Bab Keempat tentang analisis hakim di Pengadilan Agama, meliputi deskripsi
perkara perkohonan pembatalan perkawinan, landasan yuridis putusan serta penetapan putusan Pengadilan Agama tentang
batalnya perkawinan.
Bab Kelima tentang penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran yang
diimplementasikan berguna bagi perkembangan hukum Islam di masa depan terutama kasus-kasus yang mesti ditindak secara tegas
demi terciptanya kerukunan dan terciptanya pernikahan yang mitsaqon ghalidzon.
BAB II PEMBATALAN NIKAH DAN PEMALSUAN IDENTITAS
A. Pengertian Pembatalan Nikah 1.
Menurut Hukum Positif
Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan tidak secara
tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu
Pasal 27 sampai dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang batalnya perkawinan. Dalam Pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah atau apabila suatu perkawinan
dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hukum sebagai
akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan karena adanya paksaan.
21
Istilah batal perkawinan dapat menimbulkan salah faham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut, lalu istilah dapat dibatalkan dalam
hal ini perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu yang telah
disebutkan secara rinci akan hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan tersebut.
21
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 44.