masyarakat, akantetapi pada huruf a terlihat suatu konsep yang berbeda ternyata Pengawasan Pasif ini tidak hanya terbatas dari masyarakat akan tetapi juga bisa
dari pihak Hakim Konstitusi sendiri dengan meminta pendapat kepada Dewan Etik terhadap suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran.
B. Perspektif Independesi Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi
Sesuai dengan kesimpulan mengenai konsep independensi peradilan yang telah dikaji pada bab sebelumnya yaitu independensi peradilan mencakup dua
dimensi yaitu ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari berbagai intervensi dari berbagai pihak yang
berkepentingan, antara lain seperti : 1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif;
2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja; 3. Pihak-pihak yang berperkara;
4. Kekuatan politik; 5. Kelompok masyarakat;
6. Media massa. 7. Kepentingan hakim sendiri.
Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari tujuan- tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan
antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;
2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan
perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum;
3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya; 4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan
peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan
hukum. Dikaitkan dengan sistem pengawasan Hakim Konstitusi saat ini,
Kekuasaan kehakiman membutuhkan independensi, sebagaimana yang
disampaikan Suparman Marzuki, independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap manusia penyandang kewenangan yudikatif sebagai
penegak keadilan yang harus dilindungi dari kemungkinan intervensi darimanapun agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.
120
120
Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.
Disinilah penyandang kekuasaan yudikatif tersebut didalam pengaturan sistem pengawasan Hakim Konstitusi adalah Hakim Konstitusi sebagai subjek yang
diawasi demi tercapainya Independensi Hakim Konstitusi untuk menghindari
Universitas Sumatera Utara
adanya intervensi dari pihak manapun sehingga Hakim dapat malaksanakan kewenangan sebagaimana seharusnya.
Untuk menjamin Independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman itulah menurut Bagir Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam
kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu salah satunya pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum baik
berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.
121
Setelah kita mendapatkan hubungan pengaturan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dapat mewujudkan independensi peradilan,
selanjutnya akan dibahas bentuk dari independensi peradilan yang tercipta dari adanya sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut. Komponen dari
sistem pengawasan yang berperan untuk menjabarkan hal ini adalah pada objek pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yaitu Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor Agar tercipta independensi peradilan yang substansial
tersebut maka pengawasan sangat dibutuhkan eksistensinya kepada Hakim sebagai penyandang kekuasaan yudikatif. Upaya Hukum tersebut diatur dalam
Peraturan Sistem Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang diatur dalam PMK No. 22013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi dan PMK No. 12013 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dari dua instrumen hukum ini diberikan kewenangan kepada Subjek yang mengawasi Hakim Konstitusi yaitu
Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
121
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
09PMK2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama.
Inilah peran penting dari adanya Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi lebih lanjut terhadap Independensi Hakim Konstitusi, menurut beliau yaitu untuk
mencegah munculnya penyalagunaan wewenang dan kekuasaaan, perbuatan asusila, pelanggaran hukum, dan bentuk-bentuk misconduct lainya.
122
Pembentukan dari Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang mengatur individu dari masing-masing Hakim Konstitusi, menurut Ahmad Fadlil
hal tersebut merupakan instrumen dan sekaligus tolak ukur yang harus terimplementasikan di dalam pelaksanaan tugas yudisialnya maupun diluar itu.
Ketika seorang Hakim Konstitusi sudah sesuai melaksanakan fungsi dari Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi yang telah dirumuskan maka dengan sendirinya Independensi Peradilan “bebas dari” intervensi Independensi Struktural dan
“bebas untuk”menjalankan kewenanganya Independensi Fungsional akan tercipta.
123
Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif
adalah kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi inilah yang jika dikaitkan dengan
pengertian kekuasan kehakiman yang merdeka menurut Richard D. Aldrich yaitu : kemerdekaan personal personal independent dan kemedekaan substatif
substantive independent.
122
Ansyahrul. Loc. Cit. hlm 212.
123
Ahmad Fadlil. Loc. Cit. hlm. 217.
Universitas Sumatera Utara
124
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dapat menjaga Independensi Personal karena mengatur bagaimana Etika dan Perilaku dari setiap individu
Hakim Konstitusi seidealnya sehingga Hakim dapat memiliki kebebasan dari berbagai intervensi yang mempengaruhi putusanya dan tercapailah independensi
substantif dari Hakim Konstitusi. Untuk itulah menurut Saldi Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam memutus perkara
Substantive Independence maka yang dapat dan harus disentuh melalui pengaturan adalah Etika dan Perilaku dari Hakim Konstitusi agar menjamin
Keadilan Substantif
125
Sesuai pandangan lain dari Salman meninjau Independensi Peradilan yaitu terbagi menjadi dalam tataran Normatif Independensi yaitu terkait dengan apakah
norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan dan dalam tataran Budaya Independesi
yaitu terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya hakim dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi
Fungsionalnya.
126
124
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.
125
Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi No 005PUU-IV2006 Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial” [diakses 3 Maret 2014]
126
Salman Luthan, Loc. Cit. hlm. 317.
Pada akhirnya, harapan dari seluruh Pengaturan Sistem Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut bukan hanya adanya
independensi normatif dengan fomalisasi produk hukum Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tetapi juga harus dapat membentuk budaya independesi dengan
terinternalisasinya nilai-nilai dalam peraturan tersebut kedalam sikap dan perilaku aparaturnya yaitu Hakim Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
C. Perspektif Akuntabilitas Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi