PEMALSUAN IDENTITAS SEBAGAI PENYEBAB PEMBATALAH PERKAWINAN ( Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor: 1852/Pdt.G/2009/PAJT)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah

OLEH:

MUHAMAD MUSLIH NIM 107044100491

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432H/2011M


(2)

(3)

(4)

(5)

iii

telah membuat peraturan-peraturan untuk ketertiban pelaksanaan pernikahan tersebut dan mempertegas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan sanksi bagi yang melakukannya.

Pelanggaran masyarakat terhadap rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, salah satunya adalah pemalsuan identitas yang dilakukan salah satu pelanggar, baik secara sengaja atau tidak. Pemalsuan identitas ini akan berdampak buruk terhadap kelanjutan pernikahan karena semakin bergulirnya waktu maka akan terjadi permasalahan perkawinan yang diakibatkan oleh pemalsuan identitas.

Pejabat Kantor Urusan Agama yang mendukung suami untuk melaksanakan kasus pemalsuan identitas dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah kasus pemalsuan identitas yang kerap terjadi di masyarakat.

Gugatan perkara permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Penghulu Kantor Urusan Agama kepada majelis hakim dipandang sejalan dengan peraturan karena akan menertibkan proses pencatatan perkawinan keluarga diindonesia dan hal tersebut akan melindungi Penghulu dari jeratan pidana. Oleh alasan tersebut maka majlis hakim membatalkan pernikahan itu.


(6)

iv

berkekuatan hukum. Hal tersebut berakibat hanya membatalkan pernikahan kedua saja, maka pernikahan masih tetap berlangsung dengan menggunakan akta nikah pertama.


(7)

v

izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai bagian akhir dari tugas akademis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa ajaran islam bagi umat manusia. Semoga tercurah pula kepada keluarga, sahabat-sahabat beliau, serta seluruh umatnya yang setia.

Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dorongan dan pertolongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Bapak:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM., sekaligus sebagai seorang figur yang penulis kagumi.

2. Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhsiyah, sekaligus selaku pembimbing skripsi ini, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., Sekretaris Program Studi Ibu Hj. Rosdiana, MA., serta Dosen Pembimbing Akademik, Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. Terima kasih atas bantuan, perhatian serta arahan yang selama ini diberikan.

3. Penguji skripsi ini, Bapak Dr.H.A. Juaini Syukri, Lc, MA dan Bapak Dr.Moh. Ali Wafa, S.Ag., M.Ag. Terima kasih atas perhatian dan arahan yang di berikan.


(8)

vi mengarungi samudra kehidupan.

5. Pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pelayanan administrasi selama masa studi penulis.

6. Pimpinan dan seluruh staff perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Darus Sunnah yang telah memfasilitasi penulis dengan berbagai referensi literatur.

7. Pimpinan, Hakim dan seluruh staff Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah memfasilitasi penulis dengan berbagai dokumen yang penulis butuhkan, khususnya Drs H. Wakhidun AR, SH, M.Hum, selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur. Ibu Hj. Yustimar B., S.H., selaku Ketua Majlis Hakim yang menangani perkara yang penulis pilih, terima kasih atas waktu dan nasihat yang di berikan pada penulis.

8. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.selaku khadim ma’had Darus Sunnah sekaligus guru dan orang tua penulis yang sangat penulis kagumi. Terima kasih atas nasihat dan doanya selama penulis mondok 4 tahun di pesantren Darus Sunnah. Dan segenap Dosen High Institute For Hadith


(9)

vii

penulis, keduanya selalu hadir di hati penulis, sangat besar jasa beliau dalam membimbing, mengarahkan dan membesarkan penulis.

10.Teman-teman seperjuangan di Darus Sunnah selama 4 tahun masa studi, teman-teman seperjuangan di kelas Peradilan Agama B selama 4 tahun masa studi, teman-teman Kuliah Kerja Sosial, KKS Hijau UIN Jakarta selama 1 bulan di sukabumi. Teman-teman penulis di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, PMII, HMI dan RIAK, Teman-teman di Felix dan Dilema Band.

11.Seluruh teman di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa menyapa dan tersenyum saat bertemu di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan selesainya karya tulis ini, penulis tentunya sangat mengaharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi meningkatkan kualitas keilmuan penulis

Wallahu A’lam bi al-Shawab

Ciputat, 14 Juni 2011


(10)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ………. ii

ABSTRAKSI ………. iii

KATA PENGANTAR ……….. v

DAFTAR ISI ………. ix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan masalah ……….. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 10

D. Kerangka Teori ………... 12

E. Review Studi Terdahulu ………. 13

F. Metode Penelitian ………... 16

G. Sistematika Penulisan ………. 20

BAB II PEMBATALAN NIKAH DAN PEMALSUAN IDENTITAS …... 23

A. Pengertian Pembatalan Nikah ……….. 23

B. Faktor dan Akibat Pemalsuan Identitas ……… 30

C. Hikmah Pembatalan Nikah ………... 38

BAB III POTRET PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR ……….. 42

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama ……….. 42


(11)

ix

B. Landasan Yuridis Putusan ………... 56

C. Penetapan Pengadilan Agama ………. 58

D. Analisa Penulis ……… 60

BAB V PENUTUP ……… 63

A. Kesimpulan ………...…………. 63

B. Saran-saran ……… 64

DAFTAR PUSTAKA ……….. 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN: ……… 68

1. Tentang Putusan Perkara Nomor 1852/Pdt.G/2009/PAJT ………. 68

2. Tentang Wawancara Pribadi dengan Hj. Yustimar B., S.H. …………... 78

3. Tentang Wawancara Pribadi dengan Bapak Abd Manan SAg. ………… 81

4. Tentang Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur ………. 84

5. Tentang Laporan Perkara Bulanan PA Jakarta Timur ……… 85


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, manusia dibekali dengan keinginan untuk melakukan pernikahan, karena pernikahan itu adalah salah satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang dijalankan berdasarkan tuntutan agama. 1

Allah SWT menciptakan manusia dengan segala fitrah yang beraneka ragam, begitupula perubahan zaman semakin berkembang pesat dalam segala hal dalam kehidupan manusia. Fenomena ini menimbulkan begitu kompleksnya tingkah laku manusia yang bermacam-macam, bahkan diantaranya mencakup aktifitas yang menyentuh nilai-nilai agama akan kebolehannya untuk dilakukan atau harus ditinggalkan. Hal ini berkaitan dengan keadaan Undang-Undang Perkawinan yang harus memiliki asas-asas yang dipandang cukup prinsipil, salah satunya yaitu menampung segala keyakinan-keyakinan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia. 2

1Asrorun Ni‟am Sholeh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 3.

2


(13)

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna

al-wath’i dan al-dammu wa al-jam’u wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ’ibarat ’an al-wath’ al-’aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 3 Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata ”kawin” yanُ menurut bahasa artinya membentuk keluarُa denُan lawan jenis,melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 4 Perkawinan di sebut juga

”pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya

mengumpulkan, saling memasukkan dan di gunakan untuk arti bersetubuh (wath‟i). 5

Untuk lebih jelasnya, menurut Wahbah al-Zuhaily, perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan antara laki-laki dengan seorang wanita atau melakukan ”perkumpulan” selama wanita tersebut bukan yang diharamkan, baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan. 6

3

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), Juz VII, h. 29. Lihat pula Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, (Sinُapura: Sulaiman Mar‟iy,

t.t), juz 2, h.30. Kemudian lihat pula Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), jilid 2, h.37. Kemudian lihat pulaWJS oerwadanminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), cet.ke-6, h.453.

4

DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi kedua, h. 456. Lihat pula Imam Abu Husain Ahmad bin Muhammad bin Ja‟َar al-Baghdadi al-Qaduri,

Al-Fiqh Al-Muqaranah At-Tajrid, (Kairo: Darussalam, 2006 M/1427H), Jilid 9, h.4239. Kemudian lihat pula Louis Ma‟luَ, Al-Munjid, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), cet. Ke-26, h.836.

5

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t.), Jilid 3, h. 109. Lihat pula Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Kitab Al-Ta’rifat, (Beirut: Dar Kutub al-„Ilmiyah, 1988), cet.ke-3, h 246. Kemudian lihat pula Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Tafsir Al-Quran, 1973), cet. Ke-1, hal 467. Kemudian lihat pula Jalaluddin Al-Mahally, Minhaj Al-Thalibin, (Al-Qahirah: Ihya Kutub Al-Arabiyah, 1950), Juz III, h.321. Kemudian lihat pula Abdurrahman AlJazini, Kitab Fiqih ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mishr: Al-Maktabah At-Tijariyatul Kubra), Juz IV, h.2.

6


(14)

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian dan tujuan pernikahan dinyatakan pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah kepada Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk terciptanya keluarga yang sejahtera selamanya dan bukan untuk waktu yang singkat, lebih jelasnya disebutkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjelaskan tujuan pernikahan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.7 Adapun prinsip perkawinan dalam al-Quran diantaranya adalah prinsip kebebasan memilih jodoh, prinsip mawadah wa rahmah, prinsip saling melengkapi, prinsip melindungi dan prinsip mu’asarah bi al-ma’ruf. 8

Baru-baru ini ada satu masalah yang sedang melanda banyak keluarga di masyarakat yaitu memalsukan identitas agar bisa melakukan pernikahan. Salah satu alasan seorang laki-laki yang telah memiliki istri melakukan pemalsuan identitas agar bisa menikahi perempuan lain tanpa adanya predikat buruk dari masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat tentang negatifnya poligami. Isu yang terkait dengan Undang-Undang Hukum Keluarga

7

Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan ), Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam tentang Pengertian Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 2.

8

Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender dan The Asia Foundation, 1999), h. 11. Kemudian lihat pula Ali Asghar Maarid, Silsilatul


(15)

adalah pelarangan terhadap poligami. Menurut sebagian pengusung gagasan ini, teks di dalam al-Quran mengandung pesan bahwa prinsip pernikahan itu monogami, karena itu poligami itu harus dilarang. Selain itu diperoleh begitu banyak fakta tentang dampak buruk dari poligami, karena itu mereka mengusulkan supaya poligami itu dilarang melalui Undang-Undang. Pelarangan poligami dalam materi Undang-Undang Hukum keluarga Islam telah mengingkari kenyataan, memang betul agama islam tidak menyuruh poligami, tetapi juga tidak melarang poligami, tetapi yang lebih utama itu tidak melakukan poligami. 9

Berbicara mengenai pemalsuan identitas sebagai alternatif untuk tidak melaksanakan poligami, hal ini tentunya akan menjadi sebab segala masalah, diantaranya talak, gugat cerai dsb. Dalam talak ada istilah mediasi untuk mencegah terjadinya talak, mediasi dalam kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 tentang keharusan melaksanakan mediasi bagi hakim dalam berperkara di pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No. 1 Tahun 2008 tentang keharusan melaksanakan mediasi bagi hakim dalam berperkara di pengadilan, karena mediasi merupakan proses yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan.

9Asrorun Ni‟am Sholeh,


(16)

Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan produr mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. 10

Pemalsuan idenstitas tidak akan terjadi apabila pernikahan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang berlaku. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan antara pria dan wanita yang sama akidah, ahlak dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang teguh kepada agama yang sama, keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda, maka akan timbul berbagai kesulitan dalam keluarga dan dalam proses perizinan pernikahannya pun akan dipersulit. Selain itu pula akan menemukan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi keagamaan dll. 11

10

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum

Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 310. 11

Ahmad Sukardja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 9.


(17)

Pada Pasal 71 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwasanya suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama, lalu Pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Inilah yang menjadi dasar dan landasan hukum dilakukannya pembatalan perkawinan dengan alasan pemalsuan identitas 12

Disebutkan dalam Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam bahwasanya pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi. Hal ini tidak bisa dilakukan apabila ada pemalsuan identitas, akan tetapi selayaknya pejabat yang mengawasi perkawinan lebih tegas meneliti kelengkapan dan keotentikkan identitas calon suami tersebut. 13

Pegawai Pencatat nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran

12

Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 dan Pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 252.

13


(18)

dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ataupun Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan. 14

Motif memalsukan identitas itu tidak hanya dalam proses mengganti dari sudah menikah menjadi lajang, adapula kasus yang mengganti agama Kristen menjadi agama islam terkait tujuan yang ingin dipermudah, hal ini terlihat Pada Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam bahwasanya seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. 15

Dalam persoalan memalsukan identitas ada istilah bukti yang dijadikan objek yaitu hal yang dipalsukan, tidak setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa tersebut. Meskipun alat bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formal atau materill, belum tentu mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan harus mencapai batas minimal pembuktian. 16

Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilaksanakan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila ketika

14 Ibid, h. 246. 15

Ibid, h. 242. 16

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h. 240.


(19)

terjadinya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur, tentang pembatalan perkawinan itu dicantumkan lagi dalam pasal 37 dan 38 Peraturan Pelaksanaan. Kedua Pasal tersebut selain menegaskan lagi apa yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa pembatalan suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan dan permohonan pembatalan itu diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri, juga menentukan bahwa tata cara dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36. 17

Kajian terhadap permasalahan tersebut akan penulis kemas dalam bentuk penelitian dengan judul Pemalsuan Identitas Sebagai Penyebab Pembatalan Perkawinan; Analisis Putusan Perkara Nomor: 1852/Pdt.G/2009/PAJT.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

17


(20)

Permasalahan pemalsuan identitas diangkat untuk menjadi kajian dalam penulisan ini karena penulis melihat realita di jaman sekarang terdapat berbagai macam hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan perkawinan dan salah satu hal yang penulis bahas adalah tentang pemalsuan identitas. Sebagian masyarakat menyadari bahwa pernikahan yang dilakukan melalui identitas yang dipalsukan akan berdampak buruk pada kelangsungan perjalanan pernikahan terutama ketika ada permasalahan keluarga. Sehingga banyak masyarakat yang mengajukan pencatatan pernikahan untuk memperbaharui identitas agar pernikahannya sesuai dengan prosedur yang diberlakukan.

Penulis tertarik untuk meneliti kasus yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang pemalsuan identitas sebagai penyebab pembatalan perkawinan, karena dalam putusannya Majelis Hakim membatalkan upaya pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pihak istri. Majelis Hakim mengabulkan gugatan pihak penghulu KUA untuk membatalkan pencatatan perkawinan tersebut. Hal ini berhubungan dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutuskan batalnya pencatatan perkawinan.

2. Perumusan Masalah

Dalam Undang-Undang Pelaksanaan Perkawinan telah diatur secara sistematis akan identitas sebagai syarat-syarat kelengkapan dalam pelaksanaan


(21)

pernikahan, akan tetapi dalam kenyataannya banyak terjadi pelanggaran terhadap kelengkapan-kelengkapan tersebut, bahkan akhir-akhir ini semakin banyak terjadi kasus, karena tidak adanya ketegasan akan wajibnya. Kasus-kasus yang menyalahi syarat dan rukun nikah diantaranya adalah permasalahan pemalsuan identitas.

Rumusan masalah tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemalsuan identitas bagi masyarakat sehingga menimbulkan pembatalan perkawinan?

2. Kenapa akta nikah baru yang diupayakan istri dalam pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh Majelis Hakim?

3. Bagaimana pertimbangan majlis hakim terhadap putusan nomor 1852/Pdt.G/2009/PAJT?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(22)

b. Untuk mendeskripsikan latar belakang dan hal-hal yang berkaitan dengan identitas yang dipalsukan sebagai penyebab di batalkannya perkawinan.

c. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan bahwa akta nikah yang diupayakan oleh istri dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

d. Untuk memberikan gambaran pengaruh pemalsuan identitas bagi perkawinan dan bagi keluarga sehingga jauh dari keharmonisan dan menyebabkan berbagai masalah penting dalam keluarga dilihat dari solusi hukumnya dan kepastian hukumnya.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat utama dalam penelitian ini bagi penulis adalah untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Maanfaat lain dari penelitian ini bagi penulis adalah untuk lebih memahami tentang pemalsuan identitas yang marak terjadi akhir-akhir ini.

c. Menambah wawasan keilmuan dan lebih kritis dalam menemukan hal-hal baru yang harus diikuti oleh hukum-hukum baru karena setiap perilaku itu mesti ada hukumnya untuk terciptanya kehidupan yang stabil dan harmonis.


(23)

d. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca, para ahli hukum, terutama hukum Islam.

D.Kerangka Teori

Hal yang berkaitan dengan pemalsuan identitas dapat membahayakan terhadap keluarga-keluarga di Indonesia, oleh sebab itu maka harus dibuat hukum yang tegas dari semua pihak, mulai dari pihak pegawai pancatat pernikahan, pihak hakim pengadilan, bahkan para pemerhati hukum pernikahan di Indonesia. Lalu aturan-aturan yang mempersulit untuk melakukan perkawinan hendaknya dikaji ulang, melihat realita di masyarakat akan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.

Pemalsuan identitas akan berdampak negatif karena tidak melakukan syarat-syarat dan rukum pernikahan secara sistematis dan secara aturan yang berlaku, dikarenakan ada hal yang menghalangi seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan, dampak negatifnya akan berdampak terhadap berbagai pihak, mulai dari istri, anak, pihak pegawai KUA dsb.

Seorang pegawai pencatat perkawinan harus bertindak aktif artinya tidak hanya menerima saja yang dikemukakan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu, maka pegawai pencatat menulis dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. Dalam hal ternyata terdapat suatu halangan atau belum


(24)

dipenuhinya suatu syarat untuk melangsungkan perkawinan, maka pegawai pencatat harus segera memberitahukan hal itu kepada yang bersangkutan. 18

E.Review Studi Terdahulu

Tema mengenai pembahasan pembatalan perkawinan telah banyak dikaji dalam bentuk artikel dan karya ilmiah. Namun demikian sejauh penelusuran penulis pembahasan mengenai penelitian pemalsuan identitas sebagai penyebab pembatalan perkawinan terkait dengan sanksi hukum bagi pelakunya, nyaris belum ada yang membahas. Namun ada beberapa penelitian yang dapat penulis temukan terkait dengan pembatalan perkawinan dan pemalsuan identitas. Adapun beberapa penelitian itu diantaranya :

Upaya Pembatalan Perkawinan oleh Istri Akibat Perbuatan Suami Berpoligami Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Pengadilan Agama Bogor Nomor 171/PDT.G/2007/PA.BOGOR)

Nurul Fitri (2003.200.039) – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Dalam skripsi ini dibahas tentang hal-hal yang diupayakan oleh istri terkait dengan pembatalan perkawinan karena suaminya berpoligami. Tergugat 1 (suami) melakukan poligami tanpa adanya persetujuan dari istri pertama baik secara lisan maupun tulisan dan pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi

18


(25)

penipuan atau salah sangka mengenai diri suami, maka berdasarkan putusan Pengadilan Agama Nomor 171/PDT.G/2007/PA.BOGOR perkawinan tersebut dibatalkan. Lalu dalam skripsi tersebut dijelaskan pula tentang pemikiran hakim terhadap hal tersebut tentang upaya istri tersebut tentang perbuatan suami.

Penyelesaian Cerai Gugat Tanpa Akta Nikah (Analisis Putusan Nomor 28/PDT.G/2007/PA.CIBINONG)

Faridah (104044201464) – Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada skripsi ini dijelaskan bahwasanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, suatu perceraian tidak boleh tidak harus ada akta nikah, karena akta nikah merupakan bukti otentik bagi suami istri dalam melakukan perbuatan hukum guna mempertahankan hak-haknya. Akan tetapi pada kenyatannya sesuai penelitian penulis di Pengadilan Agama Cibinong, masih terdapat cerai gugat yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama tanpa ada akta nikah. Hal tersebut yang menjadi pokok bahasan penulis dalam skripsinya.

Problematika Nikah Bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan KUA tentang Nikah, Talak dan Rujuk


(26)

Mohamad Fadly (103044128080) – Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwasanya permasalahan pernikahan bukan hanya permasalahan yang kecil dalam satu keluarga saja, namun juga menyangkut masyarakat secara menyeluruh. Nikah di bawah tangan seakan telah menjadi budaya dan alternatif bagi sebagian orang, yang tidak ingin terikat dengan undang-undang dan perlu adanya satu aturan yang tegas, sebagai rujukan bagi umat Islam Indonesia, sehingga tidak ada tindakan keseweang-wenangan. Adanya dualisme tentang pencatatan dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap urgensi pencatatan dalam nikah, talak dan rujuk.

Analisis Akibat Hukum dari Pembatalan Perkawinan: Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Analisis Putusan Nomor Pdt.6/2004/PAJS (nomor putusan dicoret dan tidak terlihat))

Eko Srihartono (2000.200.034) – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pada skripsi tersebut diterangkan tentang syarat dan rukun perkawinan, bahwasanya perkawinan dilangsungkan kalau terpenuhinya syarat dan rukun nikah yang telah diatur oleh Undang-Undang, apabila tidak terpenuhi, maka pernikahan itu dibatalkan.


(27)

Kemudian disebutkan pula tujuan pembuatan skripsi tersebut adalah untuk mengetahui landasan filosofis, landasan yuridis, landasan sosiologis terhadap perkawinan masyarakat.

Akibat dari pembatalan perkawinan, secara filosofis yaitu tidak halalnya hubungan suami istri, lalu secara yuridis yaitu putusnya hubungan hukum tetapi tidak dengan anaknya (tetap berhubungan). Lalu landasan sosiologisnya adalah tidak boleh melakukan perzinaan.

Dari beberapa penelitian di atas maka perbedaan yang mendasar dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penulis dalam penelitian ini mengungkap masalah-masalah pemalsuan identitas yang beraneka ragam dalam penyebab pembatalan perkawinan. Sehingga penulis menekankan usaha-usaha untuk terciptanya perkawinan yang langgeng sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis menggunakan gabungan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum empiris. Penelitian normatif atau penelitian kepustakaan adalah penelitian menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sedangkan penelitian empiris atau lapangan adalah penelitian menggunakan data primer


(28)

yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan atau masyarakat berupa wawancara dengan objek terkait yang berhubungan dengan pembahasan. Dengan gabungan metode ini data-datanya diperoleh dari hal berikut ini:

a.Penelitian Hukum Normatif

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yaitu cara mendekati masalah yang akan diteliti dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yaitu dengan menganalisis peraturan-peraturan yang mempersulit masyarakat dalam melakukan pernikahan, terutama anggota POLRI.

Dalam penelitian ini, penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan sekunder yang berupa buku, peraturan perundang-undangan, artikel dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan materi penulisan karya ilmiah ini. 19

b. Penelitian Hukum Empiris

Dalam penelitian karya ilmiah ini, penulis melakukan penelitian terhadap kasus-kasus yang masuk dan diproses di Pengadilan Agama Jakarta Timur terutama kasus pemalsuan identitas melalui wawancara dengan

informant, kemudian yang bertindak selaku informant adalah pihak yang

berwenang dan para pelaku pemalsuan identitas. Selain itu juga penulis melakukan penelaahan terhadap berkas-berkas laporan dan putusan, guna

19

Penjelasan lebih detail mengenai penelitian hukum normatif, lihat Soerjono Soekanto,


(29)

mendapatkan tambahan data yang memperjelas permasalahan dalam karya ilmiah ini.

Data-data yang diperoleh tersebut oleh penulis dikumpulkan dan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu penulis gunakan dalam menguraikan sejarah, pengertian, kutipan, menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan serta uraian umum. Analisa tersebut kemudian disusun secara teratur, sistematis dan sederhana, namun lengkap sebagai suatu bentuk karya ilmiah yang lugas dan mudah dimengerti serta mempermudah pemahaman. Dalam mengambil kesimpulan penulis menggunakan analisa induktif, yaitu menganalisa masalah yang bersifat khusus dan kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum.

2. Sumber Data a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak yang berperkara. Untuk memperoleh data yang valid maka saya melakukan interview dengan para pihak yang berperkara dan hakim yang menyelesaikan perkara tersebut.

b. Data Sekunder

Adapun sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan referensi terkait dengan pembahasan dan studi kepustakaan dengan cara membaca kitab-kitab, buku-buku, dan


(30)

literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dan terakhir penulis juga menggunakan data tersier, yaitu pengumpulan data yang didapat dari internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini diharapkan akan mendapatkan hasil yang memadai oleh karena itu penulis berusaha mendapatkan hasil yang sesuai dengan variabel yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

library research (penelitian pustaka), wawancara tokoh terkait serta teknik

dokumenter, yaitu bahan-bahan yang diambil dari pendokumentasian dan pemberkasan. 20

4. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk dapat menggali dan menjawab masalah yang dirumuskan. Sedangkan data yang diperoleh dari kajian terhadap putusan, dalam hal ini Putusan Nomor: 1852/Pdt.G/2009/PAJT, serta dokumentasi dan tulisan tulisan yang berkaitan akan dianalisis dan akan ditinjau lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum.

20

Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 33.


(31)

Kajian terhadap Undang-Undang serta buku bacaan dan tulisan lainnya bertujuan untuk membantu menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, khususnya yang menyangkut dengan pemalsuan identitas yang menjadi penyebab pembatalan perkawinan.

5. Teknik Penulisan

Data penulisan proposal skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G.Teknik dan Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan teknik penulisan menُacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah yang dalam hal ini dijelaskan tentang latar belakang penulis dalam mengambil judul pembahasan ini serta pentingnya permasalahan ini untuk diangkat, lalu dalam batasan dan rumusan masalah akan diarahkan untuk mempersingkat kajian tentang pemalsuan identitas, tujuan dan manfaat penelitian berisi tentang manfaat dari pembahasan


(32)

pemalsuan identitas bagi masyarakat dan dampaknya dalam meminimalisir kasus pemalsuan identitas, metode penelitian dan sistematika pembahasan berupa cara-cara yang ditempuh oleh penulis dalam meneliti dan mengkaji permasalahan tersebut di lapangan.

Bab Kedua tentang Pembatalan Nikah meliputi pembahasan tentang Pengertian Pembatalan Perkawinan dilihat dari berbagai faktor dan realitanya di masa sekarang ini, lalu dibahas pula Dasar Hukum dibolehkannya Pembatalan Perkawinan dan dampaknya apabila hal tersebut tidak dilakukan, serta Hikmah dari dibatalkan perkawinan itu sendiri terhadap keluarga dilihat dari tolak ukur tujuan diadakannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Kemudian mengupas secara umum tentang pemalsuan identitas sebagai penyebab pembatalan perkawinan, dilihat dari faktor-faktor penyebab dan akibat hukumnya serta Hikmahnya bagi suami dan istri serta bagi masyarakat sekitarnya.

Bab Ketiga tentang Potret Pengadilan Agama Jakarta Timur, meliputi sejarah kelahirannya, wilayah yuridiksinya dan struktur organisasinya. Disebutkan pula tentang bangunan, alamat, tanah dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pengadilan agama Jakarta timur.


(33)

Bab Keempat tentang analisis hakim di Pengadilan Agama, meliputi deskripsi perkara perkohonan pembatalan perkawinan, landasan yuridis putusan serta penetapan putusan Pengadilan Agama tentang batalnya perkawinan.

Bab Kelima tentang penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran yang diimplementasikan berguna bagi perkembangan hukum Islam di masa depan terutama kasus-kasus yang mesti ditindak secara tegas demi terciptanya kerukunan dan terciptanya pernikahan yang


(34)

BAB II

PEMBATALAN NIKAH DAN PEMALSUAN IDENTITAS A. Pengertian Pembatalan Nikah

1. Menurut Hukum Positif

Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan. Dalam Pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hukum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan karena adanya paksaan. 21

Istilah batal perkawinan dapat menimbulkan salah faham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut, lalu istilah dapat dibatalkan dalam hal ini perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu yang telah disebutkan secara rinci akan hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan tersebut.

21

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 44.


(35)

Karena tidak semua hal bisa membatalkan perkawinan, kecuali yang telah ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang.22

Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan hanya menyangkut pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan Undang-undang tersebut menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul

fasid dan nikahul bathil. Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan dalam penjelasan disebutkan penُertian “dapat” dalam pasal ini adalah bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. 23

Perkawinan batal demi hukum apabila dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu suami melakukan pernikahan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah empat istrinya, sekalipun salah satu dari empat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i, seoranُ suami yanُ menikahi istrinya yang telah dili‟annya, seoranُ suami yanُ menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak tiga kali, kecuali bekas istrinya itu

22

Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), h. 25.

23

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 46.


(36)

pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah masa iddahnya, perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas, perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya, perkawinan dilakukan antara dua menantu yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri, perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri. 24

Pembatalan perkawinan berarti perceraian demi kemaslahatan kelangsungan keluarga, mesti perceraian itu adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, seperti dalam hadits:

ها وس ق

سو ي ع ها

اّ ا ها إ اح ا ضغبا

.

با او

ج

.

25

Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, perempuan yang dikawini kemudian diketahui masih menjadi istri pria pria lain secara sah, perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan dilangsungkan di muka

24

Ibid. h. 27. 25

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Zaid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Ibn Hasim, 2005), Juz 1 dan 2, Nomor Hadits 2016, h. 267.


(37)

pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, perkawinan dilaksanakan dengan paksaan, perkawinan dilaksanakan dengan ancaman melanggar hukum, perkawinan dilaksanakan dengan penipuan, penipuan di sini seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka, padahal telah mempunyai seorang istri ketika pernikahan dilangsungkan, sedangkan ia melanggar karena poligami tanpa izin Pengadilan Agama atau penipuan atas identitas diri. 26

Menurut M. Yahya Harahap, secara teoritis Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwasanya perkawinan yang dianggap sendirinya yaitu batal menurut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai ikut campur tangan pengadilan. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berkaitan dengan batalnya perkawinan, bahwasanya dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pihak pengadilan agama. Apa yang dikatakan oleh M Yahya Harahap dalam bukunya ini adalah realistis, rasionya karena suatu perkawinan telah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan agama agar mendapatkan putusan yang legal serta sesuai dengan hukum yang berlaku. 27

26

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 48.

27


(38)

Hal tersebut tidak berhubungan dengan apakah pernikahan itu kurang rukun dan syarat-syaratnya yang ditemukan oleh hukum agama masing-masing pihak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatalan perkawinan atas dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar adanya kepastian hukum terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang sudah terlanjur mengetahui adanya perkawinan tersebut. Jadi, legalitas pembatalan perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku lebih luas jangkauannya dari nikahul

bathil atau nikahul fasid sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih

tradisional. 28

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Bab IX Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang permasalahan pembatalan perkawinan yang kerap terjadi pada masyarakat luas akhir-akhir ini. Semakin lama permasalahan ini bukannya semakin berkurang, melainkan semakin bertambah dengan permasalahan yang beragam. Materi rumusannya hampir sama dengan yang dirumuskan dalam Bab IV Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Akan tetapi yang penting untuk dicatat, rumusan Kompilasi Hukum Islam lebih jelas terinci alasan pembatalan:

a. Pembatalan atas pelanggaran larangan, batal demi hukum (Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam)

28

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 46.


(39)

b. Pembatalan atas pelanggaran syarat dapat di batalkan (Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam) 29

Sama halnya dengan pencegahan, pembatalan perkawinan pun diserahkan kepada kepastian hukum dan ketertiban umum dengan jalan campur tangan penguasa, yakni Pengadilan Agama. Dengan demikian batalnya suatu perkawinan baru sah dan mengikat harus berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.30

Di dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perkawinan yaitu akan secara otomatis batal demi hukum apabila suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat oramg istri dalam iddah talak ra‟i. Lalu disebutkan pula dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan yang dilakukan dengan paksaan, lalu dalam Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.31

29

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha. h. 556.

30

Daud Ali, Muhammad dan Roihan A. Rasid dan Yahya Harahap dan Taufiq, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 60.

31

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-undang No. 1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 110.


(40)

Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-konsekuensi tertentu sebagaimana yang telah disebutkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah perbuatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapa pun yang mengetahuinya atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakan. Hukum Islam menyatakan dan menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap atau masih terdapat halangan pernikahan, maka pelaksanaan akad pernikahan harus dicegah. 32

Menurut Al Jaziri, jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, yang melakukan perkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi syubhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, istri diharuskan melakukan iddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dipandang bukan sebagai anak zina dan nasab tetap dipertalikan kepada kepada ayah dan ibunya.

32


(41)

Tetapi jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang seperti itu wajib dibatalkan. Jika perkawinan yang dilaksanakan itu belum menjadi persetubuhan, maka istri tersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan perkawinan itu dipandang bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan itu dipandang sebagai perzinahan dan dikenakan had, nasab anak yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada ibunya. 33

B. Faktor dan Akibat Pemalsuan Identitas 1. Faktor-faktor Penyebab

Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 12 Ayat 2 telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dikemukakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga termasuk penipuan. Penipuan tidak dilakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak wanita. 34

Pihak pria biasanya penipuan dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi dikatakannya masih jejaka atau

33

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 42.

34

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. Ke-1, (Jakarta: Basrie Press, 1994), h. 28.


(42)

bentuk perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung. Penipuan yang dilakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan yang ada pada dirinya, misalnya dikatakana tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak demikian. 35

Dalam hukum islam lembaga pembatalan perkawinan disebut dengan lembaga

Khiyar, yaitu keadaan yang dianggap merusak atau membatalkan akad nikah.

Lembaga khiyar ada dua bentuk, yaitu Khiyar Aib, karena salah seorang dari suami atau istri menderita sakit gila sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan atau salah satu pihak menderita penyakit berbahaya lainnya yang baru diketahui setelah perkawinan dilaksanakan, Tubb yaitu kemaluan pria telah putus dan lemah syahwatnya tidak mampu melangsungkan kewajibannya sebagai laki-laki, tumbuh daging atau tulang pada kemaluan istri sehingga tidak mungkin terjadinya persetubuhan. Kemudian Khiyar Isar, yaitu alasan pembatalan karena kemiskinan suami, istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan kepada hakim apabila si suami tidak mampu memberikan kebutuhan rumah tangga sesuai dengan status sosial kehidupan mereka. 36

Penyakit gila yang diderita oleh suami atau istri akan membawa dampak negatif dalam pembinaan keluarga bahagia dan sejahtera. Bagaimana mungkin terbina suatu keluarga yang harmonis apabila salah satu pihak tidak normal

35

Ibid. h. 29.

36


(43)

َikirannya. Menurut Muhammad Jawad Muُhniyah bahwa Imam Malik, Syaَi‟i dan Hambali sepakat bahwa suami boleh membatalkan perkawinan akibat sakit gila yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.37 Mereka berbeda pendapat dalam rinciannya, Syafii dan Hambali mengatakan bahwa karena penyakit gila, pembatalan perkawinan dapat ditetapkan keduanya, baik setelah bercampur atau belum, tanpa harus menunggu beberapa waktu lamanya. Sedangkan Imam Malik mensyaratkan adanya ancaman bahaya bagi yang waras apabila bergaul dengan orang yang gila. 38

Kemudian apabila gila itu terjadi setelah akad nikah, yang berhak atas pembatalan perkawinan hanya pihak istri saja, ini pun setelah diberi tenggang waktu satu tahun. Sedangkan Madzhab Imamiyah mengatakan bahwa suami tidak boleh membatalkan perkawinan karena istrinya kemungkinan menjatuhkan talak, sedangkan istri boleh mengajukan pembatalan karena suaminya gila, baik terjadi sebelum maupun sesudah akad atau setelah persetubuhan. Wanita berhak atas mahar penuh bila sudah dicampuri dan tidak berhak bila belum dicampuri. 39

Tentang masalah impotensi, para ahli hukum Islam seluruh madzhab sepakat bahwa istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Perbedaan pendapat mereka dalam hal apabila suami impotent terhadap istrinya, sedangkan dengan wanita lain tidak, apakah istri dapat membatalkan perkawinannya, Imam Syafii, Hambali dan

37

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. Ke-1, (Jakarta: Basrie Press, 1994), h. 35.

38

Ibid. h. 37.

39


(44)

Maliki mengatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istrinya berhak menjatuhkan pilihan berpisah, meskipun suami itu mampu melakukan persetubuhan dengan wanita yang lain. 40

Sedangkan di kalangan Madzhab Imamiyah mengatakan bahwa pilihan untuk membatalkan nikah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan alasan impotensi terhadap semua wanita, apabila impoten terjadi hanya pada istrinya, sedangkan dengan wanita lain tidak, maka istri tidak dapat mengajukan pembatalan perkawinannya pada hakim, karena seorang laki-laki yang dapat menggauli wanita tertentu jelas secara hakiki bukan impoten. Kalau tidak ada bukti, maka harus dilihat oleh seorang perempuan yang ditunjuk untuk memeriksa apakah istri itu masih perawan atau tidak, sedangkan kalau istri janda, maka suami diwajibkan untuk bersumpah sebab dialah yang menolak tuduhan istrinya itu. Kalau suami bersedia disumpah, maka tertolak tuduhan istrinya itu, jika suami menolak untuk bersumpah maka istrinya diminta untuk bersumpah dan menunda perkara selama satu tahun. Jika dalam kurun waktu satu tahun kondisinya masih seperti biasa, maka setelah satu tahun itu berlaku, hakim menawarkan pilihan kepadanya apakah akan melanjutkan ikatan perkawinannya atau membatalkan mereka. 41

Tentang penyakit lain, seperti sopak dan kusta, Imam Syaَi‟I, Imam Malik dan Hambali berpendapat bahwa kedua penyakit tersebut merupakan cacat bagi

40

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 56.

41


(45)

kedua belah pihak. Kedua belah pihak boleh membatalkan perkawinan manakala setelah akad diketahui adanya penyakit tersebut pada pasangannya. Orang yang menderita penyakit tersebut para ahli hukum Islam mempersembahkan dengan orang berpenyakit gila. Sementara itu Imam Malik sebagaimana dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah mengemukakan bahwa kaum wanita boleh membatalkan perkawinan manakala penyakit tersebut ditemukan sebelum dan sesudah akad nikah, sedangkan laki-laki boleh melakukan pembatalan perkawinan jika ditemukan penyakit kusta dalam diri wanita tersebut sebelum atau ketika akad. 42

Penyakit sopak jika ditemukan sebelum akad nikah, maka kedua belah pihak memiliki hak untuk membatalkan perkawinannnya. Tetapi jika sopak terjadi setelah perkawinan, maka hak tersebut hanya diperbolehkan kepada pihak wanita dan tidak untuk pihak laki-laki. Adapun penyakit sopak yang ringan yang ditemukan sesudah akad nikah, tidak berpengaruh terhadap keberlangsungan akad. Terhadap kedua penyakit ini hakim memberikan masa tenggang waktu setahun penuh untuk melakukan penyembuhannya, jika tidak dapat sembuh, maka pembatalan perkawinan baru dapat diajukan. 43

2. Akibat Hukum

Akibat hukum dari pemalsuan identitas yang terjadi bisa berupa pembatalan pernikahan yang berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan, lalu dibatalkan karena

42

Ibid. h. 60. 43

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 69.


(46)

adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. Ada kesan pembatalan perkawinan sebagai akibat hukum dari terjadinya pemalsuan identitas karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. 44

Jika ini terjadi, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap kepentingan tersebut. 45

Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedur perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarata wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri. 46

Akibat hukum dari pemalsuan identitas akan berujung pada pembatalan perkawinan yang akan berdampak pada berpisahnya antara suami dan istri. Akibat

44

Ibid. h. 27.

45

Ibid. h. 29.

46


(47)

putusnya perkawinan karena perceraian diungkapkan dalam Pasal 41 Undang undang Perkawinan, yaitu:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan serta biaya pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. 47 Dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) perihal sanksi akibat hukum dari adanya pemalsuan identitas adalah pembatalan perkawinan sehingga perkawinan tersebut menjadi tidak sah lagi, hal tersebut diatur pada Bagian 6 Buku I Burgerlijk

Wetboek tentang batalnya perkawinan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan dengan

alasan-alasan sebagai berikut:

a. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)

b. Karena tidak adanya persetujuan yang bebas diantara para pihak

c. Karena salah satu pihak dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum

47

Rusdiana, Kama dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 44.


(48)

d. Karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur yang ditentukan menurut Undang-undang dan belum mendapat izin

e. Karena adanya larangan perkawinan

f. Karena perkawinan yang dilangsungkan akibat dari suatu hubungan zina g. Karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang

tua dan wali. 48

Untuk melakukan pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut. Pembatalan perkawinan tersebut baru terjadi setelah dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah in kracht van

gewijsde. Pasal 85 Burgerlijk Wetboek menegaskan batalkan suatu perkawinan hanya

dapat dinyatakan oleh hakim. 49

Setiap penduduk harus mencatatkan perkawinannya di Pegawai Kantor Catatan Sipil agar terhindar dari masalah-masalah yang menyangkut perceraian suatu perkawinan. Catatan sipil adalah catatan tentang peristiwa penting mengenai keperdataan seseorang seperti kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian. Dalam pencatatan ini, pemerintah menugaskan kepada kantor/lembaga pencatatan sipil dengan tujuan agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik

48

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha. h. 46.

49

Rusdiana, Kama dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 14.


(49)

tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi sehubungan dengan dirinya, untuk memperlancar aktifitas pemerintah di bidang kependudukan, untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin agar status warga masyarakat dapat diketahui. Petugas yang melakukan pencatatan adalah Pegawai Kantor Pencatatan Sipil yang merupakan sebuah lembaga. Ia mencatatnya dalam daftar-daftar/register-register tertentu untuk selanjutnya dibuat akta catatan sipil (akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian dan akta kematian). 50

C. Hikmah Pembatalan Nikah 1. Bagi suami dan istri

Masalah pembatalan perkawinan ini merupakan suatu upaya yang bersifat ekstra hati-hati terhadap kedua mempelai, bahkan apabila diketahui terdapat unsur atau syarat perkawinan yang tidak memadai, maka perkawinan bisa dibatalkan. Proses pembatalan ini menunjukkan bahwa perkawinan tidak semena-mena tetapi perlu adanya kesepakatan dan kebersamaan masing-masing kedua mempelai baik dari pihak calon isteri, suami dan kedua belah pihak keluarga. Adanya pembatalan pekawinan ini merupakan upaya untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman kehidupan berumah tangga di masyarakat. 51

Hikmah dari dibatalkannya nikah itu sendiri dapat dilihat dari tujuan utama dilangsungkannya pernikahan, yaitu terjadinya hubungan keluarga yang harmonis,

50

Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 154. 51

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,


(50)

damai, kekal dan abadi. Saat hal tersebut tidak lagi dapat dicapai, maka perceraian adalah satu-satunya jalan untuk meredam pertengkaran tersebut. Karena dilihat dari tujuan utama pernikahan yang berupa hal-hal positif. Adapun motivasi atau tujuan seseorang dalam melaksanakan pernikahan itu berbagai macam keragamannya, hal tersebut tidak dilarang oleh Islam, asalkan saat melakukannya dengan cara yang benar, sebagaimana telah diajarkan dalam banyak buku-buku fikih. Ada yang melakukannya karena cinta, ada yang melakukannya karena harta, ada yang melakukannya hanya ingin terjalin hubungan mahromiyah, ada yang ingin menolong seseorang karena iba dengan nasib yang dideritanya, ada yang hendak menjaga dirinya dari keharaman, ada yang berkeinginan untuk mendapatkan keturunan, ada juga yang tidak berkeinginan sama sekali, karena anak adalah beban yang menyusahkan, ada yang nikah hanya mengharapkan bimbingan spiritualnya, ada yang hanya mengharapkan kepuasan biologisnya dan ada juga yang hanya membutuhkan uang mas kawinnya dan sebagainya. 52

2. Bagi masyarakat

Pada dasarnya, suatu akad seperti akad nikah bilamana ternyata batal, tidak mempunyai akibat hukum. Akad nikah seperti itu hanya terwujud pada lahirnya saja, sedangkan menurut hukum Islam dianggap tidak ada sama sekali. Namun, kadang-kadang disebabkan adanya akad nikah yang tidak nikah yang tidak mencukupi ketentuan syariat itu, terjadi hubungan suami istri yang ada kaitannya dengan aspek

52

Al-Amili, Ja‟َar Murtadho, Nikah Mut’ah dalam Islam, (Surakarta:Yayasan Abna AlHusain, 2002), h. 176.


(51)

lain, misalnya telah sempat bersenggama. Di sini terdapat beberapa masalah hukum lainnya berkaitan langsung dengan hubungan seksual tersebut, yaitu masalah apakah perbuatan tersebut dianggap zina atau tidak dan jika menghasilkan anak, apakah anak tersebut dianggap anak zina atau bukan anak zina dan bagaimana kaitannya dengan hak mewarisi. Dalam masalah ini, hukum Islam memberikan perhatian untuk mengatur hal-hal nyata terjadi diakibatkan adanya akad nikah yang kemudian di nyatakan batal. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, nikah yang dinyatakan batal dalam sebagian hal mempunyai akibat hukum terutama bilamana terjadi senggama di antara pasangan tersebut. 53

Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadist, yaitu:

ها وس ق

سو ي ع ها

ا ع ي

,

ء ب ي ع

,

ضغأ إف

ص

,

ج صحاو

,

وص ب ي عف ء ا

عّتسي ف

,

وص ا إف

ٌء جو

.

ت ا ا او

.

54

Hadits tersebut memiliki makna bahwasanya sangat rentan seorang laki-laki yang telah dewasa itu untuk melakukan senggama terutama seorang duda, karena dalam hadits itu disebutkan apabila seseorang sudah tidak tahan untuk melakukan

53

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

(Bandung: Pustaka Al Fikri, 2009), h. 70. 54

Imam Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih Wa Huwa Sunan Tirmidzi, (Kairo: Darul Hadits, 2005), Juz 3, Nomor Hadist 1081, h. 254.


(52)

pernikahan, maka menikahlah terkecuali orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menikah.

Terjadinya senggama dalam pernikahan yang batal bisa jadi setelah diketahui bahwa pernikahan itu adalah batal sehingga diketahui tidak halal berhubungan suami istri. Dalam masalah seperti ini, perbuatan tersebut dianggap perbuatan zina dan terhadap diri pelakunya diancam dengan hukuman zina. Dan sebagai konsekuensinya, jika hubungan seksual itu menghasilkan anak, maka anak itu dianggap tidak sah atau anak zina. 55

55

M Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta, Kencana, 2004), h. 26


(53)

BAB III

POTRET PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama

Pengadilan Agama Jakarta Timur memiliki sejarah kelahiran yang menarik. Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 Nomor 17 khusus untuk Jakarta/betawi di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari:

a. Komandan distrik sebagai ketua

b. Para penghulu masjid dan kepala wilayah sebagai anggota 56

Kemudian Majelis tersebut ada beberapa perbedaan semangat dan perbedaan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan terhadap Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820, apabila terjadi sengketa antara orang-orang jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis seperti sengketa-sengketa yang membutuhkan penyelesaian, maka para pendeta memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para pendeta itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa. 57

56

http://www.pa-jakartatimur.go.id

57


(54)

Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan BurgerlijkWetboek (BW). 58

Dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten Van Oud Haarlemyang menjadi ketua komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan hukum agama serta adat istiadat mereka. 59

Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain:

a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat

58

Ibid.

59


(55)

d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 60

Adapun lokasi Pengadilan Agama Jakarta Timur, gedung lama terletak di Jakarta Timur, dengan alamat Jl. Raya Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung Timur dibangun diatas tanah negara milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 M2, luas bangunan 360 M2, terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 di bawah APBN Depag RI, dengan keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang relatif padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah dengan pegawai honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 1997/1998, melalui anggaran APBN/ABBD DKI Jakarta Pemerintah telah membangun tambahan gedung 1 lantai di lokasi yang sama seluas 360 m2, sehingga sekarang ini menjadi 2 lantai dan 14 ruangan. 61

Gedung Baru Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa Dua Wetan alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 kode pos 13750 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan Dana Pemda DKI Jakarta. Gedung baru kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur yang demikian besar dan volume pekerjaan

60

Ibid.

61

http://www.pa-jakartatimur.go.id. Hal tersebut diungkapkan pula dalam buku profil Pengadilan Agama Jakarta Timur yang kami lihat di ruang administrasi Pengadilan Agama Jakarta Timur.


(56)

yang cukup padat begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 70 orang PNS, ditambah dengan pegawai honorer 13 orang, pada tanggal 1 Maret 2004 seluruh karyawan karyawati dan membleir pindah ke kantor tersebut sampai dengan sekarang. 62

B. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama

Wilayah kekuasaan hukum atau disebut dengan yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 kecamatan dan 65 kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah:

1. Sebelah utara dengan: Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat 2. Sebelah barat dengan: Kodya Jakarta Selatan

3. Sebelah selatan dengan: Kabupaten Bogor /Kodya Depok 4. Sebelah timur dengan: Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi 63

Luas wilayahnya adalah 18.877.77 Ha. dan jumlah penduduknya sebanyak 3.050.713 jiwa. Jumlah penduduk yang beragama Islam adalah 2.569.390 jiwa.64 Kodya Jakarta Timur adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur, adapun 10 wilayah kecamatan tersebut adalah sebagai berikut:

1). Kecamatan Matraman, terdiri dai 6 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 153.484 jiwa

62

http://www.pa-jakartatimur.go.id.

63

Ibid. 64


(57)

2). Kecamatan Jatinegara, terdiri dari Kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 250.186 jiwa

3). Kecamatan Pasar Rebo, terdiri dari 5 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 240.074 jiwa.

4). Kecamatan Kramat jati, terdiri dari 7 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 175.883 jiwa

5). Kecamatan Pulogadung terdiri dari 7 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 250.878 jiwa.

6). Kecamatan Cakung terdiri dari 7 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 251.184 jiwa.

7). Kecamatan Ciracas, terdiri dari 5 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 160.679 jiwa.

8). Kelurahan Cipayung terdiri dari 8 kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 171.883 jiwa

9). Kecamatan Makasar terdiri dari 5 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 193.085 jiwa

10). Kecamatan Duren Sawit terdiri dari 7 kelurahan dengan jumlah penduduknya 203.280 jiwa 65

Adapun mengenai info lengkap yang lebih rinci penulis sertakan data pada lampiran.

65

http://www.pa-jakartatimur.go.id. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Pegawai Kesekretariatan/Administrasi Pengadilan Agama Jakarta Timur.


(58)

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama

Data struktur organisasi penulis dapat dari situs pengadilan agama jakarta timur, yaitu www.pa-jakartatimur.go.id dan dari buku administrari Pengadilan Agama Jakarta Timur, adapun rinciannya sebagai berikut:

1. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur sejak tahun 1962 hingga sekarang sejumlah 14 orang

2. Juru Sita Pengadilan Agama Jakarta Timur ada 11 orang

3. Tenaga Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur ada 27 orang 4. Pegawai Teknis Pengadilan Agama Jakarta Timur ada 11 orang

5. Pegawai Kesekretariatan/Administrasi Pengadilan Agama Jakarta Timur ada 11 orang


(59)

BAB IV

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA A. Deskripsi Perkara Permohonan Pembatalan Perkawinan

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan tentang batalnya perkawinan pada Pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27 dan 28. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang persoalan sekitar perkara pembatalan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun untuk melangsungkan perkawinan. 66

Kenudian dijelaskan pula pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, suami atau istri, pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan dan orang-orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Kawasan atau tempat tinggal berpengaruh terhadap sah atau tidaknya suatu perkara yang diajukan, permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri, suami atau istri. 67 Perkara permohonan pembatalan perkawinan pun bisa diajukan apabila

66

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha. h. 544.

67


(60)

pernikahan tersebut dilangsugkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi sehingga apabila hal ini terjadi maka harus diperbaharui supaya sah. Seorang suami atau istri pun dapat mengajukan perkara permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri dan waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinannya itu adalah 6 bulan. 68

Mengenai kasus tersebut penulis meneliti satu putusan perkara permohonan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Berikut deskripsi putusan perkara permohonan pembatalan perkawinan dengan Nomor: 1852/Pdt.G/2009/PAJT, yang selanjutnya akan dikemukakan.

1. Ringkasan

Perkara Permohonan Pembatalan Perkawinan yang diajukan oleh Abdul Manan, umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil/Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara, alamat Jl. I Gusti Ngurah Rai RT. 001/05 Kelurahan Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur, selanjutnya disebut Penggugat. Ayu Wulandari binti Tjipto Waluyo, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati, tempat tinggal di Jl. Kesatrian VIII No. 16 RT. 016/03 Kelurahan Kebon Manggis Kecamatan Matraman Jakarta Timur,

68

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha. h. 544.


(61)

selanjutnya disebut Tergugat 1. Muhammad Sahroni bin Kadnawi, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan POLRI, tempat tinggal Jl. Rawa Bebek RT. 009/010 No. 24 Kelurahan Penjaringan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, selanjutnya disebut Tergugat II. Tjipto Waluyo, umur 69 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan DKI, tempat tinggal Jl. Kesatrian VIII No. 16 RT. 016/03 Kelurahan Kebon Manggis Kecamatan Matraman Jakarta Timur, selanjutnya disebut Turut Tergugat. 69

Tergugat 1 telah mencatatkan perkawinannya dengan suaminya yang bernama Muhammad Sahroni di Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara dengan Akta Nikah Nomor: 1178/133/VIII/2009 pada tanggal 19 Agustus 2009. Dan pencatatannya dilakukan oleh Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara yang bernama Abdul Manan. Pernikahan sebelumnya dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Matraman pada bulan Agustus 2008 dan memiliki buku nikah. Pada saat pernikahan tersebut suami tergugat sebagai anggota POLRI akan tetapi Surat Izin Kawin (SIK) sudah kadaluarsa dan tidak diperpanjang lagi, selain itu tanda tangan suami yang tertera dalam daftar pemeriksaan nikah atau model NB bukan tanda tangan suami yang sebenarnya (palsu). 70

Pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Matraman menyertakan status suami sebagai orang biasa saja, padahal seharusnya

69

Ibid. h. 1.

70


(62)

status suaminya itu sebagai POLRI, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan istrinya akan pernikahan tersebut karena akta nikahnya tidak mencantumkan status suami yang sebenarnya, lalu istrinya mengajukan pernikahan kedua di Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara dengan maksud hanya melakukan pencatatan saja yaitu mengajukan buku nikah kedua dengan adanya status suami sebagai anggota POLRI. Buku nikah kedua ini pun dibuat tanpa melakukan rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, karena hanya berupa pencatatan saja. Tujuan istri mengajukan buku nikah kedua tersebut adalah agar dia mendapatkan tunjangan gaji dari pemerintah sehingga istri tersebut akan mendapatkan uang untuk menjalani kehidupan sehari-harinya. 71

Hakim melihat adanya cacat hukum atas pernikahan ini, sehingga pernikahan tersebut harus dibatalkan demi hukum. Hakim pun tidak membenarkan adanya 2 buku nikah bagi 1 pasang suami istri, seharusnya 1 pasang suami istri itu hanya memiliki 1 buku nikah saja. 72

2. Duduknya Perkara

Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara, Abdul Manan mengajukan perkara permohonan pembatalan perkawinan antara Ayu Wulandari binti Tjipto Waluyo selaku tergugat 1 dengan Muhammad Sahroni bin Kadnawi selaku tergugat II yang dalam hal ini Penghulu tersebut terancam hukuman pidana karena telah membuat buku nikah kedua. Sehingga dia memohon kepada majelis

71

Ibid. h. 4.

72


(63)

hakim agar membatalkan buku nikah kedua yang dia buat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara agar dia terhindar dari jeratan Pidana atas pembuatan buku nikah kedua itu. 73

3. Pertimbangan Majlis Hakim

Pertimbangan dari perkara permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh penguggat bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan penggugat dan para tergugat telah datang menghadap lalu majelis hakim berusaha mendamaikan, namun tidak berhasil. Saat ditawarkan untuk memilih atau menunjuk mediator para pihak menyatakan tidak sanggup dan memohon kepada majelis hakim untuk menetapkan mediator dari Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. 74

Menimbang, bahwa atas permintaan para pihak tersebut Majelis Hakim menunjuk Drs. Achmad Harun Shofa SH. Sebagai hakim Mediator perkara ini dan atas penunjukkan tersebut para pihak menyatakan semua kegiatan yang akan ditentukan bersama dengan hakim mediator tersebut. Menimbang, bahwa pada persidangan berikutnya para pihak yang berperkara melaporkan hasil mediasi yang dilaksanakan tanggal 02 Februari 2010 bahwa mediasi antara penggugat dan tergugat tidak berhasil untuk berdamai oleh karenanya mediator menyerahkan kembali perkara Aquo kepada majelis hakim. Majelis hakim selanjutnya memulai

73

Ibid. h. 6.

74


(1)

65

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group, 2005.

Abdurrahman AlJazini, Kitab Fiqih ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, Mishr: Al-Maktabah At-Tijariyatul Kubra

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Zaid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, Kairo:

Darul Ibn Hasim, 2005.

Al-Amili, Ja’far Murtadho, Nikah Mut’ah dalam Islam, Surakarta:Yayasan Abna Al-Husain, 2002.

Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Kitab Al-Ta’rifat, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.

Ahmad Sukardja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Daud Ali, Muhammad dan Roihan A. Rasid dan Yahya Harahap dan Taufiq, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Imam Abu Husain Ahmad bin Muhammad bin Ja’far al-Baghdadi al-Qaduri, Fiqh Al-Muqaranah At-Tajrid, Kairo: Darussalam, 2006 M/1427H.

Imam Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shahih Wa Huwa Sunan Tirmidzi, Kairo: Darul Hadits, 2005.

Jalaluddin Al-Mahally, Minhaj Al-Thalibin, Al-Qahirah: Ihya Kutub Al-Arabiyah, 1950. Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007.

Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Kewarisan Dan Perwakafan, Bandung: Nuansa Aulia, 2008.


(2)

66 Louis Ma’luf, Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986.

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Tafsir Al-Quran, 1973.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender dan The Asia Foundation, 1999.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002.

M Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2004.

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, t.t.

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. Ke-1, Jakarta: Basrie Press, 1994.

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-undang No. 1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center

Publishing, 2002.

Rusdiana, Kama dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta; CV Rajawali Press, 1985.


(3)

67

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha.

Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Supriyadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Al Fikri, 2009.

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989, Juz VII.

Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.

WJS Poerwadanminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 1975.

Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Data BAPEKO TAHUN 2003.

Data Depag Tahun 2003.


(4)

(5)

Foto Peneliti dengan Bapak Abdul Manan, SAg. (Penghulu Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatinegara)


(6)