Batas Inisiatif Rakyat

b. Batas Inisiatif Rakyat

Gerakan eks-buruh perkebunan koperasi Wangunwatie merupakan satu capaian panjang dari lintasan perjuangan sejak zaman kolonial yang tidak bisa dinilai dari sepenggal kisahnya dalam periode tertentu saja. Begitupun keberhasilan yang dicapai sekarang ini. Stretegi untuk tetap sealur dengan kebijakan Negara tanpa harus patuh buta dan tunduk pada segenap kepentingan kekuasaannya, merupakan strategi dari intisari pengalaman panjang berhadapan dengan kekuasaan Negara. Di satu sisi, hal tersebut menjadi strategi penyelamatan yang canggih demi survival dan keberlanjutan existensi organisasi dan modus produksi non-eksploitatif di perkebunan koperasi tersebut. Namun di sisi yang lain, hal itu juga merupakan bagian dari keterbatasan kesempatan politik, bagi peran yang lebih besar untuk mendorong dan menggerakkan arus RA di wilayah yang lebih besar. Selain itu, untuk tujuan tersebut baru bisa dicapai dengan mengeluarkan kompensasi dan ’ongkos’

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

pendanaan yang tidak ringan. Pada titik ini, pilihan-pilihan untuk tujuan-tujuan dan gerakan yang lebih besar mesti ‘diselaraskan’ agar tidak mengganggu ‘keamanan’ dan kesetabilan yang telah dicapai.

Sementara batas gerakan land reform buruh perkebunan di Blitar, Wong Persil, terpusat pada situasi dan tantangan pasca land reform. Suatu kondisi yang hampir umum di alami banyak gerakan rakyat yang melakukan gerakan land reform dari bawah dalam bentuk

aneksasi. 30 Pertanyannya adalah, sampai mana gerakan petani Gambaranyar di Blitar memenuhi prasayat-prasarat RA

dari bawah, dan kondisi-kondisi apa yang memungkinkan dapat mencapainya, agar peran sebagai dongkrak dan pendorong itu dapat lebih efektif. Hal ini bukanlah persoalan mudah. Menurut Wiradi, beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan: 1) Sikap penguasa lokal harus diketahui secara pasti; 2) Peta perimbangan antara yang pro dan anti reform harus diketahui. Jika terlalu tidak seimbang, janganlah dipaksakan melainkan harus dibangun dulu kesadaran secara persuasif dan damai ; 3) Harus diusahakan

30. Merujuk tipologi yang dikembangkan Sitorus et.al. (2005), berbagai aksi land reform by leverage itu dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu : Aneksasi, Kultivasi, dan Integrasi. Aneksasi adalah tipe land reform dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok-tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara/perkebunan HGU. Integrasi adalah tipe land reform yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal yang biasanya terdapat dalam konteks manajemen sumberdaya hutan. Kultivasi berada di antara kedua tipe yang bertentangan itu. Kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah yang direklaim: di satu sisi ia direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk (biasanya melalui perjanjian informal), tetapi di lain sisi ia secara formal masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari entah kawasan konservasi, hutan produksi atau areal perkebunan besar.

Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis

agar tidak terperangkap ke dalam langkah-langkah yang dapat menimbulkan citra sebagai aksi sepihak (membangkitkan trauma masa lalu yang justru akan kontra-produktif ) ; dan 4) Jangan sampai terjebak ke dalam langkah-langkah yang oleh mereka yang anti reform dapat dipakai sebagai alasan untuk menuduh sebagai

pelanggaran hukum, misalnya penjarahan. 31 Dalam kerangka di atas dapat diuraikan tantangan yang dihadapi dari gerakan land reform Wong Persil di Blitar, tersebut diantaranya adalah: 1) Pudarnya semangat kolektif untuk berjuang bersama dalam satu ideologi, menjadi semangat individual setelah sertifikasi. Sebab menganggap capaian tertinggi perjuangan adalah sertifikasi dan hak milik pribadi atas lahan perjuangan. Selain kosongnya kepemimpinan yang kuat dan memayungi segala kepentingan gerakan, 2) Lemahnya Sistem Pengelolaan Lahan bersama (Pasca Sertifikasi) untuk menjamin kelangsungan pemenuhan kebutuhan kolektif gerakan, 3) Ketiadaan kelembagaan

lokal yang kuat untuk mengawal pasca sertifikasi 32 . 4) Munculnya konflik internal (diam-diam) di gerakan land refom dan belum tersedianya ruang mediasi bagi beragam pihak yang relevan dan efektif. Akibat beragam kepentingan yang masuk dan ketidak puasan terhadap tujuan perjuangan yang belum tercapai dan dianggap keluar dari cita-cita awal. 5) Terbatasnya akses ketrampilan/ pengetahuan pertanian dan modal untuk pengolahan lahan-

31. Lebih jauh lihat, Shohibuddin (Ed.) Reforma Agraria, Perjalanan Yang Belum Usai, (STPN Press; Yogyakarta, 2008) 32. Sebagian sesepuh dan pelopor perjuangan di Gambar Anyar sudah memprediksi pentingnya kelembagaan atau organisasi petani lokal yang kuat dan bisa merepresentasikan kebutuhan dan kepentingan semua pihak. Tujuan utamnya adalah mengawal perjalanan perjuangan agar tetap berada di koridor dan rel cita-cita besarnya.

Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan

lahan redist agar lebih produktif, sebagai bekal anak cucu kelak dikemudian hari 33 . Namun demikian, perjuangan keras dan gigih selama kurang lebih 30 tahun, adalah satu prestasi dan pengalaman yang tidak sederhana dan patut menjadi cermin.