Pengawas Hakim Konstitusi Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan

cita demokrasi. 98 Seperti yang telah di bahas sebelumnya bahwa ketika suatu jabatan publik diberikan kekuasaan oleh publik maka pejabat tersebut harus dapat menjalankan kekuasaan tersebut sebagaimana amanah yang diberikan dari pemberi amanah maka Hakim Konstitusi sebagai pejabat yang telah dilegitimasi memiliki kekuasaan kehakiman oleh rakyat melalui UUD RI 1945 harus selalu mendapatkan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dan untuk memperbaiki ketika ada kesalahan. Lebih lanjut untuk menggambarkan mengenai Hakim Konsitusi, pada Pasal 24 C ayat 5 UUD RI 1945 memberikan arahan, Hakim Konstitusi harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara. Berdasarkan pemikiran diatas dapat terlihat bahwa Hakim Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda dengan hakim pemegang kekuasaan lainya terutama dari segi kewenangan yang lebih bercirikan kepada fungsi utamanya sebagai penafsir konstitusi the enterpreteur of constitution karena seluruh dasar hukum sebagai rujukan menjalankan kewenanganya harus berlandaskan konstitusi UUD RI 1945 maka diperlukan standar persyaratan keahlian khusus untuk menjadi Hakim Konstitusi khususnya pemahaman mendalam terhadap konstitusi dan ketatanegaraan.

C. Pengawas Hakim Konstitusi

98 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara Untuk itulah diperlukan institusi-institusi khusus yang diberikan kewenangan untuk mengawasi Hakim Konstitusi. Uraian Pengawas Hakim Konstitusi ini akan di urutkan berdasarkan rentang waktu eksistensinya mulai dari Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, dan Kode Etik Hakim Konstitusi. Dari ke empat institusi ini memiliki status eksistensi kewenangan mengawasi yang berbeda sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran utuh institusi mana saja yang sedang atau pernah memiliki kewenangan mengawasi Hakim Konstitusi. 1. Komisi Yudisial Keberadaan dari komisi ini dimulai semenjak perubahan ketiga UUD RI 1945 di tahun 2001 telah memberikan pengaturan yang menunjukan pentingnya keberadaan suatu lembaga khusus berfungsi mengawasi Kekuasaan Kehakiman sehingga akhirnya lahirlah lembaga negara baru hasil era reformasi tersebut yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini secara konstitusional pada Pasal 24 B ayat 1 UUD RI 1945 mengatur, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjabat dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Untuk melaksanakan kekuasaanya tersebut pada Pasal 24 B ayat 2 UUD RI 1945 menuntut, “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.” Keberadaan dari Komisi Yudisia secara prosedur formal sesuai Pasal 24 ayat 3 UUD RI 1945 menyebutkan, “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan Universitas Sumatera Utara diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan lebih lanjut pada Pasal 24 B ayat 4 UUD RI 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisal diatur dengan undang-undang.” Undang-Undang yang merupakan tindak lanjut dari pasal tersebut di bentuk pada tahun 2004 melalui Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang selanjutnya akan disebut UU No. 222004. Akan tetapi ternyata pemikiran dari aparat penegak hukum dengan para pembentuk Undang-Undang tidaklah selalu sama. Hal ini terlihat pada tahun 2006, 31 orang Hakim Agung mengajukan pengujian Undang-Undang UU No. 222004, pada bagian duduk perkara menyatakan Komisi Yudisial mempunyai tugas yang diatur pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan diatur juga dalam Pasal 34 ayat 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Menurut dalil pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006 yang selanjutnya disebut Putusan MK No. 005PUU-IV2006 pada halaman 8 menyatakan, “Pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud “Hakim” dalam Pasal 24B UUD RI 1945 tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.” Universitas Sumatera Utara Akhirnya 9 orang Hakim Konstitusi memberikan putusanya dengan suara bulat tanpa perbedaan pendapat dissenting opinion, pada bagian kesimpulan Hakim Konstitusi berpendapat mengenai pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi, Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat 3 UUKK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 lima tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali; Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek penga-wasan oleh KY, maka kewenangan Universitas Sumatera Utara Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang- undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan demikian, untuk selanjutnya, Hakim Konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial, sebagai perbandingan sedangkan menyangkut pengertian hakim menurut Pasal Universitas Sumatera Utara 24B ayat 1 UUD 1945 yang meliputi Hakim Agung, pada hlm. 176 Putusan MK No. 005PUU-IV2006 memutus terbukti tidak cukup beralasan, Akan menjadi ganjil untuk menafsirkan bahwa Hakim Agung tidak masuk dalam kategori Hakim dan karena posisinya yang berada di puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk pada pengawasan. Bagaimanapun tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis, dan kategoris dilakukan, Hakim Agung adalah Hakim. Di samping itu, faktanya Hakim Agung sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia IKAHI dan bahwa hakim agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan. Dari segi kewenangan pengawasan apakah hakim agung itu diawasi, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, tidak cukup beralasan untuk mengecualikan hakim agung. Secara universal hal demikian telah menjadi norma. Independensi harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang ideal jika hakim agung memiliki integritas dan kualitas yang sedemikian rupa sesuai dengan Pasal 24A ayat 2 UUD 1945, tetapi bukan berarti hakim agung terbebas dari pengawasan dalam rangka mendukung terciptanya peradilan yang bersih dan berwibawa bagi terwujudnya rule of law. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut hakim agung, menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 1 angka 5 UUKY dilihat dari perspektif spirit of the constitution, tidak cukup beralasan untuk menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga pada halaman 202 Putusan MK No. 005PUU-IV2006 menyatakan, lima pasal yang mengatur fungsi kewenangan dalam UU KY, yaitu Pasal 20, 21, 22 ayat 1 huruf e, 22 ayat 5, 23 ayat 2, 3 dan 5, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-IV2006 yang akhirnya menghilangkan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi Hakim Konstitusi menimbulkan beragam reaksi di masyarakat terutama para akademisi Hukum Tata Negara, salah satunya yang dengan lantang mengkritisi putusan ini adalah Saldi Isra dengan memberikan kritikan utamanya mengenai terlanggarnya asas dalam Kekuasaan Kehakiman karena putusan ini, 99 99 Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi No 005PUU-IV2006 Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial” [diakses 3 Maret 2014] Universitas Sumatera Utara Asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri nemo judex idoneus in propria causa. Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip nemo judex idoneus in propria causa. Terlepas dari berbagai reaksi di masyarakat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan uraian pada Putusan Mahkamah Konstitusi diatas dapat kita ringkas alasan Komisi Yudisial secara konstitusional tidak memiliki kewenangan lagi mengawasi Hakim Konstitusi antara lain : 1. Dari segi sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C; 2. Di dalam risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi; 3. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat 3 UUKK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial; 4. Hakin Konstitusi berbeda dengan halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Universitas Sumatera Utara 5. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek penga-wasan oleh KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial. Dari berbagai hukum normatif dan putusan hakim diatas dapat kita lihat karakteristik Komisi Yudisial sebagai pengawas Hakim Konstitusi, antara lain : a. Diatur pada tingkat Undang-Undang Dasar yaitu UUD RI 1945 perubahan ketiga; b. Kewenanganya bersifat preventif untuk merespon pelaporan pelanggaran; c. Bersifat permanen, dengan pengawasan yang dilakukan secara terus-menerus; d. Unsur keanggotaan dari eksternal Hakim Konstitusi; e. Saat ini status hukum kewenangan institusi pengawas ini mengawasi Hakim Konstitusi sudah tidak berwenang lagi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Eksistensi dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam hukum positif Republik Indonesia sebenarnya telah ada ketika peraturan Perundang- undangan mengenai Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 23 ayat 3 Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan, “Permintaan pemberhentian secara tidak terhormat sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, dan atau huruf h dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membea diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.” Universitas Sumatera Utara Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi baru didefinisikan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut UU No. 82011, pada Pasal 1 angka 4 menyatakan, “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konsitusi untuk memantau, memeriksa, dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.” Keberadaan dari peraturan yang mengatur secara lebih rinci mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi baru dibentuk pada tanggal 21 Maret 2013 melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 tahun 2013 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut PMK No. 12013. Kewenangan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 7 PMK No. 12013, “memeriksa dan mengambil keputusan terhadap laporan dan atau infomrasi bahwa Hakim Terlapor diduga melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 2 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, serta tidak melakukan kewajiban dan melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 27B Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.” Untuk melaksanakan kewenangannya tersebut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bertugas sesuai aturan pada Pasal 8 PMK No. 12013 yaitu : a. pengumpulan informasi dan bukti terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor; Universitas Sumatera Utara b. pemanggilan terhadap Hakim Terlapor, pelapor, saksi, dan ahli untuk didengarkan keteranganya; c. pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor; d. penyampaian Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi. Keanggotaan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 27A UU No. 82011 terdiri atas: a. 1 satu orang Hakim Konstitusi; b. 1 satu orang anggota Komisi Yudisial; c. 1 satu orang dari unsur DPR; d. 1 satu orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan e. 1 satu orang hakim agung. Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49PUUIX2011 pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 dengan pendapat Mahkamah sebagai berikut pada halaman putusan tersebut, Adanya unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat 2 huruf c, huruf d, dan huruf e UU 82011 bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 beralasan menurut hukum. Oleh karena Pasal 27A ayat 2 huruf c, huruf d, dan huruf e UU 82011 saling memiliki keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat 3, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6 UU 82011 maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga struktur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saat ini merujuk pada Pasal 3 PMK No.12013: a. 1 satu orang Hakim Konstitusi; b. 1 satu orang pimpinan Komisi Yudisial; c. 1 satu orang mantan pimpinan lembaga negara; Universitas Sumatera Utara d. 1 satu orang mantan Hakim Konstitusi atau mantan Hakim Agung; dan e. 1 satu orang guru besar senior dalam hukum. Sesuai dengan peraturan tersebut Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada 3 Oktober 2014 yang terdiri dari Hakim Konstitusi Haryono, Wakil Ketua Komisi Yudisial Abbas Said, Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD , dan Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana 100 100 Vivanews. “Ini Majelis Kehormatan yang akan mengadili Akil” http:nasional.news.viva.co.idnewsread448957-ini-majelis-kehormatan-yang-akan- mengadili-akil [diaskes 7 juni 2014] untuk memeriksa dan mengadili dugaan pelanggara Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Akil Mochtar. Pembentukan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini dapat terjadi karena dua hal yang diatur pada Pasal 12 dan Pasal 13 PMK No.12013 yaitu : a. Dalam hal terdapat informasi yang menyangkut diri Hakim Konstitusi sehingga dapat mempengaruhi harkat dan martabatnya, Hakim Konstitusi yang bersangkutan dapat meminta pembentukan Mejelis Kehormatan untuk memeriksa dirinya; b. Untuk menindaklanjuti laporan danatau informasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Mahkamah Konstitusi. Dari berbagai hukum normatif diatas dapat terlihat karakteristik dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawas Hakim Konstitusi, antara lain : a. Diatur pada tingkat Undang-Undang yaitu UU Nomor 82011 dan PMK No.12013; b. Kewenanganya bersifat represif penindakan terhadap pelanggaran berat; Universitas Sumatera Utara c. Bersifat sementara, setelah ada laporan pelanggara berat maka Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi baru terbentuk; d. Unsur keanggotaan campuran dari unsur internal dan eksternal Hakim Konstitusi; e. Saat ini status hukum kewenangan institusi pengawas ini mengawasi Hakim Konstitusi masih berwenang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia 3. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi Munculnya keberadaan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi tidak terlepas dari respon kejadian penangkapan Akil Mochtar juga mendapat reaksi para petinggi lembaga negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara chief of state dan kepala pemerintahan chief of government langsung memanggil enam petinggi lembaga negara pada 5 Oktober 2013 ke Istana Negara secara mendadak, seusai menghadiri peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia di Bandara Halim Perdanakusuma. Enam petinggi lembaga negara yang hadir yakni Marzuki Alie sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sidarto Danusubroto sebagai Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Irman Gusman sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Suparman Marzuki sebagai Ketua Komisi Yudisial, Hadi Poernomo sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung. 101 Melihat adanya keadaan genting yang harus direspon demi menyelamatkan marwah Mahkamah Konstitusi maka Presiden mengerluarkan 101 Kompas, “Jalan Panjang Talik Ulur Perppu MK” http:pilkada.kompas.comjatimread2013 12191007471Jalan.Panjang.dan.Tarik.Ulur.Perppu.MK [diakses 4 Maret 2014] Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang memuat tiga substansi. Pertama yakni penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya. Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Dan ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang harus dipermanenkan. Tindak lanjut Perppu dari Presiden ini sesuai dengan ketentuan konstitusi pada Pasal 22 ayat 2 dan ayat 3 UUD RI 1945 maka Dewan Perwakilan Rakyat harus memberikan penetapan persetujuan atau penolakan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. Akhirnya melalui voting pada rapat paripurna yang diselenggarakan, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Perppu tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada Pasal 27 A ayat 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Udang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Perppu No. 12013 menyatakan “Majelis Hakim Konstitusi dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial untuk menegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang bersifat tetap”. Pengaturan Majelis Universitas Sumatera Utara Kehormatan Hakim Konstitusi pada Perppu ini memberikan akibat hukum terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi digantikan keberadaanya, hal ini dipertegas dengan pengaturan pada Pasal 87 A Perppu No.12013 menyatakan, “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.” Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur pada Pasal 27 A ayat 8 Perppu No. 12013 antara lain : a. memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; b. memanggil pelapor, saksi, danatau pihak lain yang terkait untuk dimity keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan c. memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi memiliki keanggotaan yang diatur pada Pasal 27 A ayat 2 Perppu No12013, terdiri atas unsur : a. 1 satu orang mantan hakim konstitusi; b. 1 satu orang praktisi hukum; c. 2 dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar di bidang hukum; dan d. 1 satu orang tokoh masyarakat. Pengaturan lebih lanjut Pasal 27 A ayat 14 menyatakan, “pembentukan sekretariat berkedudukan di Komisi Yudusial dan dipimpin oleh Sekretaris Jendral Komisi Yudisial.” Sesuai dengan konstitusi pada Pasal 24 C ayat 1 UUD RI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki salah satu kewenangan yaitu menguji Undang- Universitas Sumatera Utara Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sejumlah advokat yang sering beracara di MK. Mereka adalah Andi M Asrun, Robikin Emhas, Syarif Hidayatullah, Heru Widodo, Samsul Huda, Dorel Almir, Daniel Tonapa Masiku, Hartanto, Samsudin, Dhimas Pradana dan Aan Sukirman 102 Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, memohonkan pengujian Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 kepada Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi kembali mengejutkan negeri ini dengan memberikan putusan dari 8 Hakim Konstitusi yang ada dengan suara bulat tanpa perbedaan pendapat dissenting opinion pada amar putusanya menyatakan untuk seluruhnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar dari pertimbangan mahkamah tersebut antara lain yang terdapat pada halam 112 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2PUU-XII2014, Bahwa Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. 102 Sindonews, “Mahkamah Konstitusi gugurkan keberadaan Penetapan UU MK” http:nasional.sindonews.comread2014021313835592mk-gugurkan-keberadaan- penetapan-uu-mk [diaskes 4 Maret 2014] Universitas Sumatera Utara terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya. Dalam hubunganya dengan Komsisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005PUU-IV2006, bertanggal 23 Agutus 2006 bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa dispute settlement yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 42014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena ersebut secara jelas betetnangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005PUU-IV2006, tanggal 23 Agustus 2006 yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24 B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi tegaknya konstitusi. Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi beralasan menurut hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi ini kembali menimbulkan kontroversi di masyarakat, Taufiqurahman Syahuri sebagai Komisioner Komisi Yudisial, “Ada pelanggaran kode etik oleh hakim MK ketika mengadili kasus yang berkenaan dengan dirinya sendiri dan mengabulkan permohonan dari pihak-pihak yang ‘dekat’ dengan MK.” 103 103 Pusat Informasi Kompas, “MK secara Bulat Batalkan UU No 42014 tentang Penetapan Perppu MK” Komisioner Komisi Yudisial yang lain, Imam Anshori Saleh juga menyesali adanya putusan MK ini bahkan menilai, “Hal ini sebagai http:pik.kompas.co.idindex_detail.cfm?siteid=2artikelid=9 [diakses 4 Maret 2014] Universitas Sumatera Utara tragedi penegakan hukum. MK telah menggunakan kekuasaannya untuk tidak mau diawasi.” 104 Respon menyadari dari lemahnya pengawasan terhadap Hakim Konstitusi selama ini dengan tertangkap tanganya Akil Mochtar membuat Mahkamah Dengan dibatalkanya UU No. 32014 yang mengatur keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi maka sehingga keberadaan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah digantikan keberadaanya menjadi dikembalikan lagi eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan kita. Dari berbagai hukum normatif dan putusan hakim diatas dapat terlihat karakteristik dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai pengawas Hakim Konstitusi, antara lain : a. Diatur pada tingkat Undang-Undang yaitu UU Nomor 32014 dan Perppu No. 12013; b. Kewenanganya bersifat preventif merespon pelaporan pelanggaran dan represif penindakan terhadap pelanggaran; c. Bersifat permanen, melakukan pengawasan secara terus-menerus, merespon laporan pelanggaran, dan memberikan tindakan terhadap pelanggaran; d. Unsur keanggotaan dari eksternal Hakim Konstitusi; e. Saat ini status hukum kewenangan dan keberadaan institusi pengawas ini mengawasi Hakim Konstitusi sudah tidak berwenang lagi dan tidak ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia 4. Dewan Etik Hakim Konstitusi 104 Ibid. Universitas Sumatera Utara Konstitusi mengevaluasi juga struktur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Akhirnya Mahkamah Konstitusi membentuk komponen dari Mahkamah Konstitusi yang baru yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi yang selanjutnya disebut PMK No.22013. Pasal 1 angka 2 PMK No.22013 mendefinisikan, “Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama”, lebih lanjut pada Pasal 2 ayat 1 PMK No. 22013 menyatakan “Dewan Etik bersifat tetap”. Dewan Etik ini memiliki tugas yang diatur pada Pasal 3 PMK No. 22013 menyatakan sebagai berikut : a. menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi supayan Hakim tidak melakukan pelanggaran; b. penjabaran bentuk-bentuk pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada huruf a; c. melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penelaahan laporan dan informasi tentang perilaku Hakim; d. memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a; e. menyampaikan laporan dan informasi yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditelaah tentang perilaku Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam siding Majelis Kehormatan; f. menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap bulan kepada Mahakamah. Dewan Etik untuk melaksanakan tugasnya mempunyai wewenang yang diatur pada Pasal 4 PMK No. 22013 sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara a. memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; b. memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga melakukan pelanggaran, pelapor, serta pihak lain yang berkaitan; c. memberikan teguran lisan atau tertulis kepada Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; d. mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, serta dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggaran telah mendapat teguran lisan danatau tertulis sebanyak 3 tiga kali. Dewan Etik memiliki Struktur Keanggotaan yang diatur pada Pasal 6 PMK No. 22013 terdiri atas : a. 1 satu orang mantan Hakim Konstitusi; b. 1 satu orang akademisi; dan c. 1 satu orang tokoh masyarakat. Lebih lanjut Pasal 9 ayat 1 dan 2 PMK No. 22013 mengatur, “struktur keanggotaan Dewan Etik tersebut yang dipilih oleh Panitia Seleksi yang bersifat independen dan Panitia Seleksi ini terdiri atas 3tiga orang anggota yang dipilih dalam Rapat Pleno Hakim Konstitusi”. Pada 12 Desember 2013, Hamdan Zoelva menyampaikan keanggotaan Pansel Dewan Etik Hakim Konstitusi yang terdiri dari Laica Marzuki sebagai koordinator dengan Slamet Effendy Yusuf serta Aswanto sebagai anggota. Pansel Dewan Etik Hakim Konstitusi yang telah terbentuk ini memilih tiga dari 37 calon yang mendaftarkan diri maupun diusulkan oleh masyarakat. Dewan Etik Hakim Konstitusi yang yang dipilih oleh Panse untuk periode 2013 – 2016, yakni Abdul Mukthie Fadjar dari unsur mantan Hakim Konstitusi, Zaidun dari unsur Universitas Sumatera Utara akademisi, serta A. Malik Madani dair unsur tokoh masyarakat. 105 Permasalahan pertama, mengenai waktu pembentukan dari Dewan Etik Hakim Konsitutsi ini, kenapa baru di tahun 2013 Dewan Etik untuk Hakim Sebagaimana yang diatur pada Pasal 10 PMK No. 22013, “Dewan Etik dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah” Dewan Etik ini juga memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Pasal 18 ayat 1 PMK No. 22013 mangatur Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam hal : a. Dewan Etik berpendapat hakim terlapor atau hakim yang diduga melakukan pelanggaran berat; b. Hakim terlapor atau hakim yang diduga telah mendapatkan teguran lisan danatau tertulis sebanyak 3 tiga kali. Mekanisme selanjutnya Pasal 18 ayat 2 PMK No. 22013 menyatakan, “Pembentukan Majelis Kehormatan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya usul Dewan Etik.” Walaupun langkah reaktif dari Mahkamah Konstitusi dengan membentuk Dewan Etik ini patut diapresiasi namun keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi ini pada kenyataannya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, ada beberapa hal yang membuat masyarakat mempertanyakan keberadaan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi yang keberadaanya baru muncul setelah dipicu sebuah preseden buruk. 105 Mahkamah Konstitusi, “Dewan Etik MK Resmi Bekerja”http:www.mahkamahkonstitusi.go.idindex.php?page=web.Beritaid=9731 [diakses 2 Juni 2014] Universitas Sumatera Utara Konstitusi ini dibentuk dan siapa yang jadinya menegakan peraturan tentang Kode Etik dan Tingkah Laku Hakim Konstitusi selama 10 tahun sebelumnya yang seharusnya pengawasan dilakukan secara terus-menerus sebagai langkah preventif bukan hanya pengawsan dalam bentuk represif penindakan. Tidaklah mengeharankan terjadi Operasi Tangkap Tangan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada tahun 2013 karena memang pada sistem struktur selama ini tidak ada institusi yang secara permanen melakukan upaya prevensi untuk menegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Permasalahan kedua, Problematika ini berlanjut dengan munculnya berbagai stigma negatif di masyarakat yang berpandangan pembentukan Dewan Etik merupakan reaksi terhadap dibentuknya Perppu No. 12013 yang mengatur perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan. Seperti pendapat yang disampaikan Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, “Seharusnya MK tidak bersikap defensif dengan kondisi Mahkamah Konstitusi saat ini. Ikuti saja aturan Perppu tentang Mahkamah Konstitusi ” 106 Sementara hal berbeda disampaikan Pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin mengatakansetiap lembaga negara berwenang membuat lembaga etik untuk internalnya untuk mencegah kejahatan internal. “Ini bentuk early warning system, sistem pencegahan dini,” 107 106 Hukum Online, Komisi Yudisial Belum Satu Suara Tanggapi Dewan Etik MK http:www.hukumonline.comberitabacalt52727d6af06e6ky-belum-satu-suara-tanggapi- dewan-etik-mk [diakses 2 Juni 2014] 107 Ibid. Bagaimanapun dengan dihilangkanya kembali Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi tersebut maka saat ini masyarakat harus Universitas Sumatera Utara mempercayakan pengawasan Hakim Konstitusi kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi ini bersama dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dari berbagai hukum normatif diatas dapat dikaji bahwa karakteristik dari Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai pengawas Hakim Konstitusi, antara lain : a. Diatur pada tingkat Peraturan Mahkamah Kosntitusi yaitu PMK No. 22013; b. Kewenanganya bersifat preventif merespon pelaporan pelanggaran dan memberikan pendapat terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi serta tindakan represif terhadap pelanggara; ringan; c. Bersifat permanen, melakukan pengawasan secara terus-menerus, merespon laporan pelanggaran, dan memberikan tindakan terhadap pelanggaran ringan; d. Unsur keanggotaan dan panitia seleksi dari eksternal Hakim Konstitusi namun penentuan panita seleksi ditentukan Hakim Konstitusi; e. Saat ini status hukum kewenangan institusi pengawas ini mengawasi Hakim Konstitusi masih berwenang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Universitas Sumatera Utara BAB IV PERSPEKTIF INDEPENDENSI DAN AKUNTABILITAS PERADILAN TERHADAP PENGATURAN SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI

A. Pengaturan Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi