Pulau Sebuku

2. Pulau Sebuku

Pulau kecil Sebuku memiliki potensi tambang yang tinggi, seperti halnya karakteristik tanah di Pulau Kalimantan Selatan pada umumnya. Saat potensi tambang di Pulau lainnya di Kalimantan sudah hampir habis dieksploitasi, maka pulau kecil pun tidak luput dari penambangan. Begitu pula yang terjadi pada Pulau Sebuku, yang memiliki potensi tambang batu bara dan besi. Industri tambang bagi sebagian masyarakat Kalimantan Selatan bukan barang baru dan sudah tidak asing lagi, karena sejak zaman kolonial Belanda praktek tambang sudah ada, Hal ini dimulai dari masa kolonial dan masa kerajaan Banjar, yang mana perubahan lahan hutan untuk tanaman lada dan perkebunan karet dirubah menjadi tambang. Perusahaan tambang pertama yang dibangun adalah tambang batu bara Oranje Nassau “Bentang Emas”. Setelah itu, ada dua buah perusahaan tambang yang didirikan dekat Martapura yakni Julia Hermina dan Delft.

Saat masa orde lama atau masa jaya kemerdekaan, sumberdaya Kalimantan Selatan sejenak bisa menghirup kebebasannya dari pengeksploitasian. Masa bebas ini ada hingga masa Soeharto atau masa orde baru, dimana HPH mulai berlaku pada tahun 1960-an. Selain itu, dengan alasan untuk rehabilitasi dan mencukupi kebutuhan industri, kerusakan ekologi tersebut terjadi hampir bersamaan dengan adanya perkebunan besar kelapa sawit pada pertengahan 1980-an. Hingga saat ini proses pendegrasian ekologi masih berlangsung, tidak terlepas pulau kecil yang seharusnya tidak ada kegiatan tambang.

Sistem apanase membuat Belanda merasa masih kurang puas dan khawatir akan mengancam keberadaan tambang, karena kekuasaan Sultan bisa saja merubah status sewa apanase tersebut.

Krisis Keberlanjutan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis di Pulau Kecil

Oleh karena itu Belanda menyusun siasat yang berimplikasi pada perjanjian konsesi tambang, salah satu caranya dengan manaruh serdadu di lahan pertambangan.

Di masa orde lama tahun 1960-an, diberlakukan nasionalisasi bagi aset asing yang akan diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. Sehingga operasional tambang terhenti, banyak tambang yang dibiarkan begitu saja. Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam kembali marak sejak ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS Tahun 1966. Produk UU No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing membuka jalan bagi para investor dalam mengelola sumberdaya Indonesia. Produk kebijakan ini didukung oleh UU No.5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan. Selain itu pada tahun 1970 keluar PP. 21 tentang hak pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Tidak hanya yang ada diatas bumi (hutan) yang akan di eksploitasi namun juga yang ada di perut bumi juga akan di keruk.

Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya kebijakan Kepres No. 49/1981 mengenai kontrak pengusahaan batubara generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Di Kalimantan Selatan ada 3 perusahaan yaitu PT. Arutmin, Adaro dan PT. Chong Hua OMD (yang kemudian dicabut ijinnya). Ketiga kontraktor ini diberi cadangan areal sekitar 230.000 ha. Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten Kotabaru, sementara Adaro di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar.

Arutmin dan Adaro berpatungan dengan Broken Hill Property (BHP), perusahaan tambang batu bara dari Australia. Pada tahun 1993, jumlah perusahaan pertambangan dengan menggunakan PKP2B bertambah dengan dikeluarkannya Kontrak Pengusahaan

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

Batubara Generasi II melalui kebijakan Kepres No. 21/1993 yang terdiri dari 5 perusahaan yaitu PT. BCS, Bantala CM, Antang Gunung Meratus, Jorong Barutama, Borneo Indobara. PT. BCS inilah yang mendapatkan ijin eksploitasi di Pulau sebuku. Akan tetapi bagi masyarakat Pulau Sebuku sendiri yang secara geografis dipisahkan oleh laut dari pulau utamanya yaitu Pulau Luat, mereka mengenal pertambangan mulai tahun 1997 melalui hadirnya PT. BCS (Bahari Cakrawala Sebuku) dan disusul dengan PT. SILO (Sebuku Iron Lateritic Ores) pada tahun 2004. Eksploitasi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah tatanan Pulau Sebuku secara sosial, ekonomi, maupun ekologi.

Jika dilihat dari kebijakan yang ada, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Undang-Undang khusus terkait dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tertuang dalam UU No 27 Tahun 2007, dimana tertera bahwa pengelolaan pesisir dan pulau kecil hanya dipergunakan untuk aktivitas yang ramah lingkungan.