Pengaturan Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi

BAB IV PERSPEKTIF INDEPENDENSI DAN AKUNTABILITAS PERADILAN TERHADAP PENGATURAN SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI

A. Pengaturan Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi

Untuk dapat mewujudkan cita-cita negara hukum yaitu penyelenggaraan peradilan yang hanya berdasarkan keadilan dan kebenaran maka harus ada mekanisme yang menjaga penyelenggaraan tersebut berjalan sesuai dengan idealitas. Mekanisme inilah yang dapat direalisasikan dengan sistem pengawasan. Pengawasan dalam suatu penyelenggaran negara adalah sebuah keniscayaan karena pengawasan adalah suatu bentuk pengamatan dan evaluasi yang dilakukan secara komperhensif dengan membandingkan antara pengaturan yang seharusnya terlaksana dengan kenyataan yang dilaksanakan. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai doktrin-doktrin tentang pengawasan maka dapat dianalisa bagaimana unsur-unsur dari pengawasan yang terdapat dalam setiap peraturan perundang-undang yang berlaku sekarang di Indonesia. Unsur-unsur dari pengawasan tersebut membentuk suatu sistem pengawasan yang terdiri dari subsistem-subsistem atau komponen- komponen yang saling berkolerasi. Jika dianalisisa dan diklasifikasikan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi terdiri dari subsistem Subjek yang diawasi, Objek yang diawasi, Subjek yang mengawasi, dan Proses Pengawasan. Universitas Sumatera Utara 1. Subjek yang diawasi Pengawasan terhadap suatu insitusi atau seseorang tidaklah serta merta muncul begitu saja, ada suatu sebab kenapa suatu institusi atau seseorang perlu diberikan pengawasan. Seperti pendapat Gayus Lumbun pada pembahasan sebelumnya menyatakan 108 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; , “…kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah…” Dari doktrin ini menuntut bahwa setiap kekuasaan yang diserahkan kepada suatu institusi atau seseorang maka harus ada pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan dari kekuasaan tersebut. Sesuai dengan kajian pada penelitian ini, pemberian kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Mahkamah Konstitusi ini dapat kita mulai dari tingkatan hukum dasar kita dalam pasal 24 C ayat 1 UUD RI 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk : 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ditambah dengan satu kewajiban, yang diatur pada pasal 24 C ayat 2 UUD RI 1945 “Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan 108 Gayus Lumbun, Loc. Cit. hlm. 200. Universitas Sumatera Utara Rakyat mengenai dugaan pelanggraan oleh Presiden danatau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Sesuai dengan tuntutan adanya pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan dari suatu kekuasaan disinilah menurut Ansyahrul, 109 Untuk mengetahui subjek atau siapa pihak-pihak yang diawasi atau mendapat pengawasan didalam Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat dari pendapat mengenai subjek yang diawasi menurut Ahmad Fadlil, “Pengawasan Peradilan merupakan kegiatan berupa pengamatan dan penelitian terhadap jalanya proses penyelenggaraaan fungsi peradilan oleh hakim dan sumber daya manusia aparatur lainya sebagai pemberi dukungan teknis maupun administratif. “Pengawasan dalam peradilan berfungsi memperoleh kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan telah dilakukan sesuai dengan rencana semula…” Terlihat bahwa pengawasan dapat menjadi sebuah mekanisme untuk memantau pelaksanaan dari kekuasaan yang diberikan tersebut agar dapat terwujud pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab. 110 Sesuai dengan judul dan ruang lingkup pembahasan dari penelitian ini maka pembahasan dari subjek yang diawasi di dalam Mahkamah Konstitusi adalah hanya terhadap hakim yang terdapat dalam Mahkamah Konstitusi atau Dapat kita artikan secara tegas ada dua subjek yang seharusnya mendapatkan pengawasan di dalam Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan kekuasaan kehakimanya yaitu Hakim dan aparatur pemberi dukungan teknis maupun administratif di Mahkamah Konstitusi. 109 Ansyahrul. Loc. Cit. hlm. 227. 110 Ahmad Fadlil Sumadi, Loc. Cit. hlm. 184. Universitas Sumatera Utara disebut Hakim Konstitusi. Dalam hukum normatif sesuai dengan Pasal 1 angka 7 UU No. 482009 mendefinisikan Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi maka kewenangan dari Hakim Konstitusi sesuai kewenagan dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri pada Pasal 24 C ayat 1 dan 2 UUD RI 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final sesuai Kewenangan kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Pengawasan terhadap Hakim Konstititusi ini penting dilakukan karena menurut Suparman Marzuki, 111 111 Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101. “Pengawasan terhadap Hakim diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim berintegritas tinggi, jujur, dan profesional dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam keseharianya…” Ketika Hakim Konstitusi sudah dapat menjaga karakternya sesuai dengan idealitas hakim seharusnya maka pelaksanaan dari kekuasaan yang diserahkan oleh rakyatpun dapat berjalan baik. Dapat disimpulkan pada bagian ini, subjek yang menjadi pengawasan dari pengawasan terhadap Hakim Konstitusi adalah Hakim yang terdapat dalam Mahakamah Konstitusi. Pengawasan ini muncul karena kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh hakim tersebut sehingga untuk dapat menjamin agar Hakim Konstitusi tersebut dapat menjalankan amanahnya secara jujur dan professional maka dibutuhkanlah pengawasan terhadap dirinya. Universitas Sumatera Utara 2. Objek yang Diawasi Hakim Konstitusi merupakan jabatan terhormat nobile officium sebagai subjek yang diawasi dalam penelitian ini memiliki karakter, fungsi, dan kewenangan dalam cabang kekuasaan kehakiman yang khas maka objek pengawasan dari sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi haruslah memiliki tujuan utama untuk memastikan bahwa agar menjamin semua Hakim Kontitusi berintegritas tinggi, jujur, dan profesional dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam keseharianya. Untuk dapat memelihara kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dimilikinya maka manurut Ahmad Fadlil, 112 Ansyahrul memberikan pandanganya terhadap urgensi dari eksistensi dari Kode Etik dan Perilaku sebagai berikut, “…dibentuklah Kode Etik dan Perilaku Hakim yang merupakan instrumen dan sekaligus tolak ukur yang harus terimplementasikan di dalam pelaksanaan tugas yudisialnya maupun diluar itu. Etika dan perilaku Hakim Konstitusi inilah yang harus dapat dibentuk dan dipertahankan untuk selalu memiliki karakter ideal seorang hakim Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sehingga dapat kita katakana etika dan perilaku inilah yang menjadi objek dari pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. 113 Idealnya setiap profesi memiliki kode etik atau code of conduct. Kode Etik ini merupakan serangkaian aturan tertulis yang mengatur cara berperilaku yang pantas dan etis dalam suatu kumpulan norma sekelompok orang. Kode etik ini diinstitusionalisasikan ke dalam sistem nilai dan budaya organisasi untuk menjadikan pegangan bagi individu-individu dalam 112 Ahmad Fadlil. Loc. Cit. hlm. 217. 113 Ansyahrul. Loc. Cit. hlm 212. Universitas Sumatera Utara organisasi tersebut karena berkaitan dengan aspek moralitas, kode etik ini penting sekali keberadaanya dalam setiap organisasi modern untuk mencegah munculnya penyalagunaan wewenang dan kekuasaaan, perbuatan asusila, pelanggaran hukum, dan bentuk-bentuk misconduct lainya. Pengawasan terhadap pelaksanaan dari Kode Etik dan Perilaku dari Hakim Konstitusi inilah yang dapat menjamin agar Hakim Konstitusi menggunakan kekuasaanya sebagaimana idealnya.Pentingnya kemuliaan etika dan perilaku dari seorang hakim inilah yang juga melatarbelakangi persyaratan untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi dalam Konsitusi Indonesia pada Pasal 24 C ayat 5 UUD RI 1945 menyebutkan, “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.” Akantetapi kembali kepada hakikat sebagai seorang manusia normal maka Hakim Konstitusipun memiliki kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilaku tersebut, menurut Nietzsche, 114 114 Ansyahrul. Loc. Cit. hlm 213. Manusia itu mahkluk yang kontradiktoris dan kompleks. Secara emosional kita mampu melakukan kejahatan-kejahatan justru karena kita mampu hidup dalam keadaan yang persis berlawanan dengan kejahatan tersebut yakni keutamaan virtue. Keutamaan menjadi tidak nyata seandainya ia tidak memiliki alternatif yang berlawanan yaitu kejahatan evil, ketika kita memasukan konsep moralitas pada diri kita maka akan ada kemungkinan juga kecenderungan untuk bertindak immoral. Kemungkinan untuk melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi karena sifat dasar manusia yang cenderung dapat berubah-ubah maka dari itulah diperlukan pengawasan terhadap Etika dan Perilaku Hakim Konstitusi agar tetap menjaga moralitas pada dirinya untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Universitas Sumatera Utara Pengejawantahan lebih lanjut dari standar moral seorang Hakim Konstitusi yang terdapat dalam Konstitusi tersebut diatur pada peraturan turunanya yang diatur Pasal 27B huruf a angka 4 UU No. 82011 mengatur, “Untuk menjaga dan menegakan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, keadilan, dan keneragawanan Hakim Konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.” Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi ini sebenarnya telah diatur lebih rinci semenjak Mahkamah Konstitusi didirikan yang pada akhirnya setelah mengalami beberapa kali penyempurnaan, peraturan yang berlaku mengatur saat ini yaitu dalam Peraturan Mahkmah Konstitusi Nomor 09PMK2006 tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Substansi dari Etik dan Perilaku yang diatur dalam peraturan tersebut terdapat dalam prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Prinsip Independensi Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. b. Prinsip Ketidakberpihakan Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang Universitas Sumatera Utara terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya. c. Prinsip Integritas Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk- rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan. d. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. e. Prinsip Kesetaraan Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama equal treatment terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan- alasan lain yang serupa diskriminasi. Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan. f. Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan professional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, danatau pengalaman dalam Universitas Sumatera Utara pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan. g. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar, tetapi tegas dan lugas. Dapat disimpulkan objek dari pengawasan terhadap Hakim Konstitusi adalah etika dan perilaku dari hakim tersebut. Ketika etika dan perilaku dari seorang Hakim Konstitusi telah memenugi standar ideal dari Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi hal ini dapat memaksimalkan fungsi dari seorang hakim dalam mengadili suatu perkara dan meminimalisir terjadinya penyalangunaan kekuasaan yang dimilikinya. Mahkamah Konstitusi telah berupa menyusu standar ideal dari karakter yang harus dimiliki seorang Hakim Konstitusi sehingga benar-benar menjiwai amanah yang diberikan kepadanya. 3. Subjek yang Mengawasi Unsur selanjutnya dari sistem pengawasan terhadap Etika dan Perilaku dari Hakim Konstitusi yaitu subjek yang melakukan pengawasan atau bisa disebut sebagai pengawas. Memformulasikan siapa yang menjadi pengawas terhadap Hakim Konstitusi haruslah tepat agar akuntabilitas peradilan tercipta untuk mendukung independensi peradilan, untuk itulah Bambang Widjajanto mencoba memberikan standar kepada pengawas, 115 115 Bambang Widjojanto, Loc. Cit. hlm 142. “…pengawas dalam peradilan haruslah orang-orang orang-orang yang memiliki profesionalitas dan integritas dalam Universitas Sumatera Utara melakukan pengawasan.” Untuk itulah pemilihan pihak yang dapat menjadi pengawas terhadap Hakim Konstitusi haruslah dikaji secara cermat dan tepat. Untuk melihat siapa yang sebenarnya menjadi pengawas untuk mengawasi Hakim Konstitusi maka kita dapat membandingkanya dengan konsep bentuk pengawasan pada pemerintahan secara umum menurut Paulus Effendi Lotulung diuraikan sebelumnya menyatakan, 116 Pembahasan akan dimulai terlebih dahulu dari pengawas internal terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Struktur yang secara internal kelembagaan mengawasi Hakim Konstitusi saat ini seperti yang telah dibahas sebelumnya dilaksanakan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi, menurut Pasal 1 angka 2 PMK No.22013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi yaitu perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakan kehormatan, Diitinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol terdiri dari kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri dan kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah. Konsep tersebut jika kita aplikasikan untuk melihat siapa yang menjadi pengawas dalam pengawasan terhadap Hakim Konstitusi maka dapat kita katakan pengawas dapat kita klasifikasikan dua yaitu pengawas internal berarti pengawas yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi sendiri sedangkan pengawas eksternal berarti pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar peradilan Mahkamah Konstitusi. 116 Ahmad Basuki, Loc. Cit. hlm. 62. Universitas Sumatera Utara keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama.” Seperti telah dibahas secara khusus pada bab sebelumnya, secara keanggotaan telah disampaikan sebelumnya sesuai Pasal 6 PMK No.22013, “Dewan Etik memiliki Struktur Keanggotaan yang tediri atas 1 satu orang mantan Hakim Konstitusi, 1 satu orang akademisi dan 1 satu orang tokoh masyarakat”. Lebih lanjut dikatakan pada Pasal 9 ayat 1 PMK No.22013 mangatur, “Keanggotaan Dewan Etik dipilih oleh Panitia Seleksi yang bersifat independen.” Dari peraturan ini terlihat sekilas Dewan Etik ini dibentuk sebagai lembaga diluar struktur Mahkamah Konstitusi dengan unsur keanggotaan yang dari luar Mahkamah Konstitusi dan Panitia seleksipun dinyatakan harus independen. Disinilah muncul area abu-abu gray area dari keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi berhubungan dengan strukturnya dengan Mahkamah Konstitusi. Jika kita melihat kembali aturannya, sudah tegas dinyatakan dari definisi pada Pasal 1 angka 2 PMK No.22013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi”, jika kita menelaah lebih jauh pada Pasal 9 ayat 2 menyatakan, “Keberadaan Panitia Seleksi keanggotaanya dipilih dalam Rapat Pleno Hakim Konstitusi”. Kemudian pada Pasal 10 PMK No. 22013 mengatakan, “Sekretariat dari Dewan Etik juga ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah.” Keberadaan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi ini jelas tidak bisa terlepas dari struktur dan tindakan dari Mahkamah Konstitusi khususnya Hakim Konstitusi. Universitas Sumatera Utara Jadi dapat ditegaskan, keberadaan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi juga masih merupakan bagian internal dari struktur Mahkamah Konstitusi berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi dan keberadaanya yang harus dibentuk dengan mekanisme dari Mahkamah Konstitusi maka jelaslah Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan struktur yang dapat diklasifikasikan sebagai pengawas internal terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Melengkapi analisa mengenai konsep pengawasan internal, menurut Ahmad Fadlil Sumadi, 117 Selanjutnya kita akan membahas pengawas eksternal terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. seperti yang telah dianalisis dan dikaji dalam bab sebelumnya bahwa pengawas dari Hakim Konstitusi selain Dewan Etik Hakim Konstitusi ada pula Komisi Yudisial dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Namun sesuai pembahasanya yang telah diuraikan sebelumnya pula, kekuasaan pengawasan dari Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi telah Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional, dengan penjabaran sebagai berikut pengawasan melekat merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan sedangkan pengawasan fungsional merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut. Dari pembahasan sebelumnya sudah terlihat jelas bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai pengawas internal merupakan ketegori pengawasan fungsional karena merupakan struktur yang dibuat khusus oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan kewenangan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. 117 Ahmad Fadlil Sumadi, Loc.. Cit. hlm. 180. Universitas Sumatera Utara dihilangkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005PUU-IV2006 sedangkan keberadaan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi telah dihilangkan keberadaanya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1- 2PUU-XII2014. Dari pembahasan ini kita dapat melihat telah terjadi kembali kekosongan hukum recht vacuum dalam sistem pengawasan terhadap Hakim-Hakim Konstitusi dari kelembagaan eksternal, padahal telah terjadi fakta empiris penyalahgunaan kekuasaan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi akibat lemahnya pengawasan terhadap Hakim Konstitusi untuk itulah perlu penguatan pengawas terhadap Hakim Konstitusi dengan menambahkan pengawas eksternal yang benar- benar independen agar pengawasan internal dan eksternal dapat saling melengkapi. 4. Proses Pengawasan Setelah sudah semakin jelas sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam penelitian ini, mulai dari subjek yang diawasinya adalah Hakim Konstitusi, objek pengawasanya adalah Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, dan subjek yang mengawasinya atau pengawasnya untuk saat ini yang masih berfungsi adalah Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya yang kita akan bahas adalah bagaimana institusi ini menegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi melalui pengawasanya dan direlevansikan dengan berbagai doktrin tentang pengawasan. Universitas Sumatera Utara Untuk dapat melihat proses dari pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi maka kita dapat meninjau berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, dari kewenangan ini akan terlihat bagaimana Dewan Etik Hakim Konstitusi dapat melaksanakan fungsinya sebagai penjaga dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi dinyatakan, Dewan Etik Hakim Konstitusi untuk melaksanakan tugasnya sesuai pada Pasal 4 PMK No. 22013 mempunyai wewenang sebagai berikut, a. memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; b. memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga melakukan pelanggaran, pelapor, serta pihak lain yang berkaitan; c. memberikan teguran lisan atau tertulis kepada Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; d. mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, serta dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggaran telah mendapat teguran lisan danatau tertulis sebanyak 3 tiga kali. Dari kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi tersebut kita akan menganalisa bentuk pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi terhadap Hakim Konstitusi, dimulai dengan doktrin dari Suparman Marzuki menyatakan, ada tiga pendekatan pengawasan hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif, 118 118 Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 102. seperti yang telah diuraikan sebagaimana sebelumnya. Dari 4 kewenangan yang dimiliki Dewan Etik Hakim Konstitusi terlihat ada 2 pendekatan yang relevan yaitu pengawasan dengan Pendekatan Preventif yaitu Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental. Pendekatan Preventif ini terlihat pada kewenangan huruf a. Sedangkan Pengawasan dengan Pendekatan Represif penindakan yaitu dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya. Pendekatan Represif ini teradapat pada kewenangan huruf b dan c dari Dewan Etik Hakim Konstitusi. Hal menarik selanjutnya adalah ternyata yang melakukan pengawasan dengan Pendekatan Represif bukan hanya Dewan Etik Hakim Konstitusi, sesuai kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi pada huruf d yaitu membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi maka setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini terbentuk dengan kewenanganya akan melakukan Pengawasan dengan Pendekatan Represif yaitu sesuai pada Pasal 7 PMK No. 12013, “berwenang, memeriksa dan mengambil keputusan terhadap laporan danatau informasi bahwa Hakim Terlapor diduga melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 2 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, serta tidak melakukan kewajiban dan melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 27B Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.” Dengan kewenangan ini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 8 PMK No. 12013 juga diberikan tugas untuk : a. pengumpulan informasi dan bukti terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor; b. pemanggilan terhadap Hakim Terlapor, pelapor, saksi, dan ahli untuk didengarkan keteranganya; c. pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor; Universitas Sumatera Utara d. penyampaian Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi. Berbeda pula doktrin dari Ahmad Fadlil melengkapi konsep Pengawasan Internal, menyatakan ada dua bentuk Pengawasan berdasarkan Pelaksanaanya, antara lain Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus yaitu proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan regular dan Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif yaitu proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengan cara monitoring, observasi, konfirmasi, danatau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. 119 Pengawasan Internal dengan Pelaksanaan Pasif ini juga memiliki perbedaan dari pihak yang melakukan tindakan sebelumnya untuk direspon Dewan etika yaitu permohonan atau pengaduan. Pada huruf b,c,dan d memang sesuai dengan doktrin yang yang mengatakan bergantung pada pengaduan dari Dari kewenangan a,b,c dan d dapat kita lihat bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi melakukan pengawasan setelah aksi atau tindakan dari pihak lain atau merupakan respon dari pihak lain. Jadi Dewan Etik tidak dapat melaksanakan fungsinya ketika tidak ada perbuatan atau aksi dari pihak lain sehingga terlihat Dewan Etik tidak memiliki Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus- menerus. Dapat dikatakan Dewan Etik dalam melaksanakan kewenangannya merupakan pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif cara monitoring, observasi, konfirmasi, danatau investigasi berdasarkan permohonan atau pengaduan yang terdapat pada kewenangan pada huruf a,b,c,dan d. 119 Ahmad Fadlil Sumadi, Loc.. Cit. hlm. 182. Universitas Sumatera Utara masyarakat, akantetapi pada huruf a terlihat suatu konsep yang berbeda ternyata Pengawasan Pasif ini tidak hanya terbatas dari masyarakat akan tetapi juga bisa dari pihak Hakim Konstitusi sendiri dengan meminta pendapat kepada Dewan Etik terhadap suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran.

B. Perspektif Independesi Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi