Teknik dan Sistematika Penulisan

BAB II PEMBATALAN NIKAH DAN PEMALSUAN IDENTITAS

A. Pengertian Pembatalan Nikah 1.

Menurut Hukum Positif Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan. Dalam Pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hukum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan karena adanya paksaan. 21 Istilah batal perkawinan dapat menimbulkan salah faham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut, lalu istilah dapat dibatalkan dalam hal ini perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu yang telah disebutkan secara rinci akan hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan tersebut. 21 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 44. Karena tidak semua hal bisa membatalkan perkawinan, kecuali yang telah ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang. 22 Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan hanya menyangkut pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan Undang-undang tersebut menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil. Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan dalam penjelasan di sebutkan penُertian “dapat” dalam pasal ini adalah bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permintaan pihak- pihak yang berkepentingan. 23 Perkawinan batal demi hukum apabila dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu suami melakukan pernikahan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah empat istrinya, sekalipun salah satu dari empat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i, seoranُ suami yanُ menikahi istrinya yang telah dili‟annya, seoranُ suami yanُ menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak tiga kali, kecuali bekas istrinya itu 22 Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002, h. 25. 23 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 46. pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah masa iddahnya, perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas, perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya, perkawinan dilakukan antara dua menantu yang mempunyai hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri, perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri. 24 Pembatalan perkawinan berarti perceraian demi kemaslahatan kelangsungan keluarga, mesti perceraian itu adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, seperti dalam hadits: ها وس ق سو ي ع ها اّ ا ها إ اح ا ضغبا . با او ج . 25 Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, perempuan yang dikawini kemudian diketahui masih menjadi istri pria pria lain secara sah, perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan dilangsungkan di muka 24 Ibid. h. 27. 25 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Bin Zaid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, Kairo: Darul Ibn Hasim, 2005, Juz 1 dan 2, Nomor Hadits 2016, h. 267. pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, perkawinan dilaksanakan dengan paksaan, perkawinan dilaksanakan dengan ancaman melanggar hukum, perkawinan dilaksanakan dengan penipuan, penipuan di sini seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka, padahal telah mempunyai seorang istri ketika pernikahan dilangsungkan, sedangkan ia melanggar karena poligami tanpa izin Pengadilan Agama atau penipuan atas identitas diri. 26 Menurut M. Yahya Harahap, secara teoritis Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwasanya perkawinan yang dianggap sendirinya yaitu batal menurut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai ikut campur tangan pengadilan. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berkaitan dengan batalnya perkawinan, bahwasanya dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pihak pengadilan agama. Apa yang dikatakan oleh M Yahya Harahap dalam bukunya ini adalah realistis, rasionya karena suatu perkawinan telah dilaksanakan melalui yuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslah melalui putusan pengadilan agama agar mendapatkan putusan yang legal serta sesuai dengan hukum yang berlaku. 27 26 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 48. 27 Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading, 1975 h. 45.