Praktik kebijakan “Reforma Agraria” oleh Negara: Cita dan Realita

a. Praktik kebijakan “Reforma Agraria” oleh Negara: Cita dan Realita

Pada dasarnya secara birokratis Kantah di daerah adalah segaris komando dengan kebijakan BPN Republik Indonesia (BPN-RI). Artinya, keputusan di level nasional akan selalu mejadi rujukan garis instruktif di Kantah BPN. Meski harus diakui cara mempersepsi, memaknai, menerjemahkan dan pengejawantahan TUPOKSI (Tugas, Pokok dan Aksi) akan bebeda selaras dengan kemampuan pengetahuan, daya dukung teknologi, infrastruktur, daya dukung Sumber Daya Manusia yang tersedia, dan lokalitas di masing-masing daerah. Termasuk perbedaan watak dan karakter masing-masing aktor birokrasi sebagai pelaku kebijakan.

Dalam melaksanakan amanat Pidato Politik Presiden RI tentang Reforma Agraria pada bulan Januari 2007, serentak otoritas

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI di bawah kepemimpinan Dr. Joyo Winoto, yang ditunjuk sebagai pelaksana kebijakan menyusun skema kerja implementasi praksis agenda RA di Indonesia. Dalam pergulatan internal dan tantangan nasional yang telah 30 tahun lebih tidak pernah lahir landasan kebijakan untuk mendorong RA, kemudian lahirlah Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang menjadi eksperimentasi dari keinginan mengembalikan semangat UUPA 1960.

Salah satu pelaksanaan RA sebagai agenda politik, menurut Wiradi (2007), adalah adanya political will pemerintah. Kesungguhan dan keseriusan pemerintah merupakan syarat utama, meski bukan satu-satunya. Sebab peran, inisiatif, partisipasi dan mobilisasi masyarakat dari bawah dan ruang interaksi yang demokratis juga menjadi prasyarat lain yang tak kalah penting. Merujuk pada pemikiran Borras dan Franco (1984) pelaksanaan reform mensyaratkan pentingnya pendekatan yang bersifat interaktif antara negara dengan masyarakat. Menurut Borras dan Franco, pendekatan yang berpusat pada negara semata maupun yang berpusat pada masyarakat semata tidaklah memadai. Bertolak dari studinya mengenai ragam model pelaksanaan reforma agraria di Filipina, Borras menyimpulkan bahwa kebijakan reform berpeluang lebih berhasil ketika “dinamika interaktif” yang saling menguatkan dalam relasi negara-masyarakat dapat berlangsung. Dalam konteks yang semacam inilah pembaruan pengurusan tanah yang demokratis dan adil akan dapat diupayakan, yaitu melalui kombinasi dari apa yang disebut Borras sebagai “tiga prinsip pengarah” sebagai berikut: 1). Inisiatif reform yang kuat “dari atas” oleh para aktor negara; 2). Mobilisasi dan partisipasi aktif rakyat “dari bawah”; dan 3). Interaksi negara dan masyarakat yang positif dan saling memperkuat di seputar pro-poor.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

Jika mau diperiksa ulang tingkat kesungguhan dari aktor negara untuk melaksanakan RA, dalam banyak hal masih banyak terganjal pertimbangan-pertimbangan politik pragmatis yang cenderung dikuasai oleh ‘kartel politik’ pengusaha yang dominan di panggung elit politik nasional sekarang ini, dan di sisi lain, akibat ideologi politik-ekonomi pemerintah yang cenderung mengarah pada model ekonomi neoliberal (Swasono, 2009). Sehingga makin mempersempit ruang bagi usaha perombakan struktural ketimpangan agraria yang berpihak pada petani gurem dan masyarakat miskin di pedesaan.

Dari kasus di Tasikmalaya dan Blitar menunjukkan bahwa semangat RA dalam makna perombakan struktural atas beragam incompabilities (penguasaan, kepemilikan dan akses) atas sumber- sumber agraria beserta pembaharuan sosio-ekonomi dan politik yang melengkapinya, tak mampu ditegakkan. Yang terjadi justru reduksi makna dasar RA jatuh sekedar menjadi ‘proyek’ pendaftaran, pendataan dan sertifikasi lahan. Maka idealisasi PPAN yang memiliki agenda redistribusi lebih dari 1,7 juta hektar tanah untuk para petani penggarap, disebut kalangan aktivis agraria sebagai “layu sebelum berkembang”.

Pada sisi lain, semangat RA genuine yang bertujuan mengurangi angka kemiskinan sebagai konsekuensi logis dari perombakan ketidakadilan struktur agraria masyarakat di pedesaan (Sobhan, 1993; Borras, 2007), belum mampu diwujudkan oleh Kantah Tasikmalaya dan Blitar. Justru agenda kebijakan pertanahan berjalan sendiri-sendiri atau tidak terhubung (diskoneksi) dengan program kemiskinan dari Pemerintah Daerah dan inisiatif rakyat untuk RA. Hal ini latari beberapa sebab; Pertama, Problem pada level mekanisme dan sirkuit Policy Proses, dari pusat hingga daerah yang berbeda. Kedua, problem pada level pelaksanaan di

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

lapangan. Siapa penanggung jawab dan pelaksana program? dst. Ketiga, problem pada level sharing dan skema pendanaan yang memiliki kewenangan paling sensitif dan sulit untuk di- sharing-

kan. 10 Sehingga problem kemiskinan masyarakat pedesaan yang ditemukan di Tasimalaya dan Blitar yang mayoritas berada di sekitar perkebunan belum mampu terselesaikan dengan menyeluruh. Justru di daerah kantong kemiskinan inilah sebenarnya menjadi pusat konflik agraria. Satu indikator bahwa persoalan kemiskinan beririsan kuat dengan persoalan ketimpangan agraria yang menjadi sumbu konflik agraria.

Berikut peta kantong dan sebaran kemiskinan di Kabupaten Blitar dan Tasikmalaya. Selain menjadi kantong kemiskinan, pedesaaan sekitar perkebunan juga rawan konflik agraria dari zaman ke zaman hingga sekarang.

10. Dari analisis di lapangan, baik di Tasikmalaya maupun Blitar terdapat kesan kuat problem koordinasi. Di satu sisi otoritas BPN yang memiliki garis koordinatif langsung ke BPN Pusat menganggap tidak harus ‘setara’ dan patuh dengan koordinasi PEMDA. Di sisi lain, PEMDA juga menganggap BPN Daerah punya kewenangan sendiri yang terpisah dengan kepentingan PEMDA. Sehingga menghambat bentuk-bentuk koordinasai program bersama di tingkat daerah untuk beragam kepentingan pelaksanaan RA di daerah. Termasuk di dalamnya persoalan konflik, sharing dan skema pendanaan bagi kepentingan RA di daerah. (Hasil wawancara dan diskusi dengan Pejabat BPN dan BAPEDA Tasikmalaya dan Blitar, 5 Juni dan 4 Agustus 2010).

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan