C. Perspektif Akuntabilitas Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi
Sesuai dengan kesimpulan mengenai konsep akuntabilitas peradilan yang telah disampaikan penulis pada bab sebelumnya yaitu dasar munculnya
akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman
yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini
ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur
maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang
dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.
Kekuasaan kehakiman dituntut memiliki akuntabilitas karena sebagaimana dijelaskan Salman Luthan gagasan akuntabilitas pada dasarnya muncul dari
adanya pemberian kekuasaan kepada institusi atau seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas publik, ketika ia menjalankan tugas publik dalam bidang tertentu
maka dia harus mempunyai pertanggungjawaban terhadap tugas publik yang ia laksanakan.
127
127
Salman Luthan, Loc.. Cit. hlm. 41.
Disinilah seseorang yang diberikan kekuasaan tersebut didalam pengaturan sistem pengawasan Hakim Konstitusi adalah Hakim Konstitusi
Universitas Sumatera Utara
sebagai subjek yang diawasi dituntut dapat mempertanggungjawabkan pelasanaan kekuasaanya sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ada.
Korelasi pengaturan sistem pengawasan Hakim Konstitusi dengan akuntabilitas peradilan secara lebih kongkrit bisa dilihat adanya mekanisme
akuntabilitas sebagaimana yang disampaikan Gayus Lumbun, akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi
amanah.
128
128
Gayus Lumbun, Loc Cit. hlm. 200.
Masyarakat sebagai pemberi amanah tersebut melalui perwakilanya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, telah membentuk mekanisme
pertanggungjawaban terhadap Hakim Konstitusi yang diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pada Undang-Undang tersebut dibentuklah institusi untuk menjamin pengawasan represif terhadap Hakim Konstitusi yaitu Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Hal inilah ditindaklanjuti oleh Mahkamah Konstitusi dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 tahun 2013 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi. Dua produk hukum
ini memberikan kewenangan kepada subjek yang mengawasi Hakim Konstitusi yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi yang bersifat tetap sebagai pengawasan
preventif dan represif dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang bersifat sementara sebagai pengawasan represif.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan kewenangan dari institusi ini ketika terjadi indikasi pelanggaran ataupun pelanggaran terhadap objek pengawasan yaitu Kode Etik dan
Perilaku Hakim maka Hakim Konstitusi harus dapat mempertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan dari
kewenanganya sebagai bentuk akuntabilitas atas kekuasaan yang telah diberikan kepadanya. Bentuk-bentuk pertanggungjawaban Peradilan ini menurut salah satu
Hakim Agung, Artidjo Alkostar menyatakan para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity harus dapat
mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
129
Indikator-indikator pertanggungjawaban inilah yang dapat tercapai ketika knowledge, skill legal technic capacity, and integrity di dalam Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi dapat ditegakan karena Idealnya setiap profesi memiliki code of conduct. Menurut Ansyahrul, Kode Etik berfungsi sebagai
serangkaian aturan tertulis yang mengatur cara berperilaku yang pantas dan etis dalam suatu kumpulan norma sekelompok orang. Kode etik ini
diinstitusionalisasikan ke dalam sistem nilai dan budaya organisasi untuk menjadikan pegangan bagi individu-individu dalam organisasi tersebut.
130
Untuk melaksanakan Akuntabilitas Peradilan tersebut, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability Mechanism menyatakan, pengawasan hakim
merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim
129
Artidjo Alkostar, Loc. Cit. hlm. 3
130
Ansyahrul. Loc. Cit. hlm 212.
Universitas Sumatera Utara
bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi.
131
131
Oce Madril, [diakses 1 Maret 2014]
Pengawasan dengan tujuan-tujuan tersebut telah sesuai dengan Pengaturan Sistem Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 09PMK2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama khususnya Prinsip Pertama
Independensi, Prinsip Kedua Ketidakberpihakan, dan Prinsip Keenam Kecakapan dan Keseksamaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan