Pengaturan Tanah Adat dalam Sistem Ondoafi

1. Pengaturan Tanah Adat dalam Sistem Ondoafi

Secara konvensional, pengaturan tanah adat Nendali Yo berdasar pada sistem adat dengan kepemimpinan Ondoafi. Dalam sistem tersebut, kepemilikan atas tanah bersifat komunal, dikuasai dan dimiliki bersama untuk kepentingan bersama pula. Dengan mengacu pada personifikasi tanah sebagai “mama” dan tradisi pewarisan kepemimpinan yang patrilineal, penguasaan tanah tertinggi berada pada Kepala Suku atau Khoselo dengan fungsi sebagai “ibu” sosial. Dengan tanah yang berfungsi sosial ini, keluarga-keluarga diberikan hak untuk mengambil manfaat sepenuhnya dari tanah adat sebagai jaminan penghidupan dan pengikat kebersamaan.

Dalam norma dan aturan adat, penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam lainnya ditata merunut pada struktur jabatan

Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat

adat. Ondoafi sebagai pemimpin tertinggi representasi kesatuan masyarakat kampung (Yo), memiliki wewenang yang sangat luas meliputi religi, sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Sementara para Khoselo sebagai pemimpin di tingkat klan yang ada dalam kampung berperan menjadi perwakilan Ondoafi sebagai pelaksana kebijakan meliputi bidang religi, jabatannya disebut Wakuyaw, bidang keamanan dan perang disebut Flaime, bidang kesejahteraan disebut Endafu, dan seorang juru bicara disebut Kandai Makolone. Di Nendali Yo terdapat empat Klan yakni Wally, Taime, Yokhu dan Mallo. Berarti terdapat 4 orang Khoselo sepadan dengan jabatan-jabatan di atas.

Sementara seorang Ondoafi bisa saja memiliki beberapa pembantu pribadi, yang mengurusi kesehariannya, yakni, untuk urusan rumah tangga disebut Abu Afaa–Alafo Nolofa, seorang pesuruh disebut Abu Akho dan seorang pembantu umum disebut Waijowa.

Ondoafi berwenang membagi peruntukan tanah berdasarkan tipologi dan bentuk pemanfaatan yang sesuai atas tanah, yang terdiri dari areal pemukiman penduduk, areal perburuan, dusun sagu dan pemanfaatan umum lainnya. Di Nendali terdapat beberapa zonasi demikian, seperti tanah perkampungan atau Yo Kla, dusun sagu atau Fiung Fi Kla, hutan perburuan dan tempat kayu soang atau We Kla Hoang Kla, kebun bersama atau Onggi Kla Yale Kla, dan wilayah sakral atau Nali Kla Walobo Kla.

Dalam budaya Sentani terdapat pribahasa, “Fafa nei khani, u Ondoafi Khoselo nei khani”, yang artinya “Anak-anak tidak mempunyai tanah, Ondoafi dan Khoselo yang mempunyai tanah” . Pribahasa itu mengisyaratkan bahwa yang mempunyai hak “penguasaan” dalam makna yang dekat pada “kepemilikan”, adalah Ondoafi dan Khoselo. Sementara warga masyarakat hanya

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

mempunyai hak untuk mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian penguasaan tanah dalam makna demikian, berada di bawah Ondoafi yakni zonasi-zonasi yang diperuntukkan bagi kepentingan yang lebih umum. Sebagian lainnya di bawah para Khoselo yang merupakan tanah warisan klan secara turun-temurun. Di masa lalu sering terjadi peperangan antar klan dan suku untuk memperebutkan tanah. Tradisi keras demikian menjadi salah sebuah akar kerumitan konflik tanah di Papua hari ini.

Naghemia, sebuah isitilah dalam bahasa Sentani yang berarti “induk mama” ( naghe-induk, dan mia -mama/induk) untuk menandakan tanah, bukanlah sebuah istilah biasa dan harfiah semata. Akan tetapi lebih sebagai personifikasi filosofis yang mengandaikan kedalaman hubungan antara manusia dan tanah. Tanah adalah ibu dari mama, atau tanah adalah induk. Induk adalah ibu yang pertama dan tidak mempunyai ibu lagi, sedang mama dilahirkan oleh induk. Tanah kemudian menjadi “ibu” yang paling awal, yang tanpanya tidak mungkin lahir kehidupan selanjutnya. Kedalaman pengertian akan tanah sebagai “ibu” pertama ini membentuk sensitifitas tertentu atas tanah.

Induk (naghe) adalah representasi dari sesuatu inti yang berdiri sendiri dan menjadi sumber energi bagi segala sesuatu yang lain. Dengan keberadaannya, kehidupan selanjutnya yang terus meluas menghidupi diri dari serapan energi pada sang induk. Dalam konteks ini masyarakat Sentani menganggap keberadaannya bergantung dari suplai energi demikian (hingga ke pengertian yang magis). Sementara mama (mia) adalah personifikasi dari sesuatu yang telah memberikan cinta dan kasih sayang bagaikan seorang mama pada anak-anaknya. Cinta mama ada sejak dari proses kehamilan dan menyusui hingga terpenuhinya segala kebutuhan

Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat

hidup bagi anak-anaknya. Semuanya tanpa pamrih. Keberadaan tersebut menjadikan seorang mama lebih dari sekedar pemberi nafkah material, lebih jauh sebagai simbol tertinggi dari nilai kebaikan yang tidak mungkin tergantikan oleh apapun. Mama kemudian menjadi cerminan identitas bagi anak-anaknya, begitu juga sebaliknya, anak adalah cerminan identitas mamanya. Kaitan genealogis ini menyebabkan relasi keduanya menjadi begitu intim. Maka hal yang paling tidak bisa diterima adalah ketika martabat “mama” telah direndahkan.

Bahwa mia adalah mama bersama, pemberi kehidupan dan kehormatan bagi semua orang di Sentani, ia menjadi dasar pembentuk sikap primordial. Landasan ini menjadi perangkat bagi terbentuknya kesadaran bahwa sesama warga masyarakat adalah saudara kandung yang berasal dari rahim yang sama . Naghemia adalah cikal bakal, adalah inti atau sumber, adalah dunia yang menaungi masyarakat dengan kasih seorang ibu kepada anaknya. Naghemia, begitulah masyarakat Sentani memberikan sebutan terhadap tanah.

Tidak akan ada kehidupan di atas muka bumi ini jika tidak ada tanah. Itulah tanah bagi orang Papua pada umumnya. Jika masyarakat modern memandang tanah sebagai bentuk-bentuk sumberdaya alam, masyarakat adat Papua memandang tanah sebagai sumber hidup keseluruhan. Namun semua ini adalah “teks” yang dipercayai pernah menjadi “konteks”. Apakah konteks yang berkembang hari ini masih bisa diacu dengan teks demikian, diuraikan berikut ini.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis