Di sekitar Lintasan Jejak Reforma Agraria di Indonesia

b. Di sekitar Lintasan Jejak Reforma Agraria di Indonesia

Menengok tonggak perubahan Kebijakan Agraria di Indonesia pasca kemerdekaan 8 , mesti melihat kembali situasi yang menyelimuti implementasi UUPA 1960 (Fauzi, 2008), sebagai salah satu wujud dari buah ‘keberhasilan’ perjuangan panjang para founding fathers menyusun landasan dasar, induk hukum dan mekanisme pelaksanaan perombakan struktur agraria (RA genuine). Terdapat lima hal penting yang patut menjadi perhatian dalam perubahan kebijakan agraria di Indonesia, selain perubahan politik brutal yang terjadi dalam situasi perpindahan kekuasaan dari masa Soekarno ke Soeharto yang menjadi salah satu titik pijak paling penting dari kemelut implementasi UUPA 19 di Indonesia, yaitu; Pertama, mengecilkan ruang land reform hanya terbatas pada persoalan pegurusan teknis pertanahan. Sebab, rezim Orde Baru tidak pernah mau menjadikan masalah agraria sebagai dasar pembangunan nasional, melainkan agraria hanya sebagai masalah rutin birokrasi pembangunan dalam wataknya yang developmentalistik. Program land reform yang berupaya menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah secara menyeluruh (perombakan struktur agraria yang timpang), akses terhadap tanah serta sistem bagi hasil, tidak dilanjutkan. Padahal Ir. Soekarno, telah meletakkan land reform sebagai “satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia”. Land reform telah berubah dari sebuah strategi pembangunan semesta, menjadi kegiatan pengurusan teknis pertanahan saja. Pada level organisatoris

8. Perjalanan menuju penyusunan UUPA 1960, sejak awal kemerdekaan RI, memiliki tonggak-tonggak penting yang dapat menjadi gambaran bagaimana kerumitan dan beratnya perjuangan mewujudkan ideasi RA. Secara lebih terperinci sejarah rintisan RA di Indonesia ini, dapat dibaca lebih jauh dalam Shohibuddin (ed.), Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Selesai, (STPN Press; Yogyakarta, 2009).

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

pemerintahan, terutama pada Kabinet Pembangunan I Orde Baru, tidak terdapat lagi Kementrian Agraria. Kepengurusan soal agraria “diturunkan” menjadi tingkatan Direktorat Jenderal, dan berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Meskipun UUPA 1960 masih tetap berlaku, namun posisinya diambangkan atau ‘ada namun tiada’, tak hidup, tak pula mati. UUPA 1960 tidak lagi menjadi induk sekaligus payung dari seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria. Sejumlah Undang-undang lain yang dibuat kemudian bertentangan kontras dengan UUPA 1960. Misalnya, adalah Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, serta aturan sektoral lainnya yang mengepung dan mengerdilkan spirit dasar UUPA 1960. Sementara itu, aturan-aturan teknis agraria yang mendukung strategi politik otoritarian dan strategi pembangunan kapitalis justru dikembangkan sedemikian detil, seperti soal Pendaftaran Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah.

Kedua, usaha sistemik Orde Baru dalam menghapuskan semua legitimasi partisipasi organisasi petani di dalam program land reform, dengan cara mencabut peraturan lama dan menggantinya dengan peraturan baru. Kedua peraturan baru itu adalah: (i) Undang- undang No. 7 Tahun 1970 berisi penghapusan pengadilan land reform–yang merupakan badan tertinggi pengambil keputusan mengenai peruntukan tanah-tanah objek land reform. Jadi, pengadilan ini merupakan representasi dari negara dan organisasi- organisasi massa petani dalam menentukan peruntukan tanah-tanah objek land reform. (ii) Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1980, berisi Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform (di dalamnya terdapat Pencabutan Keputusan Presiden No. 263 tahun 1964 tentang Penyempurnaan Panitia Land Reform sebagaimana

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 131 tahun 1961). Panitia Land Reform yang mengandung partisipasi organisasi-organisasi dihapuskan, diganti dengan panitia baru yang didominasi oleh birokrasi, dan di dalamnya terdapat unsur Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)–suatu organisasi massa petani ‘boneka’ bentukan pemerintah--. Sehingga, Panitia Land Reform diambil oleh birokrasi Orde Baru, mulai dari tingkat menteri hingga lurah/ kepala desa. Inilah salah satu bentuk proses pemandulan partisipasi petani melalui organisasi massanya dalam segala program dan issu land reform di Indonesia.

Ketiga, penerapan model kebijakan politik Orde Baru yang di istilahkan sebagai ‘massa mengambang’ ( floating mass). Menjelang pemilu tahun 1971, Orba dengan kebijakan politik massa mengambang mampu memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik nasional. Partai-partai politik tidak boleh lagi memiliki cabang di daerah kecamatan hingga ke tingkat bawah. Rakyat pedesaan kehilangan saluran politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya, pada tahun 1973 terjadi penciutan jumlah partai politik dari 10 partai (kontestan pemilu 1971) menjadi 3 partai politik saja. Di sisi lain, aneka ragam koperasi yang dahulu diorganisair oleh berbagai partai politik dan organisasi massa underbouw-nya, dilarang dengan aturan Inpres tahun 1978 dan 1984. Dengan dasar tersebut semua kegiatan ekonomi berkoperasi disalurkan melalui wadah tunggal dan seragam bernama Koperasi Unit Desa (KUD). Selain itu, kebijakan penyeragaman azas tunggal Pancasila dan penetapan UU No. 8 tahun 1985 serta Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1986 tentang Organisasi Kemasyarakatan berimplikasi besar bagi sempitnya ruang berekpresi dan berserikat serta existensi banyak organisasi massa.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

Keempat, dijalankannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Peraturan ini secara langsung mengubah desa yang semakin kehilangan dinamika proses politik yang demokratis- partisipatifnya. Rangkaian peraturan dari penjabaran UUPD 1979 dalam praktiknya semakin menguatkan kuku birokrasi yang nyata-nyata menghambat partisipasi sejati masyarakat desa. Kemudian disediakanlah format-format institusi partisipasi yang disusun dengan peraturan yang selaras dengan kepentingan (politik, sosial, ekonomi) Orde Baru dan merupakan upaya kontrol birokrasi terhadap kekuatan masyarakat desa. Contohnya adalah: Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang manifestasinya menjadi representasi dari kekuatan legislatif rakyat, dan hakekatnya adalah ‘boneka’ birokrasi. Juga persoalan perubahan Lembaga Sosial Desa (LSD) yang menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). LSD merupakan wadah partisipasi langsung pemuka desa dalam pembangunan desa, diubah secara seragam menjadi wadah kontrol LKMD yang diketuai oleh Kepala Desa. Tak beda dengan peran perempuan, yang kemudian dikoordinasikan melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang di desa wajib diketuai oleh Ibu Kepala Desa. Pengambilan keputusan mengenai kepemimpinan di desa juga sudah kehilangan banyak kadar demokrasi dan partisipasinya. Sebab aparat Kecamatan, militer dan kepolisian memperoleh keabsahan untuk mencampuri dan bahkan bisa “menggagalkan seorang calon Kepala Desa” dalam keseluruhan proses pemilihan kepala desa, karena merekalah panitia pemilihan kepala desa.

Lintasan pembungkaman dan penyeragaman daya kritis rakyat di level kebijakan dan partisipasi masyarakat semasa Orde Baru, sebagaimana diuraikan diatas, sebenarnya masih mengembang ke ranah yang lebih luas dalam dimensi yag lebih beragam. Stigmatisasi

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

gagasan RA sebagai bagian agenda kelompok ‘Kiri’ 9 dan PKI misalnya, telah efektif mengkerdilkan semangat UUPA 1960 dari kalangan pemerintah, akademisi, wartawan, aktivis dan kelompok civil soceity lainnya sebagai amanat dan agenda kebangsaan founding fathers yang belum digenapi. Akibatnya terdapat rentang waktu yang cukup panjang hilangnya diskursus tentang RA, di level kebijakan, akademis dan civil soceity. Dalam ranah pendidikan kebijakan NKK/BKK telah berhasil membungkam dunia kampus sebagai salah satu simpul gerakan kritis dan preasure group atas negara. Dalam upaya menjaga ‘stabilitas nasional’ disusunlah UU Subvensif yang bersifat ‘karet’ bisa dipakai sesuai dengan kepentingan politik kekuasaan Orde Baru yang efektif menjerat (yang dianggap) ‘musuh Orba” dari segala kelompok dan lapisan masyarakat.

Dengan kenyataan lintasan situasi disekitar pelaksanaan RA sejak tersusunnya UUPA 1960 diatas menjadi wajar jika ‘sulit diharapkan’ ruang diskursif yang matang tentang RA, kebijakan pertanahan yang proo poor land policy dan inisiatif gerakan rakyat untuk menuntut RA dapat muncul. Pada titik lain, di era pasca Reformasi persoalan pelaksanaan RA dihadapkan kondisi baru bergulirnya kapitalisme kontemporer yang mewujud dalam sistem politik-ekonomi neoliberalisme yang semakin kokoh dan

9. Pada masa Orba, pengelompokan ‘musuh negara’ dipilah menjadi kelompok berhaluan “Kanan dan Kiri”. “Kanan” distigmatisasikan kepada kelompok radikal berbasis Agama (terutama Islam). Sedangkan kelompok “Kiri” di asosiasikan pada kelompok radikal yang berideologi ‘sosialis-komunis’ dan sejenisnya. Stigmatisasi ini sangat efektif menjadi teror sepanjang 32 tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, bahkan kadang-kadang masih sering dipakai dalam peristilahan politik kekuasaan dan akademik hingga sekarang.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

menggurita menjerat negara-negara berkembang untuk patuh pada rambu-rambu sirkuit kapitalisme global negara-negara maju.

Dalam sketsa singkat pemaknaan dan pelaksanaan RA diatas, dapat diperiksa ulang bagaimana perjalanan idealita dan praktis ‘eksperimentasi’ RA di Indonesia, khususnya dalam bentuk- bentuknya seperti PPAN, LARASITA, PRONA dll. Jika makin hari terlihat orientasi kebijakan pertanahan tereduksi lebih dominan pada praktik “sertifikasi tanah”, ajudifikasi tanah, kadastral, dan pencatatan tanah-tanah, hingga penyediaan tanah bagi mega proyek food estate, maka situasi-situasi itu menjadi tantangan kontemporer bagi usaha mewujudkan RA yang sejalur dengan cita-cita kebangsaan.