Sketsa Diskursif Global Tentang Reforma Agraria

a. Sketsa Diskursif Global Tentang Reforma Agraria

Kebangkitan kembali studi dan agenda RA di abad 21, menurut Fauzi (2008) dipicu oleh tiga hal; pertama, kegagalan teori dan praktek neoliberalisme sepanjang 25 tahun terakhir, khususnya sejak SAP ( Structural Adjustment Program) diterapkan ke seluruh negara berkembang dan menghancurkan investasi publik di sektor pertanian. Kedua, sepanjang periode yang sama, mulai bangkit kembali suatu generasi baru gerakan-gerakan sosial pedesaan. Ketiga, tersedia kesempatan politik yang memungkinkan terangkatnya agenda untuk memperluas akses terhadap tanah masuk ke arena- arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal, nasional dan global. Sederetan ahli, akademisi, intelektual lembaga-lembaga pembangunan internasional ikut terlibat dalam memproduksi

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

wacana dan melakukan debat akademik dan mempengaruhi diskursus agraria secara global. 4 Kondisi ini, pada gilirannya ikut mendorong bangkitnya agenda RA yang kemudian menjadi rujukan dan pilihan bagi kebijakan pembangunan di banyak negara Asia,

Afrika dan Amerika Latin 5 .

Dalam praktiknya, RA dimaknai secara beragam sesuai dengan kepentingan (politis-ideologis) kebutuhan dan dimensi lokal dari masing-masing negara, yang tentu saja pilihan model yang berbeda akan menghasilkan keluaran yang berbeda pula. Pergeseran pilihan bentuk Land Reform berkembang mulai dari land reform redistributif 6 sebagai pilihan bagi pembangunan pedesaan

4. Putzel (2000), Ghimire (2001), Prosterman dan Hanstaad (2001) , El-Ghonemy (2003, 2007), Moyo, Sam dan Yeros (2005), Courville dan Patel (2006), Quan (2006), Boras, et.al (2007), Couins (2007), La Via Campesina dan World Bank, FAO (2002) dll. Lebih jauh lihat, Noer Fauzi “ Kebangkitan Studi dan Agenda Reforma Agraria di Awal Abad 21”, Pengantar dalam Dian Ady (Peny.), Reforma Agraria Dinamika Aktor dan Kekuasaan, (STPN-Press: Yogyakarta, 2008), hlm, v.

5. Lihat Al-Ghonemy, “Persoalan Reforma Agraria Tak Pernah Usai” dalam Dian Ardy (Peny.), Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21, (STPN-Press: Yogyakarta, 2008), hlm. 43-65.

6. Menurut Sobhan (1993) program land reform di dunia ketiga setelah Perang Dunia ke-II dibedakan menjadi dua model; pertama, redistribusi radikal (disebut dengan istilah “ land Reform” sejati oleh Lappe, et.al, 1998). Satu bentuk redistribusi dengan syarat; kualitas tanah yang bagus untuk petani miskin, mampu memutus oligarki dan cengkeraman sistem ekonomi yang tidak adil (sosial-ekonomi) dan tidak menguntungkan masyarakat miskin di pedesaan, mampu menurunkan angka kemiskinan dan secara nyata dan terukur meningkatkan kesejahteraan manusia. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Kuba dan Cina merupakan contoh kasus yang bagus dalam hal ini. Kedua, Reformasi-reformasi ‘non egalitarian’ (atau ‘ land reform’ yang palsu menurut terminologi Lappe at.al, 1998). Bentuk reformasi yang hanya meredistribusi dengan jenis tanah-tanah berkualitas buruk, kepada petani miskin, tidak

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

sejak tahun 1950an dan 1960an, kemudian Land Reform hilang dari perdebatan internasional tahun 1980an, dan diganti dengan beragam model market-led land reform ala lembaga donor dunia (Bank Dunia, USAID dan IMF) sejak abad ke-20.

Bank Dunia yang sebelumnya mengabaikan land reform sebagai pilihan kebijakan dan agenda pembangunannya, lebih dari 5 tahun terakhir paling gencar mendanai dan terbuka dalam mengadopsi land reform untuk strategi pembangunan pedesaan. Reforma yang dapat dinegosiasikan ala Bank Dunia dipromosikan sebagai satu kebijakan ‘baru’ yang dapat dicapai dengan keterlibatan negara seminimal mungkin dan membuka seluas-luasnya bagi kepentingan pasar. Dalam perspektif para ahli ekonomi mereka, ketimpangan yang parah dalam kepemilikan tanah adalah penghambat bagi pertumbuhan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, dan usaha-usaha untuk menggunakan tanah secara lestari (Daninger, 2003) yang diikuti secara progresif oleh institusi- institusi lain, termasuk pemerintah, lembaga-lembaga bantuan dan bank-bank pembangunan lainnya (De Janvry et.al, 2001; Burns, et al, 1996).

Prinsip pelaksanaan land reform ala Bank Dunia (market led land reform) adalah kepercayaan pada pasar kredit formal untuk transaksi kepemilikan tanah, yang dinegosiasikan secara bebas antara

kehendak pembeli dan penjual dalam pasar terbuka 7 . Diantara

mampu mengubah struktur kekuasaan pedesaan, mengancam kehidupan kaum miskin, dan gagal menciptakan perubahan besar dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan dan keadilan di pedesaan (Sobhan, 1993; Lappe et.al, 1998).

7. Pada tahun 1986, panduan kebijakan USAID mengatakan “Tak ada dukungan untuk intervensi pemerintah pada redistribusi tanah milik pribadi,melainkan hanya untuk distribusi tanah publik dalam bentuk skema penyelesaian,

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

hal-hal yang menjadi prioritas implementasi reformasi ala kebijakan bank Dunia adalah; sertifikasi tanah, kadastral, pencatatan tanah, memfasiltasi jual-beli tanah, redistrubusi tanah yang dijalakan sesuai arah pasar atau berbasis tawar-menawar (negoisasi), memberikan dukungan kredit, asistensi teknis dan pemasaran. (Rosset, 2004; Deninger and Binswanger, 2001, 2003 dll).

Namun demikian, banyak studi menunjukkan bahwa model kebijakan pertanahan ala Bank Dunia ini dinilai gagal melihat penyebab dasar kemiskinan dan menyelesaikan kasus pengusiran petani dari desa dan lahan pertaniannya (Borras 2003, et.al 2001). Sebaliknya agenda sertifikasi justru menyebabkan, hilangnya tanah- tanah rakyat, sebagaimana terjadi di Thailand, dan melahirkan konflik seperti di Meksiko. Selain itu, model solusi-solusi berbasis pasar cenderung men-depolitisasi problem ketiadaan kepemilikan tanah ( landless) yang sesungguhnya hanya bisa dipecahkan dengan melakukan perubahan struktural, yang meniscayakan perubahan di ranah politik ketimbang dalam ranah pasar (Roseett 2002, 2004). Yang paling penting adalah, kegagalan kebijakan pertanahan ala Bank Dunia ini karena kebijakan tersebut dijalankan dalam iklim neoliberal, sehingga bertentangan dengan bentuk-bentuk pertanian skala kecil, berbasis keluarga. Maka tak heran sulit diharapakan usaha-usaha tersebut dapat memberi perubahan mendasar dan struktural bagi nasib petani gurem, nelayan kecil dan kaum miskin lainnya di pedesaan (Borras, 2005).

survey kadastral, dan registrasi tanah”. Al-Ghonemy, “Persoalan Reform Agraria...... Op.Cit, hlm. 63.

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan