yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” Crofton, 1987, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” addition satu macam obat hanya akan menambah panjang
daftar obat yang resisten. 5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
sehingga mengganggu bioavailabiliti obat. 6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan 7. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan
kejemuan. 8. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
9. Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru. Pedoman Diagniosis dan penatalakasanaan di Indonesia, 2006
2.5 Diagnosis TB MDR
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam BTA tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit
Universitas Sumatera Utara
dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu a. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan
tidak sesuai standar terapi; b. Kontak dengan kasus TB resistensi ganda;
c. Gagal terapi atau kambuh; d. Infeksi Human Immnodeficiency Virus HIV;
e. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB Menurut Soepandi 2010 dalam penelitian Diagnosis dan Penatalaksanaan
TB MDR, suspek pasien TB MDR teerjadi dengan penyebab sebagai berikut : Suspek TB-MDR Pasien yang dicurigai TB-MDR adalah:
1. Kasus TB paru kronik: dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori dua. 3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon
dan kanamisin. 4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori satu.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori satu.
6. TB paru kasus kambuh. 7. Pasien TB yang kembali setelah lalaipada pengobatan kategori satu dan atau
kategori dua. 8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR. Pasien yang memenuhi kriteria „suspek‟ harus dirujuk ke laboratorium dengan
Universitas Sumatera Utara
jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai. Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru
ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi
resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi.
Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik
secara rutin.
2.6 Mekanisme Resistensi