Tetapi jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu,
persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang seperti itu wajib dibatalkan. Jika
perkawinan yang dilaksanakan itu belum menjadi persetubuhan, maka istri tersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan perkawinan itu dipandang bersalah dan
berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan itu dipandang sebagai perzinahan dan dikenakan had, nasab anak yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan
kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada ibunya.
33
B. Faktor dan Akibat Pemalsuan Identitas 1.
Faktor-faktor Penyebab
Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 12 Ayat 2 telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dikemukakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga termasuk penipuan.
Penipuan tidak dilakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak wanita.
34
Pihak pria biasanya penipuan dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi dikatakannya masih jejaka atau
33
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 42.
34
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. Ke-1, Jakarta: Basrie Press, 1994, h. 28.
bentuk perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung. Penipuan yang dilakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan
yang ada pada dirinya, misalnya dikatakana tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak demikian.
35
Dalam hukum islam lembaga pembatalan perkawinan disebut dengan lembaga Khiyar, yaitu keadaan yang dianggap merusak atau membatalkan akad nikah.
Lembaga khiyar ada dua bentuk, yaitu Khiyar Aib, karena salah seorang dari suami atau istri menderita sakit gila sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan
atau salah satu pihak menderita penyakit berbahaya lainnya yang baru diketahui setelah perkawinan dilaksanakan, Tubb yaitu kemaluan pria telah putus dan lemah
syahwatnya tidak mampu melangsungkan kewajibannya sebagai laki-laki, tumbuh daging atau tulang pada kemaluan istri sehingga tidak mungkin terjadinya
persetubuhan. Kemudian Khiyar Isar, yaitu alasan pembatalan karena kemiskinan suami, istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan kepada hakim apabila si suami
tidak mampu memberikan kebutuhan rumah tangga sesuai dengan status sosial kehidupan mereka.
36
Penyakit gila yang diderita oleh suami atau istri akan membawa dampak negatif dalam pembinaan keluarga bahagia dan sejahtera. Bagaimana mungkin
terbina suatu keluarga yang harmonis apabila salah satu pihak tidak normal
35
Ibid. h. 29.
36
Ibid. h. 31.
َikirannya. Menurut Muhammad Jawad Muُhniyah bahwa Imam Malik, Syaَi‟i dan Hambali sepakat bahwa suami boleh membatalkan perkawinan akibat sakit gila yang
diderita istrinya, demikian pula sebaliknya.
37
Mereka berbeda pendapat dalam rinciannya, Syafii dan Hambali mengatakan bahwa karena penyakit gila, pembatalan
perkawinan dapat ditetapkan keduanya, baik setelah bercampur atau belum, tanpa harus menunggu beberapa waktu lamanya. Sedangkan Imam Malik mensyaratkan
adanya ancaman bahaya bagi yang waras apabila bergaul dengan orang yang gila.
38
Kemudian apabila gila itu terjadi setelah akad nikah, yang berhak atas pembatalan perkawinan hanya pihak istri saja, ini pun setelah diberi tenggang waktu
satu tahun. Sedangkan Madzhab Imamiyah mengatakan bahwa suami tidak boleh membatalkan perkawinan karena istrinya kemungkinan menjatuhkan talak,
sedangkan istri boleh mengajukan pembatalan karena suaminya gila, baik terjadi sebelum maupun sesudah akad atau setelah persetubuhan. Wanita berhak atas mahar
penuh bila sudah dicampuri dan tidak berhak bila belum dicampuri.
39
Tentang masalah impotensi, para ahli hukum Islam seluruh madzhab sepakat bahwa istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Perbedaan pendapat mereka
dalam hal apabila suami impotent terhadap istrinya, sedangkan dengan wanita lain tidak, apakah istri dapat membatalkan perkawinannya, Imam Syafii, Hambali dan
37
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan Afif Muhammad, cet. Ke-1, Jakarta: Basrie Press, 1994, h. 35.
38
Ibid. h. 37.
39
Ibid. h. 38.
Maliki mengatakan bahwa apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istrinya berhak menjatuhkan pilihan berpisah, meskipun suami itu
mampu melakukan persetubuhan dengan wanita yang lain.
40
Sedangkan di kalangan Madzhab Imamiyah mengatakan bahwa pilihan untuk membatalkan nikah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan alasan impotensi terhadap
semua wanita, apabila impoten terjadi hanya pada istrinya, sedangkan dengan wanita lain tidak, maka istri tidak dapat mengajukan pembatalan perkawinannya pada hakim,
karena seorang laki-laki yang dapat menggauli wanita tertentu jelas secara hakiki bukan impoten. Kalau tidak ada bukti, maka harus dilihat oleh seorang perempuan
yang ditunjuk untuk memeriksa apakah istri itu masih perawan atau tidak, sedangkan kalau istri janda, maka suami diwajibkan untuk bersumpah sebab dialah yang
menolak tuduhan istrinya itu. Kalau suami bersedia disumpah, maka tertolak tuduhan istrinya itu, jika suami menolak untuk bersumpah maka istrinya diminta untuk
bersumpah dan menunda perkara selama satu tahun. Jika dalam kurun waktu satu tahun kondisinya masih seperti biasa, maka setelah satu tahun itu berlaku, hakim
menawarkan pilihan kepadanya apakah akan melanjutkan ikatan perkawinannya atau membatalkan mereka.
41
Tentang penyakit lain, seperti sopak dan kusta, Imam Syaَi‟I, Imam Malik
dan Hambali berpendapat bahwa kedua penyakit tersebut merupakan cacat bagi
40
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 56.
41
Ibid. h. 58.