Equal variances assumed
.097 .756 -1.225 102 .223 -.365 .298 -.957 .226
Equal variances not assumed
-1.225 101.631 .223 -.365 .298 -.957 .226
RELIGI
Group Statistics
VA
R00004 N Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
VAR000 13
1 52 12.33 1.768 .245
2 52 12.67 1.133 .157
(6)
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper VAR
00013
Equal variances assumed
2.304 .132
-1.189
102 .237 -.346 .291 -.924 .231
Equal variances not assumed
-1.189
86.82 9