Watak Kebijakan Pengembangan Wilayah dan Kemiskinan

b. Watak Kebijakan Pengembangan Wilayah dan Kemiskinan

Mengapa agenda pengembangan wilayah perlu diperiksa ulang? Secara historis kegagalan program pembangunanisasi selama Orde Baru, bukan hanya melulu persoalan teknis dan menejemen, tetapi juga terkait dengan bentuk “kesalahan” konsep pemikiran tentang tata-ruang. Tugas perencana wilayah pada dasarnya adalah menjawab pertanyaan sederhana, yaitu kegiatan apa yang ingin dikembangkan dan di mana lokasinya (pendekatan sektoral)?. Ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut tidak sederhana, terutama bila kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut berskala besar, mempunyai permasalahan yang kompleks, dan atau lahannya sangat luas. Pada titik ini pengembangan wilayah tidak bisa dilepaskan dari persoalan penguasaan, kepemilikan dan akses dan struktur agraria lainnya. Watak kebijakan, ideologi dan silang sengkarut kepentingan politik ekonomi (pusat-daerah) beserta kontestasi aktor di dalamnya sangat mempengaruhi bagaimana model penyusunan blueprint RT/RW, arah mana yang akan dituju oleh agenda kebijakan pengembangan wilayah, dan kemana/ kepada siapa akan berpihak? Jika pengembangan wilayah tersebut berurusan dengan sumber-sumber agraria, siapa yang diuntungkan? Kaum miskin, petani gurem diletakkan dimana? Pertanyaan kritikal semacam inilah yang mestinya menjadi sandaran pro poor land policy di kebijakan pengembangan wilayah. Sebab, awal dari pengembangan wilayah mesti beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan pengembangan akibat dari perubahan yang

disebabkan oleh kondisi tertentu 11 . Konsep pengembangan wilayah yang benar akan dapat mendorong perbaikan dan peningkatan

11. Ernan Rustiadi Dkk, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Yayasan Obor. 2009. Halaman 137.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

tingkat kesejahteraan masayarakat, dan sebaliknya, kebijakan pengembangan wilayah yang salah akan memperburuk kondisi kemiskinan dan menciptakan masalah baru bagi rakyat.

Dalam penelusuran di kabupaten Tasikmalaya dan Blitar, terutama menyoroti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), memperlihatkan bagaimana wilayah perkotaan justru harus dilayani oleh areal-areal pertanian disekitarnya. Hal ini membuat pusat perkembangan wilayah, selalu dipusatkan di daerah perkotaan, dan infrastruktur dikonsentrasikan untuk menghubungkan antara desa-desa “pelayan” dengan kota-kota yang harus “dilayani”. Selain itu, pengembangan wilayah yang ada di kedua kabupaten (Tasikmalaya dan Blitar) nyata-nyata tidak mendudukkan faktor ketimpangan struktur agraria sebagai bagian penting bagi alas dan pondasi rancang bangun pembangunan daerah, khususnya dalam agenda penanggulangan kemiskinan. Bahkan penyusunan tata ruang yang sangat penting bagi desain program pembangunan di daerah tersebut disusun atas dasar “proyek” kepada sekelompok

ahli yang melayani kepentingan elit di pemerintahan daerah 12 . Selaras dengan hal itu, prioritas agenda dan kebijakan penaggulangan kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya dan Blitar, yang juga merujuk pada hasil konseptual dari perencanaan pengembangan wilayah mengalami persoalan serupa. Selain itu, mekanisme dan manajemen program penanggulangan kemiskinan

12. Biasanya kelompok ini beroperasi di instansi-instansi yang membutuhkan jasa pembuatan dokumen dan rencana kerja di daerah-daerah, yang memanfaatkan gagapnya pemerintah daerah menerima akibat desentralisasi. Lihat lebih jauh, Peluso, Affif, Fauzi,”Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia “ dalam Borras (ed) Trans-National Agrarian Movements, (Willey-Blackwell ; West Sussex, 2008), hlm.225.

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

lebih berwatak ‘proyek’ dan karikatif, dengan mengandalkan model pemberian bantuan yang di balut dengan partisipasi semu, seperti: BLT, gardu Taskin, Raskin, PNPM Mandiri dst. Perspektif tentang

kemiskinan 13 belum bergeser dari domain definisi kemiskinan dalam satu dimensi saja yakni dimensi ekonomi, maka penyelesaiannya selalu berkiblat pada model pembangunan pedesaan yang sering diartikan dengan ”berbagai hal yang berkaitan dengan benda material”, seperti: sekolah, klinik, jalan, listrik, kelompok pemuda/ perempuan, pembersihan sarana umum, industri kecil, pemberian kredit, pupuk, bibit/benih baik langsung maupun melalui koperasi dll. Sekalipun penting bahan material tersebut, sebagaimana juga pendapatan, namun kesemuanya hanyalah alat atau instrumen untuk memenuhi sasaran utama dalam kehidupan (Al-Ghonemy, 2008). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana benda- benda itu digunakan dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang sumber strategi penghidupannya masih berpusat pada tanah atau pertanian? Benarkah akar persoalan kemiskinan di pedesaan dapat diselesaikan dengan cara-cara ‘pembangunan materil’ seperti di

13. Secara umum terdapat dua perspektif dalam memahami kemiskinan yaitu, kerangka kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural, meskipun pada praktiknya keduanya sulit dipisahkan secara rigid. Kemiskinan kultural, umumnya dikaitkan dengan proses dan kerangka mental, perilaku, norma, dan aspek budaya lainnya yang menghambat bagi upaya-upaya mayasrakat baik perorangan maupun kolektif untuk memajukan dan meningkatkan kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka sendiri dalam kehidupan kekinian. Sedangkan kemiskinan Struktural, sebagaimana dijelaskan oleh Selo Sumardjan (1980) adalah kemiskinan yang di derita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Mukhtar Sarman (ed). 1998. “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, (Pusat P3R-YAE, Bogor 2007).

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

atas, tanpa melihat lebih jauh persoalan ketimpangan struktur agraria yang melingkupinya?

Sayangnya, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan Blitar (mungkin juga banyak terjadi di kabupaten lain di Indonesia) belum melihat problem kemiskinan sebagai suatu konsekuensi dari ketimpangan dan ketidakadilan struktural (politik, sosial, ekonomi) yang lebih kompleks, atau apa yang di istilahkan Mosse (2007) sebagai sebuah Kemiskinan Relasional. Dalam makna ini kemiskinan adalah suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, dan hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang, baik ekonomi, tetapi juga sosial, politik, budaya, termasuk di dalamnya adalah ketimpangan struktur agraria. Kondisi Kabupaten Blitar dan Tasikmalaya yang dihuni oleh beragam perkebunan dengan sebaran kelompok miskin yang berada di sekitarnya (lihat gambar 1 dan 2, Peta sebaran kelompok miskin), bahkan untuk kasus Blitar jelas diperlihatkan bahwa kantong kemiskinan berada di sekitar perkebunan dan juga menjadi pusat konflik agraria. Maka, sulit meletakkan problem kemiskinan mengabaikan beragam ketimpangan dan ketidakadilan struktural tersebut. Tidak tersentuhnya akar kemiskinan menjadikan program-program kemiskinan tak pernah mampu dirasakan dan menyelesaiakan persoalan kemiskinan di pedesaan Tasikmalaya

dan Blitar. Di beberapa desa yang menjadi kasus penelitian ini 14 ,

14. Untuk Kabupaten Tasikmalaya desa yang menjadi studi kasus penelitian adalah desa Sukawangun Kecamatan Karang Nunggal, sedangkan di Kabupaten Blitar adalah dusun Gambar Anyar desa Sendang Asri kecamatan Nglegok. Di kedua desa ini dilakukan pendalaman dengan metode live in dan pengamatan terlibat ( participant observer), untuk melihat sampai mana kebijakan pertanahan dan agenda kemsikinan dirasakan oleh warga desa. Selain itu juga digali lebih jauh bagaimana inisiatif rakyat dapat muncul

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

masyarakat menyatakan bahwa “ada dan tidak ada” program kemiskinan tidak banyak berpengaruh bagi perbaikan kondisi mereka. Secara ‘apatis’ masyarakat mengungkapkan, bahwa; “ jika dapat ya Alhamdulilah, jika tidak, ya sudah...ndak usah terlalu diharapakan, nanti malah sakit hati sendiri...Yach, paling perangkat desa dan pemuka masayarakat yang banyak diuntungkan..”.

Nampaknya, kebijakan-kebijakan tersebut selaras dengan pandangan W.F. Whertheim (2009), bahwa model kebijakan- kebijakan bangsa ini secara nasional masih mengidap karakter ‘

sosiologi of ignorance’ 15 yang dengan sengaja mengabaikan “suara- suara dari lapisan bawah”. Semua rumusan kebijakan disusun

dan ditetapkan di ruang atau di atas meja yang steril dari hakekat kebutuhan masyarakat marjinal yang sebenarnya. Sulit berharap banyak bahwa model kebijakan dengan watak developmentalism dan politik ignorance semacam ini dapat tersambungkan dengan inisiatif yang datang dari ‘suara rakyat’ di satu sisi dan model konseptual RA yang berwatak pro poor di sisi lainnya. Dengan demikian wajar jika agenda BAPEDA dalam RPJMD di kedua kabupaten (Tasikmalaya dan Blitar) belum memasukkan sama sekali agenda-agenda penataan kembali struktur agraria, redistribusi

beserta batas dan kesempatannya untuk integrasi. Sementara penggalian data tentang kebijakan pertanahan dan pengembangan wilayah dan penaggulangan kemsikinan di gali melalui wawancara dan studi dokumen kebijakan di Kantah (Tasikmalaya dan Blitar), BAPEDA, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas Kopereasi, Dinas Sosial, BPS, Kecamatan dan Desa.

15. Ilmuwan lain di Indonesia menyebut dengan istilah beragam; ‘history without people’ atau ‘people without history’ untuk menunjuk bagiamana kebijakan nasional yang terjadi dalam kurun waktu 30 tahun lebih hanya ditentukan oleh segelintir “elite atas” di Jakarta saja dan tidak memberi ruang yang cukup bagi suara dari lapisan bawah. Lebih jauh lihat, W.F Wertheim, Elite dan Massa, LIBRA (Resist Book, Yogyakarta, 2009).

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

tanah dan bentuk-bentuk penanganan persoalan agraria lainnya sebagai jawab atas problem kemiskinan di daerah mereka.