Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Sejarah membuktikan bahwa apabila zakat dilaksanakan dengan sebaik- baiknya, maka dapat menjadi alat penting dalam mengatasi kemiskinan. Sebagai
contoh, pada masa Umar bin Khattab tidak ada seorangpun yang dapat diberikan derma shadaqah, sebab Umar sangat jeli dalam membuat kebijakan mengenai
zakat. Pada masa ia melakukan penambahan beberapa jenis barang yang dizakati, di antaranya kuda dan madu. Juga sebaliknya, ia pernah menangguhkan
pengumpulan zakat dari orang kaya dan membebaskan seluruhnya atas kaum miskin ketika arab dilanda musim kemarau dan kelaparan
4
. Kepiawaian Umar dalam menetapkan startegi pembangunan sosial-ekonomi menjadikan baitul maal
surplus hingga 180 juta dirham
5
. Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan transfer
kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya miskin. Transfer kekayaan berarti transfer sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan
mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis; umpamanya saja, seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakannya untuk berkonsumsi atau
berproduksi
6
Dengan zakat maka distribusi harta akan lebih merata dan tidak hanya bertumpuk pada seseorang atau golongan saja. Berarti zakat akan meningkatkan
daya beli masyarakat yang berimplikasi pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Tingginya daya beli akan mengakibatkan meningkatnya
4
Irfan Mahmud Raana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet, ke-3, h.88.
5
A Karim Adiwarman , “Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi”, Paper yang
disampaikan pada seminar nasional ekonomi islam, secoND, 2001
6
M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Mekkah Menuju Ekonomi Islam,
Bandung:Mizan, 1989, h. 145.
permintaan. Hal ini berarti, naiknya tingkat produksi dan terbukanya lapangan pekerjaan. Melalui pekerjaan inilah upaya manusia untuk melepaskan diri dari
kemiskinan dan keterbelakangan sebagai salah satu objek pemberdayaan ekonomi umat, akan mudah teraktualisasi.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpul
zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvesional yang secara jelas
dinyatakan dalam al-Quran dan al-Hadis dengan persyaratan tertentu. Oleh karena itu salah satu pembahasan penting dalam fiqh zakat adalah menentukan
sumber-sumber harta yang wajib dikeluarkan zakatnya al-amwaal az- zakawiyyah apalagi bila dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Dengan demikian, bila pemerintah dapat berperan aktif dalam proses
pengelolaan zakat, dan secara intensif membina dan menfasilitasi Badan Amil Zakat BAZ atau Lembaga Amil Zakat LAZ di daerahnya, maka dana zakat
dapat dikelola secara profesional dan bertanggung jawab, serta dapat disalurkan secara
tepat untuk
kepentingan masyarakat
kurang mampu
dalam mengembangkan
usaha perekonomian
sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan.
Dalam karangan
M Dawam Rahardjo “Zakat Dalam Perspektif Sosial Ekonomi” beliau memberi komentar mengenai masalah zakat, yaitu bahwa zakat
di satu pihak terlalu banyak dibicarakan secara teoritis, tanpa atau kurang
mengkaitkan dengan aspek pengalaman dan pelaksanaan. Tapi di lain pihak, kita juga melihat bahwa ternyata berbagai kalangan tanpa banyak bicara telah
menjalankan usaha pengembangan zakat secara kongkrit dengan hasil yang menimbulkan harapan
7
. Zakat berperan signifikan dalam distirbusi pendapatan dan kekayaan.
Kata zakat dalam al- Qur‟an selalu dirangkaikan dengan shalat dan disebut
sebanyak 82 kali. Kata lain zakat diungkap dengan “ shadaqah‟ seperti dalam surat: al-
Baqarqh: 103, “haq” al-An‟am: 141, dan “nafaqah“ al-Bara‟ah: 34. Lihat pula al-Maidah: 12, Maryam: 31,55, dan al-
Bara‟ah: 60.
8
Al- Qur‟an
dan As-Sunnah Nabi yang merupakan penjabaran al- Qur‟an hanya menyebut
secara eksplisit 7 tujuh jenis harta benda yang wajib dizakati beserta keterangan tentang batas minimum harta yang wajib dizakati nisab dan jatuh tempo
zakatnya, yakni, emas, perak, hasil tanaman, dan buah-buahan, barang dagangan, ternak, hasil tambang, dan barang temuan rikas Selain zakat yang disebutkan
dalam al- Qur‟an dan al-Hadis, masih ada macam zakat yaitu mengenai zakat
profesizakat penghasilan. Zakat ini dikemukakan oleh Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahra dan Abdul Wahab Khalaf dalam ceramahnya tentang
zakat di Damaskus pada tahun 1952. “Pencarian dan profesi dapat diambil
zakatnya bila sudah setahun dan cukup nisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, dan Abu Yusuf bahwa nisab tidak perlu harus tercapai
sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang
7
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat LSAF, 1999, cet. I, h. 502
8
Dr. Abbas Ahmad Sudirman, M.A. Konsep Ekonomi Islam, dan Upaya Pencegahan Penyimpangan, Cet I Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, h. 27
di tengah-tengah. Kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian setiap tahun, karena
hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun, bahkan kebanyakan mencapai dua sisi ujung tahun tersebut. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil pencarian
sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat penyebab yang menurut ulama- ulama fiqh sah, dan nisab yang merupakan landasan wajib zakat ”.
9
Mengenai besar zakat, mereka Abdr-Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khalaf mengatakan, “ pencarian dan profesi, kita tidak
menemukan contohnya dalam fiqh, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan oleh Ahmad. Ia berpendapat tentang seseorang yang
menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa
persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencarian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
10
Profesi yang dikenal di Indonesia seperti pegawai negri, swasta, dokter, advokat, guru, dll, yang dengan hasil dari profesinya dapat menghasilkan uang.
Adapun mengenai zakat dari hasil penyewaan rumah, kios atau kontrakan belum banyak diketahui oleh banyak masyarakat Kp. Sukapura, yang mayoritas
masyarakat pribumi banyak yang membangun rumah-rumah untuk disewakan bagi para pendatang dari luar Jakarta. Oleh sebab itu potensi masyarakat Kp.
Sukapura mengenai zakat rumah kontrakan itu sangat besar, karena pembangunan
9
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur‟an dan Hadits, Penerjemah Salman Harun, Didin Hafidhuddin, Hasanuddin.
Bogor: Pustaka Letera Antarnusa, 1996. h. 459
10
Yusuf Qardhawi, Bogor: Pustaka Letera Antarnusa, 1996. h. 460-461
rumah-rumah kontrakan ini dimulai sejak tahun 1975. Tetapi pada tahun itu 1975 rumah kontrakan masih menyatu dengan rumah pribadi dan hanya dibatasi
oleh tembok, ini terjadi bagi tuan rumah yang tidak mempunyai modal untuk membuat rumah kontrakan terpisah, dan bagi orang pribumi yang mempunyai
modal maka ia akan membangun rumah kontrakan terpisah dari rumah pribadi. Pada tahun itu juga masih sangat sedikit orang-orang yang merantau ke Kp.
Sukapura ini. Kemudian pada tahun 1991, mulailah orang-orang pribumi membangun
rumah kontrakan terpisah, ini bertepatan dengan para pendatang dari luar Jakarta yang ingin mencari pekerjaan di Jakarta, dan bertepatan pula dengan dibangunnya
pabrik-pabrik di Kawasan Berikat Nusantara KBN . Tujuan utama dari diwajibkannya zakat atas umat Islam adalah untuk memecahkan problem
kemiskinan, meratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan negara. Dan tujuan ini tidak akan tercapai apabila pelaksanaan zakat diserahkan
sepenuhnya kepada kemauan para wajib zakat. Demikian pula kalau zakat dikelola oleh bada-badan amil zakat non pemerintah yang jumlahnya tidak
terbatas, jumlahnya pengawasan, pengendalian, dan pembinaan pemerintah seperti sekarang ini.
11
Dalam pengembangan dan pengelolaan dana zakat, kiranya perlu dipakai beberapa pendekatan untuk bisa tetap memelihara fungsi zakat:
Pertama, zakat perlu dilihat sebagai ibadah yang menyangkut nilai-nilai spiritual dan transendental. Di sini zakat bersifat sangat pribadi di mana
11
Yusuf Qardhawi, Bogor: Puataka Letera Antarnusa, 1996. 37-38.
pembayar zakat harus bisa merasakan dan harus dapat mencapai kepuasan batin sebagai seorang yang menunaikan rukun Islam yang ke-3. Segi ini harus dijaga
jangan sampai muzakki tidak bisa merasakan nilai-nilai ini karena berbagai peraturan penyelenggaraannya.
Kedua, zakat perlu dilihat dari segi syariah. Di sini kita harus meninjau ketentuan-ketentuan syara yang bersumber pada al-Quran dan Hadis. Seperti
telah dikemukakan segi syariah ini mengandung berbagai masalah sehubungan dengan penyesuaian penyelenggaraan zakat sesuai dengan perubahan sosial
ekonomi. Ketiga, zakat perlu dilihat dari segi muamalah, di mana kita harus
memikirkan pelaksanaan zakat untuk mencapai manfaat yang optimal. Di sini zakat merupakan manisfestasi hubungan antara sesama manusia. Fungsi sosial ini
tidak bisa dilaksanakan dan mencapai manfaat yang optimal apabila kita tidak mengetahui struktur dan fungsi sosial. Penelitian sosial ekonomi perlu dilakukan
agar kita bisa membuat interpretasi yang lebih tepat tentang mustahik zakat atau asnaf tsamaniyah.
Keempat, kita harus mendekati zakat dari segi tekhnis ekonomi. Misalnya dengan menyelidiki jenis-jenis pendapatan dan kekayaan dan menghitung kadar
zakat. Dengan kata lain perlu melakukan pengkajian sosial ekonomi dalam rangka memperluas basis zakat
12
Menurut Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A., zakat merupakan ibadah yang merupakan memiliki dimensi sosial yang berfungsi sebagai sarana
12
M. Dawam Rahardjo, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat LSAF, 1999. h. 513
untuk mewujudkan solidaritas sosial, pengentas kemiskinan, pembiayaan pendidikan, pertolongan terhadap orang-orang yang menderita dan kegiatan sosial
lainnya. Zakat akan berfungsi sebagai sumber perekonomian rakyat jika dikelola dengan baik, profesional, dan bertanggungjawab.
13
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengangkat judul:
“POTENSI ZAKAT RUMAH KONTRAKAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
” Studi Kasus di Kel. Sukapura Kec. Cilincing Jakarta Utara