Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

adalah pelarangan terhadap poligami. Menurut sebagian pengusung gagasan ini, teks di dalam al-Quran mengandung pesan bahwa prinsip pernikahan itu monogami, karena itu poligami itu harus dilarang. Selain itu diperoleh begitu banyak fakta tentang dampak buruk dari poligami, karena itu mereka mengusulkan supaya poligami itu dilarang melalui Undang-Undang. Pelarangan poligami dalam materi Undang-Undang Hukum keluarga Islam telah mengingkari kenyataan, memang betul agama islam tidak menyuruh poligami, tetapi juga tidak melarang poligami, tetapi yang lebih utama itu tidak melakukan poligami. 9 Berbicara mengenai pemalsuan identitas sebagai alternatif untuk tidak melaksanakan poligami, hal ini tentunya akan menjadi sebab segala masalah, diantaranya talak, gugat cerai dsb. Dalam talak ada istilah mediasi untuk mencegah terjadinya talak, mediasi dalam kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 tentang keharusan melaksanakan mediasi bagi hakim dalam berperkara di pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam Perma No. 1 Tahun 2008 tentang keharusan melaksanakan mediasi bagi hakim dalam berperkara di pengadilan, karena mediasi merupakan proses yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. 9 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 192. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan produr mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum Pasal 2 ayat 3 Perma. Oleh karenanya hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. 10 Pemalsuan idenstitas tidak akan terjadi apabila pernikahan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang berlaku. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan antara pria dan wanita yang sama akidah, ahlak dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang teguh kepada agama yang sama, keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda, maka akan timbul berbagai kesulitan dalam keluarga dan dalam proses perizinan pernikahannya pun akan dipersulit. Selain itu pula akan menemukan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi keagamaan dll. 11 10 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 310. 11 Ahmad Sukardja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, h. 9. Pada Pasal 71 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwasanya suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama, lalu Pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Inilah yang menjadi dasar dan landasan hukum dilakukannya pembatalan perkawinan dengan alasan pemalsuan identitas 12 Disebutkan dalam Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam bahwasanya pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi. Hal ini tidak bisa dilakukan apabila ada pemalsuan identitas, akan tetapi selayaknya pejabat yang mengawasi perkawinan lebih tegas meneliti kelengkapan dan keotentikkan identitas calon suami tersebut. 13 Pegawai Pencatat nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran 12 Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 dan Pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007, h. 252. 13 Ibid, h. 249. dari ketentuan Pasal 7 ayat 1, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ataupun Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan. 14 Motif memalsukan identitas itu tidak hanya dalam proses mengganti dari sudah menikah menjadi lajang, adapula kasus yang mengganti agama Kristen menjadi agama islam terkait tujuan yang ingin dipermudah, hal ini terlihat Pada Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam bahwasanya seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. 15 Dalam persoalan memalsukan identitas ada istilah bukti yang dijadikan objek yaitu hal yang dipalsukan, tidak setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa tersebut. Meskipun alat bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formal atau materill, belum tentu mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan harus mencapai batas minimal pembuktian. 16 Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilaksanakan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila ketika 14 Ibid, h. 246. 15 Ibid, h. 242. 16 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Prenada Media Group, 2005, h. 240. terjadinya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur, tentang pembatalan perkawinan itu dicantumkan lagi dalam pasal 37 dan 38 Peraturan Pelaksanaan. Kedua Pasal tersebut selain menegaskan lagi apa yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, bahwa pembatalan suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan dan permohonan pembatalan itu diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri, juga menentukan bahwa tata cara dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36. 17 Kajian terhadap permasalahan tersebut akan penulis kemas dalam bentuk penelitian dengan judul Pemalsuan Identitas Sebagai Penyebab Pembatalan Perkawinan; Analisis Putusan Perkara Nomor: 1852Pdt.G2009PAJT.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

17 Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, h.31. Permasalahan pemalsuan identitas diangkat untuk menjadi kajian dalam penulisan ini karena penulis melihat realita di jaman sekarang terdapat berbagai macam hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan perkawinan dan salah satu hal yang penulis bahas adalah tentang pemalsuan identitas. Sebagian masyarakat menyadari bahwa pernikahan yang dilakukan melalui identitas yang dipalsukan akan berdampak buruk pada kelangsungan perjalanan pernikahan terutama ketika ada permasalahan keluarga. Sehingga banyak masyarakat yang mengajukan pencatatan pernikahan untuk memperbaharui identitas agar pernikahannya sesuai dengan prosedur yang diberlakukan. Penulis tertarik untuk meneliti kasus yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang pemalsuan identitas sebagai penyebab pembatalan perkawinan, karena dalam putusannya Majelis Hakim membatalkan upaya pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pihak istri. Majelis Hakim mengabulkan gugatan pihak penghulu KUA untuk membatalkan pencatatan perkawinan tersebut. Hal ini berhubungan dengan alasan dan pertimbangan- pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutuskan batalnya pencatatan perkawinan.

2. Perumusan Masalah

Dalam Undang-Undang Pelaksanaan Perkawinan telah diatur secara sistematis akan identitas sebagai syarat-syarat kelengkapan dalam pelaksanaan pernikahan, akan tetapi dalam kenyataannya banyak terjadi pelanggaran terhadap kelengkapan-kelengkapan tersebut, bahkan akhir-akhir ini semakin banyak terjadi kasus, karena tidak adanya ketegasan akan wajibnya. Kasus- kasus yang menyalahi syarat dan rukun nikah diantaranya adalah permasalahan pemalsuan identitas. Rumusan masalah tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemalsuan identitas bagi masyarakat sehingga menimbulkan pembatalan perkawinan? 2. Kenapa akta nikah baru yang diupayakan istri dalam pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh Majelis Hakim? 3. Bagaimana pertimbangan majlis hakim terhadap putusan nomor 1852Pdt.G2009PAJT? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain: a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah S.Sy Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Untuk mendeskripsikan latar belakang dan hal-hal yang berkaitan dengan identitas yang dipalsukan sebagai penyebab di batalkannya perkawinan. c. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan bahwa akta nikah yang diupayakan oleh istri dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. d. Untuk memberikan gambaran pengaruh pemalsuan identitas bagi perkawinan dan bagi keluarga sehingga jauh dari keharmonisan dan menyebabkan berbagai masalah penting dalam keluarga dilihat dari solusi hukumnya dan kepastian hukumnya.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat utama dalam penelitian ini bagi penulis adalah untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah S.Sy Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Maanfaat lain dari penelitian ini bagi penulis adalah untuk lebih memahami tentang pemalsuan identitas yang marak terjadi akhir-akhir ini. c. Menambah wawasan keilmuan dan lebih kritis dalam menemukan hal-hal baru yang harus diikuti oleh hukum-hukum baru karena setiap perilaku itu mesti ada hukumnya untuk terciptanya kehidupan yang stabil dan harmonis.