BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cita negara hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam bangsa Indonesia sudah mulai dirumuskan oleh para founding father and mother
bapak dan ibu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia semenjak era kemerdekaan dan diformulasikan kembali ketika era reformasi. Ide negara hukum
atau dengan istilah lain nomokrasi ini tidak dapat terlepas dari pengaruh konsep negara hukum lainnya seperti Nomokrasi Islam, Rechtstaat, Rule of Law, dan
Sosialist Legal yang berkembang di dunia sehingga mempengaruhi konsepsi cita negara hukum di Indonesia yang saat ini lebih dikenal dan diakui sebagai Negara
Hukum Pancasila. Jimly Asshidiqie mencoba membandingkan ide nomokrasi dengan ide demokrasi dengan melihat dari segi etimologi pembentukan kata
yaitu nomokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Nomos dan Kratos, nomos memiliki arti norma dan kratos memiliki arti kekuasaan sehingga
dapat dikatakan bahwa nomokrasi sangat berhubungan dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
4
Hubungan hukum dan kekuasaan secara sederhana disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-
angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”
5
4
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal 151.
5
Ellydar Chaidiri, Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2007, hal. 46.
. Kekuasaan tertinggi yang didasarkan atas prinsip hukum tersebut sebenarnya memiliki hakikat utama untuk
Universitas Sumatera Utara
membatasi dan meligitimasi kekuasaan yang terdapat dalam suatu negara. Salah satu konsep kekuasaan yang saat ini paling banyak dijadikan referensi bagi
negara-neagara di dunia untuk membagi kekuasaan dalam suatu negara disampaikan oleh Monstesquieu dalam bukunya, “L’esprit des Lois” 1748 yang
membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu
6
1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat undang-undang;
:
2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana undang-undang;
3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai kekuasaan untuk menghakimi pelanggaran
terhadap undang-undang. Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena
kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting. Pemikiranya tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengalamanya sebagai hakim, di mana kekuasaan yudikatif
menurutnya sangat berbeda dengan kekuasaan ekskutif.
7
Keberadaan kekuasaan yudikatif atau biasa disebut juga sebagai kekuasaan kehakiman dalam suatu negara hukum sangatlah merupakan keniscayaan untuk
dapat mewujudkan penegakan dari hukum itu sendiri, lebih lanjut menurut The International Comission of Jurist, ciri-ciri dari negara hukum terdiri dari
8
1. Negara harus tunduk pada hukum;
:
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
6
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 283.
7
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 12.
8
Ibid. hal 153.
Universitas Sumatera Utara
Independesi dalam kekuasaan kehakiman ini merupakan persyaratan utama agar lembaga peradilan dapat menjalankan fungsinya dengan ideal.
Di Negara Indonesia sendiri telah mendeklarasikan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang lebih lanjut
disebut UUD RI 1945, pada Pasal 1 ayat 3 menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
Hal ini memberikan konsekuensi seluruh
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia harus berdasarkan hukum dan menjadikan hukum sebagai supremasi tertinggi di dalam
negara. Konsep negara hukum yang bercirikan peradilan yang bebas dan tidak memihak diejawantahkan lebih lanjut dengan memisahkan kekuasaan yudikatif
secara tegas terpisah berbagai dari bab-bab cabang kekuasaan negara lainya yang dapat kita lihat pada pengaturan tersendiri bab tentang Kekuasaan Kehakiman
pada Bab IX UUD RI 1945. Di negeri kita, kekuasaan kehakiman tersebut diatur pada Pasal 24 ayat 1
UUD RI 1945 yang mengatur bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdea untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan”, lebih lanjut institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman tersebut di sebutkan dalam ayat 3 UUD RI 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.” Dalam penelitian ini ruang lingkup pembahasan
mengenai kekuasaan kehakiman ini akan di fokuskan hanya kepada Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi yang sesuai fungsinya sering disebut sebagai lembaga pengawal konstitusi The Guardian of Constitution dan lembaga penafsir konstitusi The
Interpreter of Constitution.
9
Pada tataran realita Pasal 24 ayat 1 UUD RI tahun 1945 yang merupakan ruh dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam perspektif doktrin tentang
nilai konstitusi tampaknya hanyalah menjadi nilai nominal bukan lagi menjadi nilai normatif.
10
DPR RI Tepat pada hari Rabu tanggal 2 Oktober tahun 2013 pukul 21.00
WIB, rakyat Indonesia dikagetkan dengan berita yang meruntuhkan kembali pilar independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya menegakan hukum dan
keadilan dengan terjadinya penangkapan terhadap M. Akil Mochtar yang sedang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di rumah
dinasnya bersama Chairun Nisa sebagai anggota Fraksi Partai Golkar dan
Cornelis Nalau Antun sebagai pengusaha dalam Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan menerima suap dalam penanganan
gugatan pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten
11
beserta penyitaan uang sekitar Rp. 3 miliar yang terdiri dari 284.050 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS.
12
9
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm. 495.
10
Nilai Nominal mengandung pengertian bahwa menurut hukum masih berlaku tetapi pelaksanaannya atau kenyataanya tidak sempurna karena ada pasal-pasal yang tidak
dilaksanakan sedangkan Nilai Normatif mengandung perngertian bahwa konstitusi itu masih berlaku tidak hanya dalam arti hukum legal melainkan juga dalam kenyataan realitas. Ellydar
Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakarta, : Kreasi Total Media, 2007, hlm. 54.
11
Wikipedia, “Akil Mochtar” http:id.wikipedia.orgwikiAkil_Mochtar [diakses 28 Februari 2014]
12
Kompas, “Kronologis Penangkapan Akil Mochtar” http:nasional.kompas.comread201310031837456Ini.Kronologis.Penangkapan.Akil.Moch
tar [diakses 28 Februari 2014]
Universitas Sumatera Utara
Peristiwa ini benar-benar memutar balikan tingkat kepercayaan publik public trust kepada institusi Mahkamah Konsitusi dari lembaga tinggi negara
yang dipercaya integritasnya menjadi lembaga tinggi negara yang dipertanyakan integritasnya, menurut data dari Lingkar Survey Indonesia sebagai berikut,
13
Fakta empiris yang terjadi ini telah mengingatkan kita kembali bahwa konsep dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dapat berdiri sendiri,
dibutuhkan suatu konsep lain untuk dapat mengawal terselenggaranya independensi peradilan yang ideal yaitu konsep akuntabilitas peradilan. Hal ini
diperlukan karena konsep dari kekuasaan kehakiman itu sendiri pada dasarnya menurut Brian Z Tamanaha dalam bukunya On the Rule of Law
Untuk pertama kalinya, kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir. Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik
terhadap MK merosot dibawah 30 . Publik yang masih percaya kepada MK hanya 28.0 . Sedangkan mayoritas publik yaitu sebesar 66.5 tidak
lagi percaya kepada MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia. Sebelum “malapetaka Akil” ini, kepercayaan terhadap MK
justru sebaliknya selalu diatas 60 . “Hanya butuh seorang Akil dalam sehari untuk merobohkan MK”. Hal ini dimaklumi karena sakralnya
lembaga MK selama ini dan posisi Akil Mochtar sendiri sebagai ketuanya.
Preseden yang mengenaskan ini kembali menambah daftar hitam penyelenggara kekuasaan kehakiman yang terjerat kasus hukum sehingga berimplikasi terhadap
terkikisnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan cita negara hukum sebagaimana semestinya.
14
13
Lingkar Survey Indonesia, “Robohnya MK kami”
, “Kekuasaan hakim itu akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Abuse of Power
http:lsi.co.idlsiwp- contentuploads201310Materi-Konpers-Minggu-6-Oktober-2013-Robohnya-MK-kami.pdf
[diakses 28 Februari 2014]
14
Ibrahim, “Independensi dan Akuntabilitas Hakim” http:www.pkh.komisiyudisial.go.ididfilesMateriUMUM01UMUM01_IBRAHIM_KEPPH
.pdf [diakses 1 Maret 2014]
Universitas Sumatera Utara
Judicial Corruption. Pada titik inilah Rule of Law berubah jadi Rule by Judges maka hakim harus akuntabel. Putusan dan perilakunya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara publik.” Dari pendapat diatas dapat kita lihat adanya hubungan kausalitas yang kuat
antara akuntabilitas peradilan dengan independesi peradilan karena akuntabilitas peradilan sangat dibutuhkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dari
adanya independensi peradilan. Secara lebih umum, konsep akuntabilitas pada kekuasaan kehakiman ini tidak terlepas dari konsep umum akuntabilitas yang
biasa digunakan dalam konsep Good Governance
untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien maka diharapkan
akuntabilitas peradilan menciptakan penyelengaraan peradilan yang dapat mempertanggungjawabkan independensi kekuasaanya.
Sinergitas dari konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan tersebut tercermin melalui mekanisme sistem pengawasan peradilan karena sistem
pengawasan dapat menjamin agar peradilan tetap menjaga independensi dan akuntabilitas
sebagaimana seharusnya. Sesuai
pendapat dari Sudibyo Triatmodjo,
15
15
Ansyahrul, Loc.. Cit. hlm. 155.
“Pengawasan adalah suatu bentuk pengamatan yang pada umumnya dilakukan secara menyeluruh, dengan jalan mengadakan perbandingan antara
kenyataan yang dilaksanakan dengan yang seharusnya dilaksanakan atau terjadi.” Sehingga dengan adanya sistem pengawasan dapat dilakukan perbandingan
bagaimana implementasi dari independensi dan akuntabilas peradilan dengan norma yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan ruang lingkup dari penelitian ini yaitu terhadap Mahkamah Konstitusi maka pembahasan sistem pengawasan peradilan akan di fokuskan
kepada pengawasan terhadap Hakim Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi ini secara normatif
mengalami berbagai perkembangan. Hal ini akan diteliti dengan menelusuri rangkaian panjang silih bergantinya norma-norma yang mengaturnya. Dimulai
dari pembatalan norma yang mengatur Hakim Konstitusi juga termasuk Hakim yang diawasi oleh Komisi Yudisial
16
, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
17
, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
18
, sampai dibatalkanya kembali norma yang mengatur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut
melalui Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi.
19
Realita yang terjadi Das Sein dengan adanya penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah
menghianati yang seharusnya terjadi Das Sollen haruslah menjadi perenungan bersama untuk menelaah bagaimana seharusnya hukum yang berlaku sekarang
Ius Constitutum pada peraturan perundang-undangan idealnya dapat mewujudkan hukum yang dicita-citakan Ius Constituendum. Disinilah kehadiran
sistem pengawasan yang solid dan komperhensif dituntut untuk dapat menjaga kehormatan dan martabat Hakim Konstitusi agar dapat mewujudkan Hakim yang
16
Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tahun 2006.
17
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
18
Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
19
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 1-2PUU-XII2014.
Universitas Sumatera Utara
berintegritas dan berwibawa, untuk itulah kita sangat perlu mengkaji ulang rancangan besar grand design dari sistem pengawasan kepada Hakim Konstitusi
dari perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan secara proposional dan bersinergi demi menciptakan kekuasaan kehakiman di
Mahkamah Konstitusi yang ideal, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih judul : “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF
INDEPENDENSI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN”.
B. Rumusan Masalah