Refleksi: Mengukuhkan Inisiatif Desa dalam Administrasi Pertanahan dan Penyelesaian Persoalan Agraria

4. Refleksi: Mengukuhkan Inisiatif Desa dalam Administrasi Pertanahan dan Penyelesaian Persoalan Agraria

Mencermati dua kasus yang diangkat di atas menjadi jelas bahwa untuk membangun suatu sistem administrasi pertanahan sebagai bagian penting pembangunan dengan menjadikan tanah sebagai modalitas penyejahteraan rakyat harus melampaui keterbatasan- keterbatasan yang selama ini ada dalam sistem administrasi pertanahan. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa administrasi pertanahan di Pacitan dan Banjarbaru, mungkin juga di daerah- daerah lain di Indonesia masih terjebak pada legalisasi asset, implementasi yang teknis-birokratis, belum mampu mengurai problem agrarian dan menjadi alat deteksi dini terhadap persoalan pertanahan. Administrasi pertanahan juga belum mampu mengapresiasi inisiatif-inisiatif solutif di tingkatan lokal, melakukan pencegahan dan resolusi konflik agraria, belum mampu menjamin penciptaan penguasaan tanah yang aman bagi pemiliknya, belum mampu melakukan terobosan-terobosan kelembagaan, dan menjadi ruang pasrtisipasi dan negosiasi yang efektif antar aktor-aktor lokal untuk mencegah tenurial insecurity.

Namun, terlihat jelas juga dari dua kasus tersebut bahwa desa dengan segala keterbatasanya selama ini mampu menjalankan

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

pengurusan masalah pertanahan tanpa terlalu banyak butuh intervensi negara dan terus melibatkan peran-peran masyarakat lokal untuk mengambil inisiatif-inisiatif solutif. Dengan demikian, desa pada dasarnya adalah ruang negosiasi dan partisipasi yang paling memungkinkan bagi rakyat di level bawah dan aparat melakukan pengurusan pertanahan yang lebih adil. Kondisi ini sangat penting untuk diperkuat mengingat desa selama ini adalah ujung penerima akibat dari persoalan-persoalan yang justru dibuat di level atas, dan sekaligus desa merupakan penyelesai awal dari masalah-masalah itu.

Skema Democratic Land Governance (DLG) sesungguhnya menginginkan transfer hak tanah yang tidak melulu bersifat teknis administratif tetapi juga harus menyertakan di dalamnya transfer kesejahteraan, kekuasaan atau kontrol sumberdaya tanah, sensitive terhadap kelas sosial dan gender karena kebijakan pertanahan akan menimbulkan dampak berbeda pada petani, buruh, nelayan, pengusaha, perempuan, masyarakat adat. Penting juga, dalam konteks ini, administrasi pertanahan mempertimbangkan sejarah pengurusan pertanahan yang lama berlangsung di tingkat lokal untuk melihat relasi kekuasaan yang eksis. Pendekatan ini relevan diajukan karena administrasi tanah pada dasarnya tidak hanya berurusan dengan perekaman data mati tetapi sangat terkait dengan relasi sosial. Dengan demikian administrasi pertanahan dapat menjadi bagian skema pembangunan dan mampu mendorong produktifitas rakyat ( productivity-increasing) dan memajukan kehidupanya ( livelihood-enhancing) (Booras&Franco,2008).

Semua ini dapat berjalan ketika dibangun ruang negosiasi dan partisipasi yang efektif dan seimbang di dalam administrasi pertanahan itu sendiri. Tidak seperti selama ini dimana administrasi pertanahan selalu berasal dari sisi negara sedangkan warga

Administrasi Pertanahan dan Larasita: Mengangankan Ruang Negosiasi-Partisipasi Rakyat di Level Desa

diposisikan sebagai pemohon. Ruang negosiasi dan partisipasi dibayangkan sebagai ruang dimana antara negara dan masyarakat bersama-sama ikut terlibat merumuskan administrasi pertanahan di level lokal. Untuk menuju kesana diperlukan apa yang disebut dengan inisiatif warga yang partisipatif dari bawah dan institusi negaras yang inklusif dari atas. Keterbatasan-keterbatasan yang selama ini melekat di dalam tubuh birokrasi administrasi pertanahan, selain melakukan perubahan institusional, dapat diatasi dengan melibatkan partisisipasi warga di dalamnya. Dengan hadirnya partisipasi warga administrasi pertanahan tidak hanya mampu menjadi alat deteksi dini masalah agraria tetapi juga mampu menyelesaikan problem agraria untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Setidaknya ada tiga wilayah yang perlu direformulasi untuk mencapai kondisi ini, yaitu, normatif, institusional, dan ketatalaksanaan administrasi pertanahan. Pada tataran normatif hal mendasar yang harus dirubah adalah tidak melihat administrasi pertanahan hanya masalah legalisasi asset tetapi terkait dengan relasi sosial, hubungan-hubungan kekuasaan, sejarah lokal, kesejahteraan, dan kondisi-kondisi tenurial insecurity lainya. Reformulasi aturan-aturan, perundang-undangan, kebijakan, prosedur-prosedur, dan kewenangan khususnya di level desa adalah hal yang mendasar dilakukan. Selain itu perubahan institusional juga penting dilakukan dalam kerangka bagaimana institusi pertanahan menjadikan desa sebagai unit pengelola utama administrasi pertanahan yang responsif, partisipatif, dan menjadi ruang negosiasi antara negara dan warga negara. Karena itu membangun kelembagaan administrasi pertanahan di level desa menjadi syarat utama. Tidak seperti selama ini dimana persoalan pertanahan yang luas itu hanya diurus oleh satu orang aparat pemintah desa

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

yang pada kenyataanya juga dibebani dengan urusan-urusan lainya. Ketatalaksanaan administrasi adalah hal yang juga perlu sekali dirubah dari pendekatan top down menjadi pendektakan yang buttom up. Dengan cara itulah administrasi pertanahan akan menjadi institusi atau ruang pengurusan dan pengelolaan pertanahan lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan. []